| |
|
ILMU DAN TEKNOLOGI (1/2) Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-'Alaq [96]: 1-5). Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah). Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt. Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri. Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut. ILMU Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. 'Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata 'alam (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'a'lam (gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan 'arafa (mengetahui)' a'rif (yang mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan). Allah Swt. tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim, yang berkata kerja ya'lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu --untuk Allah-- dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah: ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma fi anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat al-'ayun wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga 'ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan. Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32: Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar (menurut dugaanmu)." Mereka (para malaikat) menjawab, "Mahasuci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan. Menurut pandangan Al-Quran --seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama-- ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai 'ilm ladunni, seperti diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat Al-Kahfi (18): 65. Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami. Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai 'ilm kasbi. Ayat-ayat 'ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang 'ilm laduni. Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Quran terdapat hal-hal yang "ada" tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam firman-Nya: Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39). Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi. fenomena dan non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl [16]: 8) Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah terbatas, karena itu wajar sekali Allah menegaskan. Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS Al-lsra'[17]: 85). OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan antarbudaya. Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan non-materi. Karena itu, sebagai ilmuwan Muslim --khususnya kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran-- memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (l) alam nasut (alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan (5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi). Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut. Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78). Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati. Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi. Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi ... (QS Yunus [10]: 101). Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan? (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20). Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang baik? (QS Al-Syu'ara' [26]: 7) Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi ... (QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain). Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati. Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah: Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi --tanpa alasan yang benar-- dari ayat-ayat Ku ... (QS Al-A'raf [7]: 146). Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la yahdi, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin (orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik), man yudhil (orang yang disesatkan), man huwa kadzibun kaffar (pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi pembohong), dan lain-lain. Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah ilmu Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di 1uar alam materi. Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan: ... Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka lalai (QS Al-Rum [30]: 6-7). Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.: Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya. Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut. Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula, antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir [35]: 28). Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam. Rasulullah Saw. menegaskan bahwa: Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah, maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia. MANFAAT ILMU Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra' bismi Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena Allah. Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk kemaslahatan makhluknya. Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhkan Allah Swt.? Semboyan "ilmu untuk ilmu" tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga ilmu yang --dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat scbagian ahli-- "bebas nilai", harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim. Kaum Muslim harus menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah Saw. sering berdoa, Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat. Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap rahasia alam metafisika, tidak boleh dilakukan. Artinya, hati mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam metafisika. Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran vang berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dan alam raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama. Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat wal-ardh. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya'qilun (sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal). Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 90, ketika menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab [orang-orang yang memiliki saripati segala sesuatu]. Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang alam raya, yang darinya dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih oleh mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang berpikir) (QS 10: 24) ya'lamun (yang mengetahui) (QS 10: 5), yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya'qilun (yang memahami) (QS 16: 12), yasma'un (yang mendengarkan) (QS 30: 23), yuqinun (yang meyakini) (QS 45: 4), al-mu'minin (orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-'alimin (orang-orang yang mengetahui) (QS 30: 22). ---------------- (bersambung 2/2) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |