|
I. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (1/3)
oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
Sajian khusus nomor perdana jurnal ini
menurunkan dua artikel. Artikel pertama ditulis oleh Hans
Kung berjudul "Christianity and World Religions: The
Dialogue with Islam as One Model." Artikel
kedua ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr
berjudul "Response to Hans Kung's Paper on
Christian-Muslim Dialogue." Mulanya kedua tulisan
tersebut disampaikan pada pertemuan pertama Harvard
Divinity School's Jerome Hall Dialogue Series, yang
diadakan pada tanggal 16 0ktober 1984, yang kemudian
dimuat dalam The Muslim World Vol. LXXVII, No. 2 (April
1997), h. 80-105. Kedua artikel tersebut diterjemahkan
oleh Nanang Tahqiq. (Red.)
SETELAH penelitian sulit bertahun-tahun, panel World
Christian Encyclopaedia (Oxford, 1982) menghitung bahwa
pemeluk Buddha di dunia berjumlah 274 juta, yang hanya
sedikit bermukim di India. Pemeluk Hindu berjumlah lebih
dari dua kali lipat, yakni 583 juta. Tujuh ratus dua puluh
tiga juta Muslim merupakan kelompok terbesar kedua setelah
Kristen yang berjumlah 1400 juta. Ini mengungkapkan betapa
besar dan pentingnya agama Islam, berbeda dari agama-agama
mistis asal India, yang harus dilihat sebagai agama profetik
bersama Yahudi dan Kristen.
Islam kini berkembang menjadi lebih dekat kepada kita
ketimbang sebelumnya, dalam pengertian yang lebih luas
ketimbang pengertian murni geografi dan mobilitas. Terdapat
penambahan jumlah orang-orang Muslim yang berada di sekitar
kita secara besar-besaran, yang kita bawa ke negara-negara
kita karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Kita
menginginkan tenaga kerja dan akhirnya kita pun dipertemukan
dengan orang-orang yang seperti kita, yakni orang-orang yang
secara tajam mendefinisikan keimanan mereka seperti kita dan
kehadiran mereka menjadi tantangan bagi suatu lingkungan
Kristen yang tertutup.
Saya tidak akan membicarakan sejarah abad-abad silam yang
telah dihiasi konflik dan pengetahuan mengenai Kristen dan
Islam, juga tak akan membahas secara mendalam sebuah tema
tunggal seperti Islam dan sikap kembali kepada, atau
sekularisasi dalam Islam. Begitu pun saya tidak mau
mengangkat kebiasaan teror orang-orang Muslim fanatik di
Iran, yang telah meremukkan rasa simpati terhadap Islam yang
barangkali masih dimiliki oleh banyak orang di antara kita.
Dalam situasi sekarang, persisnya yang saya rasakan penting
sebagai seorang teolog untuk memilih masalah-masalah
teologis yang sukar dan mengajukan sebuah pertanyaan, yakni
pertanyaan lewat contoh ketimbang menyeluruh: Bagaimana umat
Kristen hari ini menanggapi klaim-klaim keimanan Muslim?
Dengan kata lain, saya akan memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang akan menolong kita untuk secara
penuh menguji pendirian ekumenis (bersifat mewakili umat
Kristen sedunia) kita, yang berubah terhadap agama-agama
dunia lain secara umum, dengan pandangan lebih luas dan
terbuka; pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membantu kita
membaca kembali sejarah pemikiran teologis dan keimanan kita
seperti yang diungkapkan dalam Islam.
Tak perduli dari pandangan teologis apapun kita memandang
klaim-klaim Islam, satu hal tampak pasti di mata saya:
terlepas dari Khomeini, tak akan ada lagi upaya untuk
kembali ke kebiadaban Islam abad-abad silam, atau kebal dari
citra buruk. Oleh karenanya sebagaimana dalam agama-agama
yang lain, Islam kini tidak dapat lagi disepelekan oleh
teologi Kristen, melainkan sudah harus dipertimbangkan baik
secara politis maupun teologis sebagai sebuah realitas satu
dunia, dimana kita hidup serta mewujudkan upaya-upaya
teologis kita.
Orang-orang Kristen masih menganggap Islam, untuk
sebagian besar, sebagai entitas yang kaku, sebagai sistem
agama yang tertutup ketimbang agama hidup yang secara ajek
berubah selama berabad-abad yang mengembangkan
keanekaragaman inti yang besar dan dianut oleh sekelompok
orang dengan spektrum yang luas dari sikap-sikap dan
perasaan-perasaan. Akhir-akhir ini tentunya telah harus ada
upaya berangsur-angsur untuk memahami dari dalam mengapa
orang Muslim melihat Tuhan dan dunia, pengabdian kepada
Tuhan dan kepada masyarakat, politik, hukum dan seni dengan
pandangan berbeda, mengapa ia mengalami hal-hal itu semua
dengan perasaan-perasaan yang berbeda dengan
perasaan-perasaan orang-orang Kristen. Dengan memperhatikan
Persia dewasa ini di benak, kita pertama-tama harus
menangkap fakta bahwa malah sekarang agama Islam bukan
sekadar "cabang lain" dalam kehidupan seorang Muslim,
"cabang" yang telah mensekularkan masyarakat sebagaimana
yang terjadi di dalam "faktor keagamaan" atau "sektor
keagamaan" bersama-sama dengan "faktor-faktor kultural" atau
"sektor-sektor kultural" yang lain. Kehidupan dan agama,
agama dan budaya adalah saling terjalin secara dinamis.
Islam berusaha menampilkan diri sebagai pandangan hidup yang
serba mencakup, perspektif yang menyeluruh tentang
kehidupan, dan cara yang menentukan seluruh kehidupan --dan
jalan menuju kehidupan kekal di tengah-tengah mortalitas:
sebuah jalan keselamatan. Keselamatan? Apa yang dapat
dikatakan seorang teolog Kristen untuk klaim ini?
A. Islam - Sebuah Jalan
Keselamatan?
Saya mengajukan pertanyaan ini dengan mempertimbangkan
setidaknya sikap mendua dari World Council of Churches
(Dewan Gereja-Gereja Sedunia) yang, disebabkan oleh konflik
pandangan di antara anggota-anggota gereja sendiri, memilih,
bahkan hingga akhir 1977-1979 di
"Guidelines for Dialogue with People
of Different Religions and Ideologies"
(Petunjuk-Petunjuk untuk Dialog dengan umat yang Berbeda
Agama dan Ideologi) untuk tidak menjawab pertanyaan apakah
ada keselamatan di luar gereja-gereja Kristen, sebuah
pertanyaan yang tak diragukan lagi sangat penting
akhir-akhir ini.
Posisi Katolik tradisional, seperti dipersiapkan di
abad-abad awal gereja Kristen oleh Origen, Cyprianus dan
Augustinus, terkenal secara umum: extra ecclesiam nulla
salus! (Tak ada keselamatan di luar Gereja). Maka untuk masa
depan juga: extra ecclesiam nullus propheta! (Tak ada nabi
di luar Gereja). Konsili Florensa pada 1442 mendefinisikan
hal ini dengan sangat jelas:
Gereja Suci Roma ... tegas-tegas meyakini,
bersaksi dan menyatakan bahwa tak seorang pun di luar
gereja Katolik, baik orang kafir atau Yahudi atau orang
yang tidak beriman, tidak juga orang yang terpisah dari
Gereja, akan ikut bersama-sama dalam kehidupan yang
kekal, tetapi akan binasa di dalam api kekal yang
disediakan untuk setan dan antek-antek-anteknya, jika
orang tersebut tidak bergabung dengannya [gereja
Katolik] sebelum mati.1
Bukankah hal tersebut, sekurang-kurangnya bagi
orang-orang Katolik, tidak mengukuhkan klaim Islam? Dan
tampaknya hal ini telah berjalan selama lebih dari 1200
tahun.
Adalah benar bahwa suatu teologi Katolik dekade-dekade
belakangan ini telah mencoba untuk memperoleh "pemahaman
baru" terhadap "dogma tambahan" yang tidak kompromistis
tadi. Untuk sebagian besar hal itu berarti mengubah
interpretasi yang selama ini dipegang teguh, malah pun
menghasilkan sesuatu yang bertolak belakang. Walau begitu
dogma tersebut, karena kekebalannya dari kesalahan, tetap
tak mungkin dikoreksi. Akan tetapi pada abad ke- 17, Roma
telah didesak oleh kaum Jansenis ekstrim guna membuang
pernyataan extra ecclesiam nulla gratia (Tak ada rahmat di
luar Gereja).2
Jika akhirnya ada rahmat charis, karisma yang bisa didapat
di luar Gereja, tidakkah bisa disana juga ada kenabian,
secara jelas salah satu charismata (anugerah spiritual) di
luar Gereja?
Sekarang ini, betapapun juga, posisi Katolik tradisional
tidak lagi menjadi posisi Katolik resmi. Sejak awal 1952
jemaat Roma secara bertolak-belakang dengan mengucilkan
pendeta mahasiswa Harvard, P.L. Feeney, yang menurut para
bapak gereja dan Konsili Florensa, mempertahankan bahwa
semua orang di luar gereja Katolik adalah terkutuk.
Sementara Konsili Vatikan Kedua menyatakan secara gamblang
dalam undang-undang yang berkaitan dengan Gereja bahwa:
mereka yang, bukan dikarenakan kesalahan mereka sendiri,
tidak mengetahui Injil Kristus atau Gerejanya, namun mereka
mencari Tuhan dengan hati yang jujur dan, digerakkan oleh
rahmat, berusaha dalam tindakan-tindakan mereka melaksanakan
kehendak-Nya sebagaimana mereka mengetahui hal itu melalui
bisikan kesadaran mereka sendiri-maka mereka pun akan
memperoleh keselamatan yang kekal (Art 16).
Maksud sebenarnya dari pernyataan di atas ditujukan
kepada mereka yang, lantaran latar belakang mereka sendiri,
memiliki kesamaan keyakinan dengan orang-orang Yahudi dan
orang-orang Kristen dalam keesaan Tuhan dan dalam
melaksanakan kehendak-Nya: orang-orang Muslim. "Tetapi
rencana keselamatan juga berlaku bagi mereka yang mengakui
Pencipta, yang utama dalam hal ini di sini adalah
orang-orang Muslim: orang-orang yang bersiteguh mengikuti
keimanan Ibrahim, dan bersama-sama kita mereka menghormati
Tuhan Yang Esa, Tuhan yang Pengasih, hakim manusia di hari
akhir" (Art 16). Oleh sebab itu, menurut Vatikan Kedua,
bahkan orang-orang Muslim tidak perlu "binasa dalam api
kekal yang dipersiapkan untuk setan dan antek-anteknya;"
mereka pun bisa "memperoleh keselamatan yang kekal." Ini
berarti bahwa Islam juga dapat menjadi jalan keselamatan:
mungkin bukan jalan sebagaimana biasanya, jalan yang
"biasa," tapi barangkali jalan yang secara historis
pengecualian atau jalan "luar biasa."
Teologi Katolik kontemporer ternyata membedakan antara
jalan keselamatan yang "biasa" (yaitu jalan Kristen) dan
yang "luar biasa" (yakni jalan non-Kristen). Bukankah ini
berarti, sebagai sesuatu yang mungkin, bahwa sangatlah
mungkin membedakan antara nabi-nabi yang "biasa" (nabi-nabi
Kristen) dari nabi-nabi yang "luar biasa." Selama
berabad-abad Muhammad dianggap sebagai seorang nabi
gadungan, nabi palsu, dukun, tukang sihir, pemalsu, dan yang
agak mendingan, penyair Arab. Tidakkah seharusnya kita
berpikir sebaliknya, bahwa ia adalah seorang nabi asli,
bahkan seorang nabi yang sebenarnya? Tetapi kemudian, apakah
Muhammad benar-benar seorang nabi asli, sungguh-sungguh
seorang nabi yang sebenarnya?
Saya tidak dapat menerangkan sejarah yang umum dikenal
tentang Muhammad, yang sangat berbeda dengan sejarah Yesus:
Muhammad ini, putra seorang saudagar, adalah yang diminta
seorang janda kaya untuk menikahi janda tersebut, dan
Muhammad bertemu janda itu saat bekerja; nabi Arab ini
menyampaikan pesan Tuhan Yang Esa serta keadilan-Nya, yang
berbeda dengan kenyataan yang politeistik saat itu di
Makkah, kemudian ia hijrah ke Madinah, sekitar 350
kilometer, tetapi pada akhirnya ia berhasil di segala hal
yang ia lakukan; dialah yang menaklukkan Makkah dan
mempersatukan jazirah Arab di bawah kekuasaannya --sehingga
ia adalah nabi sekaligus politisi, panglima perang sekaligus
negarawan. Dari sudut-pandang teologi Kristen, hanya satu
pertanyaan yang relevan: Apakah ia benar-benar seorang
Nabi)
B. Muhammad - Seorang Nabi?
Tentu saja banyak agama tak mempunyai nabi-nabi dalam
pengertian yang paling ketat. Orang-orang Hindu memiliki
guru-guru dan sadhu-sadhu, orang-orang Cina mempunyai
orang-orang bijak (Inggris: sages), orang-orang Buddha
mempunyai guru-guru (Inggris: masters), tetapi tak satu pun
dari para penganut agama-agama tersebut, seperti orang-orang
Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim mempunyai
nabi-nabi. Tak dapat diragukan bahwa bila seseorang di dalam
seluruh sejarah keagamaan disebut sang Nabi, karena ia
memang mengatakan dirinya sebagai nabi, begitu juga yang
terjadi pada Muhammad. Dan apakah Muhammad memang begitu?
Malah orang Kristen yang beriman, jika ia berkesempatan
menyelidiki keadaaan tersebut, tidak dapat untuk tidak
menyetujui bahwa:
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tidak bekerja
melalui kekuatan sebuah jabatan yang diberikan kepadanya
oleh masyarakat (atau para penguasanya), melainkan
melalui hubungan pribadi yang khusus dengan Tuhan.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seseorang
yang mempunyai keinginan kuat, yang merasakan dirinya
dipenuhi oleh seruan ketuhanan yang sepenuhnya ditujukan,
secara eksklusif ditentukan, untuk sebuah tugas.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara tentang
jantung krisis agama dan sosial, dan dengan kesalehan
yang penuh gairah serta seruan revolusioner ia menentang
kelompok penguasa kaya dan tradisi yang dipegang
teguh.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad, yang senantiasa
menyebut diri sebagai Pengingat, berusaha menunjukkan
diri sebagai bukan apa-apa selain jurubicara Tuhan dan
tidak mengatakan apa-apa selain kata-kata Tuhan.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad tak letih-letih
menyatakan Tuhan Yang Esa yang tidak mentoleransi
tuhan-tuhan selain diri-Nya, Pencipta yang baik dan Hakim
yang Penyayang.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad juga menghajatkan,
sebagai responsi pada Tuhan yang Satu ini, kepatuhan,
penyerahan diri, ketaatan tanpa syarat, yang merupakan
arti literal dari kata Islam: segala sesuatu yang
meliputi syukur pada Tuhan dan kemurahan hati kepada
orang-orang lain.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menggabungkan
monoteisme dengan humanisme, percaya kepada satu Tuhan
dan pengadilan-Nya dengan seruan kepada keadilan sosial:
maka pengadilan dipadukan dengan keselamatan, dan ancaman
bagi yang tidak adil, yang akan masuk neraka, dengan
janji-janji bagi orang-orang yang adil, yang diletakkan
di surga-Nya.
Siapa pun yang membaca Bibel --sekurangnya Perjanjian
Lama-- dan al-Qur'an secara bersamaan akan digiring untuk
merenungkan tentang apakah ketiga agama wahyu dari asal
Semitik --Yahudi, Kristen dan Islam, dan khususnya
Perjanjian Lama dan al-Qur'an-- memiliki dasar yang sama.
Bukankah Tuhan yang satu dan Tuhan yang itu-itu juga yang
berbicara secara gamblang di dalam kedua kitab tersebut?
Tidakkah selaras antara "Maka Tuhan pun berkata" dalam
Perjanjian Lama dengan "Berfirman" dalam al-Qur'an, dan
antara pernyataan Perjanjian Lama "Pergi dan nyatakan"
dengan pernyataan al-Qur'an "Bangunlah dan peringatkan."
Bahkan kenyataan membuktikan bahwa jutaan orang Kristen yang
berbicara bahasa Arab tidak memiliki kata lain untuk Tuhan
selain "Allah".
Karena itu, apakah mungkin prasangka yang murni dogmatik
mengakui Amos dan Hosea, Isajah dan Jeremiah sebagai
nabi-nabi, tetapi tidak mengakui Muhammad? Apa pun yang
dituduhkan seseorang terhadap Muhammad dari sudut pandang
moralitas Kristen Barat (kekerasan dengan senjata, poligami,
gaya hidup penuh nafsu), tidak dapat diperselisihkan:
- bahwa sekarang bahkan terdapat 800 juta orang di
daerah yang membentang antara Maroko di barat dan
Bangladesh di timur, dari hamparan padang rumput Asia
Tengah di utara hingga dunia kepulauan Indonesia di
selatan, yang direkatkan oleh kekuatan luar biasa dari
sebuah keimanan yang, tidak seperti keimanan lain,
membentuk orang-orang yang mengakuinya ke dalam sebuah
tipe yang universal;
- bahwa mereka itu diikat oleh sebuah pengakuan
keimanan yang sederhana (tak ada tuhan selain Tuhan, dan
Muhammad adalah utusan-Nya), diikat oleh lima kewajiban
dasar (pengakuan keimanan, shalat, zakat untuk orang
miskin, puasa satu bulan, haji); dan diikat oleh
penyerahan total pada kehendak Tuhan, yang keputusan-Nya
tidak berubah, bahkan bila menderitakan pun, harus
diterima;
- bahwa pada mereka itu terdapat rasa persamaan
fundamental manusia di hadapan Tuhan dan rasa
persaudaraan internasional yang secara dasariah mampu
mengatasi persoalan ras (orang-orang Arab dan orang-orang
non-Arab) dan malah kasta-kasta di India.
Saya yakin bahwa meskipun ada kekhawatiran baru terhadap
Islam, terdapat juga keyakinan yang meningkat di antara
orang-orang Kristen bahwa, sesuai dengan kenyataan Muhammad
dalam sejarah, kita tidak dapat melarikan diri dari sebuah
koreksi sudut-pandang. "Momok eksklusifitas" yang muncul
dari ketidaksabaran dogmatik, yang kerap dikutuk oleh
sejarawan universal Inggris Arnold Toynbee, harus
disingkirkan. Adapun menyangkut tokoh Nabi Muhammad, harus
diakui:
- bahwa masyarakat Arab di abad ke-7 mendengar dan
mengikuti seruan Muhammad;
- bahwa dalam perbandingan dengan politeisme yang
sangat duniawi dari agama-agama kesukuan Arab lama, agama
rakyat telah dinaikkan ke tingkat yang sepenuhnya baru,
tingkat suatu agama tinggi yang monoteistik;
- bahwa orang-orang Muslim menerima dari Muhammad
--atau, secara lebih baik, dari al-Qur'an-- inspirasi,
keberanian dan kekuatan yang tak ada habis-habisnya untuk
permulaan agama baru: sebuah permulaan menuju kebenaran
lebih besar dan pemahaman lebih dalam, menuju sebuah
terobosan kebangkitan kembali serta pembaruan agama
tradisional. Islam adalah pengilham besar bagi
kehidupan.
Sesungguhnya Muhammad dulu dan kini adalah untuk
masyarakat dunia Arab dan bahkan lebih jauh adalah sang
pembaru agama, pembentuk hukum dan pemimpin: sang Nabi, per
se. Secara dasariah, Muhammad, yang tidak pernah
menginginkan menjadi apa pun selain manusia biasa, bagi
orang-orang yang mengikutinya (imitatio Mohahmetis) lebih
dari sekadar seorang nabi bagi kita: ia adalah contoh dalam
gaya hidup yang diajarkan Islam. Dan jika gereja Katolik,
menurut deklarasi yang berhubungan dengan agama-agama
non-Kristen versi Vatikan Kedua (1964) (saya harap anda
mengizinkan saya untuk tidak hanya menggunakan
kutipan-kutipan ritual), memandang "orang-orang Muslim
dengan penuh hormat, menyembah hanya pada satu Tuhan... yang
telah berbicara kepada manusia", maka gereja tersebut, hemat
saya, harus juga menghormati --terlepas dari rasa malu--
seseorang yang namanya tidak tercantum dalam deklarasi tadi,
yang justru orang itulah yang membawa orang-orang Muslim
menyembah Tuhan yang satu ini, maka sekali lagi, justru
lewat dia, Muhammad, Sang Nabi, Tuhan ini "telah berbicara
kepada manusia". Tetapi bukankah pengakuan seperti itu
mempunyai konsekuensi-konsekuensi suram dan menggelisahkan,
khususnya karena pesan yang diproklamirkan oleh Muhammad dan
tertera dalam al-Qur'an)
Catatan kaki:
1 Henricus Denzinger (ed.
Adolfus Schonmetzer), Enchiridion symbolorum, Editio XXXIV
(Freiburg: Verlag Herder KG, 1965), 714 (hal. 342).
2 Denzinger, op.cit.
(1295, 1379).
|