| |
|
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya. Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani. Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah). Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari peradabanperadaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka me ngatakan bahwa "Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita." Sementara itu dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya." Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak, Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita pertama di dunia - menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849, teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran, Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana. Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum, menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan yang demikian tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi pemahaman sementara pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-Quran sebagaimana akan disinggung berikut ini. ASAL KEJADIAN PEREMPUAN Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, "Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa." Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat. Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa, "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki - potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan." Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak." Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam. Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah pendapat mayoritas ulama. Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa. Agaknya karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus)." Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan: "Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah). Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330) Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat 70, "Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan." Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan, "Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..." Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya. (bersambung 2/4) |
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |