Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

AKHLAK                                                   (2/3)
 
Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw.,  beliau
menjawab,
 
          Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran
          (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
 
Semua sifat Allah tertuang dalam  Al-Quran.  Jumlahnya  bahkan
melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis.
 
Sifat-sifat  Allah  itu  merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia
Esa di dalam zat, sifat, dan  perbuatan-Nya?  Karenanya  tidak
wajar   jika  sifat-sifat  itu  dinilai  saling  bertentangan.
Artinya, semua sifat  memiliki  tempatnya  masing-masing.  ada
tempat  untuk  keperkasaan  dan  keangkuhan Allah, juga tempat
kasih sayang dan kelemah-lembutan-Nya. Ketika  seorang  Muslim
meneladani  sifat  Al-Kibriya'  (Keangkuhan  Allah),  ia harus
ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan  kecuali
dalam  konteks  ancaman  terhadap  para  pembangkang, terhadap
orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul  Saw  melihat
seseorang  yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau
bersabda,
 
     "Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali
     dalam kondisi semacam ini."
 
Seseorang yang berusaha  meneladani  sifat  Al-Kibriya'  tidak
akan   meneladaninya  kecuali  terhadap  manusia-manusia  yang
angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan,
 
     "Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah
     sedekah".
 
Ketika  seorang  Muslim  berusaha  meneladani   kekuatan   dan
kebesaran  Ilahi,  harus  diingat  bahwa  sebagai  makhluk  ia
terdiri dan jasad dan ruh, sehingga keduanya  harus  sama-sama
kuat.   Kekuatan  dan  kebesaran  itu  mesti  diarahkan  untuk
membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk  menopang
yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran
mengulang-ulang  kebesaran  Allah,  Al-Quran  juga  menegaskan
bahwa:
 
     Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang,
     angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).
 
Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya,  ia  harus
menyadari   bahwa   istilah   yang  digunakan  Al-Quran  untuk
menunjukkan sifat  itu  adalah  Al-Ghani.  Ini  yang  maknanya
adalah  tidak  membutuhkan  --dan bukan kaya materi-- sehingga
esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan  berdiri  sendiri
atau  tidak  menghajatkan  pihak  lain,  sehingga  tidak perlu
membuang air muka untuk meminta-minta.
 
     Orang-orang yang tidak tahu, menduga mereka kaya,
     karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS
     Al-Baqarah [2]: 273)
 
Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk, ia sadar bahwa
dirinya amat membutuhkan Allah:
 
     Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah
     orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir
     [35]: 15).
 
Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang  lain,  yang
harus  diteladaninya,  seperti  Maha  Mengetahui, Maha Pemaaf,
Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.
 
Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang  atau  masyarakat
jika  menjadikan  sifat-sifat  Allah  sebagai  tolok ukur, dan
tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat  sebagai  tolok
ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda
antara seseorang  dengan  yang  1ain,  bahkan  seseorang  yang
berada  dalam  kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda,
dengan kondisi  lainnya.  Boleh  jadi  suatu  masyarakat  yang
terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.
 
SASARAN AKHLAK
 
Akhlak  dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,
jika etika dibatasi pada sopan santun  antar  sesama  manusia,
serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
 
Akhlak  lebih  luas  maknanya  daripada yang telah dikemukakan
terdahulu  serta  mencakup  pula  beberapa  hal   yang   tidak
merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap
batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup  berbagai
aspek,  dimulai  dari  akhlak  terhadap  Allah,  hingga kepada
sesama  makhluk  (manusia,  binatang,   tumbuh-tumbuhan,   dan
benda-benda tak bernyawa).
 
Berikut   upaya  pemaparan  sekilas  beberapa  sasaran  akhlak
Islamiyah.
 
a. Akhlak terhadap Allah
 
Titik  tolak  akhlak  terhadap  Allah  adalah  pengakuan   dan
kesadaran  bahwa  tiada  Tuhan  melainkan  Allah. Dia memiliki
sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang  jangankan
manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
 
     Mahasuci engkau --Wahai Allah-- kami tidak mampu
     memuji-Mu; Pujian atas-Mu, adalah yang Engkau pujikan
     kepada diri-Mu.
 
Demikian ucapan para malaikat.
 
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran  mengajarkan  kepada  manusia
untuk    memuji-Nya,   Wa   qul   al-hamdulillah   (Katakanlah
"al-hamdulillah"). Dalam  Al-Quran  surat  An-Nam1  (27):  93,
secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,
 
     Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan
     memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya,
     maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai
     dari apa yang kamu kerjakan."
 
     Mahasuci Allah dan segala sifat yang mereka sifatkan
     kepada-Nya, kecuali (dari) hamba-hamba Allah yang
     terpilih (QS Ash-Shaffat [37]: 159-160).
 
Teramati bahwa semua makhluk  --kecuali  nabi-nabi  tertentu--
selalu   menyertakan   pujian   mereka   kepada  Allah  dengan
menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
 
     Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan
     mereka (QS Asy-Syura [42]: 5).
 
     Guntur menyucikan (Tuhan) sambil memuji-Nya (QS
     Ar-Ra'd [13]: 13).
 
     Dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih
     (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya (QS Al-Isra'
     [17]: 44).
 
Semua itu menunjukkan bahwa  makhluk  tidak  dapat  mengetahui
dengan  baik  dan  benar  betapa  kesempurnaan dan keterpujian
Allah  Swt.  Itu  sebabnya   mereka   --sebelum   memuji-Nya--
bertasbih  terlebih  dahulu  dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai  pujian  yang  mereka  ucapkan  tidak   sesuai   dengan
kebesaran-Nya.    Bertitik    tolak   dari   uraian   mengenai
kesempurnaan Allah, tidak heran kalau  Al-Quran  memerintahkan
manusia  untuk  berserah  diri  kepada-Nya, karena segala yang
bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
 
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan  manusia  untuk
menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS
Al-Muzzammil (73): 9:
 
     (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan
     melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil
     (pelindung).
 
Kata "wakil"  bisa  diterjemahkan  sebagai  "pelindung".  Kata
tersebut  pada  hakikatnya  terambil dari kata "wakala-yakilu"
yang berarti mewakilkan.
 
Apabila seseorang mewakilkan kepada orang  lain  (untuk  suatu
persoalan),  maka  ia  telah  menjadikan  orang  yang mewakili
sebagai dirinya sendiri dalam  menangani  persoalan  tersebut,
sehingga  sang  wakil  melaksanakan  apa yang dikehendaki oleh
orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
 
Menjadikan  Allah  sebagai  wakil  sesuai  dengan  makna  yang
disebutkan   di  atas  berarti  menyerahkan  segala  persoalan
kepada-Nya.  Dialah  yang  berkehendak  dan  bertindak  sesuai
dengan   kehendak  manusia  yang  menyerahkan  perwakilan  itu
kepada-Nya.
 
Makna seperti itu dapat menimbulkan kesalahpahaman jika  tidak
dijelaskan  lebih  jauh.  Pertama  sekali  harus diingat bahwa
keyakinan tentang Keesaan  Allah  antara  lain  berarti  bahwa
perbuatan-Nya  esa,  sehingga  tidak  dapat  disamakan  dengan
perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Sebagai  contoh,
Allah  Maha  Pengasih  (Rahim) dan Maha Pemurah (Karim). Kedua
sifat ini dapat pula dinisbahkan kepada manusia, namun hakikat
dan kapasitas rahmat dan kemurahan Tuhan tidak dapat disamakan
dengan apa yang dimiliki manusia, karena mempersamakan hal itu
akan berakibat gugurnya makna keesaan.
 
Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah
Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua  maha
yang   mengandung   pujian.   Manusia   sebaliknya,   memiliki
keterbatasan pada segala hal. Jika  demikian  "perwakilan"-Nya
pun berbeda dengan perwakilan manusia.
 
Benar  bahwa  wakil  diharapkan  dan  dituntut  untuk memenuhi
kehendak  yang  mewakilkan.  Namun,  karena  dalam  perwakilan
manusia sering terjadi kedudukan maupun pengetahuan orang yang
mewakilkan lebih tinggi daripada sang wakil, dapat saja  orang
yang  mewakilkan  tidak  menyetujui  atau membatalkan tindakan
sang waki1 atau menarik kembali perwakilannya, bila ia  merasa
--berdasarkan  pengetahuan  dan  keinginannya--  tindakan sang
wakil  merugikan.  Jika  seseorang  menjadikan  Allah  sebagai
wakil,  hal  serupa tidak akan terjadi, karena sejak semula ia
telah  menyadari  keterbatasan  dirinya,  dan  menyadari  pula
Kemahamutlakan Allah Swt. Oleh karena itu, ia akan menerimanya
dengan sepenuh hati, baik mengetahui maupun tidak hikmah suatu
perbuatan Tuhan.
 
     Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui
     (QS Al-Baqarah: 216).
 
     Dan tidak wajar bagi lelaki Mukmin, tidak pula bagi
     wanita Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
     menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
     pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS
     Al-Ahzab [33]: 36).
 
Demikian salah satu perbedaan antara perwakilan manusia kepada
Tuhan dengan perwakilan manusia kepada selain-Nya.
 
Perbedaan   kedua   adalah   dalam   keterlibatan  orang  yang
mewakilkan.
 
Jika Anda mewakilkan orang lain  untuk  melaksanakan  sesuatu,
Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan ha1 tertentu. Anda
tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu  telah  dikerjakan
oleh sang wakil.
 
Ketika  menjadikan  Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut
untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
 
Perintah   bertawakal    kepada    Allah    --atau    perintah
menjadikan-Nya  sebagai  wakil-- terulang dalam bentuk tunggal
(tawakkal) sebanyak sembilan  kali,  dan  dalam  bentuk  jamak
(tawakkalu)   sebanyak   dua  kali.  Semuanya  didahului  oleh
perintah melakukan sesuatu,  lantas  disusul  dengan  perintah
bertawakal.  perhatikan  misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat
61:
 
     Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
     kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.
 
Yang lebih jelas lagi adalah dalam Al-Quran surat Al-Maidah
 
     Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota); apabila
     kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang, dan hanya
     kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu
     benar-benar orang yang beriman.
 
Jika Anda telah merasa yakin terhadap kesempurnaan Allah,  dan
segala  yang dilakukan-Nya adalah baik serta terpuji, Anda pun
harus percaya bahwa:
 
     Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah,
     dan apa saja bencana yang menimpamu, itu dan
     (kesalahan) dirimu sendiri (QS An-Nisa' [4]: 79).
 
Al-Quran memberi contoh bagaimana  seharusnya  seorang  Muslim
mengekspresikan keyakinan itu dalam ucapan-ucapannya.
 
Perhatikan pengajaran Allah dalam Al-Quran surat Al-Fatihah:
 
     Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat,
     bukan jalan orang yang dimurkai, dan bukan (jalan)
     mereka yang sesat (QS Al-Fatihah [1]: 7).
 
Di sini, petunjuk jalan menuju kebaikan  dinyatakan  bersumber
dari  Allah  yang  memberi  nikmat. Perhatikan redaksi ayat di
atas "yang telah  Engkau  anugerahi  nikmat".  Tetapi,  ketika
berbicara  tentang  jalan  orang-orang  sesat  dan  yang  akan
mendapat  murka,  tidak  dinyatakan  "jalan  orang-orang  yang
Engkau  murkai,"  tetapi  "yang  dimurkai," karena murka dapat
mengandung makna negatif, sehingga tidak wajar disandar kepada
Allah.
 
Perhatikan juga ucapan Nabi Ibrahim a.s.:
 
     Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku (QS
     Asy-Syu'ara' [26]: 80).
 
Karena penyakit merupakan sesuatu yang buruk, tidak dinyatakan
bahwa  ia  berasal  dari  Tuhan,  tetapi,  apabila  aku  sakit
kesembuhan yang merupakan  sesuatu  yang  terpuji,  dinyatakan
bahwa "Dia (Allah) yang menyembuhkan".
 
Sekali  lagi,  bacalah  firman  Allah dalam surat Al-Kahf yang
mengisahkan perjalanan Nabi Musa a.s.  bersama  seorang  hamba
pilihan Allah (Khidir a.s.).
 
Ketika  sang  hamba  Allah itu membocorkan perahu, dia berucap
"Aku  ingin  merusaknya"  (ayat  79),  ini  disebabkan  karena
pembocoran  perahu  tampak  sebagai sesuatu yang buruk. Tetapi
ketika ia membangun kembali tembok yang hampir rubuh,  kalimat
yang  digunakan  adalah  "Maka Tuhanmu menghendaki" (ayat 82),
karena di sana amat jelas sisi positif pembangunan itu. Ketika
Khidhir  membunuh  seorang  bocah  dengan  maksud  agar  Tuhan
menggantikan  dengan  bocah  yang  lebih  baik,  redaksi  yang
digunakannya   adalah   "Maka  kami  berkehendak"  (ayat  81).
Kehendaknya  adalah  pembunuhan,  dan  kehendak  Tuhan  adalah
penggantian anak dengan yang lebih baik.
 
----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team