Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN      (1/3)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan  sudah  barang
tentu  juga  dihadapi  orang  lain,  yaitu  masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan  wanita,  khususnya  terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara  ibu,  atau
saudara  wanita  istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan  kekerabatan  atau  persemendaan  dengan  saya.
Lebih-lebih  dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji  atau  umrah,
atau  saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan  bertahni'ah
(mengucapkan  selamat  atasnya)  dan  berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.
 
Pertanyaan saya, apakah ada nash  Al-Qur'an  atau  As-Sunnah
yang  mengharamkan  berjabat  tangan antara laki-laki dengan
wanita,  sementara  sudah  saya  sebutkan  banyak   motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari  fitnah,  dan  jauh  dari
rangsangan  syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama  ini
kuno   dan   terlalu   ketat,   merendahkan  wanita,  selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
 
Apabila ada dalil syar'inya, maka kami  akan  menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami  kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka  adakalanya
fuqaha-fuqaha   kita   sekarang   boleh   berbeda   pendapat
dengannya, apabila  mereka  mempunyai  ijtihad  yang  benar,
dengan  didasarkan  pada  tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
 
Karena itu, saya menulis  surat  ini  kepada  Ustadz  dengan
harapan  Ustadz  berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan  Al-Qur'anul  Karim  dan  Al-Hadits  asy-Syarif.
Kalau   ada  dalil  yang  melarang  sudah  tentu  kami  akan
berhenti; tetapi jika dalam  hal  ini  terdapat  kelapangan,
maka  kami  tidak  mempersempit  kelapangan-kelapangan  yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih  sangat  diperlukan
dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.
 
Saya  berharap  kesibukan-kesibukan  Ustadz  yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz  untuk  menjawab  surat  saya  ini,
sebab  -  sebagaimana  saya  katakan di muka - persoalan ini
bukan  persoalan  saya  seorang,  tetapi  mungkin  persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
 
Semoga  Allah  melapangkan  dada  Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz  untuk  menahkik  masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
 
JAWABAN
 
Tidak  perlu  saya  sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah  hukum  berjabat  tangan  antara  laki-laki   dengan
perempuan  -  yang  saudara tanyakan itu - merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik  hukumnya  tidak  bisa
dilakukan  dengan  seenaknya.  Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga  si  mufti  harus
bebas  dari  tekanan  pikiran  orang  lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila  tidak  didapati
acuannya    dalam    Al-Qur'an    dan   As-Sunnah   sehingga
argumentasi-argumentasinya    dapat    didiskusikan    untuk
memperoleh  pendapat  yang  lebih  kuat  dan lebih mendekati
kebenaran menurut  pandangan  seorang  faqih,  yang  didalam
pembahasannya    hanya    mencari    ridha    Allah,   bukan
memperturutkan hawa nafsu.
 
Sebelum memasuki pembahasan  dan  diskusi  ini,  saya  ingin
mengeluarkan  dua  buah  gambaran  dari  lapangan  perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum  kedua  gambaran
itu  tidak  diperselisihkan  oleh  fuqaha-fuqaha  terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
 
Pertama, diharamkan berjabat tangan  dengan  wanita  apabila
disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan  syahwat  sudah  barang  tentu  lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah
wajib,  lebih-lebih  jika  telah  tampak  tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
 
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para  ulama
bahwa  bersentuhan  kulit  antara laki-laki dengannya - yang
pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram  apabila
disertai   dengan   syahwat  atau  dikhawatirkan  terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan  anak  perempuan  si  istri  (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan  hati  ibu  kandung,
anak  kandung,  saudara  wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.
 
Kedua,  kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai
syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
 
Hal  ini  didasarkan  pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa  orang  wanita
tua,  dan  Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk  merawatnya,  maka  wanita  itu   mengusapnya   dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
 
Hal  ini  sudah  ditunjukkan  Al-Qur'an  dalam  membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari  haid  dan
mengandung),  dan  tiada  gairah  terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
 
"Dan  perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka   dosa   menanggalkan  pakaian  mereka  dengan  tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan  adalah
lebih  baik  bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (an-Nur: 60)
 
Dikecualikan  pula  laki-laki  yang  tidak  memiliki  gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya.  Mereka  dikecualikan  dari   sasaran   larangan
terhadap   wanita-wanita   mukminah  dalam  hal  menampakkan
perhiasannya.
 
"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau  saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau   putra-putra   saudara    perempuan    mereka,    atau
wanita-wanita  Islam,  atau  budak-budak yang mereka miliki,
atau  pelayan-pelayan   laki-laki   yang   tidak   mempunyai
keinginan   (terhadap  wanita)  atau  anak-anak  yang  belum
mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)
 
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan  dan  pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.
 
Golongan yang mewajibkan  wanita  menutup  seluruh  tubuhnya
hingga  wajah  dan  telapak  tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
 
"... Dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya  kecuali
yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
 
Bahkan  mereka  menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju  panjang,  mantel,  dan
sebagainya,   atau   yang   tampak  karena  darurat  seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya.  Maka
tidak   mengherankan   lagi  bahwa  berjabat  tangan  antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram.  Sebab,
apabila   kedua   telapak  tangan  itu  wajib  ditutup  maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja  haram,
apa  lagi  menyentuhnya.  Sebab,  menyentuh  itu lebih berat
daripada melihat,  karena  ia  lebih  merangsang,  sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
 
Tetapi  sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas  fuqaha  dari
kalangan  sahabat,  tabi'in,  dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang
biasa  tampak  daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.
 
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat  tangan
yang tidak disertai syahwat?
 
Sebenarnya  saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan  demikian,  tetapi  tidak  saya
temukan.
 
Dalil  yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari'ah), dan  alasan  ini  dapat  diterima  tanpa
ragu-ragu  lagi  ketika  syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah  bila  telah  tampak  tanda-tandanya.  Tetapi   dalam
kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak
keharamannya?
 
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak   berjabat   tangan  dengan  perempuan  ketika  beliau
membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah  yang  terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
 
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan  -
secara   pasti   -   akan  keharamannya.  Adakalanya  beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya  hal  itu  kurang  utama,  dan  adakalanya  hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
 
Kalau  begitu,  sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak  dapat  dijadikan  dalil  untuk  menetapkan
keharamannya,  oleh  karena  itu  harus  ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.
 
Lebih dari itu,  bahwa  masalah  Nabi  saw.  tidak  berjabat
tangan  dengan  kaum  wanita  pada  waktu  bai'at  itu belum
disepakati,   karena   menurut    riwayat    Ummu    Athiyah
al-Anshariyah  r.a.  bahwa  Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
 
Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari  Aisyah  bahwa
Rasulullah   saw.   menguji   wanita-wanita   mukminah  yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
 
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan  yang
beriman  untuk  mengadakan  janji  setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan  Allah;  tidak  akan
mencuri,   tidak   akan   berzina,   tidak   akan   membunuh
anak-anaknya,  tidak  akan   berbuat   dusta   yang   mereka
ada-adakan  antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka  terimalah  janji
setia  mereka  dan  mohonkanlah  ampunan  kepada Allah untuk
mereka.  Sesungguhnya  Allah  Maha   Pengampun   lagi   Maha
Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)
 
Aisyah  berkata,  "Maka  barangsiapa  diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut,  Rasulullah  saw.
berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan
saja - dan  demi  Allah  tangan  beliau  sama  sekali  tidak
menyentuh  tangan  wanita  dalam  bai'at  itu;  beliau tidak
membai'at mereka melainkan dengan  mengucapkan,  'Aku  telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4
 
Dalam  mensyarah  perkataan  Aisyah "Tidak, demi Allah ...,"
al-Hafizh Ibnu  Hajar  berkata  dalam  Fathul  Bari  sebagai
berikut:   Perkataan  itu  berupa  sumpah  untuk  menguatkan
berita,  dan  dengan  perkataannya  itu  seakan-akan  Aisyah
hendak   menyangkal   berita  yang  diriwayatkan  dari  Ummu
Athiyah.   Menurut   riwayat   Ibnu    Hibban,    al-Bazzar,
ath-Thabari,  dan  Ibnu  Mardawaih,  dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari  neneknya,  Ummu  Athiyah,  mengenai  kisah
bai'at, Ummu Athiyah berkata:
 
"Lalu  Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,  kemudian
beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"
 
Demikian  pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:
 
"Seorang wanita menahan tangannya"
 
Memberi kesan seolah-olah  mereka  melakukan  bai'at  dengan
tangan mereka.
 
Al-Hafizh  (Ibnu  Hajar)  berkata:  "Untuk  yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa  mengulurkan  tangan  dari  balik
hijab  mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak
sampai berjabat tangan...  Adapun  untuk  yang  kedua,  yang
dimaksud  dengan  menggenggam  tangan  itu  ialah menariknya
sebelum  bersentuhan...  Atau  bai'at  itu  terjadi   dengan
menggunakan lapis tangan.
 
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa
Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau  membawa  kain
selimut  bergaris  dari  Qatar  lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,
 
"Aku tidak berjabat dengan wanita."
 
Dalam  Maghazi  Ibnu  Ishaq  disebutkan  bahwa   Nabi   saw.
memasukkan  tangannya  ke  dalam  bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.
 
                                      (Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team