| |
|
MUSYAWARAH (1/2) Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah. AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH Ada tiga ayat Al-Quran yang akar katanya menunjukkan musyawarah. a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233 Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya. Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat di atas, Al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawaraLkan antara suami-istri. b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159 Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. c. dalam surat Al-Syura (42): 38, Allah menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah: Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah. Dari ketiga ayat di atas saja, maka sepintas dapat diduga bahwa Al-Quran tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap persoalan musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna, jika menyadari cara Al-Quran memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut. PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT Secara umum dapat dikatakan bahwa petunjuk Al-Quran yang rinci lebih banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini dipahami kenapa uraian Al-Quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar. Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin memiliki birahi terhadap orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian seterusnya. Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan, Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia. Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda, apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan. Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya. Karena itu pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja. Jangankan Al-Quran, Nabi Saw. yang dalam banyak ha1 menjabarkan petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, periha1 musyawarah ini tidak meletakkan rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah beliau --Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r. a.-- berbeda-beda di antara satu dengan lainnya. Demikianlah, Rasul Saw. tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang meletakkan hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan Al-Quran --bukankah Al-Quran memerintahkan agar persoalan umat dibicarakan bersama? Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain menetapkan sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak berlaku --rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul Saw. telah memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur sendiri urusan dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian." Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad, "Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya." Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha: Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan syarat itu ajaran agama. Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu membelenggu diri kita. Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan surat Al-Nisa' (4): 59. MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ketiga ayat musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban tesebut merupakan pemahaman para sahabat Nabi atau ulama. Meskipun ada juga yang merupakan petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari Sunnah Nabi Saw., tetapi petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak sepenuhnya mengikat. Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah antara lain: (a) orang yang diminta bermusyawarah; (b) dalam hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan (c) dengan siapa sebaiknya musyawarah dilakukan. Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih dahulu periu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan Al-Quran mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk mensukseskan musyawarah. Petunjuk-petunjuk tersebut secara tersurat ditemukan dalam surat Ali 'Imran ayat 159 yang terjemahannya telah dikutip di atas. Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan kepada Muhammad Saw. untuk beliau lakukan sebelum datangnya perintah bermusyawarah. Penyebutan ketiga sikap tersebut --menurut hemat penulis-- walaupun dikemukakan sesuai konteks turunnya ayat, serta mempunyai makna tersendiri berkaitan dengan sikap atau pandangan para sahabat --sebagaimana akan diutarakan kemudian-- namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut sengaja dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut sebagian terbaca pada ayat Ali 'Imran di atas. Pertama, adalah sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh frase, Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Dalam ayat di atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka). Maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". Memaafkan adalah menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati. Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa'fu anhum. Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup. William James, filosof Amerika kenamaan, menegaskan, Akal memang mengagumkan. Ia mampu membatalkan suatu argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai hidup kita. Nah, jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di samping akal. Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah "indera keenam" sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau "bisikan atau gerak hati" seperti kata orang kebanyakan, atau "ilham, hidayat, dan firasat" menurut nama yang diberikan agamawan. Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya sekejap, sekadar untuk mencampakkan informasi yang diduga "kebetulan" oleh sebagian orang, dan kepergiannya pun tanpa izin orang yang dikunjungi. Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang jiwanya dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayat kepada orang yang berlaku aniaya (QS Al-Haqarah [2]: 258), kafir (QS Al-Baqarah [2]: 264), bergelimang dosa atau fasik (QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS A1 Mu'min [40]: 28), pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS Al-Zumar [39]: 3). Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan Ilahi, sebagaimana ditegaskan oleh pesan surat Ali 'Imran ayat 159 di atas, wa istaghfir lahum. Pesan terakhir Ilahi di dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu Apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri. ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat 159 surat Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dengan mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang berbentuk tunggal. Namun demikian, pakar-pakar Al-Quran sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. saja diperintahkan oleh Al-Quran untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma'shum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi Saw. Di sini Nabi berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan kepada mereka semua. Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar menghadapi musuh yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. menyetujuinya. Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Saw. Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran tentang musyawarah. Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun. Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan: "Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk [kepada Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah." ---------------- (bersambung 2/2) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |