Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

EKONOMI                                                  (1/2)

Masalah-masalah pokok  ekonomi  menurut  para  pakar  mencakup
antara 1ain:

a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
e. Dan lain-lain.

Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka  boleh  jadi  kita
dapat  menyederhanakan  kajian  tulisan  ini, dengan mengambil
alih pandangan sekian pakar yang mendefinisikan  ilmu  ekonomi
sebagai  "ilmu  mengenai  perilaku  manusia  yang  berhubungan
dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakannya".

Pendorong bagi kegiatan itu  adalah  kebutuhan  dan  keinginan
manusia  yang  tidak  mungkin  diperoleh secara mandiri. Untuk
memenuhinya manusia terpaksa melakukan kerja sama, dan  sering
kali  juga  terpaksa harus mengorbankan sebagian keinginannya,
atau  mengantarnya  menetapkan   prioritas   dalam   melakukan
pilihan.

Namun  ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya,
sehingga ia terdorong untuk menganiaya, baik  terhadap  sesama
manusia   maupun  makhluk  lain.  Dari  sini  amat  diperlukan
peraturan serta etika yang mengatur kegiatan ekonomi.

Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang
dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.

Harus  diakui  bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi
hanya mengamanatkan  nilai-nilai  (prinsip-prinsip)-nya  saja.
Sunnah   Nabi   dan   analisis   para  ulama  dan  cendekiawan
mengemukakan    sebagian    dari    rincian    dalam    rangka
operasionalisasinya.

UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN

Terlebih  dahulu  perlu  dijelaskan pandangan Al-Quran tentang
harta (uang) dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.

"Uang" antara lain diartikan  sebagai  "harta"  kekayaan,  dan
"nilai tukar bagi sesuatu".

Berbeda  dengan  dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa
Islam kurang menyambut baik kehadiran  uang,  pada  hakikatnya
pandangan  Islam terhadap uang dan harta amat positif. Manusia
diperintahkan Allah untuk  mencari  rezeki  bukan  hanya  yang
mencukupi  kebutuhannya,  tetapi  Al-Quran memerintahkan untuk
mencari apa yang  diistilahkannya  fadhl  Allah,  yang  secara
harfiah  berarti  "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah
satu ayat yang menunjuk ini adalah:

     Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka
     bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl
     (kelebihan/rezeki) Allah (QS A1-Jumu'ah [62]: 10).

Kelebihan  tersebut  dimaksudkan   antara   lain   agar   yang
memperoleh   dapat  melakukan  ibadah  secara  sempurna  serta
mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh  karena
satu dan lain sebab tidak berkecukupan.

Harta  atau  uang  dinilai  oleh Allah Swt. sebagai "qiyaman",
yaitu "sarana pokok kehidupan" (QS  Al-Nisa'  [4):  5).  Tidak
heran  jika  Islam  memerintahkan  untuk menggunakan uang pada
tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya.  Bahkan
memerintahkan  untuk  menjaga  dan memeliharanya sampai-sampai
Al-Quran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun,
apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus
hartanya secara baik. Dalam  konteks  ini,  A1-Quran  berpesan
kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang:

     Janganlah kamu memberi orang-orang yang lemah kemampuan
     (dalam pengurusan harta) harta (mereka yang ada di
     tangan kamu dan yang dijadikan Allah untuk semua
     sebagai sarana pokok kehidupan) (QS Al-Nisa' [4]: 5).

Bukan  hanya  itu,  Al-Quran  memerintahkan  siapa  pun   yang
melakukan  transaksi  hutang  piutang,  agar  mencatat  jumlah
hutang piutang itu, jangan  sampai  oleh  satu  dan  lain  hal
tercecer hilang atau berkurang.

     Jangan bosan (enggan) menulisnya sedikit atau banyak
     sampai batas waktu pembayarannya (QS Al-Baqarah [2]:
     282).

Bahkan   kalau   perlu   meminta   bantuan    notaris    dalam
pencatatannya.

Kepada  notaris  serta  yang  melakukan  transaksi  itu, Allah
berpesan pada lanjutan ayat di atas:

     [tulisan Arab]

dalam arti, hendaknya  notaris  jangan  merugikan  orang  yang
melakukan   transaksi   terutama   dengan   mengurangi  haknya
masing-masing, dan bagi  yang  melakukan  transaksi  hendaknya
jangan  juga  merugikan  sang notaris dalam waktu, tenaga, dan
pikirannya tanpa memberi  imbalan  yang  wajar.  Diperintahkan
juga  agar memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau
bukan dua orang lelaki, maka  seorang  lelaki  dan  dua  orang
perempuan:

     Agar kalau seseorang tersesat/lupa, maka yang satu
     lainnya akan mengingatkannya (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Demikian antara lain  kandungan  pesan  ayat  yang  terpanjang
dalam Al-Quran.

Pandangan  Al-Quran  terhadap  uang  atau  harta  seperti yang
dikemukakan sekilas  ini,  bertitik  tolak  dari  pandangannya
terhadap   naluri   manusia.   Seperti   diketahui,   Al-Quran
memperkenalkan agama Islam antara lain  sebagai  agama  fitrah
dalam  arti  ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia
serta naluri positifnya. Dalam  bidang  harta  atau  keuangan,
Kitab Suci umat Islam secara tegas menyatakan:

     Telah menjadi naluri manusia kecintaan kepada lawan
     seksnya, anak-anak, serta harta yang banyak berupa
     emas, perak, kuda piaraan, binatang ternak, sawah, dan
     ladang (QS Ali 'Imran [3]: l4).

"Harta  yang  banyak"  oleh  Al-Quran  disebut   "khair"   (QS
Al-Baqarah  [2): 180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan".
Ini bukan saja berarti bahwa  harta  kekayaan  adalah  sesuatu
yang  dinilai  baik,  tetapi  juga  untuk mengisyaratkan bahwa
perolehan dan penggunaannya  harus  pula  dengan  baik.  Tanpa
memperhatikan   hal-hal   tersebut,   manusia  akan  mengalami
kesengsaraan dalam hidupnya.

Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan  mata
dan  menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis,
memperingatkan agar manusia tidak  tergiur  oleh  kegemerlapan
uang,  atau  diperbudak  olehnya sehingga menjadikan seseorang
lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

PERANAN UANG

Merujuk kepada Mu'jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran)  oleh  Fuad
Abdul  Baqi,  kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak
25 kali (dalam bentuk tunggal) dan amwal (dalam bentuk  jamak)
sebanyak  enam  puluh  satu  kali.  Diamati oleh Hassan Hanafi
sebagaimana dikemukakan dalam bukunya  Ad-Din  wa  Ats-Tsaurah
bahwa kata tersebut mempunyni dua bentuk.

Pertama,  tidak  dinisbahkan  kepada "pemilik", dalam arti dia
berdiri sendiri. Ini --menurutnya-- adalah sesuatu yang  logis
karena  memang  ada  harta  yang  tidak menjadi objek kegiatan
manusia, tetapi berpotensi untuk itu.

Kedua, dinisbahkan kepada  sesuatu,  seperti  "harta  mereka",
harta  anak-anak yatim, "harta kamu" dan 1ain-1ain. Ini adalah
harta yang menjadi objok  kegiatan.  Dan  bentuk  inilah  yang
terbanyak digunakan dalam Al-Quran.

Menurut  hasil  perhitungan  penulis, bentuk pertama ditemukan
sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54  kali.  Dari
jumlah  ini  yang  terbanyak  dibicarakan  adalah  harta dalam
bentuk objok, dan ini memberi  kesan  bahwa  seharusnya  harta
atau  uang  menjadi  objek kegiatan manusia. Kegiatan tersebut
adalah aktivitas ekonomi.

Dalam pandangan Al-Quran, uang  merupakan  modal  serta  salah
satu   faktor   produksi  yang  penting,  tetapi  "bukan  yang
terpenting". Manusia menduduki tempat di  atas  modal  disusu1
sumber  daya  alam.  Pandangan  ini  berbeda  dengan pandangan
sementara pelaku ekonomi modern yang  memandang  uang  sebagai
segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya
alam dianiaya atau ditelantarkan.

Modal   tidak   boleh    diabaikan,    manusia    berkewajiban
menggunakannya  dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak
habis digunakan. Karena itu seorang wali yang menguasai  harta
orang-orang  yang  tidak  atau  belum mampu mengurus hartanya,
diperintahkan untuk  mengembangkan  harta  yang  berada  dalam
kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang tidak
mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari  pokok
modal.  Ini  dipahami  dari redaksi surat Al-Nisa' (4): 5 yang
dikutip di atas, di  mana  dinyatakan  Warzuquhum  fiha  bukan
Warzuquhum  minha. "Minha" artinya "dari modal", sedang "fiha"
berarti "di dalam modal", yang dipahami  sebagai  ada  sesuatu
yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan) yang diperoleh dari
hasil usaha.

Karena itu pula modal tidak boleh  menghasilkan  dari  dirinya
sendiri,  tetapi  harus  dengan  usaha manusia. Ini salah satu
sebab  mengapa  membungakan  uang,  dalam  bentuk   riba   dan
perjudian,   dilarang   oleh   Al-Quran.   Salah  satu  hikmah
pelarangan riba, serta pengenaan zakat sebesar  2,5%  terhadap
uang  (walau  tidak  diperdagangkan)  adalah  untuk  mendorong
aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi
spekulasi   serta   penimbunan.  Dalam  konteks  ini  Al-Quran
mengingatkan:

     Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
     menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah
     kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
     pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34)

Ancaman ini disebabkan karena uang/harta  seperti  dikemukakan
sebelum  ini  dijadikan  Allah  untuk sarana kehidupan manusia
dalam rangka memenuhi  kebutuhannya.  Dan  menyimpannya  tanpa
perputaran,   demikian  juga  penimbunan  kebutuhannya,  tidak
sejalan dengan tujuan tersebut.

Bagi pemilik uang  yang  tidak  atau  kurang  mampu  mengelola
uangnya, para ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh
Al-Quran dan Sunnah Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai
murabahah, mudharabah atau musyarakah

Murabahah   adalah   pembelian  barang  menurut  rincian  yang
ditetapkan  oleh  pengutang,  dengan  keuntungan   dan   waktu
pembayaran yang disepakati.

Mudharabah  adalah  bergabungnya  tenaga  kerja dengan pemilik
modal, sebagai mitra usaha dan keuntungan yang  dibagi  sesuai
rasio yang disepakati.

Musyarakah   adalah   memadukan   modal   untuk   bersama-sama
memutarnya, dengan kesepakatan tentang rasio  laba  yang  akan
diterima.

Cara-cara  ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak
membiarkan modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah  uang
--seperti  dikemukakan  di atas-- dijadikan Allah untuk sarana
kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?

KEBUTUHAN MANUSIA

"Kebutuhan" biasa diartikan sebagai "hasrat manusia yang perlu
dipenuhi atau dipuaskan".

Kebutuhan  bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara
umum ia dapat dibagi dalam tiga jenis  sesuai  dengan  tingkat
kepentingannya.  Primer  (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan
tertier (kamaliyat).

Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat  beraneka  ragam,  dan
dapat   berbeda-beda   dari   seorang  dengan  lainnya,  namun
kebutuhan primer sejak dahulu hingga kini dapat dikatakan sama
dan   telah  dirumuskan  oleh  para  pakar  sebagai  kebutuhan
sandang, pangan, dan papan.

Al-Quran  secara  tegas  menyebutkan  ketiga  macam  kebutuhan
primer  itu dan mengingatkan manusia pertama tentang keharusan
pemenuhannya sebelum manusia pertama itu menginjakkan  kakinya
di  bumi. Ketika Adam dan istrinya Hawa masih berada di surga,
Allah mengingatkan mereka berdua:

     Maka Kami berkata, "Hai Adam' sesungguhnya ini (iblis)
     adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali
     janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga
     karena (jika demikian) engkau akan bersusah payah
     Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga, dan
     tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak
     akan dahaga, tidak pula disengat panas matahari di sana
     (surga)" (QS Thaha [20]: 117-119).

Yang dimaksud  dengan  bersusah  payah  adalah  bekerja  untuk
memenuhi  kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa
kerja tetapi di surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam
bahasa  ayat  di  atas "tidak lapar dan tidak dahaga". Sandang
dilukiskan   dengan   "tidak   telanjang",   sedangkan   papan
diisyaratkan oleh kalimat "tidak disengat panas matahari".

Sementara  ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan
kepada mereka berdua  selaku  suami-istri,  tetapi  pernyataan
bersusah payah dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan
kepada suami (Adam) saja. Jawabannya  menurut  mereka  adalah,
karena   kebutuhan   sandang,   pangan  dan  papan,  merupakan
kebutuhan pria  dan  wanita  (suami-istri),  tetapi  kewajiban
bersusah  payah  mencarinya,  berada di pundak suami, sehingga
merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.

Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar
manusia  berikhtiar  untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya,
baik berupa barang maupun jasa.
 
----------------                              (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team