|
I. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam
(3/3)
oleh Hans Kung
University of Tubingen, Tubingen, Jerman Barat
G. Bagaimana Kita Menilai
Perbedaan-perbedaan Teologis Utama?
Yang berlaku bagi doktrin Trinitas berlaku juga bagi
Kristologi. Jika orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim
saat ini ingin mencapai pemahaman lebih baik, mereka harus
kembali kepada asal-usul dengan mengambil sebuah sudut
pandangan kritis terhadap seluruh perkembangan kemudian.
Pada titik asal-usul, kita --yakni orang-orang Yahudi,
orang-orang, Kristen dan orang-orang Muslim-- satu sama lain
lebih dekat.
Penelitian ilmiah terhadap Perjanjian Baru mengakui
betapa besar kesenjangan antara pernyataan-pernyataan
orisinal yang menyangkut Bapak, Anak dan Roh dan doktrin
gerejawi tentang Trinitas yang didogmatisasi kemudian, juga
betapa konsepsi-konsepsi Kristologis Perjanjian Baru berbeda
satu sama lain.
Sementara misalnya kemudian, Injil Yohanes yang
terpengaruhi secara Hellenistik mengutip Yesus ketika
berbicara kemuliaan bahwa ia telah bersama Tuhan sebelum
dunia mulai (17: 5), yang oleh para penafsir konservatif
tidak dianggap sebagai kata-kata historis Yesus, Injil
(-Injil) pertama tidak mengetahui apa-apa tentang seluruh
virgin birth. Dan sementara dengan cerita bersemangat Injil
Yohanes menggambarkan Yesus hampir secara berlebihan sebagai
"seperti-tuhan" ketika ia mengembara di bumi, Injil-Injil
sinoptik masih menampilkan Yesus sebagai Anak Manusia
sepenuhnya yang melaluinya Tuhan bertindak. Para penafsir
menunjukkan khususnya kepada monolog-monolog Kisah Para
Rasul yang di dalamnya Lukas menggunakan bahan dari suatu
tradisi lama yang menempatkan Yesus secara total lebih
rendah dari Tuhan. Jelas Yesus dibicarakan sebagai hamba
Tuhan, al-Masih, Kristus Tuhan, pilihan Tuhan: Tuhan
bertindak melaluinya, Tuhan bersamanya; ia dibunuh sesuai
rencana Tuhan, tetapi Tuhan mengangkatnya dari antara orang
mati dan membuatnya menjadi Tuhan dan Kristus, menunjuknya
sebagai Anak Tuhan. Tidakkah seluruh pernyataan Lukas ini,
yang diwarnai perspektif "pungutan", masih punya tempat di
dalam kerangka keimanan Yahudi dan Islam yang keras kepada
satu Tuhan? Sampai sekarang, ini adalah keimanan orang-orang
Kristen, orang-orang Kristen (yang) Yahudi.
Sungguh memalukan tiada terkira bahwa, menyusul
penghancuran Yerusalem di bawah Kaisar Hadrianus pada tahun
132 dan mengungsinya orang-orang Kristen Yahudi ke timur,
Gereja yang berkembang hampir secara sempurna tercabut dari
tanah Yahudi. Gereja yang awalnya dipadati orang-orang
Yahudi menjadi Gereja orang-orang Yahudi dan Gentiles
(orang-orang non-Yahudi), dan ia kemudian menjadi Gereja
Gentiles (Hellenistik). Orang-orang Kristen Yahudi yang
tidak turut serta dalam pengembangan gereja Hellenistik
dengan Kristologinya yang semakin eksesif ditolak sebagai
pembuat bid'ah, seperti kasus orang-orang Ebioni, yang
menerima kelahiran Yesus dari Perawan Suci menurut sejarawan
gereja Eusebius tetapi menolak gagasan tentang
pra-eksistensinya --sebagaimana ditolak oleh al-Qur'an.
Penelitian kami ini sekali lagi tidak dimaksudkan mencoba
menelusuri jejak Islam kembali kepada Yahudi atau Kristen.
Sebagai gantinya, kami berusaha keras melihat Islam secara
sungguh-sungguh sebagai bentuk tantangan yang diperbarui
bagi orang-orang Kristen, karena sejak masa Yohanes (Yahya)
dari Damaskus, yang menyangkal Islam sebagai suatu "bid'ah
Kristen", karena Islam mengingatkan orang-orang Kristen pada
masa lampau Kristen Yahudi mereka sendiri. Di sini tampaknya
kita mempunyai contoh penting interdependensi dan interaksi
antara gerakan-gerakan agama yang berbeda dalam persoalan
kemanusiaan, sebagaimana ditekankan khususnya oleh W. C.
