Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN      (3/3)
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Ini  merupakan  dalil  yang  menunjukkan  betapa tawadhu'nya
Rasulullah saw.  dan  betapa  bersihnya  beliau  dari  sikap
sombong."10
 
Apa  yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar
dapat diterima, tetapi  beliau  memalingkan  makna  memegang
tangan  dari  makna  lahiriahnya  kepada  kelazimannya  yang
berupa kasih sayang dan ketundukan,  tidak  dapat  diterima,
karena  makna  lahir  dan  kelaziman itu adalah dua hal yang
dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya  perkataan
itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil
atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir.
Sedangkan  dalam  hal  ini  saya tidak menjumpai faktor yang
mencegah atau melarang dipakainya makna  lahir  itu,  bahkan
riwayat  Imam  Ahmad  yang  menyebutkan  "maka  beliau tidak
melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia  membawa
beliau  pergi  kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas
bahwa makna lahir itulah  yang  dimaksud.  Sungguh  termasuk
memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar
dari makna lahir ini.
 
Lebih banyak dan lebih mengena lagi  apa  yang  diriwayatkan
dalam  Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi
saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang  bernama  Ummu
Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur
di sisi  Ummu  Haram  dengan  meletakkan  kepala  beliau  di
pangkuan  Ummu  Haram,  dan  Ummu  Haram membersihkan kepala
beliau dari kutu ..."
 
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan,  "Hadits
ini  memperbolehkan  tamu  tidur  siang  di rumah orang lain
(yakni tuan rumah) dengan memenuhi  persyaratannya,  seperti
dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita
asing  (bukan  istri)  melayani  tamu  dengan  menghidangkan
makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
 
Hadits  ini  juga  memperbolehkan  wanita  melayani  tamunya
dengan  membersihkan  kutu   kepalanya.   Tetapi   hal   ini
menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil
Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu  dahulunya  menyusui
Rasulullah  saw.  (waktu  kecil), atau saudaranya yaitu Ummu
Sulaim, sehingga  masing-masing  berkedudukan  "sebagai  ibu
susuan"  atau  bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu,
beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah
apa yang layak dilakukan oleh mahram."
 
Selanjutnya   Ibnu  Abdil  Barr  membawakan  riwayat  dengan
sanadnya  yang  menunjukkan  bahwa  Ummu   Haram   mempunyai
hubungan  mahram  dengan  Rasul  dari  jurusan bibi (saudara
ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi,  adalah  dari
Bani Najjar ...
 
Yang  lain  lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara
dari  dosa  dan  kesalahan).  Beliau   mampu   mengendalikan
hasratnya  terhadap  istrinya,  maka  betapa  lagi  terhadap
wanita  lain  mengenai   hal-hal   yang   beliau   disucikan
daripadanya?  Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan
perkataan-perkataan  kotor,  dan  ini  termasuk   kekhususan
beliau."
 
Tetapi  pendapat  ini  disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan
argumentasi bahwa  kekhususan  itu  tidak  dapat  ditetapkan
dengan   sesuatu   yang   bersifat   kemungkinan.   Tetapnya
kemaksuman  beliau  memang  dapat  diterima,   tetapi   pada
dasarnya  tidak  ada  kekhususan dan boleh meneladani beliau
dalam  semua  tindakan  beliau,  sehingga  ada  dalil   yang
menunjukkan kekhususannya.
 
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras
lagi terhadap orang  yang  mengatakan  kemungkinan  pertama,
yaitu  anggapan  tentang  adanya  hubungan kemahraman antara
Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
 
"Mengigau orang yang menganggap  Ummu  Haram  sebagai  salah
seorang  bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab.
Sudah dimaklumi, orang-orang yang  menyusukan  beliau  tidak
ada  seorang  pun  di antara mereka yang berasal dari wanita
Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin
Zaid  bin  Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin
an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin
Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu
Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin
Ghanam,  kakek  mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan
bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab  ini
adalah  bibi  majazi,  seperti  perkataan Nabi saw. terhadap
Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad  dari  Bani
Zahrah,  kerabat  ibu  beliau  Aminah, sedangkan Sa'ad bukan
saudara Aminah, baik nasab maupun susuan."
 
Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila  sudah  tetap
yang  demikian,  maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang
menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah  masuk  ke  tempat
wanita   selain  istri-istri  beliau,  kecuali  kepada  Ummu
Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau
menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam
peperangan bersama  saya.'  Yakni  Haram  bin  Milhan,  yang
terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah."
 
Apabila  hadits  ini  mengkhususkan  pengecualian untuk Ummu
Sulaim,  maka  demikian  pula  halnya  dengan   Ummu   Haram
tersebut.   Karena  keduanya  adalah  bersaudara  dan  hidup
didalam  satu  rumah,  sedangkan  Haram  bin  Milhan  adalah
saudara  mereka  berdua.  Maka 'illat (hukumnya) adalah sama
diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
 
Dan ditambahkan  pula  kepada  'illat  tersebut  bahwa  Ummu
Sulaim  adalah  ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah
berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan,  yang  dilayani,
serta   keluarganya,   serta  ditiadakan  kekhawatiran  yang
terjadi diantara orang-orang luar.
 
Kemudian  ad-Dimyati  berkata,  "Tetapi  hadits  itu   tidak
menunjukkan  terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu
Haram,  kemungkinan  pada  waktu  itu  disertai  oleh  anak,
pembantu, suami, atau pendamping."
 
Ibnu  Hajar  berkata,  "Ini merupakan kemungkinan yang kuat,
tetapi masih  belum  dapat  menghilangkan  kemusykilan  dari
asalnya,  karena  masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam
membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan."
 
Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini
ialah  dengan  menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini
tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak  ditetapkan
kecuali  dengan  dalil,  karena dalil mengenai hal ini sudah
jelas."11
 
Tetapi  saya  tidak  tahu  mana  dalilnya  ini,  samar-samar
ataukah jelas?
 
Setelah  memperhatikan  riwayat-riwayat  tersebut, maka yang
mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata  bersentuhan
kulit  tidaklah  haram.  Apabila  didapati  sebab-sebab yang
menjadikan  percampuran  (pergaulan)  seperti  yang  terjadi
antara  Nabi  saw.  dengan  Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta
aman  dari  fitnah  bagi  kedua  belah  pihak,  maka   tidak
mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan
ketika diperlukan, seperti  ketika  datang  dari  perjalanan
jauh,  seorang  kerabat  laki-laki berkunjung kepada kerabat
wanita yang bukan mahramnya atau  sebaliknya,  seperti  anak
perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu
maupun dari pihak ayah, atau istri  paman,  dan  sebagainya,
lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
 
Dalam  menutup  pembahasan  ini  ada dua hal yang perlu saya
tekankan:
 
Pertama,  bahwa  berjabat  tangan   antara   laki-laki   dan
perempuan  itu  hanya  diperbolehkan  apabila tidak disertai
dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan
terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat
dan taladzdzudz (berlezat-lezat)  dari  salah  satunya  (apa
lagi  keduanya;  penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak
diragukan lagi.
 
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi  -  yaitu
tiadanya  syahwat  dan  aman  dari fitnah - meskipun jabatan
tangan  itu  antara  seseorang  dengan   mahramnya   seperti
bibinya,   saudara  sesusuan,  anak  tirinya,  ibu  tirinya,
mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan  pada  kondisi
seperti itu adalah haram.
 
Bahkan  berjabat  tangan  dengan  anak  yang masih kecil pun
haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
 
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas  ada  kebutuhan
saja,  seperti  yang  disebutkan  dalam  pertanyaan di atas,
yaitu dengan  kerabat  atau  semenda  (besan)  yang  terjadi
hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik
hal ini diperluas kepada orang lain, demi  membendung  pintu
kerusakan,  menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan
meneladani  Nabi  saw.  -  tidak  ada  riwayat   kuat   yang
menyebutkan  bahwa  beliau  pernah  berjabat  tangan  dengan
wanita lain (bukan kerabat  atau  tidak  mempunyai  hubungan
yang erat).
 
Dan  yang  lebih  utama  bagi seorang muslim atau muslimah -
yang komitmen pada agamanya - ialah tidak  memulai  berjabat
tangan  dengan  lain  jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat
tangan barulah ia menjabat tangannya.
 
Saya tetapkan keputusan ini untuk  dilaksanakan  oleh  orang
yang  memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya,
dan  bagi   orang   yang   telah   mengetahui   tidak   usah
mengingkarinya    selama   masih   ada   kemungkinan   untuk
berijtihad.
 
Wallahu a'lam.
 
Catatan kaki:
 
 1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
 2 Ibid.,  4: 156-157
 3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan
   kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan
   pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki
   dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si
   Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan
   Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
 4 HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat
   al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu
   Muhaajiraat."
 5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi
   Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang
   sahih."
 6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat
   asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam
   sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang
   kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat
   sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh
   dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia
   menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang
   artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang
   (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam.
   Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
   dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR
   Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40)
 7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
 8 Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid
   21, hlm. 223-224.
 9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan
   redaksional
 
                                      (Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X
 

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team