|
I. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (2/3)
oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
C. Al-Qur'an - Firman Tuhan?
Al-Qur'an lebih dari sekedar tradisi lisan yang bisa
dengan mudah diubah. Ia adalah firman yang tertulis, yang
diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan
sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan
Bibel. Melalui keberadaannya yang direkam lewat tulisan,
al-Qur'an memelihara suatu kekokohan luar biasa, kendati ada
perubahan dan keanekaragaman sejarah Islam dari abad ke
abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa
yang tertulis ya tertulis. Meskipun terdapat
penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda,
meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum
Islam, syari'ah, al-Qur'an tetap sebagai sebutan yang sama
(the common denominator), sesuatu seperti "benang hijau"
Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan
lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai
Islam historis maupun Islam normatif, tidak dapat mengelak
untuk kembali pada asalnya, yaitu al-Qur'an abad ke-7.
Meski al-Qur'an sama sekali tidak mentakdirkan
(menetapkan terlebih dahulu) perkembangan Islam, ia secara
paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam.
Ia memasuki seluruh syari'ah, mencetak sistem legal (hukum)
dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir
datang dan pergi, tapi al-Qur'an tetap utuh: ia satu-satunya
yang paling konstan dalam Islam di antara variabel-variabel
lain yang tak terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan
kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman
keagamaan, di samping ajaran-ajaran abadi dan
prinsip-prinsip moral yang khas: tanggung jawab manusia di
hadapan Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim.
Dengan begitu al-Qur'an adalah Kitab Suci Islam yang,
sebagaimana dipahami dari bentuk tertulisnya, bukan firman
manusia, melainkan firman Tuhan. Bagi orang-orang Muslim,
oleh sebab itu, firman Tuhan dituliskan dalam sebuah kitab.
Pertanyaan kita, betapa pun juga: Apakah kitab tersebut
benar-benar firman Tuhan?
Selama berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang
diajukan. Baik orang-orang Muslim maupun orang-orang Kristen
diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan siapa
yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah
menyebabkan perpecahan-perpecahan politik yang tajam di
antara bangsa-banga di dunia, dari abad-abad pertama
penaklukan Islam hingga Perang Salib dan perebutan
Konstantinopel, hingga pengepungan Vienna dan revolusi
Persia di bawah komando Khomeini? Sebagaimana biasanya,
ketika orang-orang Muslim dari Afrika Barat sampai Asia
tengah dan Indonesia memandang bahwa al-Qur'an adalah firman
Tuhan dan mengorientasikan hidup serta mati mereka sesuai
dengan al-Qur'an, orang-orang Kristen seluruh dunia
mengatakan "tidak". Malah bukan saja orang-orang Kristen,
melainkan juga kemudian para sarjana agama Barat yang
sekular, yang menganggap pasti bahwa al-Qur'an bukan firman
Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada tahun 1962, seorang sarjana agama berkebangsaan
Canada, Wilfred Cantwell Smith, menjadi orang pertama yang
mengajukan pertanyaan tersebut di atas secara tajam, yang
mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat
bentuk pertanyaan itu sendiri.3
Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui
pandangannya bahwa dua jawaban yang mungkin tersebut, yang
keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang cerdas,
kritis dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan
lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction
(pra-keyakinan dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran
yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman (kata
orang-orang Muslim kepada orang-orang Kristen yang menolak
al-Qur'an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata
orang-orang Kristen kepada orang-orang Muslim yang
membenarkan al-Qur'an sebagai firman Tuhan).
Lalu, tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith
yang berkebangsaan Kanada, Willard Oxtoby, dalam menyusun
suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa "you get out
what you put in" (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)?
Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang
menganggap al-Qur'an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan
akan melihat berulang-ulang keyakinan-keyakinannya
diteguhkan dengan membaca al-Qur'an, dan juga
sebaliknya?
Tetapi dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus
berjalan, biarpun untuk masa panjang hal tersebut sangat
tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi
pertambahan jumlah dari orang-orang Kristen dan bahkan
mungkin orang-orang Muslim yang kemudian mendapat informasi
lebih baik mengenai keimanan serta posisi orang lain, dan
lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri
sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang
berkaitan dengan kedua posisi di atas:
a. Penyangsian kritis-diri terhadap pemahaman Kristen
tentang wahyu. Bersamaan dengan semua pernyataan negatif
mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia
non-Kristen berikut seluruh seruan untuk bertobat, tidakkah
juga kita dapatkan banyak pernyataan positif yang menyatakan
bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh
manusia? Sungguh, menurut Perjanjian Lama dan Baru,
orang-orang non-Kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu
dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya sebagai
wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah
kita meniadakan kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak
terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang telah dan
tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada
wahyu Tuhan dalam penciptaan, dan semuanya ini pun
melibatkan rahmat Tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah
kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu
juga, dalam ikatan agama mereka, dianugerahi penglihatan
khusus, diberi tugas khusus, karisma khusus? Dan dengan
memperhatikan semua yang telah kita katakan, tidakkah hal
itu semua bisa terjadi terhadap Muhammad, Sang Nabi? Extra
ecclesiam gratia --ada juga rahmat di luar Gereja. Kalaulah
memang begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang
nabi, maka agar konsisten kita pun harus mengakui bahwa bagi
orang-orang Muslim segala sesuatu tergantung pada pesan
Muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan firmannya
sendiri, tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud
dengan Firman Tuhan dan dengan wahyu?
b. Penyangsian kritis terhadap penafsiran Islam
tentang al-Qur'an. Apakah wahyu seperti yang sudah
diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan
tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu
diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim meyakini hal
ini, melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam
hubungan dengan Bibel. Di sini kita telah sampai pada
persoalan yang penting sekali.
Bagaimanapun seseorang ingin
menyelesaikan persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat
ini adalah penting bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan
dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan nabi yang
manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi
ilmiah Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur
Rahman). Jadi al-Qur'an menyodorkan problema yang sama
dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada
pertanyaan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan:
apabila kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel (untuk
kepentingan keimanan Biblikal kontemporer), kenapa pula kita
tidak mempunyai kritik historis terhadap al-Qur'an, dan hal
itu untuk kepentingan keimanan Muslim yang cocok bagi masa
modern? Ketimbang menafsirkan al-Qur'an sebagai sebuah
kumpulan peribahasa yang tetap, ajaran-ajaran kaku, dan
pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah mengenai
hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang
ada) dengan sangat merendahkan diri harus direproduksi dan
secara harfiah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai
aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur'an
sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang
satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan
Penyempurna, dan terhadap pengadilan serta janji-Nya?
Bagaimanapun juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh
menuju persoalan-persoalan hermeneutis dalam makalah ini.
Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan isi.
Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis,
akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang
persesuaian antara Islam dan Kristen menyangkut penafsiran
keimanan, yang mana orang-orang Yahudi juga termasuk. Saya
akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi Konsili
Vatikan Kedua tentang agama-agama non-Kristen.
D. Apa Unsur-unsur Sama yang
Utama?
Hal-hal yang sama di antara orang-orang Muslim,
orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dapat diringkas
dalam empat aspek:
a. Hal sama yang mendasar di antara orang-orang Muslim,
orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terletak dalam
keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang
memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman
kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang
ditegakkan sejak masa "Adam". Kesatuan ras manusia dan
persamaan semua bangsa di muka Tuhan didasarkan pada konsep
keesaan Tuhan. Dan apa pun yang mungkin dikatakan menyangkut
doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk
mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya Tuhan,
tetapi untuk memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti
bahwa dalam menghadapi politeisme kafir, Yahudi, Kristen dan
Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini
menghadapi banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam
memperbudak rakyat Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen
telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama Panteon jauh sebelum
Islam.
b. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim menyimpan kesamaan pandangan dalam
beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan,
sebagaimana diyakini orang-orang Yunani, hanya arche atau
prinsip pertama alam, dasar dari segala sesuatu, tetapi yang
bertindak sebagai Pencipta dunia dan manusia dalam sejarah,
Tuhan Yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para nabi
dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun
terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak
terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden,
tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih dekat daripada
"urat nadi," begitu kata perumpamaan plastik al-Qur'an, yang
kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisisme
Islam.
c. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim adalah satu pandangan dalam beriman
kepada satu Tuhan yang --meskipun Ia gaib, mengatur dan
menguasai segala sesuatu-- adalah partner yang dapat
didekati. Dia dapat disapa saat shalat dan meditasi, dipuji
dalam senang dan rasa syukur, tempat mengadu dalam keadaan
perlu dan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang "bersimpuh
di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum", "berdo'a dan
berkurban", "bermusik dan berjoget", mengutip kata-kata
berorientasi masa depan Martin Heidegger.
d. Akhirnya, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan
orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan
yang pemurah dan ramah, Tuhan yang menjaga manusia. Dalam
al-Qur'an sebagaimana dalam Bibel, manusia dipandang sebagai
"hamba Tuhan," yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia
di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan
manusia yang elementer dalam meresponsi Tuhan yang satu.
Kata Arab al-Rahman, "Yang Maha Pengasih", secara etimologis
berhubungan dengan bahasa Ibrani (Hebrew, Yahudi) rahamim
yang, bersama dengan hen dan hosed menjelaskan bidang
semantik bagi kata charis dalam Perjanjian Baru, dan kata
Inggris grace (gnade dalam bahasa jerman). Menurut
bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur'an,
Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat
diduga, namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan
al-Qur'an, Tuhan adalah Tuhan pengasih dan pemurah.
Bersama-sama di dunia ini, Yahudi, Kristen dan Islam
dengan demikian mencerminkan keimanan kepada satu Tuhan;
semuanya berbagi dalam satu gerakan dunia monoteistik yang
besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini
seharusnya tidak dianggap sepele; harus dijadikan perhatian
manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan
peran dalam perjanjian Camp David, tentunya ia pun penting
untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur Tengah.
Maka jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala
kita mendekati persoalan-persoalan teologis yang rumit,
khususnya persoalan-persoalan mengenai Yesus dari Nazareth,
Kristus orang-orang Kristen.
E. Apakah Penggambaran
al-Qur'an tentang Yesus Tepat?
Sangat masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal
al-Qur'an membicarakan Yesus dari Nazareth, dan selalu
dengan nada positif. Ini mengherankan ketika seseorang
memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan
kutukan antara Kristen dan Islam. Bagaimana kita bisa
menilai bagian-bagian ini secara teologis? Suatu
penyelidikan yang lebih teliti terhadap "teks-teks al-Qur'an
yang relevan dengan Kristen", yang diterjemah-ulang dan
dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul
Muhammad und Jesus, menunjukkan bahwa semua bahan yang
berkaitan dengan Yesus di dalam al-Qur'an terintegrasi
(terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara
utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur'an. Dari
tradisi apa pun kesaksian tentang Yesus ini berasal --dan
kita akan menjelaskannya lebih dekat lagi-- seluruhnya
secara menyolok dipenuhi dengan pengalaman profetik hebat
Muhammad dengan Tuhan Yang Esa. Dengan alasan ini, Muhammad
tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus:
Seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan virgin
birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan
mu'jizat-mu'jizat diakui al-Qur'an tanpa iri hati, dengan
satu pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi tuhan,
dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang
esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu
adalah sesuatu yang paling dibenci.
Posisi Yesus dalam al-Qur'an tidak ambigius (tidak
meragukan). Dialog oleh karenanya tidak didukung secara
efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini
yang lebih menafsirkan al-Qur'an ketimbang apa yang
dikandungnya, yang mengklaim bahwa dalam al-Qur'an Yesus
adalah firman Tuhan. Tetapi bukan Firman Tuhan dalam
pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan
yang pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenal virgin
birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dalam
al-Qur'an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan
justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut
al-Qur'an Yesus adalah seorang nabi, seorang nabi yang lebih
besar daripada Ibrahim, Nuh dan Mus a --tetapi tentu saja
tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis seperti
diterangkan dalam Perjanjian Baru, Yohanes (Yahya) sang
Pembaptis adalah pendahulu (pratanda) Yesus, begitupun dalam
al-Qur'an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak
diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad.
Menurut al-Qur'an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan
sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin birth
tersebut), tak seperti Muhammad. Yesus adalah, oleh karena
itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena alasan ini, orang-orang Kristen harus
menyingkirkan keinginan untuk membuat "orang-orang Kristen
anonim" dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaimana
beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang
Muslim tentang diri mereka sendiri, sekali-sekali berusaha
melakukan itu. Pada gilirannya hal ini akan dengan segera
memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus
menciptakan "seorang Muslim anonim" dari Kristus. Apabila
kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali
Muhammad berdasarkan sumber-sumber Islam, khususnya
al-Qur'an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam
untuk memulai penilaian kembali Yesus dari Nazareth
berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarkan
Injil-Injil itu sendiri-sebagaimana yang telah dilakukan
banyak orang dalam Yahudi. Potret Yesus dalam al-Qur'an
terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian
besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan
untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang
mu'jizat-mu'jizat. Pokoknya, ini berbeda sekali dengan
potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan
hukum, seperti direkam al-Qur'an, tetapi cenderung menentang
seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas
untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia
dieksekusi, walaupun Qur'an gagal mengakui hal ini. Dalam
hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus
dan Muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal-hal ini.
Walau begitu, hambatan teologis utama terhadap sebuah
pemahaman tidaklah untuk ditemukan di sini.
F. Apa Perbedaan Teologis
Utama?
Perhatian utama Yesus sendiri adalah mengatasi legalisme
dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan
mengingat kedatangan Kerajaan (Tuhan). Bagi gereja Kristen,
perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian
besar kepada pribadi Yesus dan hubungannya dengan Tuhan.
Perdebatan antara Kristen dan Islam kemudian tetap
sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang
keberatan Kristen terhadap Islam terletak pada bantahan
Islam terhadap dua doktrin utama Kristen yang saling
berkelindan: Trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, al-Qur'an
berbicara kepada orang-orang Kristen sebagai berikut:
Wahai Ahl al-Kitab, janganlah kamu melampaui
batas-batas agamamu. jangan katakan apa-apa tentang Allah
kecuali yang benar. Al-Masih, Yesus putra Maria, tidak
lebih dari rasul Allah dan Firman-Nya yang Dia sampaikan
kepada Maria: ruh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya dan jangan katakan (tentang Allah,
bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu). Sesungguhnya Allah
adalah Tuhan Yang Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai
seorang anak. (Q.S. al-Nisa/4: 171)
Apakah kenyatannya kita di sini telah, terlepas dari
anggapan bahwa kita memiliki faktor-faktor yang sama dalam
memahami Tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet dalam
berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran di dalam pernyataan
apologis-apologis Kristen dan banyak sarjana agama bahwa
para teolog Muslim selalu keliru menafsirkan doktrin Kristen
tentang Trinitas (tiga dalam satu) sebagai doktrin triteisme
(tiga tuhan). (Al-Qur'an memang memuat tradisi yang keliru,
boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisan yang
diragukan pengarangnya) tertentu, bahwa Trinitas terdiri
dari Tuhan Bapak, Maria Ibu Tuhan, dan Yesus Anak Tuhan).
Orang-orang Muslim semata-mata tidak dapat memahami apa yang
juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa
kalau ada satu Ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana
mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan
yang secara otomatis tidak akan melepaskan keimanan pada
satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh
Musa, Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa ada pula
perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam Tuhan?
Jelas bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat
oleh doktrin Kristen tentang Trinitas tidak memuaskan orang
Muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syria, Yunani dan
Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang
Muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep.
Bagaimana mungkin satu dan satu-satunya Tuhan, tanya orang
Muslim, menjadi suatu pencampuran hipostasis-hipostasis,
pribadi-pribadi, prosesi-prosesi dan relasi-relasi? Kenapa
semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya
Tuhan, yang tidak digabung dengan cara begini atau
begitu?
Menurut al-Qur'an, "orang-orang tidak beriman adalah
mereka yang mengatakan, Allah adalah salah satu dari tiga
(atau berfaset-tiga dalam trinitas)." Pandangan ini, yang
mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak
dengan pernyataan, "Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa".
(Q., s. al-Maidah/5:73).
Catatan kaki:
3 Wilfred Cantwell Smith,
"Is the Qur'an the Word of God?," dalam Questions of
Religious Truth (New York: Charies Schribner's Sons; and
London: V. Gollanez Ltd.,1967).
|