| |
|
POLITIK (1/2) Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politõcus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)." Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak. Dalam Al-Quran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Quran tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Quran yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Quran dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyasah Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan). Uraian Al-Quran tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian. Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti "putusan". Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat. Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik. Kata siyasat sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas. Dalam Al-Quran ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah surat Al-Baqarah (2): 269: Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak. WAWASAN POLITIK DALAM AL-QURAN Dalam Al-Quran ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukm (Arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi mengantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Quran yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan, Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An'am [6]: 57) Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebiiaksanaan Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata, Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil. Memang ada empat ayat Al-Quran yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada dua hal yang harus digarisbawahi dalam hubungan ini. Pertama, keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan ayat-ayat berikut: Katakanlah, "Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah, "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". Katakanlah, "Sesungguhnya aku berada di atas bukti yang nyata (Al-Quran). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik" (QS Al-An'am [6]: 56-57). Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah. Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga ditemukan Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah dalam ibadah: Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah. Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dan pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari takdir Allah. Keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah Kepada-Nya aku berserah diri dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri. Ayat keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang sedikit berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An'am (6): 62, Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan,) A11ah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat. Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang ketetapan hukum yang sepenuhnya berada di tangan Allah sendiri pada hari kiamat. Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan hukum kepada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2): 213 yang berbicara tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan --menurut redaksi Al-Quran: Agar masing-masing Nabi memberi putusan tentang perselisihan antar manusia. Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi: Dan apabita kamu berhukum (menjatuhkan putusan) di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS Al-Nisa' [4]: 58). Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhususan Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kekhususan tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Quran dengan hashr idhafi. Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah Swt., dan karena itu manusia yang baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu. KEKUASAAN POLITIK Allah Swt. adalah pemilik segala sesuatu, Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (QS Al-Ma-idah [5]: 18). Demikian satu dan sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Benar, kita juga membaca, Pemilik hari kebangkitan (QS Al-Fatihah [1]: 4). Ayat ini boleh jadi mengantar seseorang untuk menduga bahwa Dia bukan pemilik hari-hari duniawi, namun ini tidaklah benar. Ayat Al-Fatihah ini, menekankan bahwa kepemilikannya menyangkut hari kemudian adalah mutlak serta amat nyata, sehingga --ketika itu-- jangankan bertindak, berbicara pun hanya berbisik: Dan rendahkanlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha pemurah sehingga kamu tidak mendengar kecuali bisikan (QS Thaha [20]: 108). Itu pun harus dengan seizin-Nya, jangankan manusia, malaikat pun demikian, seperti firman-Nya dalam surat Al-Naba' (78): 38. Mereka tidak bercakap kecuali seizin Tuhan Yang Maha Pemurah dan perkataan mereka benar (QS Al-Naba' [78]: 38). Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, juga karena kekuasaan tersebut tidak sejenis di hari kemudian. Bukankah masih ada manusia di dunia ini yang tidak mengakui kekuasaan Allah dalam perwujudan-Nya? Dalam konteks kekuasaan politik, Al-Quran memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut: Katakanlah, "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, engkau anugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki, dalam tangan-Mu segala kebaikkan, sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu." (QS Ali Imran [3]: 26). Dalam konteks ini, Rasul Saw. setiap habis shalat membaca doa, yang hingga kini masih populer di kalangan umat Islam: Namun demikian, seperti tersurat dalam ayat di atas, Allah Swt. menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan politik dan ada pula yang gagal. Paling tidak, dari dua istilah Al-Quran kita dapat menjumpai uraian tentang kekuasaan politik, serta tugas yang dibebankan Allah kepada manusia. Kedua istilah tersebut adalah istikhlaf dan isti'mar. a. Istikhlaf Dalam surat Al-Baqarah (52): 30 dinyatakan Sesungguhnya Aku (Allah) akan mengangkat di bumi khalifah. Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dalam Al-Quran sebanyak dua kali, yakni ayat di atas, dan surat Shad (38): 26: Wahai Daud Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi. Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam khulafa' dan khalaif. Masing-masing mempunyai makna sesuai dengan konteksnya. Seperti terbaca di atas, ayat-ayat yang berbicara tentang pengangkatan khalifah dalam Al-Quran ditujukan kepada Nabi Adam dan Nabi Daud. Khalifah pertama adalah manusia pertama (Adam) dan ketika itu belum ada masyarakat manusia, berbeda dengan keadaan pada masa Nabi Daud. Beliau menjadi khalifah setelah berhasil membunuh Jalut. Al-Quran dalam hal ini menginformasikan bahwa, Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan atas kerajaan, dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendaki-Nya (QS Al-Baqarah [2]: 251]. Ayat ini menunjukkan bahwa Daud memperoleh kekuasann tertentu dalam mengelola satu wilayah, dan dengan demikian kata khalifah pada ayat yang membicarakan pengangkatan Daud adalah kekhalifahan dalam arti kekuasaan mengelola wilayah atau dengan kata lain kekuasaan politik. Hal ini didukung pula oleh surat Al-Baqarah (2): 251 di atas yang menjelaskan bahwa Nabi Daud a.s. dianugerahi hikmah yang maknanya telah dijelaskan sebelum ini. Kekhalifahan dalam arti kekuasaan politik dipahami juga dari ayat-ayat yang menggunakan bentuk jamak khulafa'. Perhatikan konteks ayat-ayat surat Al-A'raf (7): 69 dan 74, serta Al-Naml (27): 62. Menarik juga untuk dibandingkan bahwa ketika Allah menguraikan pengangkatan Adam sebagai khalifah, digunakan bentuk tunggal dalam menunjuk pengangkatan itu, Sesungguhnya Aku akan mengangkat di bumi khalifah (QS Al-Baqarah [2]: 30). Sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan Daud sebagai khalifah digunakannya bentuk plural (jamak), Sesungguhnya Kami telah mengangkat engkau khalifah. Pengggunaan bentuk tunggal pada Adam cukup beralasan karena ketika itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi ia baru dalam bentuk ide. Perhatikan redaksinya yang menyatakan, "Aku akan". Sedangkan pada Daud, digunakan bentuk jamak serta past tense (kata kerja masa lampau), "Kami telah" untuk mengisyaratkan adanya keterlibatan selain dari Tuhan (dalam hal ini restu masyarakatnya) dalam pengangkatan tersebut. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa mengangkat seseorang sebagai khalifah boleh-boleh saja dilakukan oleh satu oknum, selama itu masih dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan di alam nyata maka hendaknya ia dilakukan oieh orang banyak atau masyarakat. ---------------- (bersambung 2/2) WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Penerbit Mizan Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038 mailto:mizan@ibm.net |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |