Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PAKAIAN                                                  (2/4)
 
Fungsi  pakaian  selanjutnya  disyaratkan  oleh Al-Quran surat
Al-Ahzab (33): 59 yang menugaskan Nabi Saw. agar  menyampaikan
kepada    istri-istrinya,    anak-anak   perempuannya,   serta
wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka:
 
     Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
     perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah
     mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh
     mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
     untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh
     lidah/tangan usil).
 
Terlihat fungsi pakaian  sebagai  penunjuk  identitas  pembeda
antara seseorang dengan yang lain.
 
1. Penutup Sau-at (Aurat)
 
Sau-at  terambil  dari  kata  sa-a -yasu-u yang berarti buruk,
tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang
terambil  dari  kata  'ar  yang  berarti  onar,  aib, tercela.
Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam  arti  sesuatu  yang
pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain
yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian  tubuh
yang  buruk  karena  semuanya  baik  dan bermanfaat --termasuk
aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka  "keterlihatan"  itulah
yang buruk.
 
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang
dapat menilai. Agama pun memberi  petunjuk  tentang  apa  yang
dianggapnya   'aurat  atau  sau-at.  Dalam  fungsinya  sebagai
penutup, tentunya pakaian dapat menutupi  segala  yang  enggan
diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi
dalam konteks pembicaraan tuntunan  atau  hukum  agama,  aurat
dipahami  sebagai  anggota  badan  tertentu  yang  tidak boleh
dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.
 
Bahkan bukan hanya kepada orang  tertentu  selain  pemiliknya,
Islam  tidak  "senang"  bila  aurat  --khususnya  aurat  besar
(kemaluan)-- dilihat oleh siapa  pun.  Bukankah  seperti  yang
dikemukakan  terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup
atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?"
 
Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:
 
     Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu
     bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu
     kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika
     seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka
     malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR
     At-Tirmidzi).
 
     Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan
     pasangaunnya, jangan sekali-kali keduannya telanjang
     bagaikan telanjangnya binatang (HR Ibnu Majah).
 
Yang dikemukakan di  atas  adalah  tuntunan  moral.  Sedangkan
tuntunan  hukumnya  tentunya  lebih  longgar. Dari segi hukum,
tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian  atau  bersama
istrinya--  untuk  tidak  berpakaian.  Tetapi, ia berkewajiban
menutup auratnya, baik aurat  besar  (kemaluan)  maupun  aurat
kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya--
yang mungkin melihat. Ulama  bersepakat  menyangkut  kewajiban
berpakaian  sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda
pendapat tentang batas  aurat  itu.  Bagian  mana  dari  tubuh
manusia yang harus selalu ditutup.
 
Imam  Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki
wajib menutup seluruh badannya  dari  pusar  hingga  lututnya,
meskipun  ada  juga  yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup
dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan
lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
 
Wanita,  menurut  sebagian  besar  ulama  berkewajiban menutup
seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak  tangannya,
sedangkan   Abu   Hanifah   sedikit   lebih   longgar,  karena
menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki  wanita
juga  boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam
Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan  harus
ditutup.
 
Salah  satu  sebab  perbedaan  ini adalah perbedaan penafsiran
mereka tentang maksud firman Allah dalam  surat  Al-Nur  (24):
31:
 
     Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
     yang tampak darinya.
 
2. Perhiasan
 
Di  bagian  terdahulu  telah  dikemukakan  ayat  Al-Quran yang
memerintahkan   umat   Islam   agar    memakai    perhiasannya
--lebih-lebih  ketika  berkunjung  ke masjid (QS Al-A'raf [7]:
31).
 
Perhiasan  adalah  sesuatu  yang  dipakai  untuk   memperelok.
Tentunya  pemakainya  sendiri  harus  lebih  dahulu menganggap
bahwa perhiasan  tersebut  indah,  kendati  orang  lain  tidak
menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.
 
Al-Quran   tidak  menjelaskan  --apalagi  merinci--  apa  yang
disebut perhiasan, atau sesuatu yang  "elok".  Sebagian  pakar
menjelaskan  bahwa  sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan
kebebasan dan keserasian.
 
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping,  karena  kegemukan
membatasi  kebebasan  bergerak.  Sentuhan  yang  indah  adalah
sentuhan yang memberi kebebasan memegang  sehingga  tidak  ada
duri  atau  kekasaran  yang mengganggu tangan. Suara yang elok
adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa  paksaan  atau
dihadang  oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide
yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul,
dan  semacamnya.  Sedangkan  pakaian  yang  elok  adalah  yang
memberi kebebasan kepada pemakainya untuk  bergerak.  Demikian
kurang   lebih  yang  ditulis  Abbas  A1-Aqqad  dalam  bukunya
Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.
 
Harus diingat pula bahwa  kebebasan  mesti  disertai  tanggung
jawab,  karenanya  keindahan harus menghasilkan kebebasan yang
bertanggung jawab.
 
Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut,
sekalipun  sepakat  bahwa  keindahan  adalah  dambaan manusia.
Namun harus disepakati pula bahwa  keindahan  sangat  relatif;
tergantung  dari  sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat
ini  merupakan  salah  satu  sebab  mengapa   Al-Quran   tidak
menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.
 
Wahyu  kedua  (atau  ketiga)  yang  dinilai oleh ulama sebagai
ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
Saw.  sebagai  Rasul  antara lain menuntun beliau agar menjaga
dan  terus-menerus  meningkatkan  kebersihan  pakaiannya   (QS
Al-Muddatstsir [74]: 4).
 
Memang  salah  satu  unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
Itulah sebabnya  mengapa  Nabi  Saw.  senang  memakai  pakaian
putih,  bukan  saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim
Jazirah Arabia yang panas, melainkan juga karena  warna  putih
segera  menampakkan  kotoran,  sehingga pemakainya akan segera
terdorong untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih).
 
Al-Quran setelah memerintahkan  agar  memakai  pakaian-pakaian
indah  ketika  berkunjung  ke  masjid,  mengecam  mereka  yang
mengharamkan  perhiasan  yang  telah  diciptakan  Allah  untuk
manusia.
 
     Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
     telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS
     Al-A'raf [7]: 32)
 
Berhias  adalah  naluri  manusia.  Seorang sahabat Nabi pernah
bertanya kepada Nabi Saw.,
 
     "Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas
     kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?)" Nabi
     menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
     keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan
     menghina orang lain."
 
Terdapat sekian banyak  riwayat  yang  menginformasikan  bahwa
Rasullah Saw. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan
diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa:
 
     Seorang wanita menyodorkan --dengan tangannya-- sepucuk
     surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti
     sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, "Saya tidak
     tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki
     atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan,"
     Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya
     Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda
     (mewarnainya dengan pacar)."
 
Demikian Nabi Saw. menganjurkan agar wanita berhias.  Al-Quran
memang  tidak  merinci  jenis-jenis  perhiasan,  apalagi bahan
pakaian yang baik digunakan. Meskipun  ada  sekian  ayat  yang
berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya:
 
     Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
     sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari
     emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah
     sutera (QS Fathir [35]: 33).
 
     ...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
     mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan
     sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil
     bersandar di atas dipan-dipan yang indah... (QS Al-Kahf
     [18]: 31).
 
Perlu  dicatat,  bahwa  yang  disebutkan  di  atas tidak dapat
dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini.  Ketika
penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga
bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka  peroleh
di  dunia.  Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah
(2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa  (tetapi
tak  sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan
yang telah disebutkan.
 
Berbicara tentang perhiasan, salah satu  yang  diperselisihkan
para  ulama  adalah  emas  dan  sutera  sebagai  pakaian  atau
perhiasan lelaki.
 
Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung, tetapi  sekian
banyak hadis Nabi Saw. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai
oleh kaum lelaki.
 