Smith. Dalam bukunya Korankunde fur Christen, Paul
Schwarzenau adalah benar ketika mengatakan bahwa "adalah
unsur Yahudi dalam pesan Kristen yang secara pasti
memperlihatkan al-Qur'an beruntung. Orang-orang
Kristen-Yahudi yang ingkar [terhadap unsur Yahudi tadi
--pen] sekali lagi tampil ke
muka".4
Schwarzenau menggunakan analisis cerdas ahli tafsir besar
Protestan, Adolf Schlatter, yang menganalisis di awal 1926
hubungan-hubungan antara Kristen Gentile, Kristen Yahudi,
dan Islam dalam buku Die Geschichte der ersten
Christenheit:
Gereja Yahudi, bagaimanapun juga, mati hanya di
Palestina bagian barat, Yordania. Komunitas-komunitas
Kristen dengan praktek Yahudi, pada sisi lain, berlanjut
ada di daerah-daerah bagian timur, di Decapolis, di
Batanea, di antara orang-orang Nabatia, di tepi gurun
Syria dan ke Arabia, mereka benar-benar terputus sama
sekali dari sisa Umat Kristen dan tanpa persahabatan
dengan sisa [Umat Kristen tersebut] ... Bagi
orang Kristen, orang Yahudi semata-mata musuh, dan
akhirnya pandangan Yunani pun --yang melihat sebelah mata
kepada pembunuhan oleh jenderal-jenderal Troya dan
Hadrianus dan kepada takdir orang-orang Yahudi jahat dan
merendahkan-- mencapai Gereja. Bahkan orang-orang
terkemuka Kristen seperti Origen dan Eusebius, dengan
sangat mencengangkan tidak peduli pada kehancuran
Yerusalem dan gereja di sana. Demikian pula informasi
yang mereka tinggalkan untuk kita mengenai gereja Yahudi
dalam keberadaannya yang kemudian hanya sedikit. Mereka,
orang-orang Kristen Yahudi [sic] adalah pembawa
bid'ah lantaran tidak tunduk pada hukum yang berlaku bagi
Umat Kristen yang lain dan karena itu mereka pun
terceraikan dari Umat Kristen yang lain itu. Tak satu pun
dari para pemimpin gereja Kekaisaran mengira bahwa Umat
Kristen yang mereka anggap rendah itu suatu saat akan
menyaksikan betapa kehadirannya akan mengguncangkan dunia
dan membelah-belah wilayah gereja yang telah mereka
bangun. Saat itu pun tiba, yaitu ketika Muhammad
mengambil alih kekayaan yang dikembangkan oleh
orang-orang Kristen Yahudi, kesadaran mereka terhadap
Tuhan, eskatologi mereka dengan pernyataannya tentang
Hari Pengadilan, adat dan legenda-legenda mereka, dan
ketika Muhammad memulai kerasulan baru sebagai orang yang
dikirim Tuhan.5
Lalu, apakah Muhammad, kata Schlatter, adalah seorang
"rasul Judaeo Kristen" berbaju Arab? Ini merupakan bagian
pandangan mencengangkan, yang oleh Schlatter secara
kebetulan diperkuat lebih mendalam di awal 1918 lewat sebuah
esei berjudul "Die Entwicklung des judischen Christentums
zum Islam."6
Bagaimanapun, bahkan empat puluh tahun sebelum Schlatter,
Adolf von Harnack telah memperhatikan efek terluas dari
Kristen Yahudi terhadap Islam, atau secara lebih tepat
Kristen Yahudi Gnostik, dan khususnya orang-orang Elkesi,
terlepas dari keimanan mereka, yang mempertahankan
monoteisme keras dan menolak ajaran gerejawi tentang
hipostasis dan Anak Tuhan. Ini terdokumentasi di dalam
sejarah dogmatika Harnack.
Mengingat keadaan penelitian sekarang ini, segala
ketergantungan langsung Islam apa saja yang dibuktikan lewat
bahan-bahan asal akan terus menjadi perdebatan, tetapi
analogi-analoginya senantiasa mengagumkan. Muhammad menolak
Kristologi Anak Tuhan (monofisitik) yang sangat ortodoks,
tapi menerima Yesus sebagai rasul yang besar, sebagai
al-Masih yang membawa Injil. Sarjana Yahudi Hans-Joachim
Schoeps dengan benar mengatakan dalam Theologie und
Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen, 1949) bahwa
Walaupun tidak mungkin membuktikan hubungan yang
pasti sekali, tentu saja ada hal yang tidak dapat
diragukan tentang ketergantungan langsung Muhammad pada
Kristen Yahudi sektarian. Dengan demikian fakta bahwa
Kristen Yahudi telah lenyap dari Gereja tetapi
terpelihara di dalam Islam dan berlanjut bahkan hingga
saat ini di dalam beberapa gerakan hati Islam yang utama,
merupakan sebuah paradoks yang luar biasa besar dalam
sejarah dunia.7
Cukup mengherankan, bagian-bagian pandangan historis ini
hampir tidak diketahui dalam teologi Kristen sampai sekarang
ini, apalagi diterima dengan sungguh-sungguh. Banyak yang
perlu diteliti dalam hal ini, seperti sejarah sepupu istri
Muhammad (sepupu Khadijah), Waraqah, yang sebagai seorang
Kristen (yang hampir tidak kena pengaruh Yunani) menarik
perhatian Muhammad mula-mula kepada hubungan antara
pengalaman-pengalaman wahyu Muhammad dan
pengalaman-pengalaman wahyu Musa. Dengan kemungkinan seperti
itu, siapa yang bisa mengabaikan kenyataan bahwa di sini
terdapat kemungkinan-kemungkinan tak terbayangkan bagi
dialog segitiga yang sangat penting, "trialog", antara
orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang
Muslim? Apa pun keputusan menyangkut persoalan
ketergantungan genetik, dalam interpretasi Muhammad tentang
Yesus, tradisi-tradisi Kristen Yahudi yang dihapuskan,
disingkirkan dan dilupakan di dalam gereja Hellenistik
muncul kembali dalam sejarah; dan Kristen Yahudi ini untuk
sebagiannya telah mempertahankan perhatian Yahudi yang utama
terhadap Kristen awal.
Harus dilupakan bahwa dalam perjuangannya untuk tetap
bertahan menolak politeisme Arab kuno, yang meyakini Allah
mempunyai anak-anak lelaki dan perempuan yang semuanya dapat
dibayangkan, Muhammad tidak mempunyai pilihan selain menolak
istilah "Anak Tuhan." Pada saat yang sama, betapapun juga,
Muhammad mengambil cerita Yesus sebagaimana yang beredar
saat itu di Arab dan memberinya arti dari pikirannya
sendiri. Apa yang terjadi begitu sering di dalam Bibel
sekarang terjadi juga di dalam al-Qur'an: suatu tradisi tua
tidak semata-mata diteruskan, tetapi ditafsirkan agar
relevan dengan sudut pandang pengalaman kontemporer. Ini
pula yang terjadi dengan Perjanjian Baru. Persis seperti
orang-orang Kristen telah menggunakan banyak ungkapan
("kenabian-kenabian") Perjanjian Lama untuk merujuk pada
Yesus, walaupun ungkapan-ungkapan tersebut dimaksudkan untuk
arti yang berbeda, maka Muhammad pun menggunakan banyak hal
yang telah ia dengar tentang Yesus untuk merujuk pada
dirinya sendiri. Bagi Muhammad, kebesaran Yesus disebabkan
oleh kenyataan bahwa di dalam dan melalui diri Yesus sebagai
hamba Tuhan, Tuhan sendiri telah berkarya. Dengan demikian,
"Kristologi" Muhammad tidak terlalu jauh bergeser dari
Kristologi gereja Kristen Yahudi. Apa
konsekuensi-konsekuensi dari semua penemuan baru ini?
H. Apa yang Harus Kita Katakan?
Kita dihadapkan pada suatu problema momen yang luar
biasa, konsekuensi-konsekuensi yang belum tampak. Melihat
bahwa penemuan-penemuan tafsir dan sejarah yang telah kami
urai di atas adalah akurat dan dapat dijelaskan lebih jauh
lagi, maka penemuan-penemuan tersebut merupakan tantangan
bagi kedua belah pihak untuk menghentikan berpikir perihal
alternatif-alternatif, Yesus atau Muhammad. Sebaliknya kedua
belah pihak harus berpikir mengenai sintesis Yesus dan
Muhammad, terlepas dari semua keterbatasan dan perbedaan.
Muhammad bertindak sebagai saksi bagi Yesus, bukan bagi
seorang Yesus sebagaimana yang dapat dipandang oleh
orang-orang Kristen non-Yahudi Hellenistik, tapi bagi
seorang Yesus sebagaimana dipandang oleh murid-murid
pertamanya, yang adalah orang-orang Yahudi seperti Yesus itu
sendiri. Untuk menghindari kesalahpahaman sejak permulaan
dalam mendekati masalah ini, yang sangat sulit bagi
orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen, kita harus
memperhatikan hal berikut. Sebagai seorang Kristen
non-Yahudi Eropa, saya dapat sepenuhnya memahami
perkembangan Hellenistik dari Kristologi dan dapat menerima
kebenaran konsili-konsili Kristologis besar dari Nicaea
hingga Khalcedon: dipandang dari sudut Perjanjian Baru,
maksud-maksud dan isi konsili-konsili tersebut tentu saja
bisa diperkokoh. Saya tidak percaya bahwa seorang Kristen
hari ini dapat atau harus secara naif memulai lagi semuanya
dan menjadi seorang Kristen Yahudi, katakanlah begitu.
Tetapi dalam konteks ekumenis (dalam hubungan dengan
orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi), saya dibayangi
sebuah pertanyaan, bagaimana saya dapat membuat seorang
Muslim (atau seorang Yahudi) memahami kenapa orang-orang
Kristen mempercayai Yesus sebagai Kristus, Firman dan wahyu
Tuhan? Yang menjadi niat saya kini, saya mempunyai hak penuh
menarik perhatian kepada pilihan Kristologis yang orisinal
dan sepenuhnya sah yang, walaupun ditepikan dan
disembunyikan, dimulai didalam komunitas gereja Kristen
Yahudi paling tertua dan diteruskan selama berabad-abad oleh
komunitas-komunitas gereja Kristen Yahudi yang
terpencar-pencar dari timur Yordania hingga Arabia, dan
dengan demikian pada akhirnya beralih kepada Muhammad. Saya
juga masih bertanya-tanya apakah mungkin terdapat kategori
yang sudah ada yang dengan lebih mudah memungkinkan
orang-orang Yahudi dan orang-orang Muslim mengerti Yesus ini
sebagai wahyu Tuhan daripada sebagai ajaran Helienistik
tentang dua tabiat, yang ilahi dan yang manusiawi dalam
pribadi ilahi yang satu. Lalu, bagaimana seorang Muslim,
mungkin dengan melihat dari suatu perspektif ekumenis
seperti itu, mencoba melihat Yesus ini, dan demikian juga
bagaimana seorang Kristen mungkin melihat Muhammad?
a. Dengan cara apa orang-orang Muslim dapat memandang
Yesus? Saya akan meringkas pikiran-pikiran saya di sini
secara sangat singkat:
Orang-orang Muslim melihat Yesus sebagai nabi besar dan
utusan Tuhan Yang Esa, sosok yang secara khusus diangkat
untuk menjadi "Hamba Tuhan" oleh Tuhan sendiri, sejak dari
kelahirannya hingga pemuliaannya ke hadirat Tuhan-orang
yang, bersama dengan pesan yang ia sampaikan adalah penting
selama-lamanya bagi Muhammad. Tentu saja bagi orang-orang
Muslim, Muhammad dan al-Qur'an yang diterimanya akan tetap
menjadi, seperti sebelumnya, petunjuk yang menentukan bagi
keimanan dan tingkah laku, kehidupan dan kematian. Betapapun
juga, jika di dalam al-Qur'an Yesus diistilahkan sebagai
"Firman" Tuhan dan pembawa "Injil", bukankah orang-orang
Muslim harus mencoba memperoleh suatu pemahaman lebih luas
tentang Injil ini dan menerimanya secara sungguh-sungguh?
Hukum Islam, yang kerap dicirikan oleh penindasan, dari
perspektif pesan dan tingkah laku Yesus, dapat dilihat dalam
suatu pengetahuan yang lebih relatif (berkaitan), demi Tuhan
dan kemanusiaan. Dan manusia, meski tidak terbebas dari
hukum itu sendiri, akan terbebas dari legalisme --sama
halnya dengan kasus orang-orang Kristen Yahudi.
Dengan cara ini, akan diperoleh suatu pemahaman baru dan
lebih mendalam tentang Tuhan yang mencintai dan menderita
bersama rakyat, yang mempertimbangkan kehidupan Yesus,
kematiannya --yang tidak bisa ditolak-- dan kehidupan
barunya. Maka kematian Yesus atas nama Tuhan ini dapat
memberikan makna penderitaan dan kegagalan, dan tidak
mempunyai arti apa-apa bila dipahami di permukaan saja.
b. Dengan cara apa orang-orang Kristen dapat memandang
Muhammad? Banyak orang Kristen dengan jelas memandangnya
sebagai nabi yang penting bagi banyak bangsa di bumi,
seorang yang telah diberkahi dengan kesuksesan yang luar
biasa seumur hidupnya.
