| |
|
PAKAIAN (3/4) Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan sebagainya. Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah, satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33) mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain suami istri. Termasuk dalam cakupan maksud kata tabarruj menggunakan wangi-wangian (yang menusuk hidung). Rasul Saw. bersabda: Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia "begini" (yakni berzina) (HR At-Tirmidzi). Al-Quran mempersilakan perempuan berjalan di hadapan lelaki, tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai mengundang perhatian. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan: ...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka "sembunyikan" (QS Al-Nur [24]: 31). Al-Quran tidak melarang seseorang berbicara atau bertemu dengan lawan jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi pembicaraan mengundang rangsangan dan godaan,... demikian maksud firman Allah dalam sural Al-Ahzab (33): 32: ...maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam jiwanya... (QS Al-Ahzab [33]: 32). Demikian, sebagian tuntunan Al-Quran tentang perhiasan. PERLINDUNGAN (TAKWA) Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah "perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang demikian ini adalah perlindungan secara fisik. Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan. Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian. Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka. Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempattempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai Muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka tidak diganggu. Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk pakaian ruhani, libas at-tagwa. Setiap orang dituntut untuk merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar, syukur, qana'ah, ridha, dan sebagainya. Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa. Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Al-Quran mengingatkan kepada mereka yang telah berhasil merajut pakaian takwa: Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan (gila dalam cerita lama) mengurai kembali tenunannya sehelai benang demi sehelai, setelah ditenunnya dengan kuat (QS Al-Nahl [l6]: 92). PENUNJUK IDENTITAS Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal (QS Al-Ahzab [33]: 59) Demikian terjemahan ayat yang menggambarkan fungsi pakaian. Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat material dan ada juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang dikenakannya. Anda dapat mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP, atau Angkatan Laut dan Angkatan Darat, atau Kopral dan Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang. Rasul Saw. amat menekankan pentingnya penampilan identitas Muslim, antara lain melalui pakaian. Karena itu: Rasulullah Saw. melarang lelaki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian lelaki (HR Abu Daud). Kepribadian umat juga harus ada. Ketika Rasul membicarakan bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang kaum Muslim melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya yang mengusulkan menancapkan tanda, sehingga yang melihatnya segera datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan untuk menggunakan terompet, dan komentar beliau: "Itu cara Yahudi." Ada juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. "Itu cara Nasrani," sabda beliau. Akhirnya yang disetujui beliau adalah adzan yang kita kenal sekarang, setelah Abdullah bin Zaid Al-Anshari dan juga Umar ra. Bermimpi tentang cara tersebut. Demikian diriwayatkan oleh Abu Daud. Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang lain. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasul Saw. bersabda: Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk kelompok kaum itu. Kepribadian imaterial (ruhani) bahkan ditekankan oleh Al-Quran, antara lain melalui surat Al-Hadid (57): 16: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al-Kitab (orang Yabudi dan Nasrani). Berlalulah masa yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik. Seorang Muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan jasmani yang menggambarkan identitasnya. Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun demikian agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam berpakaian tercermin pula identitas itu. Tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran. Tetapi apa hukumnya? Baiklah kita membahasnya dalam bagian berikut ini. SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya. Ini termasuk wanita-wanita tuna susila atau hamba sahaya. Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka. Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya terhadap Mukminah, mereka berkata: "Kami kira mereka hamba sahaya." Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas. Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah kepada Nabi yang menyatakan: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal (sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59). Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Ayat ini secara jelas menuntun/menuntut kaum Muslimah agar memakai pakaian yang membedakan mereka dengan yang bukan Muslimah yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat ini memerintahkan agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan mereka. Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas Muslimah. Nah, di sinilah Al-Quran memberi tuntunan itu. Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur (24): 31, Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya. Hendaklah mereka mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung. Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas. Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya]. Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok, baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun bahan-bahan make up. Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang mereka bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah satu kunci pemahaman ayat tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil (satu istilah -- dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut sebelumnya"), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau hiasan. Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka kecuali apa yang tampak." Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu, lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam redaksi tersebut. Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu bahasa Arab istisna' munqathi' dalam arti yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini bermakna: "Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan. Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih kurang: "Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa." Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas-- tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan, sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa. Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian banyak hadis, seperti sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Buraidah: Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua anda berdosa. ---------------- (bersambung 4/4) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |