Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SYUKUR                                                   (1/3)
 
Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab.  Kata
ini  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah  (menyatakan
lega, senang, dan sebagainya).
 
Pengertian   kebahasaan   ini  tidak  sepenuhnya  sama  dengan
pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut
penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.
 
Dalam   Al-Quran   kata  "syukur"  dengan  berbagai  bentuknya
ditemukan sebanyak enam puluh empat  kali.  Ahmad  Ibnu  Faris
dalam  bukunya  Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar
dari kata tersebut yaitu,
 
  a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.
     Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit
     sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini
     (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan
     sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan
     Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan
     barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh
     subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.
 
  b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur
     dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.
 
  c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
 
  d. Pernikahan, atau alat kelamin.
 
Agaknya kedua makna  terakhir  ini  dapat  dikembalikan  dasar
pengertiannya  kepada  kedua  makna  terdahulu.  Makna  ketiga
sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan
yang  sedikit  sekalipun,  sedang  makna  keempat dengan makna
kedua,  karena  dengan   pernikahan   (alat   kelamin)   dapat
melahirkan banyak anak.
 
Makna-makna   dasar  tersebut  dapat  juga  diartikan  sebagai
penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur"  mengisyaratkan
"Siapa  yang  merasa  puas  dengan  yang sedikit, maka ia akan
memperoleh banyak, lebat, dan subur."
 
Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar
bahasa  Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran,
bahwa kata "syukur"  mengandung  arti  "gambaran  dalam  benak
tentang  nikmat  dan  menampakkannya  ke  permukaan." Kata ini
--tulis Ar-Raghib-- menurut sementara ulama berasal dari  kata
"syakara"  yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan
dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah  satu
artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.
 
Makna  yang  dikemukakan  pakar di atas dapat diperkuat dengan
beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur  dengan
kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7:
 
     Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
     untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku
     amat pedih.
 
Demikian juga dengan  redaksi  pengakuan  Nabi  Sulaiman  yang
diabadikan Al-Quran:
 
     Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku
     apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).
 
Hakikat  syukur  adalah  "menampakkan  nikmat,"  dan   hakikat
kekufuran  adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara
lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang
dikehendaki  oleh  pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah:
 
     Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau
     menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).
 
Nabi Muhammad Saw. pun bersabda,
 
     Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam
     penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).
 
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah
kepada-Ku  dan  janganlah  kamu  mengingkari  (nikmat)-Ku" (QS
Al-Baqarah [2]: 152), menjelaskan bahwa  ayat  ini  mengandung
perintah  untuk  mengingat  Tuhan  tanpa  melupakannya,  patuh
kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan.  Syukur  orang
demikian  lahir  dari  keikhlasan  kepada-Nya, dan karena itu,
ketika setan menyatakan bahwa, "Demi  kemuliaan-Mu,  Aku  akan
menyesatkan  mereka  manusia)  semuanya"  (QS  Shad [38]: 82),
dilanjutkan dengan pernyataan  pengecualian,  yaitu,  "kecuali
hamba-hamba-Mu  yang mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]:
83). Dalam QS Al-A'raf (7): 17 Iblis menyatakan,  "Dan  Engkau
tidak   akan   menemukan   kebanyakan  dari  mereka  {manusia)
bersyukur." Kalimat "tidak  akan  menemukan"  di  sini  serupa
maknanya  dengan  pengecualian  di  atas, sehingga itu berarti
bahwa  orang-orang  yang  bersyukur  adalah  orang-orang  yang
mukhlish (tulus hatinya).
 
Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
 
  a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas
     anugerah.
 
  b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan
     memuji pemberinya.
 
  c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah
     yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
 
Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian  banyak  aspek.
Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya.
 
SIAPA YANG HARUS DISYUKURI
 
Pada  prinsipnya  segala  bentuk  kesyukuran  harus  ditujukan
kepada  Allah  Swt.  Al-Quran  memerintahkan  umat Islam untuk
bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,
 
     Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula
     kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
     mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).
 
Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:
 
     Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada
     Luqman hikmah, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan
     barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
     sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya
     sendiri."
 
Namun demikian, walaupun  kesyukuran  harus  ditujukan  kepada
Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah"
dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada  Allah,"  namun
ini  bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka
yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran secara
tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensyukuri kedua
orang tua (yang menjadi perantara  kehadiran  kita  di  pentas
dunia  ini.)  Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu
dengan firman-Nya:
 
     Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu
     bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.
 
Walaupun  Al-Quran  hanya  menyebut  kedua  orangtua  --selain
Allah--  yang  harus  disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa
selain mereka tidak boleh disyukuri.
 
     Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak
     mensyukuri Allah (Begitu bunyi suatu rtwayat yang
     disandarkan kepada Rasul Saw).
 
MANFAAT SYUKUR BUKAN UNTUK TUHAN
 
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur  kembali
kepada  orang  yang  bersyukur,  sedang Allah Swt. sama sekali
tidak memperoleh bahkan tidak  membutuhkan  sedikit  pun  dari
syukur makhluk-Nya.
 
     Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia
     bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan
     barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka
     sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan
     sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)
 
Karena  itu  pula,  manusia  yang   meneladani   Tuhan   dalam
sifat-sifat-Nya,  dan  mencapai peringkat terpuji, adalah yang
memberi tanpa menanti syukur (balasan dari yang  diberi)  atau
ucapan terima kasih.
 
Al-Quran  melukiskan  bagaimana satu keluarga (menurut riwayat
adalah  Ali  bin  Abi  Thalib  dan  istrinya  Fathimah   putri
Rasulullah  Saw.)  memberikan  makanan  yang mereka rencanakan
menjadi makanan berbuka puasa mereka, kepada tiga  orang  yang
membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan bahwa,
 
     Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah
     mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki
     balasan darimu, dan tidak pula pujian (ucapan terima
     kasih) (QS Al-Insan [76]: 9).
 
Walaupun manfaat  syukur  tidak  sedikit  pun  tertuju  kepada
Allah,  namun  karena  kemurahan-Nya,  Dia menyatakan diri-Nya
sebagai Syakirun 'Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan  Syakiran
Alima  (QS  An-Nisa'  [4]:  147),  yang keduanya berarti, Maha
Bersyukur  lagi  Maha  Mengetahui,  dalam  arti   Allah   akan
menganugerahkan  tambahan nikmat berlipat ganda kepada makhluk
yang bersyukur. Syukur Allah ini antara lain  dijelaskan  oleh
firman-Nya dalam surat Ibrahim (14): 7 yang dikutip di atas.
 
BAGAIMANA CARA BERSYUKUR?
 
Di atas telah dijelaskan bahwa  ada  tiga  sisi  dari  syukur,
yaitu  dengan  hati, lidah, dan anggota tubuh lainnya. Berikut
akan dirinci penjelasan tentang masing-masing sisi tersebut.
 
a. Syukur dengan hati
 
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa
nikmat  yang  diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan
kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati  mengantar  manusia  untuk
menerima  anugerah  dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan
keberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini  juga
mengharuskan  yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan,
dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahuya pujian
kepada-Nya.   Qarun   yang  mengingkari  keberhasilannya  atas
bantuan  Ilahi,  dan   menegaskan   bahwa   itu   diperolehnya
semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai
kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya  (Baca  kisahnya  dalam
surat Al-Qashash (28): 76-82).
 
Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa mala petaka
pun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu,
tetapi  karena  terbayang  olehnya bahwa yang dialaminya pasti
lebih kecil dari kemungkinan lain  yang  dapat  terjadi.  Dari
sini syukur --seperti makna yang dikemukakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang dikutip di atas-- diartikan  oleh  orang
yang  bersyukur  dengan  "untung"  (merasa  lega,  karena yang
dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).
 
Dari kesadaran tentang makna-makna  di  atas,  seseorang  akan
tersungkur  sujud  untuk  menyatakan perasaan syukurnya kepada
Allah.
 
Sujud syukur adalah perwujudan dari  kesyukuran  dengan  hati,
yang  dilakukan  saat  hati dan pikiran menyadari betapa besar
nikmat yang dianugerahkan Allah.  Bahkan  sujud  syukur  dapat
dilakukan   saat   melihat   penderitaan   orang  lain  dengan
membandingkan keadaannya  dengan  keadaan  orang  yang  sujud.
(Tentu  saja  sujud  tersebut  tidak  dilakukan  dihadapan  si
penderita itu).
 
Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua  anggota  sujud
di  lantai  yakni  dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan
kedua ujung jari kaki)--seperti melakukan sujud dalam  shalat.
Hanya  saja  sujud syukur cukup dengan sekali sujud, bukan dua
kali sebagaimana dalam shalat. Karena sujud itu  bukan  bagian
dan  shalat,  maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sujud sah
walaupun dilakukan tanpa berwudu, karena sujud dapat dilakukan
sewaktu-waktu  dan  secara  spontanitas.  Namun  tentunya akan
sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudu.
 
b. Syukur dengan lidah
 
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber
nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya.
 
----------------                              (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team