Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PAKAIAN                                                  (1/4)
 
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah  untuk  pakaian
yaitu,  libas,  tsiyab,  dan  sarabil.  Kata  libas  ditemukan
sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
 
Libas  pada  mulanya  berarti  penutup --apa pun yang ditutup.
Fungsi pakaian  sebagai  penutup  amat  jelas.  Tetapi,  perlu
dicatat  bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
cincin yang menutup sebagian  jari  juga  disebut  libas,  dan
pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
 
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
menyatakan bahwa,
 
     Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
     lain mutiara) yang kamu pakai.
 
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk  menunjukkan  pakaian
lahir  maupun  batin,  sedangkan  kata  tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari  kata  tsaub
yang  berarti  kembali,  yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
semula, atau pada keadaan yang seharusnya  sesuai  dengan  ide
pertamanya.
 
Ungkapan  yang  menyatakan,  bahwa  "awalnya  adalah  ide  dan
akhirnya adalah kenyataan", mungkin  dapat  membantu  memahami
pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
harus dikembalikan kepada ide asal,  karena  kenyataan  adalah
cerminan dari ide asal.
 
Apakah ide dasar tentang pakaian?
 
Ar-Raghib  Al-Isfahani  --seorang  pakar   bahasa   Al-Quran--
menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian  adalah  agar  dipakai.  Jika
bahan-bahan   tersebut   setelah   dipintal  kemudian  menjadi
pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide  dasar
keberadaannya.   Hemat   penulis,   ide   dasar   juga   dapat
dikembalikan  pada  apa  yang  terdapat  dalam  benak  manusia
pertama tentang dirinya.
 
Al-Quran  surat  Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
Adam dan Hawa berada di surga:
 
     Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
     menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
     mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
     melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
     tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
     yang kekal (di surga)."
 
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
 
     ...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
     itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
     mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...
 
Terlihat jelas  bahwa  ide  dasar  yang  terdapat  dalam  diri
manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
aurat manusia terbuka. Dengan  demikian,  aurat  yang  ditutup
dengan  pakaian  akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti  "sesuatu  yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
 
Dan  ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran  setan  adalah
"keterbukaan  aurat".  Sebuah  riwayat  yang  dikemukakan oleh
Al-Biqa'i  dalam  bukunya  Shubhat  Waraqah  menyatakan  bahwa
ketika  Nabi  Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
dialaminya di  Gua  Hira  --apakah  dari  malaikat  atau  dari
setan--  beliau  menyampaikan  hal  tersebut  kepada  istrinya
Khadijah. Khadijah  berkata,  "Jika  engkau  melihatnya  lagi,
beritahulah  aku".  Ketika  di  saat  lain  Nabi  Saw. melihat
(malaikat) yang  dilihatnya  di  Gua  Hira,  Khadijah  membuka
pakaiannya  sambi1  bertanya,  "Sekarang,  apakah engkau masih
melihatnya?" Nabi  Saw.  menjawab,  "Tidak,  ...  dia  pergi."
Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
bukan setan, ...  (karena  hanya  setan  yang  senang  melihat
aurat)".
 
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
 
     Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
     dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
     orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
     mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
     menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
     kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
     27).
 
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan  perihal
pakaian  adalah  sarabil.  Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya.  Hanya  dua  ayat
yang  menggunakan  kata  tersebut. Satu di antaranya diartikan
sebagai  pakaian  yang  berfungsi  menangkal  sengatan  panas,
dingin,  dan  bahaya  dalam  peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
dialami  oleh  orang-orang  berdosa  kelak  di  hari kemudian:
pakaian mereka  dari  pelangkin.  Dari  sini  terpahami  bahwa
pakaian  ada  yang  menjadi  alat penyiksa. Tentu saja siksaan
tersebut karena  yang  bersangkutan  tidak  menyesuaikan  diri
dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.
 
PAKAIAN DAN FITRAH
 
Dari  ayat  yang  menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan  bahwa  pada
hakikatnya   menutup   aurat   adalah   fitrah  manusia  jrang
diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.
 
Seperti dikemukakan ketika  menjelaskan  arti  tsaub,  manusia
pada  mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya  'anhuma  min
sauatihima   (untuk   menampakkan  kepada  keduanya  apa  yang
tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
 
Penggalan ayat  itu  bukan  saja  mengisyaratkan  bahwa  sejak
semula  Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
melainkan juga  berarti  bahwa  aurat  masing-masing  tertutup
sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
 
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi  terbuka,
dan  mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
adanya  naluri  pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
 
Perlu diperhatikan pula  kalimat  yang  dipergunakan  Al-Quran
untuk  menyatakan  usaha  kedua  orang  tua  kita, "Wa thafiqa
yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
 
Kata  yakhshifan  terambil  dari  kata  khashf  yang   berarti
menempelkan  sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa  adalah
menempelkkan  lapisan  baru  pada  lapisan  yang ada dari alas
kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
 
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar  daun  untuk
menutup  auratnya  (karena  jika  demikian  pakaiannya  adalah
mini), melainkan sekian banyak  lembar  agar  melebar,  dengan
cara  menempelkan  selembar  daun di atas lembar lain, sebagai
tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga  tidak
transparan atau tembus pandang.
 
Hal  lain  yang  mengisyaratkan  bahwa berpakaian atau menutup
aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan  istilah  "Ya
Bani  Adam"  (Wahai  putra-putri  Adam)  dalam  ayat-ayat yang
berbicara tentang berpakaian.
 
Panggilan  semacam  ini  hanya  terulang  empat   kali   dalam
Al-Quran.  Kesan  dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang  hanya  khusus  kepada
orang-orang  mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi  Saw.  hingga
akhir  zaman.  Panggilan  ya  Bani  Adam  jelas tertuju kepada
seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
 
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam  dalam  Al-Quran,  dan
semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
 
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
   dianugerahkan Allah.
 
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
   yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
   (Adam dan Hawa).
 
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
   saat memasuki masjid.
 
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
   yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
   tuntunan berpakaian).
 
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt.  telah  mengilhami
manusia   sehingga   timbul   dalam   dirinya  dorongan  untuk
berpakaian, bahkan  kebutuhan  untuk  berpakaian,  sebagaimana
diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan,  tentu  ia
akan  bersusah  payah  di dunia untuk mencari sandang, pangan,
dan papan. Dorongan tersebut  diciptakan  Allah  dalam  naluri
manusia  yang  memiliki  kesadaran  kemanusiaan.  Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi  apa  yang
dinilainya sebagai aurat.
 
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
membutuhkan  upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
oleh  bentuk  pasif  yang  dipilih  Al-Quran  untuk   menyebut
tertutupnya  aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup  dan  mereka
yaitu aurat mereka."
 
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan  dapat
menutupinya).
 
FUNGSI PAKAIAN
 
Dari  sekian  banyak  ayat  Al-Quran  yang  berbicara  tentang
pakaian,   dapat  ditemukan  paling  tidak  ada  empat  fungsi
pakaian.
 
Al-Quran  surat  Al-A'raf  (7):  26  menjelaskan  dua   fungsi
pakaian:
 
     Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
     menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
     juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
     pakaian takwa itulah yang paling baik.
 
Ayat  ini  setidaknya  menjelaskan  dua  fungsi pakaian, yaitu
penutup aurat dan perhiasan.
 
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas  berbicara
tentang  fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
pakaian dapat  menghindarkan  seseorang  terjerumus  ke  dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
 
Syaikh  Muhammad  Thahir  bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
ulama yang berpendapat demikian. Ia  menulis  dalam  tafsirnya
tentang ayat tersebut:
 
     Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
     Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
     sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
     berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
     diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
     abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
     adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
     adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
     peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
     pemakainya dari luka dan bencana lain.
 
Ada  juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu,  salah
satu  makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
dapat  menghindarkan  seseorang  dari  bencana   duniawi   dan
ukhrawi.
 
Betapapun,  ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan  dari
sengatan panas dan dingin,
 
     Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
     memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
     pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
     peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
 
----------------                              (bersambung 2/4)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team