Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

SYUKUR                                                   (2/3)
 
Al-Quran,  seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar
pujian    kepada    Allah    disampaikan    dengan     redaksi
"al-hamdulillah."
 
Hamd  (pujian)  disampaikan  secara  lisan kepada yang dipuji,
walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun
kepada yang lain.
 
Kata   "al"  pada  "al-hamdulillah"  oleh  pakar-pakar  bahasa
disebut al lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan".
Sehingga   kata   "al-hamdu"   yang   ditujukan  kepada  Allah
mengandung arti  bahwa  yang  paling  berhak  menerima  segala
pujian  adalah Allah Swt., bahkan seluruh pujian harus tertuju
dan bermuara kepada-Nya.
 
Jika kita mengembalikan segala puji  kepada  Allah,  maka  itu
berarti  pada  saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau
kecantikannya,  maka  pujian  tersebut  pada  akhirnya   harus
dikembalikan  kepada Allah Swt., sebab kecantikan dan kebaikan
itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau pada 1ahirnya ada
perbuatan  atau  ketetapan  Tuhan  yang  mungkin oleh kacamata
manusia dinilai  "kurang  baik",  maka  harus  disadari  bahwa
penilaian  tersebut  adalah  akibat keterbatasan manusia dalam
menetapkan tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti  ada
sesuatu   yang  luput  dari  jangkauan  pandangannya  sehingga
penilaiannya menjadi demikian. Walhasil, syukur  dengan  lidah
adalah "al- hamdulillah" (segala puji bagi Allah).
 
c. Syukur dengan perbuatan
 
Nabi  Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh
aneka nikmat yang  tiada  taranya.  Kepada  mereka  sekeluarga
Allah berpesan,
 
     Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur! (QS
     Saba [34]: 13).
 
Yang dimaksud dengan bekerja adalah  menggunakan  nikmat  yang
diperoleh   itu   sesuai   dengan   tujuan   penciptaan   atau
penganugerahannya.
 
Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya
agar  merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh
Allah. Ambillah sebagai contoh  lautan  yang  diciptakan  oleh
Allah  Swt. Ditemukan dalam Al-Quran penjelasan tentang tujuan
penciptaannya melalui firman-Nya:
 
     Dialah (Allah) yang menundukkan 1autan (untuk kamu) agar
     kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan
     (agar) kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang
     kamu pakai, dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,
     dan supaya kamu mencari karunia-Nya (selain yang telah
     disebut) semoga kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14).
 
Ayat  ini  menjelaskan  tujuan   penciptaan   laut,   sehingga
mensyukuri  nikmat  laut,  menuntut  dari yang bersyukur untuk
mencari ikan-ikannya, mutiara  dan  hiasan  yang  lain,  serta
menuntut   pula   untuk  menciptakan  kapal-kapal  yang  dapat
mengarunginya, bahkan  aneka  pemanfaatan  yang  dicakup  oleh
kalimat "mencari karunia-~Nya".
 
Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,
 
     Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah
     (nikmat-Ku) (QS Ibrahim [14]: 7)
 
Betapa anugerah  Tuhan  tidak  akan  bertambah,  kalau  setiap
jengkal  tanah  yang  terhampar di bumi, setiap hembusan angin
yang bertiup di udara, setiap tetes hujan  yang  tercurah  dan
langit dipelihara dan dimanfaatkan oleh manusia?
 
Di  sisi  lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa "Kalau
kamu kufur (tidak mensyukuri  nikmat  atau  menutupinya  tidak
menampakkan  nikmatnya  yang masih terpendam di perut bumi, di
dasar laut atau di angkasa), maka sesungguhnya  siksa-Ku  amat
pedih."
 
Suatu  hal  yang  menarik  untuk disimak dari redaksi ayat ini
adalah kesyukuran dihadapkan  dengan  janji  yang  pasti  lagi
tegas  dan  bersumber  dari-Nya  langsung  (QS Ibrahim [14):7)
Tetapi akibat kekufuran hanya isyarat tentang siksa;  itu  pun
tidak  ditegaskan  bahwa  ia  pasti  akan  menimpa  yang tidak
bersyukur(QS Ibrahim [14]:7).
 
Siksa dimaksud antara  lain  adalah  rasa  lapar,  cemas,  dan
takut.
 
     Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah
     negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya
     datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru,
     tetapi (penduduknya) kufur (tidak bersyukur atau tidak
     bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah (yang
     terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka
     mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan
     oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan (QS
     An-Nahl [16]: 112).
 
Pengalaman pahit yang  dilukiskan  Allah  ini,  telah  terjadi
terhadap  sekian  banyak  masyarakat bangsa, antara lain, kaum
Saba --satu suku bangsa yang hidup di Yaman  dan  yang  pernah
dipimpin  oleh  seorang  Ratu  yang amat bijaksana, yaitu Ratu
Balqis Surat Saba (34): 15-19 menguraikan kisah mereka,  yakni
satu  masyarakat  yang  terjalin  persatuan  dan  kesatuannya,
melimpah  ruah  rezekinya  dan  subur  tanah  airnya.   Negeri
merekalah   yang  dilukiskan  oleh  Al-Quran  dengan  baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Mereka pulalah  yang  diperintah
dalam   ayat-ayat  tersebut  untuk  bersyukur,  tetapi  mereka
berpaling    dan    enggan    sehingga     akhirnya     mereka
berserak-serakkan,    tanahnya    berubah   menjadi   gersang,
komunikasi dan transportasi antar  kota-kotanya  yang  tadinya
lancar  menjadi terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah
bibir orang saja.  Demikian  uraian  Al-Quran.  Dalam  konteks
keadaan mereka, Allah berfirman,
 
     Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
     disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami
     tidak menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada
     orang-orang yang kufur(QS Saba [34]: 17).
 
Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:
 
     Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
     untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku
     amat pedih (QS Ibrahim [14]: 7).
 
KEMAMPUAN MANUSIA BERSYUKUR
 
Pada hakikatnya manusia tidak  mampu  untuk  mensyukuri  Allah
secara  sempurna,  baik  dalam  bentuk  kalimat-kalimat pujian
apalagi dalam bentuk perbuatan. Karena itu ditemukan dua  ayat
dalam  Al-Quran yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat
kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing,  diilhami
dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat-Nya.
 
     Dia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk
     mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan
     kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakku, dan untuk
     mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai..." (QS
     An-Nam1 [27]: 19).
 
     Ia berdoa, "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk
     mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku
     dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat
     amal saleh yang engkau ridhai" (QS Al-Ahqaf [46]: 15).
 
Nabi  Saw.  juga  berdoa  dan  mengajarkan   doa   itu   untuk
dipanjatkan oleh umatnya,
 
     Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur
     untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu.
 
Permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan
oleh dua hal:
 
Pertama,  manusia  tidak  mampu mengetahui bagaimana cara yang
sebaik-baiknya untuk memuji Allah, dan karena itu  pula  Allah
mewahyukan  kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang sewajarnya
mereka ucapkan. Tidak kurang dari lima  kali  ditemukan  dalam
Al-Quran perintah Allah yang berbunyi. Wa qul' "Alhamdulillah"
(Katakanlah, "Alhamdulillah").
 
Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya?  Ini  disebabkan
karena  pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula
tentang siapa yang dipuji. Tetapi karena  pengetahuan  manusia
tidak  mungkin  menjangkau  hakikat  Allah  Swt.,  maka  tidak
mungkin pula ia akan mampu memuja dan me~nuji-Nya dengan benar
sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
 
     Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian
     untuk-Mu, karena itu (pujian) kami sebagaimana pujian-Mu
     terhadap diri-Mu.
 
Atas dasar ini, maka  seringkali  pujian  yang  dipersembahkan
kepada  Allah,  didahului oleh kata "Subhana" atau yang seakar
dengan  kata  itu.  Perhatikanlah   firman-Nya   dalam   surat
Asy-Syura ayat 5:
 
     Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka.
 
Atau dalam surat Ar-Ra'd (13): 13:
 
     Guntur bertasbih sambil memuji-Nya.
 
Bahkan manusia  pun  di  dalam  shalat  mendahulukan  "tasbih"
(pensucian Tuhan dari segala kekurangan) atas "hamd" (pujian),
karena khawatir jangan sampai pujian yang  diucapkan  itu  tak
sesuai  dengan  keagungan-Nya.  "Subhana Rabbiyal 'Azhim wa bi
hamdihi" ketika  rukuk,  dan  "Subhana  Rabbiyal  'Ala  wa  bi
hamdihi" ketika sujud.
 
Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk bersyukur
adalah karena setan selalu  menggoda  manusia  yang  targetnya
antara  lain  adalah  mengalihkan mereka dari bersyukur kepada
Allah. Surat Al-A'raf ayat  17  menguraikan  sumpah  setan  di
hadapan  Allah  untuk  menggoda  dan  merayu manusia dari arah
depan, belakang, kiri,  dan  kanan  mereka  sehingga  akhirnya
seperti  ucap  setan  yang diabadikan Al-Quran "Engkau -(Wahai
Allah)- tidak menemukan kebanyakan mereka bersyukur".
 
Sedikitnya makhluk  Allah  yang  pandai  bersyukur  ditegaskan
berkali-kali oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri
seperti firman-Nya:
 
     Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia,
     tetapi kebanyakan manusia tida1k bersyukur (QS
     Al-Baqarah [2]: 243).
 
Dalam ayat lain disebutkan:
 
     Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
     Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
     bersyukur (QS Saba' [34]: 13) .
 
Hakikat yang sama diakui  pula  oleh  hamba-hamba  pilihan-Nya
seperti yang diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf a.s.,
 
     Kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Yusuf [12]: 38).
 
Hakikat di atas tercermin juga  dari  penggunaan  kata  syukur
sebagai  sifat  dari  hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka
yang disebut oleh Al-Quran  sebagai  hamba  Allah  yang  telah
membudaya dalam dirinya sifat syukur, yaitu Nabi Nuh a.s. yang
dinyatakan-Nya   sebagai   "Innahu   kanna   'abdan   syakura"
(Sesungguhnya  dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur)
(QS  Al-Isra'  [17]:  3),  dan  Nabi   Ibrahim   a.s.   dengan
firman-Nya,    "Syakiran   li   an'umihi"   (yang   mensyukuri
nikmat-nikmat Allah) (QS An-Nahl [16): 12l).
 
Al-Quran menggarisbawahi  bahwa  biasanya  kebanyakan  manusia
hanya   berjanji   untuk   bersyukur  saat  mereka  menghadapi
kesulitan. Al-Quran menjelaskan  sikap  sementara  orang  yang
menghadapi gelombang yang dahsyat di laut:.
 
     Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan
     ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata),
     "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari
     bencana ini, maka pastilah kami akan termasuk
     orang-orang yang bersyukur" (QS Yunus 110]: 22).
 
Demikian juga dalam surat Al-An'am (6): 63.
 
     Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari
     bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa
     kepada-Nya dengan berendah dri dengan suara yang lembut
     (dengan mengatakan): Sesungguhnya, jika Dia
     menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami
     menjadi bagian orang-orang yang bersyukur" (QS Al-An'am
     [6]: 63).
 
APA YANG HARUS DISYUKURI?
 
Pada dasarnya  segala  nikmat  yang  diperoleh  manusia  harus
disyukurinya.  Nikmat  diartikan  oleh sementara ulama sebagai
"segala sesuatu yang berlebih dari modal Anda". Adakah manusia
memiliki  sesuatu sebagai modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah
hidupnya sendiri adalah anugerah dari Allah?
 
     Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa,
     sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat
     disebut? (QS Al-Insan [76]: 1).
 
Nikmat  Allah  demikian  berlimpah  ruah,  sehingga   Al-Quran
menyatakan,
 
     Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya
     kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]:
     34).
 
Al-Biqa'i   dalam   tafsirnya   terhadap   surat    Al-Fatihah
mengemukakan  bahwa  "al-hamdulillah"  dalam  surat Al-Fatihah
menggambarkan segala anugerah Tuhan yang dapat dinikmati  oleh
makhluk,  khususnya  manusia. Itulah sebabnya --tulisnya lebih
jauh--   empat   surat   lain   yang   juga   dimulai   dengan
al-hamdulillah  masing-masing  menggambarkan  kelompok  nikmat
Tuhan, sekaligus merupakan  perincian  dari  kandungan  nikmat
yang   dicakup   oleh   kalimat   al-hamdulillah  dalam  surat
Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah adalah  induk  Al-Quran  dan
kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat lain.
 
Keempat surat yang dimaksud adalah:
 
1. Al-An'am (surat ke-6) yang dimulai dengan,
 
     Segala puji bagi Allah Yang te1ah menciptakan langit dan
     bumi, dan mengadakan gelap dan terang.
 
Ayat  ini  mengisyaratkan  nikmat  wujud  di  dunia ini dengan
segala potensi yang dianugerahkan Allah baik di  darat,  laut,
maupun udara, serta gelap dan terang.
 
2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan,
 
     Segala puji bagi Allah yang te1ah menurunkan kepada
     hamba-Nya Al-Kitab (Al-Quran), dan tidak membuat
     kebengkokan (kekurangan) di dalamnya.
 
Di  sini  diisyaratkan  nikmat-nikmat  pemeliharaan Tuhan yang
dianugerahkannya secara aktual  di  dunia  ini.  Disebut  pula
nikmat-Nya   yang   terbesar   yaitu   kehadiran  Al-Quran  di
tengah-tengah umat  manusia,  untuk  "mewakili"  nikmat-nikmat
pemeliharaan lainnya.
 
3. Saba' (surat ke-34), yang dimulai dengan,
 
     Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di
     langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya pula
     segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana
     lagi Maha Mengetabui.
 
Ayat  ini  mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni
kehidupan baru setelah mengalami kematian di  dunia,  di  mana
dengan   kehadirannya   di   sana   manusia  dapat  memperoleh
kenikmatan abadi.
 
4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan,
 
     Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang
     menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan untuk mengurus
     berbagai macam urusan (di dunia dan di akhirat), yang
     mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan
     empat.
 
Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang  akan
dianugerahkan  Allah  kelak  setelah  mengalami  hidup baru di
akhirat.
 
Setiap rincian yang terdapat  dalam  keempat  kelompok  nikmat
yang  dicakup  oleh  keempat  surat  di  atas, menuntut syukur
hamba-Nya baik  dalam  bentuk  ucapan  al-hamdulillah,  maupun
pengakuan  secara  tulus  dari  lubuk  hati, serta mengamalkan
perbuatan yang diridhai-Nya.
 
----------------                              (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team