Jurnal Pemikiran Islam

PARAMADINA

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

IV. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer (2/4)

oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat

2. Reformistik

Secara umum, tipologi reformistik adalah kecenderungan yang meyakini bahwa antara turats dan modernitas kedua-duanya adalah baik. Masalahnya, bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena, kalau mau jujur, kedua-duanya bukan milik kita; turats milik orang lampau dan modernitas milik Barat. Mengambil satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan membuang kedua-duanya adalah konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional, inilah inti dari reformasi itu.

Gerakan reformistik dalam dunia Arab modern telah dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam diri Muhammad 'Abduh. 'Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam --menjadi fundamentalis.

Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-Raziq, kemudian Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Semakin kemari semakin kiri, dan semakin jauh dari kerangka berpikir sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari 'Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).

Untuk lebih jelas lagi kita akan lihat berikut ini, bagaimana sisa-sisa spirit 'Abduh masih kelihatan dalam pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan para reformis kontemporer. Tentu, dibandingkan dengan aspek keseluruhan dari identitas mereka, spirit ini bukanlah apa-apa. Pada kelompok pertama kita akan melihat dua pemikir kontemporer yang berorientasi kepada pembangunan kembali (rekonstruksi) budaya dan warisan peradaban Arab-Islam; pertama, Dr. M. Imarah, sisa-sisa pengikut setia 'Abduh yang pernah berguru pada 'Ali 'Abd al-Raziq, dan kedua, Dr. Hassan Hanafi, mantan anggota Ikhwan yang pernah teriak-teriak bersama Sayyid Quthb dan kemudian hengkang ke Sorbonne untuk belajar filsafat.

M. Imarah atau kadang diucapkan M. Amarah adalah pemikir Mesir ternama yang mengkonsentrasikan dirinya dalam kajian historis ajaran dan doktrin Islam, terutama yang berhubungan dengan ketatanegaraan dan politik. Bukunya Al-Islam wa al-Wahdah al-Qawmiyah (Islam dan Persatuan Nasional) yang dicetak 11.000 eksemplar habis terjual hanya dalam masa sepuluh hari. Bukunya yang kedua, Al-Islam wa al-Sulthah al-Diniyah (Islam dan Otoritas Agama) sempat menggoncangkan dan meresahkan masyarakat karena membahas isu sensitif tentang Islam dan permasalahan politik. Meski ia kritis terhadap 'Ali 'Abd al-Raziq, gurunya, sebenarnya, ide-ide Muhammad Imarah, khususnya tentang konsep kenegaraan, adalah perpanjangan dari pandangan gurunya tersebut. Ia --juga seperti 'Abd al-Raziq-- menganggap isu negara Islam dan usaha pencarian sistem Islam melalui teks-teks agama adalah masalah ijtihadi.

Dalam Islam sendiri, menurut Imarah, tidak ada satu kelompok pun --kecuali Syi'ah mungkin-- yang mengklaim dirinya sebagai orang suci, utusan Tuhan dan ma'shum dari kesalahan. Padahal, Imarah berargumen, Nabi saja dalam masalah-masalah keduniaan bisa salah, dengan kata lain, ia tidak ma'shum. Karena itu, selama masalah kenegaraan adalah masalah ijtihadi (penafsiran manusia) dan urusan duniawi, boleh-boleh saja konsep tersebut dipersalahkan.

Jika sekelompok Muslim masa lalu memilih khilafah sebagai satu alternatif sistem politik yang kemudian menjadi mapan, menurut Imarah, bukanlah pilihan teologis. Dengan kata lain, masalah itu hanyalah didorong unsur-unsur kebutuhan mendesak kaum Muslim masa itu yang basis teologisnya --paling kuat-- cuma penafsiran. Islam tidak pernah menganjurkan teokrasi. Kalaupun bentuk teokrasi itu kemudian terwujud, sebagaimana klaim sebagian orang, itu hanyalah pengada-adaan sejarah.57 Ini bukan berarti Imarah berpendapat adanya pemisahan dalam Islam antara yang ukhrawi (masalah akhirat) dan yang duniawi (masalah keduniaan). Tetapi, masalah keduanya itu sangat kompleks, sementara Islam hanya memberikan panduan-panduan dan garis besar-garis besarnya saja.58

Dengan penjelasan itu, sebenarnya Imarah ingin menegaskan bahwa persoalan politik dalam Islam harus ditangani secara serius. Keinginan-keinginan sementara kelompok Muslim untuk mendirikan negara Islam bersumber dari tekanan psikologis "orang-orang kalah". Jika tekanan psikologis itu hilang, dengan sendirinya, tuntutan untuk mendirikan negara Islam semacam itu, nantinya akan turut menghilang. Sisi reformistik dari pandangan Imarah ini adalah keinginan untuk menafsirkan kembali soal-soal yang bersangkutan dengan sistem kenegaraan Islam, tanpa harus membuang otoritas tradisi yang ada.

Hassan Hanafi adalah figur dari kecenderungan yang sama dengan Muhammad Imarah, bedanya pada penekanan. Kalau kepedulian Imarah adalah masalah Islam dan politik, Hanafi mempunyai persoalan yang sangat luas. Dengan idiom populer ia menamakan proyeknya, al-Turats wa al-Tajdid (masalah tradisi dan pembaharuan). Dalam soal pamor, Hanafi lebih dikenal dan lebih banyak disimak pemikirannya ketimbang Imarah, bahkan di antara pemikir-pemikir Arab kontemporer, barangkali hanya Hanafi yang paling luas dikaji pemikirannya secara ilmiah, kecuali Arkoun mungkin. Ide-ide pemikiran intelektual kelahiran Mesir ini sudah banyak dikaji kalangan akademis. Sekurangnya ada dua tesis master yang mengkaji pemikiran dan pandangan-pandangan teoretisnya,59 di samping buku-buku dan artikel dalam bahasa nonArab lainnya.60

Hassan Hanafi sangat sistematis dalam membahas dan mendiskusikan proyek yang dibinanya, dengan tidak ragu-ragu ia mengklaim proyeknya sebagai proyek peradaban (masyru 'nahdlawi) umat Islam. Seperti yang dielaborasi dalam sebuah tulisannya, Mawqifuna al-Hadlari, ia membagi tiga sikap seorang (Arab Muslim) modern; pertama, sikap terhadap masa lalu, yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan lama. Kedua, sikap terhadap Barat, dan ketiga, sikap terhadap realitas dan kondisi Muslim kontemporer. Setiap dari ketiga sikap itu dielaborasi oleh Hanafi dalam masing-masing tulisan dan buku yang berbeda. Untuk pengantar umum proyeknya, ia menulis Al-Turats wa al-Tajdid;61 untuk sikap yang pertama ia menulis Min al-Aqidah ila al-Tsawrah;62 untuk sikap terhadap Barat, ia menulis karya tebal Muqaddimah fi 'Ilm al-Istighrab;63 dan untuk sikap terhadap realitas, tesis dan disertasi doktoralnya telah ia jadikan sebagai referensi utama, l'exegese de la phenomenologie, l'etat actuel de la methode phenomenologique et son application au phenomene religieux,64 dan la phenomenologie de l'exegese, essei d'une hermeneutique existentielle a partir du nouveau Testament.65

Hanafi mengklaim dirinya sebagai penerus ide rekonstruksi Muhammad Iqbal --filsuf asal Pakistan, model reformasi 'Abduh, dan konsep revolusi al-Afghani dan Syari'ati. Bagi Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali (i'adah buniyat min jadid) warisan Arab-Islam dengan melihat kepada spirit modernitas dan kebutuhan Muslim kontemporer. Teologi yang dianggap Hanafi sebagai ilmu yang paling fundamental dalam tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan ide neo-kalam (ilmu kalam baru). Apa yang dimaksudnya dengan ilmu tersebut bukan hanya ideologi doktrinal sebagaimana yang pernah dipahami oleh al-Asy'ari, Baqillani dan al-Ghazali. Tetapi ilmu itu lebih merupakan ideologi revolusi atau revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum Muslim Modern untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter.66 Dalam bentuk yang beragam, Hanafi selalu mengaitkan teologi ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan teologi pembebasan ala Amerika Latin. Pandangan rekonstruktif Hanafi lainnya adalah tentang Sufisme atau tasawuf. Dalam banyak tulisannya, ia mengajak kita untuk melihat kembali konsep tasawuf yang ada. Menurutnya, pengertian tasawuf yang ada sudah tidak relevan lagi untuk konteks sekarang. Tasawuf klasik penuh dengan nilai-nilai negatif-pasif dan atribusi kelemahan, karena ia dibentuk dari reaksi oleh sebagian orang yang tidak puas kepada penguasa Muslim saat itu. Para Sufi dahulu adalah orang yang melarikan dan menghindar diri dari keramaian dan kemewahan hidup, singkatnya, mereka menjadi zuhud. Karena itulah kemudian tasawuf melahirkan nilai-nilai negatif (pasif) dalam beberapa praktek dan sikap hidupnya, seperti berpuas diri (ridla), penyerahan diri (tawakkal), penahanan diri (shabr) dan rendah hati (wara'). Atribut-atribut pasif ini, menurut Hanafi harus diubah dan harus disesuaikan dengan kondisi Muslim sekarang. Kaum Muslim kontemporer terus tertekan oleh penguasa dan hegemoni model kapitalisme. Karenanya, nilai-nilai pasif itu harus diganti dengan spirit yang lebih positif, seperti revolusi (tsawrah), penolakan (rafdl), kemarahan (ghadlab) dan oposisi (mu'aradlah).

Untuk sikap terhadap Barat, Hanafi telah menciptakan ilmu baru: oksidentalisme. Dengan oksidentalisme, ia ingin menciptakan pendekatan baru terhadap kajian dan studi Barat dan kebaratan. Seperti yang ditulisnya, oksidentalisme bertujuan:

...membunuh Eurosentrisme dan mengembalikan budaya Barat kepada batasannya yang normal. Sejak era kolonialisme dan kemudian dilanjutkan oleh kekuatan dan penguasaan agen-agen berita di dunia internasional, budaya Barat telah merebak ke setiap pelosok negeri-negeri non-Barat. jadi, signifikansi oksidentalisme, sekali lagi, adalah untuk menghapuskan mitos budaya universal yang dicetuskan Barat.67

Oksidentalisme untuk Hanafi adalah alternatif untuk kaum Muslim modern dalam memandang Barat dengan perspektif baru. Kalau selama ini, umat Islam telah menjadi obyek kajian lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, sudah seharusnya kini umat Islam membangun ilmu dengan berlandaskan epistemologi baru lewat diskursus oksidentalisme.

Kelompok kedua yang berafiliasi kepada tipologi reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai metode pendekatan dekonstruktif. Para pemikir dekonstruksionis Arab kebanyakan datang dari daerah Maghribi (Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Tampaknya unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap literatur berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa lainnya. Keterikatan intelektual para pemikir Arab Maghribi dengan Perancis bukan hanya sebatas bahasanya, mereka juga terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post) strukturalisme. Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang concern terhadap keislaman dan kearaban adalah penganut paham strukturalisme; itu karena problem yang mereka hadapi kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks maupun realitas. Dan menurut mereka, metode yang paling modern dan paling ampuh untuk membaca tradisi (turats) adalah dekonstruksi.

Berikut, kita akan melihat dua figur utama dalam kelompok ini; pertama, Mohammed Arkoun, pemikir kelahiran al-Jazair yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Perancis. Kedua, Mohammed Abid Jabiri, pemikir dari Maroko yang cukup produktif dalam menuliskan masalah-masalah yang menyangkut pemikiran Arab-Islam.

Ada titik kesamaan antara Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri, bukan hanya karena keduanya berasal dari daerah Arab Maghribi. Lebih dari itu, Arkoun dan Jabiri memiliki kecenderungan intelektualisme yang sama, yaitu, kedua-duanya melihat perlunya metode kritik untuk membaca sejarah-sejarah pemikiran Arab-Islam. Pada tahun 1984, dengan tidak disengaja dan di luar perencanaan, kedua-duanya menerbitkan buku kritis: Arkoun menerbitkan Pour une critique de la reason Islamique (Kritik nalar Islam) dalam bahasa Perancis, dan Jabiri menerbitkan Naqd al-Aql al-Arabi (Kritik nalar Arab) dalam bahasa Arab. Kedua-duanya memfokuskan pada problem yang sama; bacaan terhadap tradisi Arab-Islam. Tesis Mohammed Arkoun --seperti juga tesis Jabiri yang akan kita lihat kemudian-- berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan masalah interpretasi (hermeneutis). Karena pertimbangan inilah mungkin judul buku Mohammed Arkoun tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Tarikhiyah al-Fikr al-Arabi al-Islami (Historisisme pemikiran Arab-Islam). Dengan historisisme, Arkoun bermaksud hendak melihat seluruh fenomena sosial-budaya lewat perspektif historis, bahwa masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Carian historis harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Ini artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Jika metode ini diaplikasikan ke atas teks-teks agama, apa yang dibutuhkan, menurut Arkoun, adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.68

Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah salah satu formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh pemikir-pemikir (post) strukturalis Perancis. Referensi utamanya adalah De Saussure (linguistic), Levi Strauss (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi) dan Derrida (grammatologi). Semua unsur tersebut diramunya sedemikian rupa menjadi "kritik nalar Islam". Studinya atas teks-teks klasik adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi di sana. Dengan kata lain, untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus ada dekonstruksi (teks). Arkoun tidak hanya berhenti pada teks-teks klasik peninggalan ilmuwan-ilmuwan dan sarjana-sarjana Muslim. Lebih dari itu, teks-teks suci juga tidak lepas dari bacaannya.

Bagaimana Arkoun melihat tradisi atau turats? Secara umum, Arkoun membedakan antara dua bentuk tradisi. Dalam karya-karya yang ditulisnya dalam bahasa Perancis, ia secara bersamaan menggunakan dua kata "tradition" dan turats, dan membagi keduanya kepada dua jenis: pertama, Tradisi atau Turats dengan T besar, yaitu tradisi yang transenden yang selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal, yang datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis. Tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut.69 Tradisi Jenis kedua ditulis dengan T kecil (tradition/turats). Tradisi ini dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci.70 Antara dua jenis tradisi ini, Arkoun mengesampingkan jenis yang pertama, karena menurutnya, tradisi tersebut berada di luar pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Dengan begitu, target dan objek kajian yang akan dilakukannya adalah turats jenis yang kedua; turats yang dibentuk oleh kondisi sejarah (kondisi ruang-waktu).

Membaca turats adalah membaca teks, seluruh jenis teks. Karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, ia pun harus dibaca lewat kerangka sejarah, inilah historisisme itu. Menurut Arkoun, salah satu tujuan membaca teks, teks suci khususnya, adalah untuk mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi. Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut harus selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala keadaan, inilah salah satu inti pesan ajaran Islam itu; al-Islam yashluh li kulli zaman wa makan. Dari sini, apa yang sedang diusahakan Arkoun, seperti para reformer lainnya, adalah pengharmonisasian tradisi dengan modernitas lewat metode terbaru.

Sejalan dengan M. Arkoun, Mohammed Abid Jabiri menganggap penting kajian historisisrne, dan lebih jauh lagi menekankan keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan yang lebih cocok untuk modernitas. Usaha pengemasannya ini telah diformulasikan dalam tiga jilid karya monumentalnya, yang ia namakan "Proyek Kritik Akal Arab" (Masyru 'Naqd Aql al-'Arabi). Proyek ilmiah tersebut banyak mendapat sambutan dari kalangan akademis Arab kontemporer. Jurnal ilmiah berbahasa Arab Al-Mustaqbal al-'Arabi menganggap karya Jabiri tersebut sebagai Perestroika dan Glasnost-nya Arab, karena keberaniannya dalam membongkar struktur epistemologi Arab (juga Islam) yang sudah mapan. Jabiri berangkat dari pertanyaan metodologis "Bagaimana Berinteraksi dengan Turats?"71 Untuk menjawab pertanyaannya itu, Jabiri merasa perlu mendefinisikan kembali makna turats. Menurutnya, turats adalah warisan masa lalu dalam sejarah satu bangsa berupa tingkah laku, etos kerja, pencapaian budaya dan karya-karya ilmiah. Di antara peninggalan klasik yang dirangkum dalam turats ini, menurut Jabiri, peninggalan ilmiahlah yang paling penting dan paling berpengaruh dalam menentukan budaya dan peradaban suatu bangsa. Selama warisan ilmiah menjadi unsur yang terpenting, dan warisan tersebut tertulis dalam bentuk teks, pertanyaan yang diajukan oleh Jabiri adalah, "bagaimana membaca teks-teks tersebut?" Menurut Jabiri, masalah tersebut pada akhirnya terbentur pada persoalan otoritas (sulthah), yaitu siapakah yang memiliki otoritas dalam menentukan bacaan; pembaca atau bacaan, kita atau turats? Di sini, jelas Jabiri, turats harus dilihat sebagai satu struktur mapan, yaitu "sebagai sistem dari hubungan-hubungan tetap dalam kerangka seluruh perubahan dan transformasi"72 Karenanya, tambah Jabiri, dalam dialektika pembaca dan bacaan dan soal siapa pemegang otoritas, ada tiga model bagaimana turats itu harus disikapi; pertama membaca turats dengan kerangka modernitas, kedua membaca turats dengan kerangka turats dan ketiga membaca modernitas dengan kerangka turats. Di antara tiga pillhan ini, Jabiri mengambil yang pertama, dengan alasan bahwa jika ini tidak cepat dipilihnya, maka otoritas akan berpindah kepada kedua dan ketiga, dan itu --terutama yang ketiga-- sangat berbahaya. Dengan kata lain, masalah otoritas ini bukan hanya sebatas turats membaca turats, tetapi yang lebih berbahaya, mengukur segala sesuatu termasuk modernitas dengan kerangka turats.73

Jabiri, lebih jauh lagi, memandang bahwa tawaran "tradisi" dengan "modernitas" bukan soal pilihan, bahwa dalam menghadapi keduanya kita harus mengambil sikap tegas. Dengan tegas ia mengkritik adanya pengklasifikasian intelektual sehubungan dengan masalah dikotomis "tradisi dan modernitas", yaitu klasifikasi kaum modernis, kaum tradisionalis dan kaum selektifis. Menurutnya, yang pertama, cenderung menafikan turats dan menerima bulat-bulat modernitas, yang kedua sebaliknya, dan ketiga mengklaim menyatukan keduanya dengan bersikap, lebih adil kepada turats dan modernitas. Bagi Jabiri, tradisi dan modernitas datang begitu saja di hadapan kita, tanpa ada kuasa kita untuk memilihnya. Keduanya datang dengan kekuatan diskursusnya masing-masing, sebagai tawaran ideals yang otoriter. Turats datang dari masa lalu lewat pewarisan turun temurun, tak seorang pun yang mampu menolak warisan dan masa lalu yang tumbuh bersama dalam dirinya. Begitu juga modernitas, ia datang dipaksakan tanpa bisa kita menolaknya. Kita tidak pernah diberi kebebasan untuk memilih salah satu keduanya atau meninggalkannya.74 Lalu bagaimana sikap kita? Menurut Jabiri, selama kita tidak pernah disuruh memilih (salah satu dari) keduanya, atau juga menolak keduanya, maka, yang diperlukan adalah bersikap kritis terhadap keduanya; kepada turats dan modernitas dengan seluruh makna kritik.

Di tengah-tengah kritisisme inilah Jabiri menerapkan metode dekonstruksinya. Buatnya, yang pertama sekali adalah dekonstruksi turats, selama turats tersebut dianggap yang paling lama melekat dan menyatu dalam akal Arab. Metode dekonstruksi yang dipakai Jabiri --sebagaimana diakuinya-- pada mulanya adalah penganalisaan. Maksudnya, tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang intelektual Arab adalah menganalisa struktur bangunan yang mapan dengan cara mempelajari hubungan antara elemen-clemen yang membuat dan menyatukan bangunan tersebut. Setelah analisa struktural ini baru diadakan perombakan atau pembongkaran atas struktur tersebut. Dari sini, usaha dekonstruksi dimaksudkan untuk mengubah yang tetap kepada perubahan, yang absolut kepada yang relatif, dan yang a-historis kepada historis.75

Baik Arkoun maupun Jabiri sama-sama berangkat dan memandang dari kerangka epistemologis yang sama. Keduanya menggunakan metode pendekatan dekonstruksi. Dan nalar Arab-Islam merupakan tema sentral pendekatan tersebut. Sayangnya, seperti yang banyak dikritik orang, proses dekonstruksi yang mereka tawarkan tidak memberikan alternatif apa-apa. Baik Arkoun maupun Jabiri berhenti pada perombakan struktur nalar, tanpa dilanjuti konstruksi baru sebagai tawaran perubahan.

Tampaknya, memang itulah tujuan akhir yang hendak dicapai Arkoun, Jabiri dan pemikir-pemikir lain dari kecenderungan dekonstruksionis. "Jangan memberikan sebuah struktur tertentu jika tidak ingin generasi selanjutnya merombak struktur yang Anda untuk itu". Demikian kira-kira ungkapan metode dekonstruksi itu. Tetapi Arkoun dan Jabiri tetap seperti Derrida dan penglkutpengikutnya di Perancis yang berhasil keluar dari tradisi strukturalisme tapi tidak pernah selamat dari)aring-jaring dekonstruksi yang dirajutnya. Dan mereka pun mati di sana.

(sebelum, sesudah)


Jurnal Pemikiran Islam PARAMADINA
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team