     Ali bin Abi Thalib berkata, "Saya melihat Rasullullah
     Saw, mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah
     kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah kirinya,
     kemunduran beliau bersabda, 'Kedua hal ini haram bagi
     lelaki umatku" (HR Abu Dawud dan Nasa'i).
 
Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab  diharamkannya
kedua  hal  tersebut  bagi  kaum  lelaki.  Antara  lain  bahwa
keduanya  menjadi  simbol   kemewahan   dan   perhiasan   yang
berlebihan,  sehingga  menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi
kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau
karena menyerupai pakaian kaum musyrik.
 
Muhammad  bin  'Asyur,  seorang  ulama besar kontemporer serta
Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia  Islam,
menulis  dalam  bukunya  Maqashid  Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah,
bahwa ucapan dan sikap  Rasulullah  Saw.  tidak  selalu  harus
dipahami  sebagai  ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan
ucapan  dan  sikap  beliau,  walaupun  diakuinya  bahwa   yang
terpenting  dan  terbanyak  adalah  dalam  bidang syariat atau
hukum.
 
Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa
al-irsyad   (tuntunan   dan   petunjuk).  Ini  berbeda  dengan
ketetapan hukum, karena --tulisnya:
 
     Boleh jadi Nabi Saw. memerintah atau melarang, tetapi
     tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan
     tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik
     (hlm. 32).
 
Dalam rinciannya,  ulama  besar  itu  menulis  bahwa  sebagian
tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat. Dalam bidang pakaian
dikemukakannya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari  yang
disampaikan oleh sahabat Nabi Al-Bara' bin 'Azib:
 
     Rasulullah Saw. memerintahkan kami tujuh hal dan
     melarang tujuh hal; memerintahkan kami mengunjungi
     orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin
     (mengucapkan "yarhamukallah" bila orang yang bersin
     mengucapkan alhamdulillah), mengabulkan permintaan
     (yang meminta dengan menyebut nama Allah), membantu
     yang teraniaya, menyebarluaskan salam, serta menghadiri
     undangan. Beliau melarang kami memakai cincin emas,
     perabot perak, pelana dari kapas, aqsiyah (bentuk jamak
     dari "qisiy", yaitu sejenis pakaian yang dibuat di
     Mesir berbahan sutera), istabraq (sutera tebal), dan
     dibaj (sutera halus).
 
Di  sini,  tulis  Muhammad  bin 'Asyur, terdapat perintah yang
jelas-jelas wajib,  seperti  membantu  yang  teraniaya  (kalau
mampu). Ada juga larangan yang jelas haram, seperti minum dari
gelas  perak.  Ada  juga  yang  jelas  tidak  wajib,   seperti
mendoakan   orang  yang  bersin,  dan  mengabulkan  permintaan
(walau) dengan cara yang disebut di atas,  dan  terdapat  juga
yang  jelas  tidak  haram seperti mengenakan pelana dari kapas
atau jenis pakaian buatan Mesir. Larangan-larangan semacam itu
tidak  lain  kecuali  bertujuan  menghindarkan sahabat-sahabat
beliau  (dan   tentu   termasuk   umatnya)   dari   penampilan
berlebih-lebihan, berfoya-foya, dan berhias dengan warna-warna
menyolok seperti warna merah.  Pemahaman  ini  diperkuat  oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib
yang menyatakan bahwa,
 
     Rasul Saw. melarang memakai aqsiyah, bercincin emas,
     membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud
     dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak berkata bahwa
     kamu sekalian dilarang."
 
Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak  ditujukan  kepada
seluruh  umat,  tetapi  hanya  kepada  Ali  bin  Abi  Thalib.
Demikian  Muhammad   Thahir   bin   'Asyur,   dalam   Magashid
Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36.
 
Sebelum  mengakhiri  uraian  tentang  fungsi  pakaian  sebagai
perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa  salah  satu  yang  harus
dihindari  dalam  berhias  adalah  timbulnya rangsangan berahi
dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap
tidak sopan dari siapa pun.
 
----------------                              (bersambung 3/4)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team