Tentu saja bagi orang-orang Kristen, Yesus Kristus dan
berita baik yang ia sampaikan merupakan ukuran yang
menentukan bagi keimanan dan tingkah laku, hidup dan mati,
Firman Tuhan yang definitif (Ibrani 1:1ff). Oleh sebab itu,
Kristus adalah dan tetap merupakan faktor pengatur yang
menentukan bagi orang-orang Kristen, demi Tuhan dan
kemanusiaan. Bagaimanapun juga, tidakkah orang-orang Kristen
harus, sesuai dengan ajaran Perjanjian Baru bahwa mereka
masih mengakui kehadiran nabi-nabi bahkan setelah Kristus,
menerima Muhammad ini, yang mengambil tradisi Kristen
Yahudi, dan nasihat-nasihatnya dengan lebih sungguh-sungguh?
Hal ini tak lain agar:
- Tuhan yang tak terbandingkan dan yang esa ditempatkan
sepenuhnya di pusat keimanan;
- persekutuan tuhan-tuhan lain adalah mustahil;
- iman dan hidup, ortodoksi dan ortopraksis
bersama-sama bahkan menjadi bagian politik.
Oleh karenanya, Muhammad akan berulang-ulang memberikan
koreksi profetik kepada orang-orang Kristen atas nama Tuhan
yang esa dan sama; "Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan" (Q., s. 46:9)
Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: Jika seorang
Muslim atau Yahudi dapat diharapkan mengakui Konsili-konsili
Hellenis dari Nicea hingga Khalcedon, apa yang akan
dilakukan oleh Yesus dari Nazareth, orang Yahudi? Pertanyaan
ini penting tidak hanya terbatas untuk seorang Kristen Arab
saja, melainkan juga bagi seorang Kristen Afrika, India,
Indonesia, Cina atau jepang.
Akhirnya --dan akan saya tutup di sini-- Islam dan
Kristen terlibat dalam sebuah keputusan keimanan yang harus
diciptakan secara rasional dan bertanggungjawab baik bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain. Sebagai seorang Kristen
saya bisa yakin bahwa, sejauh saya telah memilih Yesus ini
sebagai Kristus untuk hidup dan mati saya, saya juga telah
memilih pengikutnya, yaitu Muhammad, lantaran Muhammad juga
berseru kepada Tuhan yang sama dan satu, dan kepada
Yesus.
Di dalam buku pedoman anjuran-anjuran bermanfaat yang
dipesan oleh Gereja Protestan di Jerman yang berjudul
Christen and Muslime im Gespruch (diterbitkan oleh J.
Micksch dan M. Mildenberger,1982), perhatian diminta dengan
adil, paling tidak secara singkat, untuk hubungan yang
mungkin antara Islam dan Kristen Yahudi:
Hal yang paling penting ialah bahwa orang-orang
Kristen dan orang-orang Muslim tinggal di dunia yang sama
dan harus membuktikan keimanan mereka. Mereka tidak
selalu bereaksi dengan cara yang sama terhadap seluruh
tantangan dunia ini. Walau pun begitu, terlepas dari
semua perbedaan, orang-orang Kristen dan orang-orang
Muslim diwajibkan oleh keimanan mereka hidup dengan
tanggung jawab di hadapan Tuhan dan melayani masyarakat
manusia. Dengan penuh penghormatan satu sama lain, mereka
tidak boleh gagal untuk saling memberikan bukti keimanan
mereka satu sama lain (edisi Jerman hal.12ff.).
Catatan kaki:
4 Paul Schwarzenau,
Korankunde fur Christen (Stuttgart: Kreuz-Verlag, 1982),
hal.124.
5 Adolf Schlatter, Die
Geschichte der ersten Christenheit (Stuttgart: Calwer
Verlag, 1983; edisi pertana Aufl. Gutersloh, 1926), hal.
376-77 (terj.)
6 Adolf Schlatter, "Die
Entwicklung des judischen Christentums zum Islam,"
Eyangelisches Missionsmagazin, N.S. LXII (1918), 251-64.
7 Hans-Joachim Schoeps,
Theologie and Geschichte des Jundenchristentums (Tubingen:
Mohr, 1949), hal. 342.
|