|
IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer (2/4)
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
2. Reformistik
Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan
yang meyakini bahwa antara turats dan modernitas
kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi
keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan
satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur,
kedua-duanya bukan milik kita; turats milik orang lampau dan
modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang
lain adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah
konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana
mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal
sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi
itu.
Gerakan reformistik dalam dunia Arab modern telah dimulai
dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis
semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri
Muhammad 'Abduh. 'Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis
yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk
menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin
intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin
kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus
semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari
kerangka ajaran sang imam --menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh
yang beraliran kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian
Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan
terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan
semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama
dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi
radikal (perhatikan mata-rantainya: dari 'Abduh, kemudian
Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid
Quthb).
Untuk lebih jelas lagi kita akan lihat berikut ini,
bagaimana sisa-sisa spirit 'Abduh masih kelihatan dalam
pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan para reformis
kontemporer. Tentu, dibandingkan dengan aspek keseluruhan
dari identitas mereka, spirit ini bukanlah apa-apa. Pada
kelompok pertama kita akan melihat dua pemikir kontemporer
yang berorientasi kepada pembangunan kembali (rekonstruksi)
budaya dan warisan peradaban Arab-Islam; pertama, Dr. M.
Imarah, sisa-sisa pengikut setia 'Abduh yang pernah berguru
pada 'Ali 'Abd al-Raziq, dan kedua, Dr. Hassan Hanafi,
mantan anggota Ikhwan yang pernah teriak-teriak bersama
Sayyid Quthb dan kemudian hengkang ke Sorbonne untuk belajar
filsafat.
M. Imarah atau kadang diucapkan M. Amarah adalah pemikir
Mesir ternama yang mengkonsentrasikan dirinya dalam kajian
historis ajaran dan doktrin Islam, terutama yang berhubungan
dengan ketatanegaraan dan politik. Bukunya Al-Islam wa
al-Wahdah al-Qawmiyah (Islam dan Persatuan Nasional) yang
dicetak 11.000 eksemplar habis terjual hanya dalam masa
sepuluh hari. Bukunya yang kedua, Al-Islam wa al-Sulthah
al-Diniyah (Islam dan Otoritas Agama) sempat menggoncangkan
dan meresahkan masyarakat karena membahas isu sensitif
tentang Islam dan permasalahan politik. Meski ia kritis
terhadap 'Ali 'Abd al-Raziq, gurunya, sebenarnya, ide-ide
Muhammad Imarah, khususnya tentang konsep kenegaraan, adalah
perpanjangan dari pandangan gurunya tersebut. Ia --juga
seperti 'Abd al-Raziq-- menganggap isu negara Islam dan
usaha pencarian sistem Islam melalui teks-teks agama adalah
masalah ijtihadi.
Dalam Islam sendiri, menurut Imarah, tidak ada satu
kelompok pun --kecuali Syi'ah mungkin-- yang mengklaim
dirinya sebagai orang suci, utusan Tuhan dan ma'shum dari
kesalahan. Padahal, Imarah berargumen, Nabi saja dalam
masalah-masalah keduniaan bisa salah, dengan kata lain, ia
tidak ma'shum. Karena itu, selama masalah kenegaraan adalah
masalah ijtihadi (penafsiran manusia) dan urusan duniawi,
boleh-boleh saja konsep tersebut dipersalahkan.
Jika sekelompok Muslim masa lalu memilih khilafah sebagai
satu alternatif sistem politik yang kemudian menjadi mapan,
menurut Imarah, bukanlah pilihan teologis. Dengan kata lain,
masalah itu hanyalah didorong unsur-unsur kebutuhan mendesak
kaum Muslim masa itu yang basis teologisnya --paling kuat--
cuma penafsiran. Islam tidak pernah menganjurkan teokrasi.
Kalaupun bentuk teokrasi itu kemudian terwujud, sebagaimana
klaim sebagian orang, itu hanyalah pengada-adaan
sejarah.57
Ini bukan berarti Imarah berpendapat adanya pemisahan dalam
Islam antara yang ukhrawi (masalah akhirat) dan yang duniawi
(masalah keduniaan). Tetapi, masalah keduanya itu sangat
kompleks, sementara Islam hanya memberikan panduan-panduan
dan garis besar-garis besarnya
saja.58
Dengan penjelasan itu, sebenarnya Imarah ingin menegaskan
bahwa persoalan politik dalam Islam harus ditangani secara
serius. Keinginan-keinginan sementara kelompok Muslim untuk
mendirikan negara Islam bersumber dari tekanan psikologis
"orang-orang kalah". Jika tekanan psikologis itu hilang,
dengan sendirinya, tuntutan untuk mendirikan negara Islam
semacam itu, nantinya akan turut menghilang. Sisi
reformistik dari pandangan Imarah ini adalah keinginan untuk
menafsirkan kembali soal-soal yang bersangkutan dengan
sistem kenegaraan Islam, tanpa harus membuang otoritas
tradisi yang ada.
Hassan Hanafi adalah figur dari kecenderungan yang sama
dengan Muhammad Imarah, bedanya pada penekanan. Kalau
kepedulian Imarah adalah masalah Islam dan politik, Hanafi
mempunyai persoalan yang sangat luas. Dengan idiom populer
ia menamakan proyeknya, al-Turats wa al-Tajdid (masalah
tradisi dan pembaharuan). Dalam soal pamor, Hanafi lebih
dikenal dan lebih banyak disimak pemikirannya ketimbang
Imarah, bahkan di antara pemikir-pemikir Arab kontemporer,
barangkali hanya Hanafi yang paling luas dikaji pemikirannya
secara ilmiah, kecuali Arkoun mungkin. Ide-ide pemikiran
intelektual kelahiran Mesir ini sudah banyak dikaji kalangan
akademis. Sekurangnya ada dua tesis master yang mengkaji
pemikiran dan pandangan-pandangan
teoretisnya,59
di samping buku-buku dan artikel dalam bahasa nonArab
lainnya.60
Hassan Hanafi sangat sistematis dalam membahas dan
mendiskusikan proyek yang dibinanya, dengan tidak ragu-ragu
ia mengklaim proyeknya sebagai proyek peradaban (masyru
'nahdlawi) umat Islam. Seperti yang dielaborasi dalam sebuah
tulisannya, Mawqifuna al-Hadlari, ia membagi tiga sikap
seorang (Arab Muslim) modern; pertama, sikap terhadap masa
lalu, yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan
lama. Kedua, sikap terhadap Barat, dan ketiga, sikap
terhadap realitas dan kondisi Muslim kontemporer. Setiap
dari ketiga sikap itu dielaborasi oleh Hanafi dalam
masing-masing tulisan dan buku yang berbeda. Untuk pengantar
umum proyeknya, ia menulis Al-Turats wa
al-Tajdid;61
untuk sikap yang pertama ia menulis Min al-Aqidah ila
al-Tsawrah;62
untuk sikap terhadap Barat, ia menulis karya tebal
Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab;63
dan untuk sikap terhadap realitas, tesis dan disertasi
doktoralnya telah ia jadikan sebagai referensi utama,
l'exegese de la phenomenologie, l'etat actuel de la methode
phenomenologique et son application au phenomene
religieux,64
dan la phenomenologie de l'exegese, essei d'une
hermeneutique existentielle a partir du nouveau
Testament.65
Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi
Muhammad Iqbal --filsuf asal Pakistan, model reformasi
'Abduh, dan konsep revolusi al-Afghani dan Syari'ati. Bagi
Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali (i'adah
buniyat min jadid) warisan Arab-Islam dengan melihat kepada
spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Teologi
yang dianggap Hanafi sebagai ilmu yang paling fundamental
dalam tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan
perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan
ide neo-kalam (ilmu kalam baru). Apa yang dimaksudnya dengan
ilmu tersebut bukan hanya ideologi doktrinal sebagaimana
yang pernah dipahami oleh al-Asy'ari, Baqillani dan
al-Ghazali. Tetapi ilmu itu lebih merupakan ideologi
revolusi atau revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum
Muslim Modern untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa
otoriter.66
Dalam bentuk yang beragam, Hanafi selalu mengaitkan teologi
ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan
teologi pembebasan ala Amerika Latin. Pandangan
rekonstruktif Hanafi lainnya adalah tentang Sufisme atau
tasawuf. Dalam banyak tulisannya, ia mengajak kita untuk
melihat kembali konsep tasawuf yang ada. Menurutnya,
pengertian tasawuf yang ada sudah tidak relevan lagi untuk
konteks sekarang. Tasawuf klasik penuh dengan nilai-nilai
negatif-pasif dan atribusi kelemahan, karena ia dibentuk
dari reaksi oleh sebagian orang yang tidak puas kepada
penguasa Muslim saat itu. Para Sufi dahulu adalah orang yang
melarikan dan menghindar diri dari keramaian dan kemewahan
hidup, singkatnya, mereka menjadi zuhud. Karena itulah
kemudian tasawuf melahirkan nilai-nilai negatif (pasif)
dalam beberapa praktek dan sikap hidupnya, seperti berpuas
diri (ridla), penyerahan diri (tawakkal), penahanan diri
(shabr) dan rendah hati (wara'). Atribut-atribut pasif ini,
menurut Hanafi harus diubah dan harus disesuaikan dengan
kondisi Muslim sekarang. Kaum Muslim kontemporer terus
tertekan oleh penguasa dan hegemoni model kapitalisme.
Karenanya, nilai-nilai pasif itu harus diganti dengan spirit
yang lebih positif, seperti revolusi (tsawrah), penolakan
(rafdl), kemarahan (ghadlab) dan oposisi (mu'aradlah).
Untuk sikap terhadap Barat, Hanafi telah menciptakan ilmu
baru: oksidentalisme. Dengan oksidentalisme, ia ingin
menciptakan pendekatan baru terhadap kajian dan studi Barat
dan kebaratan. Seperti yang ditulisnya, oksidentalisme
bertujuan:
...membunuh Eurosentrisme dan mengembalikan
budaya Barat kepada batasannya yang normal. Sejak era
kolonialisme dan kemudian dilanjutkan oleh kekuatan dan
penguasaan agen-agen berita di dunia internasional,
budaya Barat telah merebak ke setiap pelosok
negeri-negeri non-Barat. jadi, signifikansi
oksidentalisme, sekali lagi, adalah untuk menghapuskan
mitos budaya universal yang dicetuskan
Barat.67
Oksidentalisme untuk Hanafi adalah alternatif untuk kaum
Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru.
Kalau selama ini, umat Islam telah menjadi obyek kajian
lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, sudah
seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan
berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus
oksidentalisme.
Kelompok kedua yang berafiliasi kepada tipologi
reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai
metode pendekatan dekonstruktif. Para pemikir
dekonstruksionis Arab kebanyakan datang dari daerah Maghribi
(Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Tampaknya unsur bahasa
Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri
tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap
literatur berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa
lainnya. Keterikatan intelektual para pemikir Arab Maghribi
dengan Perancis bukan hanya sebatas bahasanya, mereka juga
terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan filsafat
Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post)
strukturalisme. Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan
bahwa hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang concern
terhadap keislaman dan kearaban adalah penganut paham
strukturalisme; itu karena problem yang mereka hadapi
kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang
berbentuk teks maupun realitas. Dan menurut mereka, metode
yang paling modern dan paling ampuh untuk membaca tradisi
(turats) adalah dekonstruksi.
Berikut, kita akan melihat dua figur utama dalam kelompok
ini; pertama, Mohammed Arkoun, pemikir kelahiran al-Jazair
yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Perancis.
Kedua, Mohammed Abid Jabiri, pemikir dari Maroko yang cukup
produktif dalam menuliskan masalah-masalah yang menyangkut
pemikiran Arab-Islam.
Ada titik kesamaan antara Mohammed Arkoun dan Mohammed
Abid Jabiri, bukan hanya karena keduanya berasal dari daerah
Arab Maghribi. Lebih dari itu, Arkoun dan Jabiri memiliki
kecenderungan intelektualisme yang sama, yaitu, kedua-duanya
melihat perlunya metode kritik untuk membaca sejarah-sejarah
pemikiran Arab-Islam. Pada tahun 1984, dengan tidak
disengaja dan di luar perencanaan, kedua-duanya menerbitkan
buku kritis: Arkoun menerbitkan Pour une critique de la
reason Islamique (Kritik nalar Islam) dalam bahasa Perancis,
dan Jabiri menerbitkan Naqd al-Aql al-Arabi (Kritik nalar
Arab) dalam bahasa Arab. Kedua-duanya memfokuskan pada
problem yang sama; bacaan terhadap tradisi Arab-Islam. Tesis
Mohammed Arkoun --seperti juga tesis Jabiri yang akan kita
lihat kemudian-- berangkat dari masalah bacaan sejarah atau
problem historisisme dan masalah interpretasi (hermeneutis).
Karena pertimbangan inilah mungkin judul buku Mohammed
Arkoun tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
Tarikhiyah al-Fikr al-Arabi al-Islami (Historisisme
pemikiran Arab-Islam). Dengan historisisme, Arkoun bermaksud
hendak melihat seluruh fenomena sosial-budaya lewat
perspektif historis, bahwa masa lalu harus dilihat menurut
strata historikalnya. Carian historis harus dibatasi menurut
runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Ini artinya,
historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna
lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Jika
metode ini diaplikasikan ke atas teks-teks agama, apa yang
dibutuhkan, menurut Arkoun, adalah makna-makna baru yang
secara potensial bersemayam dalam teks-teks
tersebut.68
Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah salah satu
formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh
pemikir-pemikir (post) strukturalis Perancis. Referensi
utamanya adalah De Saussure (linguistic), Levi Strauss
(antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi),
Foucault (epistemologi) dan Derrida (grammatologi). Semua
unsur tersebut diramunya sedemikian rupa menjadi "kritik
nalar Islam". Studinya atas teks-teks klasik adalah untuk
mencari makna lain yang tersembunyi di sana. Dengan kata
lain, untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus ada
dekonstruksi (teks). Arkoun tidak hanya berhenti pada
teks-teks klasik peninggalan ilmuwan-ilmuwan dan
sarjana-sarjana Muslim. Lebih dari itu, teks-teks suci juga
tidak lepas dari bacaannya.
Bagaimana Arkoun melihat tradisi atau turats? Secara
umum, Arkoun membedakan antara dua bentuk tradisi. Dalam
karya-karya yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, ia secara
bersamaan menggunakan dua kata "tradition" dan turats, dan
membagi keduanya kepada dua jenis: pertama, Tradisi atau
Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang transenden yang
selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal, yang
datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian
historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan
absolut.69
Tradisi Jenis kedua ditulis dengan T kecil
(tradition/turats). Tradisi ini dibentuk oleh sejarah dan
budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun
sepanjang sejarah kehidupan, atau penafsiran manusia atas
wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab
suci.70
Antara dua jenis tradisi ini, Arkoun mengesampingkan jenis
yang pertama, karena menurutnya, tradisi tersebut berada di
luar pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Dengan begitu,
target dan objek kajian yang akan dilakukannya adalah turats
jenis yang kedua; turats yang dibentuk oleh kondisi sejarah
(kondisi ruang-waktu).
Membaca turats adalah membaca teks, seluruh jenis teks.
Karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah,
ia pun harus dibaca lewat kerangka sejarah, inilah
historisisme itu. Menurut Arkoun, salah satu tujuan membaca
teks, teks suci khususnya, adalah untuk mengapresiasi teks
tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi.
Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks
suci tersebut harus selalu sesuai dan tidak bertentangan
dengan segala keadaan, inilah salah satu inti pesan ajaran
Islam itu; al-Islam yashluh li kulli zaman wa makan. Dari
sini, apa yang sedang diusahakan Arkoun, seperti para
reformer lainnya, adalah pengharmonisasian tradisi dengan
modernitas lewat metode terbaru.
Sejalan dengan M. Arkoun, Mohammed Abid Jabiri menganggap
penting kajian historisisrne, dan lebih jauh lagi menekankan
keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan
yang lebih cocok untuk modernitas. Usaha pengemasannya ini
telah diformulasikan dalam tiga jilid karya monumentalnya,
yang ia namakan "Proyek Kritik Akal Arab" (Masyru 'Naqd Aql
al-'Arabi). Proyek ilmiah tersebut banyak mendapat sambutan
dari kalangan akademis Arab kontemporer. Jurnal ilmiah
berbahasa Arab Al-Mustaqbal al-'Arabi menganggap karya
Jabiri tersebut sebagai Perestroika dan Glasnost-nya Arab,
karena keberaniannya dalam membongkar struktur epistemologi
Arab (juga Islam) yang sudah mapan. Jabiri berangkat dari
pertanyaan metodologis "Bagaimana Berinteraksi dengan
Turats?"71
Untuk menjawab pertanyaannya itu, Jabiri merasa perlu
mendefinisikan kembali makna turats. Menurutnya, turats
adalah warisan masa lalu dalam sejarah satu bangsa berupa
tingkah laku, etos kerja, pencapaian budaya dan karya-karya
ilmiah. Di antara peninggalan klasik yang dirangkum dalam
turats ini, menurut Jabiri, peninggalan ilmiahlah yang
paling penting dan paling berpengaruh dalam menentukan
budaya dan peradaban suatu bangsa. Selama warisan ilmiah
menjadi unsur yang terpenting, dan warisan tersebut tertulis
dalam bentuk teks, pertanyaan yang diajukan oleh Jabiri
adalah, "bagaimana membaca teks-teks tersebut?" Menurut
Jabiri, masalah tersebut pada akhirnya terbentur pada
persoalan otoritas (sulthah), yaitu siapakah yang memiliki
otoritas dalam menentukan bacaan; pembaca atau bacaan, kita
atau turats? Di sini, jelas Jabiri, turats harus dilihat
sebagai satu struktur mapan, yaitu "sebagai sistem dari
hubungan-hubungan tetap dalam kerangka seluruh perubahan dan
transformasi"72
Karenanya, tambah Jabiri, dalam dialektika pembaca dan
bacaan dan soal siapa pemegang otoritas, ada tiga model
bagaimana turats itu harus disikapi; pertama membaca turats
dengan kerangka modernitas, kedua membaca turats dengan
kerangka turats dan ketiga membaca modernitas dengan
kerangka turats. Di antara tiga pillhan ini, Jabiri
mengambil yang pertama, dengan alasan bahwa jika ini tidak
cepat dipilihnya, maka otoritas akan berpindah kepada kedua
dan ketiga, dan itu --terutama yang ketiga-- sangat
berbahaya. Dengan kata lain, masalah otoritas ini bukan
hanya sebatas turats membaca turats, tetapi yang lebih
berbahaya, mengukur segala sesuatu termasuk modernitas
dengan kerangka turats.73
Jabiri, lebih jauh lagi, memandang bahwa tawaran
"tradisi" dengan "modernitas" bukan soal pilihan, bahwa
dalam menghadapi keduanya kita harus mengambil sikap tegas.
Dengan tegas ia mengkritik adanya pengklasifikasian
intelektual sehubungan dengan masalah dikotomis "tradisi dan
modernitas", yaitu klasifikasi kaum modernis, kaum
tradisionalis dan kaum selektifis. Menurutnya, yang pertama,
cenderung menafikan turats dan menerima bulat-bulat
modernitas, yang kedua sebaliknya, dan ketiga mengklaim
menyatukan keduanya dengan bersikap, lebih adil kepada
turats dan modernitas. Bagi Jabiri, tradisi dan modernitas
datang begitu saja di hadapan kita, tanpa ada kuasa kita
untuk memilihnya. Keduanya datang dengan kekuatan
diskursusnya masing-masing, sebagai tawaran ideals yang
otoriter. Turats datang dari masa lalu lewat pewarisan turun
temurun, tak seorang pun yang mampu menolak warisan dan masa
lalu yang tumbuh bersama dalam dirinya. Begitu juga
modernitas, ia datang dipaksakan tanpa bisa kita menolaknya.
Kita tidak pernah diberi kebebasan untuk memilih salah satu
keduanya atau meninggalkannya.74
Lalu bagaimana sikap kita? Menurut Jabiri, selama kita tidak
pernah disuruh memilih (salah satu dari) keduanya, atau juga
menolak keduanya, maka, yang diperlukan adalah bersikap
kritis terhadap keduanya; kepada turats dan modernitas
dengan seluruh makna kritik.
Di tengah-tengah kritisisme inilah Jabiri menerapkan
metode dekonstruksinya. Buatnya, yang pertama sekali adalah
dekonstruksi turats, selama turats tersebut dianggap yang
paling lama melekat dan menyatu dalam akal Arab. Metode
dekonstruksi yang dipakai Jabiri --sebagaimana diakuinya--
pada mulanya adalah penganalisaan. Maksudnya, tugas pertama
yang harus dilakukan oleh seorang intelektual Arab adalah
menganalisa struktur bangunan yang mapan dengan cara
mempelajari hubungan antara elemen-clemen yang membuat dan
menyatukan bangunan tersebut. Setelah analisa struktural ini
baru diadakan perombakan atau pembongkaran atas struktur
tersebut. Dari sini, usaha dekonstruksi dimaksudkan untuk
mengubah yang tetap kepada perubahan, yang absolut kepada
yang relatif, dan yang a-historis kepada historis.75
Baik Arkoun maupun Jabiri sama-sama berangkat dan
memandang dari kerangka epistemologis yang sama. Keduanya
menggunakan metode pendekatan dekonstruksi. Dan nalar
Arab-Islam merupakan tema sentral pendekatan tersebut.
Sayangnya, seperti yang banyak dikritik orang, proses
dekonstruksi yang mereka tawarkan tidak memberikan
alternatif apa-apa. Baik Arkoun maupun Jabiri berhenti pada
perombakan struktur nalar, tanpa dilanjuti konstruksi baru
sebagai tawaran perubahan.
Tampaknya, memang itulah tujuan akhir yang hendak dicapai
Arkoun, Jabiri dan pemikir-pemikir lain dari kecenderungan
dekonstruksionis. "Jangan memberikan sebuah struktur
tertentu jika tidak ingin generasi selanjutnya merombak
struktur yang Anda untuk itu". Demikian kira-kira ungkapan
metode dekonstruksi itu. Tetapi Arkoun dan Jabiri tetap
seperti Derrida dan penglkutpengikutnya di Perancis yang
berhasil keluar dari tradisi strukturalisme tapi tidak
pernah selamat dari)aring-jaring dekonstruksi yang
dirajutnya. Dan mereka pun mati di sana.
|