Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

ILMU DAN TEKNOLOGI                                       (1/2)

Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat  diketahui
prinsip-prinsipnya  dari  analisis wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad Saw.

     Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
     menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
     'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.
     Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia
     apa yang tidak diketahuinya (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Iqra' terambil dari akar kata yang  berarti  menghimpun.  Dari
menghimpun  lahir  aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
teks tertulis maupun tidak.

Wahyu  pertama  itu  tidak  menjelaskan apa yang harus dibaca,
karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca  apa  saja  selama
bacaan  tersebut  bismi  Rabbik,  dalam  arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.  Iqra'  berarti  bacalah,  telitilah,  dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman,
sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak.
Alhasil,  objek  perintah  iqra'  mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.

Pengulangan perintah membaca dalam  wahyu  pertama  ini  bukan
sekadar   menunjukkan   bahwa  kecakapan  membaca  tidak  akan
diperoleh  kecuali   mengulang-ulang   bacaan   atau   membaca
hendaknya  dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan.
Tetapi hal  itu  untuk  mengisyaratkan  bahwa  mengulang-ulang
bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru, walaupun yang  dibaca  masih  itu-itu  juga.
Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah
dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Selanjutnya, dari wahyu  pertama  Al-Quran  diperoleh  isyarat
bahwa  ada  dua  cara  perolehan  dan pengembangan ilmu, yaitu
Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui  manusia  lain
sebelumnya,  dan  mengajar  manusia  (tanpa  pena)  yang belum
diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar  dengan  alat  atau
atas  dasar  usaha  manusia.  Cara kedua dengan mengajar tanpa
alat dan  tanpa  usaha  manusia.  Walaupun  berbeda,  keduanya
berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt.

Setiap  pengetahuan  memiliki  subjek  dan  objek. Secara umum
subjek  dituntut  peranannya  untuk  memahami   objek.   Namun
pengalaman    ilmiah   menunjukkan   bahwa   objek   terkadang
memperkenalkan diri kepada subjek  tanpa  usaha  sang  subjek.
Misalnya  komet  Halley  yang memasuki cakrawala hanya sejenak
setiap 76  tahun.  Pada  kasus  ini,  walaupun  para  astronom
menyiapkan  diri  dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati
dan  mengenalnya,  sesungguhnya  yang  lebih  berperan  adalah
kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.

Wahyu,  ilham,  intuisi,  firasat  yang diperoleh manusia yang
siap  dan  suci  jiwanya,  atau  apa   yang   diduga   sebagai
"kebetulan"  yang  dialami  oleh  ilmuwan yang tekun, semuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah  yang  dapat
dianalogikan  dengan  kasus  komet  di atas. Itulah pengajaran
tanpa  qalam  yang  ditegaskan  oleh  wahyu  pertama  Al-Quran
tersebut.

ILMU

Kata  ilmu  dengan  berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
Al-Quran. Kata ini  digunakan  dalam  arti  proses  pencapaian
pengetahuan  dan  objek  pengetahuan.  'Ilm  dari  segi bahasa
berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari  akar
katanya  mempunyai  ciri  kejelasan.  Perhatikan misalnya kata
'alam    (bendera),    'ulmat    (bibir    sumbing),    'a'lam
(gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang  sesuatu.  Sekalipun  demikian,
kata  ini  berbeda  dengan  'arafa  (mengetahui)'  a'rif (yang
mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan).

Allah Swt. tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim,  yang  berkata
kerja   ya'lam   (Dia   mengetahui),   dan  biasanya  Al-Quran
menggunakan  kata  itu  --untuk  Allah--  dalam  hal-hal  yang
diketahuinya,  walaupun  gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan.
Perhatikan objek-objek pengetahuan  berikut  yang  dinisbahkan
kepada  Allah:  ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang
mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham  (Allah  mengetahui
sesuatu  yang  berada  di  dalam rahim), ma tahmil kullu untsa
(apa yang  dikandung  oleh  setiap  betina/perempuan),  ma  fi
anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh
(yang ada di langit dan  di  bumi),  khainat  al-'ayun  wa  ma
tukhfiy  ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam
dada). Demikian juga 'ilm  yang  disandarkan  kepada  manusia,
semuanya mengandung makna kejelasan.

Dalam   pandangan  Al-Quran,  ilmu  adalah  keistimewaan  yang
menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk  lain  guna
menjalankan  fungsi  kekhalifahan.  Ini  tercermin  dari kisah
kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran  pada  surat
Al-Baqarah (2) 31 dan 32:

     Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama
     (benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya
     kepada para malaikat seraya berfirman, "Sebutkanlah
     kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang
     orang-orang yang benar (menurut dugaanmu)." Mereka
     (para malaikat) menjawab, "Mahasuci Engkau tiada
     pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan.
     Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi
     Mahabijaksana."

Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih  ilmu
dan   mengembangkannya   dengan   seizin  Allah.  Karena  itu,
bertebaran ayat yang memerintahkan manusia  menempuh  berbagai
cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran
menunjukkan   betapa   tinggi   kedudukan   orang-orang   yang
berpengetahuan.

Menurut  pandangan  Al-Quran --seperti diisyaratkan oleh wahyu
pertama-- ilmu terdiri dari  dua  macam.  Pertama,  ilmu  yang
diperoleh  tanpa  upaya manusia, dinamai 'ilm ladunni, seperti
diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat Al-Kahfi  (18):
65.

     Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan
     seorang hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami
     anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah
     Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami.

Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai  'ilm
kasbi.  Ayat-ayat  'ilm  kasbi jauh lebih banyak daripada yang
berbicara tentang 'ilm laduni.

Pembagian  ini  disebabkan  karena  dalam  pandangan  Al-Quran
terdapat  hal-hal  yang  "ada"  tetapi  tidak  dapat diketahui
melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud  yang  tidak  tampak,
sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain
dalam firman-Nya:

     Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu
     tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).

Dengan demikian, objek ilmu meliputi  materi  dan  non-materi.
fenomena  dan  non-fenomena,  bahkan  ada wujud yang jangankan
dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.

     Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS
     Al-Nahl [16]: 8)

Dari  sini  jelas  pula  bahwa  pengetahuan  manusia   amatlah
terbatas, karena itu wajar sekali Allah menegaskan.

     Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS
     Al-lsra'[17]: 85).

OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA

Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan  terdahulu,  secara
garis  besar  objek  ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok,
yaitu alam materi dan alam  non-materi.  Sains  mutakhir  yang
mengarahkan  pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka
tidak  mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di
alam materi. Karena  itu.  objek  ilmu  menurut  mereka  hanya
mencakup  sains  kealaman dan terapannya yang dapat berkembang
secara  kualitatif  dan  penggandaan,  variasi  terbatas,  dan
pengalihan antarbudaya.

Objek  ilmu  menurut  ilmuwan  Muslim mencakup alam materi dan
non-materi. Karena itu,  sebagai  ilmuwan  Muslim  --khususnya
kaum  sufi  melalui  ayat-ayat  Al-Quran-- memperkenalkan ilmu
yang  mereka  sebut  al-hadharat  Al-Ilahiyah  al-khams  (lima
kehadiran  Ilahi)  untuk  menggambarkan  hierarki  keseluruhan
realitas wujud. Kelima hal tersebut  adalah:  (l)  alam  nasut
(alam  materi),  (2)  alam  malakut  (alam kejiwaan), (3) alam
jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).

Tentu  ada  tata  cara  dan  sarana yang harus digunakan untuk
meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut.

     Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
     keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberi
     kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
     bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
     memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).

Ayat  ini  mengisyaratkan  penggunaan  empat   sarana   yaitu,
pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati.

Trial   and  error  (coba-coba),  pengamatan,  percobaan,  dan
tes-tes kemungkinan  (probability)  merupakan  cara-cara  yang
digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung
juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan
manusia   untuk   berpikir   tentang   alam   raya,  melakukan
perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan  dengan
upaya mengetahui alam materi.

     Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi
     ... (QS Yunus [10]: 101).

     Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta
     diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana
     gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan?
     (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
     
     Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak
     Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang
     baik? (QS Al-Syu'ara' [26]: 7)
     
     Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi ...
     (QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).

Di samping mata, telinga, dan pikiran  sebagai  sarana  meraih
pengetahuan,  Al-Quran  pun menggarisbawahi pentingnya peranan
kesucian hati.

Wahyu  dianugerahkan  atas  kehendak  Allah  dan   berdasarkan
kebijaksanaan-Nya  tanpa  usaha  dan  campur  tangan  manusia.
Sementara  firasat,  intuisi,  dan  semacamnya,  dapat  diraih
melalui   penyucian   hati.  Dari  sini  para  ilmuwan  Muslim
menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian  jiwa)  guna
memperoleh  hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka
sadar terhadap kebenaran firman Allah:

     Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan
     diri di muka bumi --tanpa alasan yang benar-- dari
     ayat-ayat Ku ... (QS Al-A'raf [7]: 146).

Berkali-kali pula Al-Quran  menegaskan  bahwa  inna  Allah  la
yahdi,  sesungguhnya  Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
al-zhalimin  (orang-orang  yang  berlaku  aniaya),  al-kafirin
(orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik),
man yudhil (orang yang disesatkan), man huwa  kadzibun  kaffar
(pembohong  lagi  amat  inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi
pembohong), dan lain-lain.

Memang, mereka yang durhaka  dapat  saja  memperoleh  secercah
ilmu Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu
terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat  (nomena).
Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di 1uar alam materi.
Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan:

     ... Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui.
     Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
     kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka
     lalai (QS Al-Rum [30]: 6-7).

Para   ilmuwan   Muslim   juga   menggarisbawahi    pentingnya
mengamalkan  ilmu.  Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang
dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.:

     Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah
     menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum
     diketahuinya.

Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat  Al-Baqarah  ayat
282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut.

     Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu.
     Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang  yang
memiliki  ilmu  harus  memiliki  sifat dan ciri tertentu pula,
antara lain yang paling menonjol adalah sifat  khasyat  (takut
dan   kagum   kepada   Allah)   sebagaimana  ditegaskan  dalam
firman-Nya,

     Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
     hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir [35]: 28).

Dalam konteks ayat ini,  ulama  adalah  mereka  yang  memiliki
pengetahuan tentang fenomena alam.

Rasulullah Saw. menegaskan bahwa:

     Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah
     yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah,
     maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia.

MANFAAT ILMU

Dari  wahyu   pertama,   juga   ditemukan   petunjuk   tentang
pemanfaatan  ilmu.  Melalui  Iqra'  bismi  Rabbika, digariskan
bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian  juga
tujuan akhirnya, haruslah karena Allah.

Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar,
memahami Bacalah demi Allah  dengan  arti  untuk  kemaslahatan
makhluknya.  Bukankah  Allah  tidak  membutuhkan  sesuatu, dan
justru makhluk yang membutuhkan Allah Swt.?

Semboyan "ilmu untuk ilmu" tidak dikenal dan tidak  dibenarkan
oleh  Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi
Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga
ilmu  yang  --dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat
scbagian ahli-- "bebas nilai", harus diberi nilai Rabbani oleh
ilmuwan Muslim.

Kaum   Muslim   harus   menghindari   cara   berpikir  tentang
bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat,  apalagi  tidak
memberikan  hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah Saw.
sering berdoa,

     Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
     tidak bermanfaat.

Atas dasar ini  pula  berpikir  atau  menggunakan  akal  untuk
mengungkap  rahasia  alam  metafisika,  tidak boleh dilakukan.
Artinya,  hati  mesti  dipergunakan  untuk  menjelajahi   alam
metafisika.

Menarik   untuk  dikemukakan  bahwa  ayat-ayat  Al-Quran  vang
berbicara  tentang  alam  raya,   menggunakan   redaksi   yang
berlainan  ketika  menunjukkan manfaat yang diperoleh dan alam
raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama.

Perhatikan misalnya  ketika  Al-Quran  menguraikan  as-samawat
wal-ardh. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan
ditutup  dengan  menyatakan,  la  ayatin  liqaum(in)  ya'qilun
(sungguh   terdapat  tanda-tanda  bagi  orang  yang  berakal).
Sedangkan dalam Al-Quran  surat  Ali-'Imran  ayat  90,  ketika
menguraikan  persoalan  yang  sama  diakhiri  dengan la ayatin
li-ulil albab (pada yang  demikian  itu  terdapat  tanda-tanda
bagi  Ulil  Albab  [orang-orang  yang memiliki saripati segala
sesuatu].

Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara
tentang  alam  raya,  yang  darinya dapat ditarik kesan adanya
beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih  oleh
mereka  yang  mempelajari  fenomena  alam:  yatafakkarun (yang
berpikir) (QS 10: 24) ya'lamun (yang mengetahui) (QS  10:  5),
yatazakkarun  (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya'qilun
(yang memahami) (QS 16: 12), yasma'un (yang mendengarkan)  (QS
30:  23),  yuqinun  (yang  meyakini)  (QS  45: 4), al-mu'minin
(orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-'alimin (orang-orang
yang mengetahui) (QS 30: 22).

----------------                              (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team