|
|
|
|
|
PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Dr. Yusuf Qardhawi (3/3)
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)
Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia
berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,
mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka
tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah
Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)
Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum
kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan
yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah
adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)
Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan
perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )
Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau
wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita
muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan
menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,
melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang
dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,
perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas
diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita
sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya
Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan
dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
berfirman:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
sopan:
"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
yang melihatnya untuk menghormatinya.
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
Allah:
"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
dengan firman-Nya:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
seperti yang disebut dalam hadits:
"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
jahiliah modern
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
dan mendidik anak-anak.
Catatan kaki:
1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
(Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |