| |
|
PAKAIAN (2/4) Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat Al-Ahzab (33): 59 yang menugaskan Nabi Saw. agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh lidah/tangan usil). Terlihat fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain. 1. Penutup Sau-at (Aurat) Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang terambil dari kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat --termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka "keterlihatan" itulah yang buruk. Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya 'aurat atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu. Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak "senang" bila aurat --khususnya aurat besar (kemaluan)-- dilihat oleh siapa pun. Bukankah seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?" Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci: Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR At-Tirmidzi). Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan pasangaunnya, jangan sekali-kali keduannya telanjang bagaikan telanjangnya binatang (HR Ibnu Majah). Yang dikemukakan di atas adalah tuntunan moral. Sedangkan tuntunan hukumnya tentunya lebih longgar. Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau bersama istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya-- yang mungkin melihat. Ulama bersepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup. Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat. Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu Hanifah sedikit lebih longgar, karena menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus ditutup. Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran mereka tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24): 31: Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya. 2. Perhiasan Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya --lebih-lebih ketika berkunjung ke masjid (QS Al-A'raf [7]: 31). Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Tentunya pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Quran tidak menjelaskan --apalagi merinci-- apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak. Demikian kurang lebih yang ditulis Abbas A1-Aqqad dalam bukunya Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat. Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung jawab, karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut, sekalipun sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia. Namun harus disepakati pula bahwa keindahan sangat relatif; tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok. Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS Al-Muddatstsir [74]: 4). Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Saw. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arabia yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehingga pemakainya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih). Al-Quran setelah memerintahkan agar memakai pakaian-pakaian indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah untuk manusia. Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS Al-A'raf [7]: 32) Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah bertanya kepada Nabi Saw., "Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?)" Nabi menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain." Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa Rasullah Saw. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa: Seorang wanita menyodorkan --dengan tangannya-- sepucuk surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, "Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan," Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar)." Demikian Nabi Saw. menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik digunakan. Meskipun ada sekian ayat yang berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya: Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah sutera (QS Fathir [35]: 33). ...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah... (QS Al-Kahf [18]: 31). Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka peroleh di dunia. Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa (tetapi tak sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan yang telah disebutkan. Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau perhiasan lelaki. Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian banyak hadis Nabi Saw. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai oleh kaum lelaki. Ali bin Abi Thalib berkata, "Saya melihat Rasullullah Saw, mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah kirinya, kemunduran beliau bersabda, 'Kedua hal ini haram bagi lelaki umatku" (HR Abu Dawud dan Nasa'i). Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab diharamkannya kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa keduanya menjadi simbol kemewahan dan perhiasan yang berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau karena menyerupai pakaian kaum musyrik. Muhammad bin 'Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam, menulis dalam bukunya Maqashid Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah, bahwa ucapan dan sikap Rasulullah Saw. tidak selalu harus dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan ucapan dan sikap beliau, walaupun diakuinya bahwa yang terpenting dan terbanyak adalah dalam bidang syariat atau hukum. Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan ketetapan hukum, karena --tulisnya: Boleh jadi Nabi Saw. memerintah atau melarang, tetapi tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik (hlm. 32). Dalam rinciannya, ulama besar itu menulis bahwa sebagian tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat. Dalam bidang pakaian dikemukakannya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang disampaikan oleh sahabat Nabi Al-Bara' bin 'Azib: Rasulullah Saw. memerintahkan kami tujuh hal dan melarang tujuh hal; memerintahkan kami mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin (mengucapkan "yarhamukallah" bila orang yang bersin mengucapkan alhamdulillah), mengabulkan permintaan (yang meminta dengan menyebut nama Allah), membantu yang teraniaya, menyebarluaskan salam, serta menghadiri undangan. Beliau melarang kami memakai cincin emas, perabot perak, pelana dari kapas, aqsiyah (bentuk jamak dari "qisiy", yaitu sejenis pakaian yang dibuat di Mesir berbahan sutera), istabraq (sutera tebal), dan dibaj (sutera halus). Di sini, tulis Muhammad bin 'Asyur, terdapat perintah yang jelas-jelas wajib, seperti membantu yang teraniaya (kalau mampu). Ada juga larangan yang jelas haram, seperti minum dari gelas perak. Ada juga yang jelas tidak wajib, seperti mendoakan orang yang bersin, dan mengabulkan permintaan (walau) dengan cara yang disebut di atas, dan terdapat juga yang jelas tidak haram seperti mengenakan pelana dari kapas atau jenis pakaian buatan Mesir. Larangan-larangan semacam itu tidak lain kecuali bertujuan menghindarkan sahabat-sahabat beliau (dan tentu termasuk umatnya) dari penampilan berlebih-lebihan, berfoya-foya, dan berhias dengan warna-warna menyolok seperti warna merah. Pemahaman ini diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa, Rasul Saw. melarang memakai aqsiyah, bercincin emas, membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak berkata bahwa kamu sekalian dilarang." Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak ditujukan kepada seluruh umat, tetapi hanya kepada Ali bin Abi Thalib. Demikian Muhammad Thahir bin 'Asyur, dalam Magashid Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36. Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan berahi dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap tidak sopan dari siapa pun. ---------------- (bersambung 3/4) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |