Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

MAKANAN                                                  (1/3)
 
Makanan  atau  tha'am  dalam  bahasa  Al-Quran  adalah  segala
sesuatu  yang  dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun
termasuk dalam pengertian tha'am.  Al-Quran  surat  Al-Baqarah
ayat 249, menggunakan kata syariba (minum) dan yath'am (makan)
untuk objek berkaitan dengan air minum.
 
Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang  dalam  Al-Quran
sebanyak  48  kali yang antara lain berbicara tentang berbagai
aspek berkaitan dengan makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang
menggunakan kosa kata selainnya.
 
Perhatian   Al-Quran   terhadap   makanan   sedemikian  besar,
sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i,
"Telah  menjadi  kebiasaan  Allah  dalam  Al-Quran  bahwa  Dia
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal
tersebut   melalui   uraian   tentang   ciptaan-Nya,  kemudian
memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)."
 
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan
pangan serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab
utama kewajaran beribadah kepada  Allah.  Begitu  antara  lain
kandungan firman-Nya dalam surat Quraisy (106): 3-4,
 
    Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka
    makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi
    keamanan dari segala macam ketakutan.
 
PERINTAH MAKAN
 
Menarik  untuk  disimak bahwa bahasa Al-Quran menggunakan kata
akala dalam berbagai  bentuk  untuk  menunjuk  pada  aktivitas
"makan".  Tetapi  kata tersebut tidak digunakannya semata-mata
dalam arti "memasukkan  sesuatu  ke  tenggorokan",  tetapi  ia
berarti  juga  segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya
surat Al-Nisa 14): 4:
 
    Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang
    kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan.
    Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari
    mas kawin itu dengan senang hati maka makanlah
    (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makanan)
    yang sedap lagi baik akibatnya.
 
Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus  bahkan
tidak   lazim   berupa   makanan,   namun  demikian  ayat  ini
menggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas kawin  tersebut.
Firman Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)
 
    Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah
    atasnya (ketika menyembelihnya)
 
Penggalan  ayat  ini  dipahami  oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud
--mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar-- sebagai larangan  untuk
melakukan  aktivitas  apa  pun yang tidak disertai nama Allah.
Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti
luas yakni "segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut
untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan  bahwa  aktivitas
membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.
 
Boleh  jadi  menarik  juga  untuk dikemukakan bahwa semua ayat
yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan  makan,
baik  yang  ditujukan  kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas,
kepada Rasul: Ya  ayyuhar  Rasul,  maupun  kepada  orang-orang
mukmin:  ya  ayyuhal ladzina amanu, selalu dirangkaikan dengan
kata halal atau dan thayyibah (baik).  Ini  menunjukkan  bahwa
makanan   yang   terbaik  adalah  yang  memenuhi  kedua  sifat
tersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dari sembilan ayat  yang
memerintahkan   orang-orang   Mukmin   untuk  makan,  lima  di
antaranya  dirangkaikan  dengan  kedua  kata   tersebut.   Dua
dirangkaikan  dengan  pesan  mengingat  Allah  dan  membagikan
makanan kepada orang melarat dan butuh, sekali  dalam  konteks
memakan    sembelihan   yang   disebut   nama   Allah   ketika
menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
 
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya  --baik  ketika  berbuka
puasa maupun selainnya-- dapat mengantar sang Mukmin mengingat
pesan-pesan-Nya.
 
APA YANG HALAL DIMAKAN?
 
Al-Quran menyatakan,
 
    Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi
    seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29).
 
    Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu
    segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber
    dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
 
Bertitik tolak dari kedua  ayat  tersebut  dan  beberapa  ayat
lain,  para  ulama  berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala
sesuatu  yang  ada  di  alam  raya  ini  adalah  halal   untuk
digunakan,  sehingga  makanan  yang  terdapat  didalamnya juga
adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan mengecam mereka  yang
mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah untuk manusia.
 
    Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
    diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan
    sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah,
    "Apakah Allah memberi izin kepada kamu (untuk melakukan
    itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS
    Yunus [10]: 59).
 
Pengecualian  atau  pengharaman  harus  bersumber  dari  Allah
--baik melalui Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu
lahir  dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan
yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya.  Atas
dasar   ini,   turun  perintah-Nya  antara  lain  dalam  surat
Al-Baqarah (2): 168,
 
    Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik
    dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
    mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya
    setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
 
Rincian pengecualian itu  tidak  jarang  diperselisihkan  oleh
para   ulama,   baik   disebabkan  oleh  perbedaan  penafsiran
ayatayat, maupun penilaian  kesahihan  dan  makna  hadis-hadis
Nabi Saw.
 
Makanan  yang  diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi dalam tiga
kategori pokok, yaitu nabati, hewani, dan olahan.
 
1.  Tidak  ditemukan  satu  ayat  pun  yang  secara  eksplisit
melarang   makanan   nabati   tertentu.   Surat   'Abasa  yang
memerintahkan   manusia   untuk    memperhatikan    makanannya
menyebutkan  sekian banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan
Allah untuk kepentingan manusia dan binatang.
 
    Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.
    Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air
    (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan
    sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi
    itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kunna,
    kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta
    rumput-rumputan, untuk kesenangan kamu dan untuk
    binatang ternakmu (QS 'Abasa [80]: 24-32).
 
Kalaupun   ada   tumbuh-tumbuhan   tertentu,   yang   kemudian
terlarang,  maka  hal  tersebut  termasuk  dalam larangan umum
memakan sesuatu yang buruk, atau merusak kesehatan.
 
2. Adapun makanan jenis hewani, maka Al-Quran membaginya dalam
dua kelompok besar, yaitu yang berasal dari laut dan darat.
 
Hewan  laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah,
Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14' menegaskan:
 
    Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar
    kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan
    sebangsanya).
 
Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai)
tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:
 
    Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan
    yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi
    kamu dan orang-orang yang dalam perjalanan.
 
"Buruan  laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan
jalan usaha seperti mengail,  memukat,  dan  sebagainya,  baik
dari  laut,  sungai,  danau, kolam, dan 1ain-1ain. Sedang kata
"makanan yang berasal dari laut" adalah  ikan  dan  semacamnya
yang   diperoleh  dengan  mudah  karena  telah  mati  sehingga
mengapung. Makna ini dipahami dan  sejalan  dengan  penjelasan
Rasul   Saw.   yang   diriwayatkan   oleh   Bukhari,   Muslim,
At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu
Hurairah yang menyatakan tentang laut:
 
    Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya
 
Ini  menurut  banyak  ulama  sejalan  juga dengan firman Allah
dalam surat Al-Ma-idah (5): 96.
 
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di
darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan
para ulama, apalagi ia  bukan  datang  dari  Al-Quran,  tetapi
riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw.
 
Adapun  hewan  yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan
secara eksplisit  al-an'am  (unta,  sapi,  dan  kambing),  dan
mengharamkan  secara tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa
selainnya semua halal atau haram.
 
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang  pengecualian  dari
makanan  yang  dihalalkan,  dalam soal ini ditemukan perbedaan
pendapat ulama tentang  hewan-hewan  darat  yang  dikecualikan
itu.
 
Imam  Malik  misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut,
karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
 
    Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
    kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang
    hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
    atau darah yang mengalir atau daging babi karena
    sesungguhnya semua itu rijs (kotor), atau binatang yang
    disembelih atas nama selain Allah...
 
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram
dalam   batas-batas   yang  disebut  itu,  apalagi  masih  ada
ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang  juga  memberi
pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah (2): 173.
 
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis
Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan  ayat
tersebut.  Karena  walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk
hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud
sebagai pengecualian hakiki.
 
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip
di atas adalah karena ia rijs (kotor).
 
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya  mengetahui  sisi-sisi  rijs
(kekotoran)  baik  lahiriah  maupun  batiniah yang diakibatkan
oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa  segala  macam
binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah.
Di sinilah antara lain  fungsi  Rasul  Saw.  sebagai  penjelas
kitab  suci  Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan Nabi
Muhammad Saw. antara 1ain sebagai:
 
    Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan
    mengharamkan yang khabits (buruk).
 
Nah, atas dasar  inilah  dipertemukan  hadis-hadis  Nabi  yang
mengharamkan  makanan-makanan  tertentu  dengan ayat-ayat yang
menggunakan redaksi pembatasan di atas.  Misalnya  hadis  yang
mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang
memiliki cakar (buas), binatang yang hidup  di  darat  dan  di
air, dan sebagainya.
 
Di  samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu,
mengharamkan:
 
Memakan sembelihan yang disembelih  selain  atas  nama  Allah,
atau dalam bahasa ayat lain:
 
    Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama
    Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah
    kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121).
 
----------------                              (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team