|
II. Dialog Kristen-Islam
Suatu Tanggapan Terhadap Hans Kung
oleh Seyyed Hossein Nasr
George Washington University, Washington D.C.
SUNGGUH merupakan kebahagiaan bagi saya untuk dapat
menanggapi makalah Professor Hans Kung tentang
hubungan-hubungan Islam Kristen. Sudah barang tentu sangat
terlambat sekali di masa sejarah manusia ini semata-mata
mengabaikan penyajiannya yang sarat dengan kata-kata basi
dan diplomasi ini. Saya ingin, oleh karenanya, mencermati
isu-isu penting sekali yang telah dikemukakan dengan penuh
kesadaran pada kesulitan-kesulitan yang ada di wilayah ini
dan dengan keberanian yang dibutuhkan untuk secara langsung
mengkonfrontasikan halangan-halangan yang ada dan yang telah
digarisbawahi Kung. Betapapun juga, ada perbedaan-perbedaan
amat penting yang terdapat di dalam interpretasi Islam
tentang beberapa hal ini. Hans Kung telah memulai pagi hari
ini dengan suatu silogisme Aristotelian, bahwa tidak mungkin
ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama, bahwa
kedamaian tidak mungkin ada tanpa dialog, dan bahwa dialog
tidak mungkin ada tanpa pemahaman. Dan karena itu, saya akan
mulai catatan-catatan saya dengan mengupas hal ini.
Jika kedamaian merupakan tujuan dialog keagamaan --sebuah
tesis yang tentu saja dapat diperdebatkan karena kebenaran
datang sebelum kedamaian dan kedamaian mengikuti kebenaran--
maka kita harus membicarakan Islam apa adanya, sebagaimana
yang diterima oleh hampir satu milyar pemeluknya, bukan
sebagaimana yang kita maui agar kita meneruskan dialog
dengannya.
Saya menempatkan diri saya pada posisi ini hari ini
sebagaimana saya selalu dan berbicara dari perspektif Islam
tradisional. Seluruh pertanyaan yang akan saya jawab, yakni
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan al-Qur'an,
tabiat Nabi Muhammad dan sebagainya, akan dijawab dengan
cara seperti itu yang merupakan tanggapan-tanggapan saya
yang telah disampaikan di Lahore, Kairo, Marakesy, atau
beberapa tempat lain di dunia Muslim. Jawaban-jawaban
tersebut cukup menarik perhatian orang-orang terpelajar di
kota-kota tersebut dan kebanyakan mereka membela
posisi-posisi yang ditawarkan di dalam tanggapan-tanggapan
ini.
Tidak diragukan bahwa Kung telah mengambil sebuah langkah
menuju pemahaman tentang Islam. Langkah Kung ini jauh dari
posisi yang menunjukkan sikap-sikap Katolik dan sebagian
besar Protestan terhadap Islam sejak John dari Segovia dan
Nicholas Cusanus, kardinal-kardinal besar abad kelima belas,
yang dibalas (dijawab) dengan kekecewaan menyusul Konsili
Florensa. Sikap itu tidak lain dari semacam diplomasi yang
santun vis-a-vis (berhadapan dengan) Islam, sebuah sikap
yang terus dijalankan selama hampir lima ratus tahun, dan
meski menghasilkan persahabatan-persahabatan, toh tidak
pernah memecahkan problema-problema teologis mendalam yang
diciptakan oleh pertemuan Kristen dan Islam. Saya teringat
bahwa persis sembilan tahun lalu di musim gugur yang indah,
saya berbahagia sekali memimpin sekelompok teolog Muslim ke
Roma untuk sebuah dialog Kristen-Islam. Kami bahkan saat itu
dibawa ke Assisi. Saya diperkenankan menunaikan shalat
zhuhur dengan dua orang lain di tempat St. Francis yang
agung itu memperoleh stigmata (tanda yang ditorehkan dengan
paku ke badan orang-orang suci-pen.). Itu adalah tindakan
yang luar biasa dari tuan rumah kami, tetapi tetap tidak
memecahkan masalah-masalah teologis Kristen-Islam. Dan
masalah-masalah yang tidak terpecahkan itu adalah
masalah-masalah yang sebenarnya disinggung Kung sekarang
ini.
Perkenankan saya memulai, pertama-pertama, dengan
menyatakan bahwa sebagai seorang Muslim saya senang Kung
telah menampilkan Islam dengan serius secara teologis.
Tetapi dengan mengemukakan fakta ini tentang perhatiannya
terhadap realitas Islam, saya memiliki beberapa kritik
terhadap upayanya yang sejak awal mendefinisikan Islam
sebagai "suatu unsur yang terus menerus berubah sepanjang
abad." Adalah sangat penting untuk tidak menyamakan
pengertian dewasa ini tenting perubahan menurut orang-orang
Kristen dalam tradisi mereka sendiri dengan cara orang-orang
Muslim membayangkan Islam yang sesungguhnya, tidak jadi soal
bagaimana para sarjana Barat modern memandang sejarah
Islam.
Apa yang dibayangkan kesarjanaan Barat mengenai dunia
Islam yang sesungguhnya tidaklah sepenuhnya sama dengan
konsepsi orang-orang Muslim sendiri tentang tradisi mereka
dan perkembangan historisnya, dan karena itu demikian pula
dengan apa yang menjadi landasan penting untuk sebuah dialog
yang berhasil. Bagi Islam, bukti kuat adalah bukti
kepermanenan, yang meliputi realitas pusat Islam. Ka'bah
masih tetap Ka'bah, haji adalah apa yang ditunaikan Nabi
Muhammad, salat lima kali sehari ya seperti yang dilakukan
Sang Nabi, dan syari'ah sebagaimana dikodifikasi atas dasar
al-Qur'an dan Sunnah Nabi masih menentukan realitas
kehidupan keagamaan orang-orang Muslim. Malah
rincian-rincian lebih kecil tentang kehidupan sehari-hari
yang diatur oleh Hukum Suci, yang lebih sentral daripada
formulasi-formulasi teologis dalam Islam, tetap ada untuk
sebagian besar sepanjang zaman. Saya tidak ingin menyatakan
bahwa ada suatu Islam monolitik; tesis yang selalu saya
tentang. Semakin banyak kita mempelajari
interpretasi-interpretasi dan madzhab-madzhab yang aneka
ragam semakin baik, sehingga setidaknya kita tidak akan
melakukan lagi kesalahan seorang mahasiswa tingkat sarjana
dari Sekolah Tinggi Teologi ini lima tahun lalu, yang
terbang ke Teheran tiap dua pekan dan kembali dengan
"pengetahuan yang mendalam" mengenai Syi'ah dan kesatuan
Islam revivalis. Saya tidak mengatakan bahwa ada sebuah
Islam monolitik, melainkan apa yang ingin saya katakan
adalah bahwa ide kepermanenan dalam Islam merembes ke
seantero kesadaran Islam tentang dirinya sendiri, meskipun
terdapat keanekaan interpretasi. Inilah yang harus dihadapi
setiap orang dan bukan semata-mata mengharap agar
orang-orang Muslim secara berangsur-angsur akan memperoleh
sebuah konsep historis atau historistik tenting perkembangan
teologia dan keagamaan mereka sendiri dari sudut pandang
Barat modern supaya memungkinkan dialog. Kalaulah hal
seperti ini yang dilakukan, maka sama dengan membiarkan
dialog mati sejak permulaan karena kesalahan.
Saya gembira Kung menegaskan bahwa Islam adalah sebuah
cara hidup yang total. Pernyataan ini lagi-lagi sudah
terlalu terlambat untuk diulang-ulang dan pada dasarnya
merupakan semacam tautologi [penambahan kata-kata tetapi
tak memberi arti yang baru, alias pengulangan saja] yang
kosong bagi banyak orang Muslim. Bahkan orang-orang yang
tidak begitu taat dan tidak tahu tradisi mereka sendiri
dengan baik mempertegas pernyataan tersebut yang fundamental
bagi pemahaman tentang Islam. Kritik Kung terhadap extra
ecclesiam nulla salus [tak ada keselamatan di luar
Gereja], yang kini menjadi perdebatan sejumlah teolog
Kristen, sangat penting, tetapi manakala ia memasuki
persoalan jalan-jalan keselamatan yang biasa dan luar biasa
kita pun tenggelam di dalam air yang sangat dalam. Saya
pikir bahwa sejak Jacques Maritain, salah seorang pemikir
Katolik yang lebih kontemporer, mulai berusaha menerima
Islam dan agama-agama non-Kristen lain "dengan serius"
dengan menyebutkan mistisisme natural dan super-natural
(mystique naturelle et mystique supernaturelle) dan juga
mengenai keselamatan biasa dan luar biasa, sebuah jenis baru
"diplomasi" yang mungkin cocok bagi orang-orang yang
disibukkan dengan urusan-urusan luar tetapi bukan bagi para
teolog bergerak pelan-pelan kepada diskusi-diskusi ekumenis.
Saya pikir kita harus menyingkirkan jenis "diplomasi"
sopan-santun ini yang sebenarnya justru mengelak dari
isu-isu dasariah tentang kebenaran dan kepalsuan jika memang
ada perjalanan menuju suatu dialog serius. Baik lelaki
maupun perempuan diselamatkan Tuhan dan itu adalah luar
biasa --dalam semua hal menjadi manusia sebenarnya adalah
luar biasa-- atau mereka tidak diselamatkan sama sekali.
Islam, sudah barang tentu, menolak dalam suatu bentuk
kategoris perlawanan antara cara-cara keselamatan biasa dan
luar biasa.
Untungnya, Hans Kung mempunyai keberanian untuk
mengajukan persoalan kepribadian Nabi Muhammad. Apa yang
dalam jantung kesalahpahaman Islam-Kristen bukan hanya
doktrin-doktrin, yang secara teologis dan metafisis, dapat
diperhatikan, adalah warisan kebencian ribuan tahun dari
orang-orang Kristen terhadap pendiri Islam ini. Seseorang
dari negeri yang sama dengan Kung, Enrico dari Meinz, yang
pada tahun 1142 menulis Vita Mahometi dalam bahasa Latin,
sebuah karya yang sudah dibaca di seluruh Eropa, menampilkan
semacam sikap polemis yang menyerang Nabi Muhammad, yang
dominan di Barat selama sembilan ratus tahun. Malah
sekarang, dengan segala kata-kata hambar dan
deklarasi-deklarasi diplomatik, dan bahkan isyarat-isyarat
kemanusiaan terhadap Islam, dan bahkan di dalam deklarasi
Vatikan 1962, Nabi Islam tetap saja selalu dipinggirkan,
sebagaimana telah ditegaskan oleh Kung tadi. Bagaimanapun
juga tidak ada kemungkinan bagi dialog jika kepribadian Nabi
Muhammad tidak dimengerti. Di bagian pertama esainya, Kung
rnembuka pintu, tetapi di bagian kedua ia menutupnya bagi
orang-orang Muslim.
Sebelum mengupas masalah tersebut, izinkan saya kembali
sejenak kepada al-Qur'an dan lalu kepada Nabi Muhammad. Kung
mengatakan bahwa al-Qur'an sama sekali tidak menentukan
lebih dahulu perkembangan Islam. Saya katakan bahwa
al-Qur'an menentukan lebih dahulu perkembangan Islam dalam
setiap arah. Yaitu bagaimana orang-orang Muslim selalu
mempertimbangkan realitas Firman Ilahi. Segala hal yang
timbul dari al-Qur'an dalam bentuk ulasan-ulasan, yang
barangkali dari titik pandang sarjana Barat modern muncul
menjadi tambahan-tambahan luar dan penambahan-penambahan
selanjutnya yang asing bagi nash yang diwahyukan, dilihat
dari titik pandang Islam sebagai yang tumbuh dari substansi
al-Qur'an itu sendiri, dari akar-akar wahyu al-Qur'an yang
daripadanya itu adalah suatu perluasan. Oleh sebab itu, jika
kita ingin memahami peran sentral al-Qur'an, maka penting
memahami bagaimana orang-orang Muslim melihat al-Qur'an
sebagai yang menentukan seluruh kehidupan Islam. Saya
kembali lagi ke isu ini: analisis Barat non-Islam yang
selama berabad-abad didasarkan pada pemisahan antara
al-Qur'an dan ulasan-ulasannya
(interpretasi-interpretasinya) yang tradisional, tidak akan
menolong dialog dengan orang-orang Muslim, sebab dalam
perspektif Islam, perkembangan seluruh aspek tradisi yang
berbeda selama berabad-abad didasarkan pada al-Qur'an, Dan
hal ini membawa saya pada isu lain yang sangat signifikan
dalam konteks ini, yakni: persoalan peran Nabi Muhammad
dalam hubungannya dengan al-Qur'an.
Adalah mungkin untuk mengatakan bahwa seluruh cara dari
orang-orang Syi'ah ekstrim hingga orang-orang Hanbaliyyah di
Damaskus, dari para Sufi yang paling esoterik hingga
ahli-ahli fiqh yang paling eksoterik, yang meliputi spektrum
teologi dan pemikiran Islam orthodoks, tak satu pun dari
mereka itu pernah menerima pandangan selain bahwa Nabi Islam
menerima wahyu al-Qur'an kata demi kata dari langit.
Al-Qur'an adalah Firman Tuhan dan bukan firman Nabi. Ada
baiknya saya tidak menyebut nama-nama tertentu, khususnya
teman dekat saya, Fazlur Rahman, tetapi karena Kung
menyebutnya, maka menjadi penting untuk menanggapi hal ini
dengan kembali kepada sarjana Muslim yang termasyhur itu.
Saya kutipkan dari Kung,
Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan
persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah
penting bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan dipandang
pada saat yang sama sebagai firman Nabi yang manusiawi.
Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah
Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman).
Sungguh benar-benar menyedihkan untuk merujuk kepada
sebuah kasus yang berdiri sendiri, sekalipun ia seorang
sarjana terkenal, dan memandang sebelah mata kepada
kepercayaan-kepercayaan satu milyar orang Muslim yang
menyangkut tabiat al-Qur'an dan hubungannya dengan Nabi. Ini
menyedihkan karena hal itu menghancurkan, sejak permulaan,
kemungkinan memahami dan menciptakan kedamaian. Pada sisi
lain sebuah dialog, seseorang tidak dapat mengambil sudut
pandang yang tak bisa diterima oleh pihak yang diajak
berdialog, sudut pandang yang ganjil dan hampir tidak
diterima oleh setiap otoritas yang serius di dunia Islam,
tanpa pandang bulu; apapun warna politik atau teologi yang
ia punyai. Oleh karena itu, mengambil pandangan seperti itu
sebagai sebuah kemungkinan untuk memudahkan dialog dengan
dunia Kristen atau dengan dunia Barat pada umumnya tidak
memberikan jawaban kepada realitas situasi yang
sesungguhnya.
Saya tidak ingin sama sekali membawa sebuah wacana
berdasarkan kata-kata hambar diplomatis tetapi lebih baik
membawa masalah-masalah teologis esensial yang berkaitan.
Saya tahu bahwa tak seorang Muslim pun, bahkan tidak juga
seorang yang sudah tak lagi tinggal di dunia Islam (dar
al-Islam), yang mempunyai tulisan-tulisan yang dapat
diterima di setiap negara Islam, yang tidak menyatakan bahwa
al-Qur'an adalah Firman Tuhan. Seseorang harus mengerti
dengan sangat jelas tentang hal ini dan tentang peran Nabi
dalam proses pewahyuan Teks Suci. Itu adalah karena
kepercayaan Islam pada al-Qur'an sebagai Firman Tuhan yang
langsung bahwa setiap anggapan tentang Nabi Islam sebagai
yang mempelajari pandangannya tentang sejarah suci dan
Kristologi dari sumber-sumber Yahudi dan Kristen merupakan
penghujatan terbesar di mata orang-orang Muslim. Izinkanlah
saya mengupas isu ini dengan sangat jelas. Semoga hari ini
menjadi saat yang tepat untuk mengangkat kembali unsur
non-Arya, Semitik, dari Kristen yang jelas secara
perlahan-lahan dipudarkan di Barat karena Kristen telah
ditakdirkan untuk menyelamatkan keseluruhan benua (Eropa)
yang dikuasai orang-orang non-Semitik. Meskipun kenyataan
bahwa kita menemukan orang-orang Swedia dan Jerman yang
mempunyai nama David, Eropa Kristen jauh kurang Semitik
dalam orientasi ketimbang bagian dunia Islam non-Arab.
Seorang Persia lebih dekat kepada dunia Ibrahim daripada
seorang Swedia, biarpun keduanya adalah Indo-Eropa, keduanya
juga orang Arya, dan keduanya sama-sama memiliki rumpun
bahasa dan latar belakang etnik yang sama. Kalau anda ingin
menghancurkan proses Eropanisasi Kristen, itu hal lain; hal
tersebut tetap merupakan urusan para teolog Kristen, dan
saya tak akan membahasnya di sini. Tetapi itu tidak ada
hubungannya dengan merelatifkan Kristologi al-Qur'an,
seakan-akan itu adalah sebuah kebetulan historis. Ini tidak
mungkin bisa diterima oleh seorang Muslim. Harus selalu
diingat bahwa menurut ajaran Islam tentang kenabian, seorang
nabi tidak berhutang-budi apa-apa kepada siapapun; Tuhan
mengajar nabi-nabi-Nya tentang segala sesuatu, dan bagi
Tuhan mungkin mengajar dua versi yang berbeda tentang
realitas yang sama dalam konteks dua agama yang berbeda.
Seluruh persoalan Kristologi yang menjadi inti makalah
Hans Kung, dari sudut pandang Muslim akan menjadi isu ini:
Apakah mungkin atau tidak bagi Tuhan untuk menginginkan dua
kemanusiaan (sifat manusia) di bumi memahami sebuah
peristiwa yang sangat penting dengan dua cara yang berbeda?
Itulah persoalan krusial. Apakah Kristus disalib atau tidak?
Al-Qur'an mengatakan tidak; ia mengatakan bahwa Yesus tidak
disalib. Dan dengan penolakan tersebut maka bermunculanlah
semua persoalan lain dan semua problema yang terjadi karena
kepercayaan kepada penyaliban, seperti mengenai dua tabiat
Kristus sebagaimana diinterpretasikan oleh teologi Barat dan
yang semacamnya. Bila kita menerima versi al-Qur'an, versi
Kristen tentang Yesus harus ditolak. Bila kita menerima
versi Kristen, bahkan versi Kristen-Yahudi, versi al-Qur'an
tidak bisa diterima. Lebih jauh, membayangkan bahwa
al-Qur'an mempunyai Kristologi yang salah sama sekali
memustahilkan dialog apapun dengan Islam. Itu sama dengan
mengatakan bahwa sebagian dari Kristus dilahirkan dari Maria
sang perawan dan adalah Logos, dan sebagian lain adalah
suatu "tambahan." Perlu senantiasa diingat bahwa bagi
orang-orang Muslim al-Qur'an, keseluruhan al-Qur'an, bukan
hanya bagian-bagiannya, adalah Firman Tuhan. Orang-orang
Muslim tidak akan pernah bisa menerima pandangan bahwa
bagian-bagian dari al-Qur'an diilhami secara tak langsung
dan sangat mulia, sementara bagian-bagian lain merupakan
penambahan-penambahan dari pandangan-pandangan yang lazim
dalam masyarakat Makkah atau di antara para peziarah (haji)
yang datang dari utara, atau dari Waraqah, sepupu Nabi, yang
berbicara dengan Nabi.
Sangat penting membahas isu ini, dan saya pikir di masa
depan bila ada sebuah dialog yang sungguh-sungguh tentang
Islam-Kristen dalam masalah Kristologi, dialog itu harus
berkenaan dengan isu tentang apakah epistemologi modern dan
filsafat modern memperkenankan sebuah realitas tunggal
dilihat dengan dua cara yang berbeda tanpa menyebabkan apa
yang tampak kepada pikiran modern sebagai
kontradiksi-kontradiksi logis. Dari sudut pandang filsafat
tradisional, adalah mungkin bahwa sebuah realitas tunggal
--khususnya tatanan tujuan akhir Kristus-- dilihat dengan
dua cara oleh dua dunia yang berbeda, atau dari dua
perspektif agama yang berbeda, tanpa suatu kontradiksi inti
(batini). Filsafat Barat modern lah yang tidak
memperkenankan hal seperti itu. Dengan menciptakan suatu
persesuaian yang tepat antara realitas yang dipahami dan
pengetahuan tentangnya, sementara menegasikan
tingkatan-tingkatan yang terdiri dari banyak bagian atau
hirarki wujud yang bermacam-macam, filsafat Barat modern
menolak kemungkinan bahwa Tuhan didalam kekuatan dan
kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas bisa menciptakan dua
komunitas dunia besar yang memeluk dua pandangan yang
berbeda tentang tujuan duniawi Kristus. Seseorang dapat
menafsirkan Trinitas Kristen sebagai ketentuan Keesaan
Ilahi, atau sebagai Nama-Nama Ilahi dalam bentuk
trinitarian, atau menawarkan interpretasi-interpretasi
teologis lain agar memuaskan orang-orang Muslim dan
orang-orang Kristen, sekurangnya orang-orang yang memahami
perspektif metafisis dan yang memahami sudut pandang
esoterik. Tetapi ketika muncul pertanyaan tentang kehidupan
Kristus, kehidupan historisnya, pada tingkat fakta versi
Kristen atau Islam lah yang dipegang. Pada tingkat empiris
orang tidak bisa memegang keduanya sekaligus, paling tidak
menurut kerangka epistemologi modern.
Sekarang, Islam tidak akan pernah menerima bahwa
Kristologi Islam adalah palsu. Dan dengan mengatakan itu,
orang dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang Muslim
dengan demikian sangat berbeda dengan orang-orang Kristen
anonim, yang dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang
Kristen oleh teolog-teolog Kristen tertentu. Saya akan
menjawab pertanyaan yang diajukan Hans Kung untuk orang
Muslim, jika secara rendah-hati saya dapat berbicara atas
nama teman-teman yang seagama dengan saya, dengan mengatakan
bahwa teolog-teolog Kristen tertentu menggolongkan
orang-orang Muslim ke dalam orang-orang Kristen anonim tidak
sama dengan mengatakan bahwa orang-orang Muslim juga
menggolongkan Kristus ke dalam seorang Muslim anonim.
jawaban Islam ialah bahwa orang-orang Muslim tidak melakukan
itu, Tuhanlah yang telah melakukannya (menjadikan Kristus
sebagai seorang Muslim). Adalah Dia yang mewahyukan kepada
orang-orang Muslim sebuah doktrin Islam tentang Kristus.
jika ayat-ayat tertentu al-Qur'an seperti ayat-ayat Surat
Maryam adalah tidak benar, maka dengan kriteria apa,
orang-orang Muslim harus menerima ayat-ayat lain al-Qur'an?
Jika ayat-ayat tertentu al-Qur'an ditolak dengan cara
argumen atau alasan ekstrinsik seperti berteman dengan
orang-orang Kristen, atau mencapai kedamaian dunia atau
masuk ke dalam Persatuan Bangsa-Bangsa, atau alasan-alasan
duniawi lain walaupun itu terpuji, maka sisa (ayat-ayat
lain) al-Qur'an harus juga ditolak sebagai Firman Tuhan.
Saya amat keras dalam kritik ini karena hal tersebut sangat
esensial. Apa kebaikan yang akan dilakukan jika seorang
pribadi seperti Hans Kung akan menggunakan usaha-usahanya
selama sepuluh tahun yang akan datang dengan mencoba
mengembangkan sebuah model untuk dialog dengan Islam yang
tidak sesuai dengan realitas apa pun pada sisi Islam?
Seluruh persoalan tentang peranan Nabi dalam agama, oleh
sebab itu, berhubungan dengan pemahaman Islam tentang Tuhan
sebagai kebenaran keagamaan langsung, yang mengajar dan
memerintah sendiri nabi-nabi-Nya. Jadi, adalah mungkin bahwa
sebuah realitas duniawi yang tunggal tidak menghabiskan
seluruh realitas prototipe Ilahi atau samawinya dan bahwa
realitas duniawi yang lain dapat merefleksikan aspek lain
dari realitas model asli esensial yang tengah dipersoalkan.
Di sini saya akan menanggung risiko kritik dan ejekan
sebagai seorang Muslim, dan mengatakan bahwa manakala
al-Qur'an menyatakan bahwa Kristus tidak disalib, ini tidak
harus berarti bahwa Tuhan tidak menginginkan segmen
kemanusiaan lain melihat realitas ini juga dengan suatu cara
yang berbeda. Apa yang dimaksudkan ialah bahwa cara pandang
Islam terhadap Kristus meniadakan kemungkinan penyalibannya.
Fakta ini telah didiskusikan dan diperdebatkan secara
teologis selama berabad-abad. Sebuah tragedi besar bahwa
tradisi Islam dalam perbandingan agama sangat sedikit
diketahui di dunia Barat. Teman saya dari India, Veena Das,
pernah menyinggung sesuatu seperti masalah ini yang
berkaitan dengan hubungan antara Islam dan Hinduisme.
Dalam konfrontasi antara Islam dan Kristen, isu bahwa apa
yang dikatakan Tuhan dalam al-Qur'an mengenai Kristus
diterima oleh orang-orang Muslim biasa sebagai satu-satunya
cara melihat Kristus, harus diberikan pertimbangan pertama,
sebagaimana fakta bahwa perkataan "Aku adalah jalan,
kehidupan, dan kebenaran" diterima oleh orang-orang Kristen
biasa dengan makna bahwa Kristus Kristen adalah satu-satunya
jalan, satu-satunya kehidupan, dan satu-satunya kebenaran.
Harus disadari bahwa pandangan Islam atau Kristen tidak
menghabiskan kemungkinan-kemungkinan realitas "Kristik"
("Kekristusan") di alam semesta yang lain seperti yang
dikehendaki Tuhan. Persoalan di sini bukanlah menerima bahwa
Kristologi Islam diciptakan dari sisa-sisa pandangan dari
sejumlah kecil komunitas Timur yang oleh Nabi Muhammad
dipilih, dikumpulkan dan selanjutnya dibuat sebagai
Kristologi al-Qur'an. Kristologi al-Qur'an, sebagaimana
dikatakan Kung dengan cukup benar, sesuai. sepenuhnya dengan
seluruh teologi Islam dan itu sebenarnya adalah bagaimana
Tuhan menginginkan orang-orang Muslim melihat Kristus. jadi,
sederhana saja. Apakah lalu Kristologi al-Qur'an ini
menghabiskan realitas Kristus atau tidak, al-Qur'an tidak
menerangkan-nya, tetapi al-Qur'an meninggalkan pintu terbuka
sedemikian rupa agar memungkinkan suatu persesuaian antara
dua agama ini tanpa merusak arti teks pesan tertulis
al-Qur'an itu.
Ini sama dengan persoalan al-Qur'an sebagai Firman Tuhan.
Artikel terkenal Wilfred Cantwell Smith, "Is the Koran the
Word of God?", tentu saja merupakan esei yang sangat
menantang bagi standar karya akademis Barat dan bagi para
teolog Barat yang menyibukkan diri dengan isu utama ini.
Tetapi sebenarnya persoalan ini adalah bahwa orang tidak
dapat menyamakan dua sisi keseimbangan. Cantwell Smith
mengatakan bahwa sarjana Barat harus memberi sedikit dan
sarjana Muslim harus memberi sedikit, sehingga dalam suatu
keadaan mereka berdua bisa bertemu. Sarjana Barat akan
mengatakan bahwa al-Qur'an boleh jadi merupakan Firman
Tuhan, dan orang Muslim akan mengatakan bahwa al-Qur'an
diilhami tanpa semuanya merupakan Firman Tuhan kata demi
kata. Ini bukanlah cara yang akan dilakukan. Persoalannya
adalah apakah al-Qur'an itu Firman Tuhan atau bukan Firman
Tuhan. Dalam dialog yang manapun saya pikir sungguh penting
membawa sikap Muslim kepada persoalan ini. Apakah seseorang
adalah Sunni atau Syi'i, Wahhabi atau Sufi, atau bahkan
anggota kelompok kecil seperti cabang Isma'iliyah, tentang
isu ini sebenarnya tidak ada perbedaan di antara orang-orang
Muslim sama sekali.
Sekarang izinkan saya kembali kepada pembicaraan Kung
tentang unsur-unsur yang sama antara Islam dan Kristen.
Meskipun tidak sepenuhnya menuruti susunan yang logis, saya
harus kembali pada persoalan Kristus dan Qur'an karena
persoalan ini sesuai dengan apa yang telah saya katakan
mengenal al-Qur'an. Kung menyebut empat hal dasar. Pertama,
ia mengatakan bahwa Islam dan Kristen sama-sama mempunyai
ide keesaan Tuhan. Saya sepenuhnya setuju, terlepas dari
fakta masih ada teolog-teolog Islam, bahkan pembawaan agung
al-Ghazali dalam sebuah bukunya yang termasyhur tentang
Injil-Injil, yang telah menginterpretasikan Trinitas Kristen
sebagai tiga tuhan Orang-orang Muslim biasanya tidak
mempercayai bahwa Tuhan Kristen terdiri dari Tuhan, Maria
dan Kristus. Saya tidak tahu siapa di antara para sarjana
Muslim yang bilang begitu itu pada Kung. Bagaimanapun juga,
ini sebenarnya adalah pendapat minoritas tentang tatslits
atau Trinitas, ini bukanlah interpretasi Muslim yang umum
tentang Trinitas Kristen dan bukan begitu secara historis.
Tetapi Trinitas Kristen sebagaimana biasanya dipahami, yang
terdiri dari Bapak, Anak dan Roh Kudus, meski dikritik oleh
seorang manusia seperti al-Ghazali yang adalah teolog dan
Sufi, dipahami oleh banyak ahli metafisika Sufi sebagai tiga
hipostasis yang tidak merusak keesaan Tuhan. Isu ini,
bagaimanapun juga, bukan problema besar antara Islam dan
Kristen. Banyak sekali rujukan yang bisa diperoleh dari
pemikir-pemikir terbesar baik madzhab Sunni maupun Syi'i
yang berhubungan dengan isu ini. Dan banyak puisi berbahasa
Persia dan Arab yang menunjukkan, lewat bahasa puitik yang
indah, fakta bahwa Trinitas Kristen selamanya sama dengan
tiga aspek ilahi yang berbeda. Saya tidak mengatakan bahwa
penjelasan-penjelasan ini tentang Trinitas secara sempurna
sesuai dengan, katakan saja, interpretasi-interpretasi
Augustinian maupun Thomistik tentang Trinitas. Tetapi saya
setuju dengan Kung bahwa pendapat mengenai Tuhan yang esa
merupakan titik persesuaian yang mendominasi dan sentral
antara kedua agama ini, Islam dan Kristen.
Terhadap klaim Kung bahwa orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim percaya kepada Tuhan sebagai Tuhan
historis, saya tanggapi dengan ungkapan negatif. Banyak
sarjana Barat terus menulis bahwa Islam, seperti Yahudi dan
Kristen, adalah sebuah agama historis. jika seseorang
memaksudkan hal tersebut adalah bahwa Islam mempunyai
permulaan dalam sejarah, ya; bahwa Islam sendiri tertarik
pada sejarah keagamaan, ya; bahwa apa yang kita lakukan
dalam sejarah mempengaruhi entelechry kita, tujuan akhir
kita, ya; karena setiap orang Muslim meyakini bahwa apa pun
yang kita lakukan di sini akan mempengaruhi kita di saat
kematian, dan di akhirat.
Tapi, tentang semua yang telah dikatakan tadi, harus
diingat bahwa masih terdapat perbedaan yang sangat besar.
Pertama, di dalam Islam, sejarah tidak dipandang sebagai
yang mempengaruhi sifat Tuhan. Tuhan tidak menginkarnasi
dalam sejarah. Allah tidak berubah. Apa yang terjadi dalam
sejarah adalah karena Kehendak Tuhan dan tidak mempengaruhi
Sifat-Nya. Dengan begitu, makna sejarah dalam Islam sama
sekali tidak sama dengan makna sejarah sebagaimana dalam
Kristen. Bahkan sejarah suci yang lazim dalam Islam, Kristen
dan Yahudi, diperlakukan dengan cara yang sepenuhnya berbeda
di dalam al-Qur'an. Al-Qur'an lebih tidak peduli pada
signifikansi historis sejarah suci ketimbang Bibel, dan
lebih tertarik pada signifikansi moral peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sejarah. Al-Qur'an menceritakan
kisah-kisah para nabi agar kita memetik pelajaran moral. Ia
amat tidak tertarik pada persoalan siapa yang datang sebelum
siapa, atau siapa yang datang sesudah siapa. Ini adalah
sebuah hal penting dalam dialog sekarang ini antara Islam
dan Kristen. Sementara Kristen, paling tidak Kristen Barat
sekarang, mempunyai sebuah kesadaran kuat terhadap momen
tertentu dalam sejarahnya sendiri, dan mengambil "waktunya"
dengan serius sekali, Islam sama sekali tidak mengambil hal
itu dengan serius, sejauh menyangkut signifikansi teologis
sejarah. Inilah salah satu alasan kenapa begitu banyak
prediksi yang dibuat di universitas [Harvard] yang
termasyhur ini tiga puluh tahun lalu saat saya sebagai
mahasiswa di sini dengan beberapa sarjana Islam lain yang
terkemuka di dunia Barat yang tertarik pada masa depan Islam
semuanya menjadi salah, masing-masingnya salah.
Prediksi-prediksi seperti itu didasarkan pada semacam
penjelasan historis yang sama sekali tidak bertalian dengan
realitas waktu dan sejarah bagi dunia Islam. Oleh sebab itu,
saya harus menyatakan dengan tegas berkenaan dengan isu
kedua ini bahwa terdapat perbedaan-perbedaan besar dalam
arti "historis" di dalam konteks Islam dan Kristen
Barat.
Menyangkut hal ketiga, yaitu bahwa baik dalam Islam
maupun Kristen, Tuhan adalah wujud yang kepadanya manusia
berdo'a (tentu saja di sini dengan "manusia" saya maksudkan
homo dan bukan vir [lelaki], karena itu, lelaki atau
perempuan berdo'a), saya sependapat sepenuhnya dengan Kung
dengan satu kualifikasi. Dalam konteks sekarang dua agama
ini, mengingat adanya fakta bahwa orang-orang Muslim dan
orang-orang Kristen berdo'a, jika anda, bertanya pada saya
apakah perbedaan dalam sikap, saya akan menjawab bahwa pada
tingkat do'a individual mereka (orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim) adalah sama. Orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim berdo'a dan kedua agama ini menekankan
do'a individual kepada Tuhan sebagai Tuhan yang mendengar
do'a kita. Mengenai do'a Kanonikal (resmi, menurut
undang-undang gereja), ia mempunyai peranan yang sama bagi
orang-orang Muslim sebagaimana misa bagi orang-orang
Kristen. Sebenarnya kedua do'a itu adalah upacara keagamaan
ekstra individual yang melampaui tingkat do'a individual
terhadap Tuhan. Bagaimanapun, ada sebuah tipe do'a yang
tidak sama-sama dimiliki oleh kedua agama ini pada momen
sekarang dari sejarah keduanya, meskipun pada suatu waktu
(di masa lalu) tipe do'a itu adalah lazim baik di Barat
maupun di Timur. Itulah yang disebut do'a interior, do'a
hati, atau do'a inti yang penting dalam Islam. Itulah.yang
membuat banyak perbedaan dalam sikap terhadap do'a, dan arah
do'a diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Saya
hanya ingin mengatakan hal ini sambil lalu saja.
Akhirnya, ada isu tentang Tuhan sebagai kasih, dan saya
senang sekali Kung telah mengungkap isu ini. Penting diingat
bahwa Tuhan dalam Islam bukan hanya Tuhan keadilan,
sebagaimana cukup kerap dikatakan, tetapi juga Tuhan kasih.
Dalam konteks ini, hal yang telah disebut, yaitu bahwa
orang-orang Kristen yang berbahasa Arab juga menggunakan
nama Allah, adalah penting. Nama Allah adalah nama yang
disucikan oleh wahyu al-Qur'an, tetapi tidak mentiadakan
konsepsi Kristen tentang Tuhan, seperti diceritakan oleh
setiap orang Arab Kristen kepada anda. Buku-buku tebal penuh
pengetahuan yang telah ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa
tentang Islam mengakui bahwa Islam hanya menekankan keadilan
Tuhan. Sebenarnya orang-orang Muslim menekankan bahwa Allah
adalah kasih dan bahkan pengasih sebelum menjadi adil, dan
Dia adalah sumber semua cinta sehingga orang-orang Kristen
dapat mengatakan "Allah" dan memikirkan ajaran-ajaran
Kristus tentang Tuhan.
Sebelum mengakhiri pembicaraan ini, saya ingin kembali
pada isu penting lain. Ada banyak hal menjelang akhir esai
Kung yang menurut hemat saya tak ada orang Muslim yang
pernah menerimanya, dan karena saya telah berjanji menjadi
seksama, maka saya harus menyebut hanya beberapa saja. Salah
satu dari hal ini perlu ditekankan secara khusus, dan itu
adalah persoalan tentang al-Qur'an yang mengandung
tradisi-tradisi yang menyesatkan. Dari sudut pandang apa
yang saya katakan tentang makna al-Qur'an bagi orang-orang
Muslim, tak seorang Muslim pun akan menerima pernyataan
seperti itu dan dapat mengadakan sebuah dialog. Seseorang
mungkin menginterpretasikan suatu bagian tertentu al-Qur'an
dengan cara-cara yang berbeda. Al-Qur'an mempunyai banyak
tingkat makna. Itulah kenapa menjadi mungkin bagi filsuf
Peripatetik terbesar pada Abad Pertengahan, yaitu Ibn Sina,
menulis sebuah tafsir tentang ayat yang sama (Ayat Cahaya
[ayat al-Nur] yang pertama kali ditafsirkan oleh Ibn
Sina) seperti al-Ghazali, pengkritik Ibn Sina yang mengikuti
model Ibn Sina tapi menentangnya. Realitas yang mereka
miliki bersama adalah ayat al-Qur'an tadi (Ayat Cahaya).
Persoalan tentang tradisi-tradisi yang menyesatkan dalam
al-Qur'an adalah palsu dan tidak ada orang Muslim, apa pun
madzhabnya, yang akan menerima pernyataan seperti itu.
Hal kedua berkaitan dengan ide penolakan terhadap Kristus
yang telah ada sejak azali dan keseluruhan ide Logos yang
telah ada sejak azali dalam Injil Keempat Johanes. Itu
hanyalah menafsirkan aspek-aspek tertentu dari pemikiran
Islam. Doktrin bahwa segala sesuatu telah ada sejak azali di
"tangan" Tuhan diteguhkan oleh ayat al-Qur'an bi yadih-i
malakut-u kulh syay' (di tangan Tuhan realitas arketipal
segala sesuatu), bagaimanapun anda ingin menterjemahkan
malakut sebagai arketip-arketip, akar-akar, atau asal-usul
segala sesuatu. Doktrin ini diambil alih kemudian oleh
metafisika Islam seperti dikembangkan khususnya oleh Sufisme
yang menekankan ide tentang Logos yang telah ada sejak
azali. Tentu saja ide ini tidak asing bagi pemikiran Islam,
secara tulus ikhlas. Kung menekankan unsur-unsur
Kristen-Yahudi dalam Kristen perlu dalam dialog mana saja
dengan bentuk Arab-Semitik-Ibrahimiyah dalam Islam. Tetapi
keseluruhan perkembangan Kristen Eropa, baik Jerman maupun
Latin, dan teologi yang jelas-jelas mesti bersesuaian dengan
suatu kebutuhan (bagi yang lain, ia tidak berkembang dan
orang-orang Kristen tidak menerimanya selama dua ribu tahun)
mempunyai kesesuaian dengan perkembangan teologis Islam yang
luas pada kasus orang-orang Arab dan Indo-Eropa lain. Secara
khusus itu jelas pada kasus orang-orang Persia dan India
yang termasuk keturunan etnik yang sama dengan orang-orang
Eropa, dan mempunyai jenis kekuatan-kekuatan spekulatif sama
yang terlihat dalam filsafat dan teologi Islam. Kita
menginginkan separuh lain dari Kristen yang diidentifikasi
Kung dengan dirinya dapat sebenarnya berdialog dengan Islam,
termasuk dialog tentang pra-eksistensi (keazalian) Kristus
sebagai Logos dan juga Realitas Muhammad (al-haqiqah
al-muhammadiyyah) dari para Sufi.
Akhirnya, saya ingin mengakhiri pembicaraan ini dengan
persoalan legalisme dan hukum yang dibicarakan Kung. Islam
telah mengakui Kristus sebagai nabi cinta, seorang nabi yang
menentang legalisme. Ini bukanlah tidak diketahui dalam
Islam. Siapa pun yang mempunyai sedikit saja kontak dengan,
misalnya, Diwan Hafiz yang dimiliki oleh setiap ahli pidato
Persia di setiap rumah, mengetahui semua ayat Diwan tentang
Kristus sebagai nabi Spirit (Roh), sebagai nabi Jalan
(Tarekat, Tasawuf), karena ia memecahkan cetakan legal
(hukum). Ini bukan sesuatu yang asing bagi orang-orang
Muslim. Bagaimanapun juga, kebenaran itu di mata Muslim
tidak meniadakan signifikansi hukum pada tingkatnya sendiri.
Salah satu problema utama dialog antara Kristen dan Islam
tepatnya adalah kesulitan besar yang dimiliki oleh banyak
sarjana Kristen dalam memahami fakta bahwa hukum tidak hanya
formalisme yang diserang Kristus dan bahwa dalam suatu
pengertian Islam memadukan (menggabungkan) formalisme Musa
terhadap hukum dengan sikap "Kristik" ("Kekristusan") dalam
menghancurkan kerangka hukum "dari atas" ketika memuji-muji
hukum sebagai yang amat suci dan abadi pada tingkatnya
sendiri. Kemungkinan-kemungkinan dialog sangat dirasakan di
sini. Tetapi serangan melawan syari'ah , melawan
formalismenya, bahkan melawan keputusan-keputusannya, adalah
benar-benar sulit diterima oleh seorang Muslim sebagaimana
sulit diterima oleh seorang Yahudi ortodoks bila seorang
menyerang keputusan-keputusan hukum yang dia anggap suci.
Sebenarnya ketiadaan pemahaman tentang realitas Taurat
sebagai Taurat abadi dan tentang hukum abadi Yahudi ortodoks
hampir sama besarnya (seperti) dengan yang terjadi bagi
Islam.
Waktu saya habis. Seluruh kritik ini telah dikemukakan,
namun saya ingin berterima kasih pada Hans Kung, meskipun
masih banyak ketidaksetujuan saya dengan dia, atas isu-isu
krusial yang dikemukakannya. Saya berharap pertemuan ini
menjadi langkah awal yang diambil untuk keluar dari
formalisme pertukaran-pertukaran dan kata-kata hambar
diplomatis dan untuk mempunyai pertukaran-pertukaran serius
yang saya harap akan membawa isu-isu yang harus dihadapi
secara terbuka dan dipecahkan. Saya ingin mengakhiri
pembicaraan ini dengan pernyataan yang saya dengar dari
seorang teman Kristen yang terhormat, ketika gerakan
ekumenis sekarang ini dimulai. Ia mengatakan, "Mari kita
berkumpul dan membuat motto 'Wahai, seluruh kekuatan dunia
anti-ekumenis, bersatulah'." Satu-satunya dialog keagamaan
yang berharga di mata Tuhan ialah dialog yang tidak
mengorbankan atas nama kebijakan pada tingkat kemanusiaan,
meskipun itu kedamaian duniawi, yang dinyatakan-Nya dalam
setiap agama.
|