| |
|
MAKANAN (2/3) Dari sini, lahir pembahasan panjang lebar --yang dapat ditemukan dalam buku-buku fiqih-- tentang syarat-syarat "penyembelihan" yang harus dipenuhi bagi kehalalan memakan binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c) anggota tubuh binatang yang harus disembelih, (d) alat penyembelihan. Al-Quran secara eksplisit berbicara tentang butir a dan b di atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d. Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa, Makanan (sembelihan) Ahl Al-Kitab halal untuk kamu Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl Al-Kitab (Yahudi/Nasrani). Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab, dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya atau tidak? Betapapun, mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih binatang atas nama selain Allah. Dalam konteks ini, sekali lagi kita menemukan rincian dan perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan, Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu... (QS Al-An'am [6): 118-119). Apakah ayat ini berbicara tentang keharusan menyebut nama Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad berpendapat demikian. Pendapatnya ini didukung oleh adanya ayat yang melarang memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah serta menilainya sebagai kefasikan: Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121). Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan pendapat di atas, hanya saja mereka memberi kelonggaran sehingga menurut mereka, kalau seseorang lupa membaca nama Allah, maka hal itu dapat ditoleransi. Ma~hab Syafi'i berpendapat bahwa tidak disyaratkan menyebut nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain: 1 . Ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, sementara mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam penyembelihan, namun demikian dihalalkan untuk kita, ini menunjukkan bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan. 2. Hadis Rasul Saw., yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui istri Nabi Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada Nabi Saw. tentang daging yang mereka tidak ketahui apakah dibacakan nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi menjawab, Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah. Ketika itu para penanya, menurut Aisyah, baru saja melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri Nabi Saw., Aisyah). Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan dengan ini, namun secara objektif kita dapat berkata bahwa tuntunan di atas mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca nama Allah ketika menyembelih, walaupun tidak harus dengan bismillah, tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya sebagaimana pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah. Walaupun mazhab Syafi'i membolehkan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, atau selama tidak disembelih atas nama selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab, bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menilai halal sembelihan penganut agama Budha, namun itu bukan serta merta menjadikan segala macam sembelihan mereka menjadi halal. Karena masih ada syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa cara yang tidak direstuinya, seperti: Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3). Perlu dicatat bahwa penyembelihan yang dilakukan sementara orang ketika membangun bangunan kemudian menanam kepala binatang yang disembelih itu dengan tuduan menghindari "gangguan makhluk halus" merupakan salah satu bentuk dari penyembelihan atas nama berhala. 3. Makanan olahan. Seperti yang dikemukakan dalam pendahuluan, bahwa minuman merupakan salah satu jenis makanan, maka atas dasar itu kita dapat berkata bahwa khamr (sesuatu yang menutup pikiran] merupakan salah satu jenis makanan pula. Al-Quran menegaskan bahwa: Dan dari buah kurma dan anggur kamu buat olah minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran) Allah bagi orang yang memikirkan (QS Al-Nahl [16]: 67). Ayat ini merupakan ayat pertama yang turun tentang makanan olahan yang dibuat dari buah-buahan, sekaligus merupakan ayat pertama yang berbicara tentang minuman keras dan keburukannya. Ayat tersebut membedakan dua jenis makanan olahan "memabukkan" dan jenis makanan olahan yang baik sehingga merupakan rezeki yang baik. Pengharaman segala yang memabukkan dilakukan Al-Quran secara bertahap; bermula di Makkah dari isyarat yang diberikannya pada ayat di atas, disusul dengan pernyataan tentang adanya sisi baik dan buruk pada perjudian dan khamr yang turun di Madinah (QS Al-Baqarah [2]: 219): Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, jawablah bahwa dalam keduanya ada dosa yang besar dan manfaat untuk manusia. Dosanya lebih besar dan manfaatnya. Disusul dengan larangan tegas mendekati shalat bila dalam keadaan mabuk sehingga kamu menyadari apa yang kamu ucapkan (QS Al-Nisa' [4]: 43), dan diakhiri dengan pernyataan tegas bahwa: Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan rijs (keji) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung (QS Al-Ma-idah [5]: 90). Khamr terambil dari kata khamara yang menurut pengertian kebahasaan adalah "menutup". Karena itu, makanan dan minuman yang dapat mengantar kepada tertutupnya akal dinamai juga khamr. Sementara ulama menyatakan bahwa khamr adalah "perahan anggur yang mendidih atau yang dimasak". Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, semuanya berpendapat bahwa sesuatu yang memabukkan bila diminum banyak, selama tidak terbuat dari anggur, maka bila diminum sedikit dan atau tidak memabukkan maka dia dapat ditoleransi. Pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa apa pun yang memabukkan, menutup akal atau menjadikan seseorang tidak dapat mengendalikan pikirannya walau bukan terbuat dari anggur, maka dia adalah haram. Pendapat ini antara lain berdasar sabda Rasul Saw. yang menyatakan: Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua yang memabukkan adalah khamr (HR Muslim melalui Ibnu Umar). Di sisi lain Imam At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Abu Daud meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Jabir bin Abdillah bahwa Nabi Saw. bersabda: Sesuatu yang memabukkan bila banyak, maka sedikit pun tetap haram. Dari pengertian kata khamr dan esensinya seperti yang dikemukakan di atas, maka segala macam makanan dan minuman terolah atau tidak, selama mengganggu pikiran maka dia adalah haram. PESAN-PESAN AL-QURAN MENGENAI MAKANAN Seperti dikemukakan di atas, ketika berbicara tentang "perintah makan", Allah Swt. memerintahkan agar manusia memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib. Kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau "tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal" juga berarti "boleh". Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh. Nabi Saw. misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila ia baru saja memakan bawang. Nabi bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib: Rasul Saw. melarang memakan bawang putith kecuali setelah dimasak. Dalam riwayat At-Tirmidzi dikemukakan bahwa seseorang bertanya: Apakah itu haram? Beliau menjawab: Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya. Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum itu adalah halal. a. Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang. Dalam Al-Quran disebutkan sekian banyak jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan, misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]: 27), pangan hewani (QS Ghafir [40]: 79), ikan (QS Al-Nahl [16]: 14), buah-buahan (QS Al-Mutminun [23]: 19; Al-An'am [6]: 14l), lemak dan minyak (QS Al-Mu'minun [23]: 21), madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan lain-lain. Penyebutan aneka macam jenis makanan ini, menuntut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya. b. Proporsional, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih, dan tidak berkurang. Karena itu Al-Quran menuntut orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang ideal. Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan penyusuan (QS Al-Baqarah [2]: 233). Dalam konteks ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS Al-Maidah [5]: 87). ---------------- (bersambung 3/3) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |