| |
|
KEBANGSAAN (1/3) "Kebangsaan" terbentuk dari kata "bangsa" yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai "kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendőri." Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan bangsa." Para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa. Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak harus terpenuLi guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri di dalam upaya memahami pandangan Al-Quran tentang paham kebangsaan. Di sisi lain, paham kebangsaan --pada dasarnya-- belum dikenal pada masa turunnya Al-Quran. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak akhir abad ke-18, dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam. Memang, keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur, serta penguasa setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu kala, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad ke-18. Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, seperti telah diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah Al-Ummat Al-Mishriyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah Al-Ummah Al-Mishriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain. MENEMUKAN WAWASAN KEBANGSAAN DALAM AL-QURAN Untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah, "Kata apakah yang sebenarnya dipergunakan oleh kitab suci itu untuk menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan? Apakah sya'b, qaum, atau ummah?" Kata qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini dengan istilah Al-Qaumiyah Al-'Arabiyah. Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab Mesir pada 1960, dalam buku Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa" dengan kata ummah. Kata sya'b juga diterjemahkan sebagai "bangsa" seperti ditemukan dalam terjemahan Al-Quran yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-Hujurat (49): 13. Apakah untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan perlu merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata-kata tersebut, sebagaimana ditempuh oleh sebagian orang selama ini? Misalnya, dengan menunjukkan Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13 yang bisa diterjemahkan: Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung paham kebangsaan karena Allah telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa? Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang ditemukan dalam Al-Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti bahwa Al-Quran mendukung paham kebangasaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya dengan, "Ya Qaumi" (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun mereka tidak beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Al-Quran surat Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain-lain!). Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan menyatakan bahwa Allah Swt. dalam Al-Quran memerintahkan Nabi Saw. untuk menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas" (wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya dengan "Ya ayyuhal ladzina 'amanu?" Benarkah dalam Al-Quran tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad Saw. menggunakan kata qaum untuk menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang? [1] Catatan kaki: [1] Pernyataan terakhir ini dapat dipastikan tidak benar, karena dalam Al-Quran surat Al-Furqan (25): 30 secara tegas dinyatakan, bahwa Rasulullah saw. mengeluh kepada Allah, dengan mengatakan, "Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan." Hemat penulis untuk menemukan wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata tersebut yang digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Al-Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Al-Quran ketika menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang membuangnya ke dalam sumur dengan harapan dipungut oleh sayyarah yakni kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10). Kata qaum misalnya, pada mulanya terambil dari kata qiyam yang berarti "berdiri atau bangkit". Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. Karena itu, kata ini pada awalnya hanya digunakan untuk lelaki, bukan perempuan seperti dalam firman Allah: Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum (kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan perempuan) mengejek (kumpulan) perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diejek) lebih baik daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]: 11). Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam Al-Quran, itu pun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip oleh At-Tabarsi dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab. Betapapun, kedua kata yang disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak menunjukkan arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa kini. Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat Al-Hujurat yang diajukan tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yang direstui Al-Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata sya'b sama dengan bangsa atau kebangsaan. APAKAH YANG DIMAKSUD PAHAM KEBANGSAAN? Apakah yang dimaksud dengan paham kebangsaan? Sungguh banyak pendapat yang berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula dengan pertanyaan yang muncul disertai jawaban yang beragam, misalnya: Apakah mutlak adanya kebangsaan, kesamann asal keturunan, atau bahasa? Apakah yang dimaksud dengan keturunan dan bahasa? Apakah kebangsaan merupakan persamaan ras, emosi, sejarah, dan cita-cita meraih masa depan? Unsur-unsur apakah yang mendukung terciptanya kebangsaan? Dan masih ada sekian banyak pertanyaan lain. Sehingga mungkin benar pula pendapat yang menyatakan bahwa paham kebangsaan adalah sesuatu yang bersifat abstrak, tidak dapat disentuh; bagaikan listrik, hanya diketahui gejala dan bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya. Pertanyaan yang antara lain ingin dimunculkan adalah "Apakah unsur-unsur tersebut dapat diterima, didukung, atau bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Quran? Dapatkah Al-Quran menerima wadah yang menghimpun keseluruhan unsur tersebut tanpa mempertimbangkan kesatuan agama? Berikut ini akan dijekaskan beberapa konsep yang mendasari paham kebangsaan. 1. Kesatuan/Persatuan Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa "Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu" (QS Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52). Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah: a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan? b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah? Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda. Ar-Raghib Al-Isfahani --pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran Al-Mufradat fi Ghanb Al-Quran-- menjelaskan bahwa ummat adalah "kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri." Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan binatang pun demikian. Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu ... (0S Al-An'am [6]: 38). Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu. Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120). Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al-Quran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal. ---------------- (bersambung 2/3) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |