Wawasan Al-Qur'an

oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

WAKTU                                                    (1/2)
 
Berbicara  mengenai  "waktu"   mengingatkan   penulis   kepada
ungkapan  Malik  Bin  Nabi  dalam  bukunya  Syuruth An-Nahdhah
(Syarat-syarat Kebangkitan)  [*]  saat  ia  memulai  uraiannya
dengan mengutip satu ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama
sebagai hadis Nabi Saw.:
 
[*] Edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh  Penerbit  Mizan
dengan judul Membangun Dunia Baru Islam (1994)
 
     Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru.
     "Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang
     menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak
     akan kembali lagi sampai hari kiamat."
 
Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut:
 
     Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru
     sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa,
     membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia
     diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak
     menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya,
     walaupun segala sesuatu --selain Tuhan-- tidak akan
     mampu melepaskan diri darinya.
 
Sedemikian  besar   peranan   waktu,   sehingga   Allah   Swt.
berkali-kali  bersumpah  dengan menggunakan berbagai kata yang
menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti  wa  Al-Lail  (demi
Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan
lain-lain.
 
APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?
 
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat
arti  kata  "waktu":  (1)  seluruh  rangkaian saat, yang telah
berlalu, sekarang, dan yang akan  datang;  (2)  saat  tertentu
untuk  menyelesaikan  sesuatu;  (3)  kesempatan,  tempo,  atau
peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
 
Al-Quran   menggunakan   beberapa   kata   untuk   menunjukkan
makna-makna di atas, seperti:
 
a.  Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti
berakhirnya usia manusia atau masyarakat.
 
     Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS
     Yunus [10]: 49)
 
Demikian juga berakhirnya kontrak perjanjian kerja antara Nabi
Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan:
 
     Dia berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu.
     Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku
     sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas
     diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas yang kita
     ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28).
 
b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui  alam
raya  dalam  kehidupan  dunia  ini, yaitu sejak diciptakan-Nya
sampai punahnya alam sementara ini.
 
     Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia
     satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum
     merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada
     di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).
 
     Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita
     berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak
     ada yang membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr
     (perjalanan waktu yang dilalui oleh alam)" (QS
     Al-Jatsiyah [45]: 24).
 
c. Waqt digunakan  dalam  arti  batas  akhir  kesempatan  atau
peluang  untuk  menyelesaikan  suatu  peristiwa.  Karena  itu,
sering  kali  Al-Quran  menggunakannya  dalam  konteks   kadar
tertentu dari satu masa.
 
     Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada
     orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS
     Al-Nisa' [4]: 103) .
 
d.  'Ashr,  kata  ini   biasa   diartikan   "waktu   menjelang
terbenammya  matahari",  tetapi  juga  dapat diartikan sebagai
"masa" secara mutlak. Makna terakhir ini  diambil  berdasarkan
asumsi   bahwa  'ashr  merupakan  hal  yang  terpenting  dalam
kehidupan manusia.  Kata  'ashr  sendiri  bermakna  "perasan",
seakan-akan  masa  harus  digunakan oleh manusia untuk memeras
pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan
saja sepanjang masa.
 
Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa  kesan  tentang
pandangan Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian
bahasa indonesia), yaitu:
 
  a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada
     batas waktu berakhirnya, sehingga tidak ada yang
     langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.
     
  b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah
     tiada, dan bahwa keberadaannya menjadikan ia terikat
     oleh waktu (dahr).
     
  c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda,
     dan diartikan sebagai batas akhir suatu kesempatan
     untuk menyelesaikan pekerjaan. Arti ini tecermin dari
     waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang keharusan
     adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami
     (seperti detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun,
     dan seterusnya), dan sekaligus keharusan untuk
     menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu tersebut, dan
     bukannya membiarkannya berlalu hampa.
     
  d. Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang
     dialami oleh manusia harus diisi dengan kerja memeras
     keringat dan pikiran.
 
Demikianlah arti dan  kesan-kesan  yang  diperoleh  dari  akar
serta  penggunaan  kata  yang  berarti  "waktu" dalam berbagai
makna.
 
RELATIVITAS WAKTU
 
Manusia tidak dapat melepaskan diri  dari  waktu  dan  tempat.
Mereka  mengenal  masa  lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan
manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris  dan
lingkungan.  Kesadaran  kita  tentang waktu berhubungan dengan
bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya  (malam  saat
terbenam  dan  siang  saat  terbitnya)  maupun kenyataan bahwa
sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya  matahari,
atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
 
Perhitungan  semacam  ini  telah  menjadi kesepakatan bersama.
Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan
dan  diakui  oleh  Al-Quran  (seperti  setahun sama dengan dua
belas bulan pada  surat  At-Taubah  ayat  36),  Al-Quran  juga
memperkenalkan  adanya  relativitas waktu, baik yang berkaitan
dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.
 
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu  yang
dialaminya  kelak  di  hari  kemudian.  Ini disebabkan dimensi
kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
 
Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:
 
     Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah
     lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami
     tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."
 
Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga  ratus  tahun
lebih,  menduga  bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama
sehari atau kurang,
 
     Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau
     setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).
 
Ini karena mereka ketika itu  sedang  ditidurkan  oleh  Allah,
sehingga  walaupun  mereka  berada  dalam  ruang yang sama dan
dalam rentang  waktu  yang  panjang,  mereka  hanya  merasakan
beberapa saat saja.
 
Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam
Al-Quran  ditemukan  kata  kerja  bentuk  masa  lampau   (past
tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai
masa depan. Allah Swt. berfirman:
 
     Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka
     janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ...
     (QS Al-Nahl [16]: 1).
 
Bentuk kalimat semacam ini dapat  membingungkan  para  pembaca
mengenai  makna  yang  dikandungnya,  karena bagi kita, kiamat
belum datang. Tetapi di sisi lain  jika  memang  telah  datang
seperti  bunyi  ayat,  mengapa  pada  ayat  tersebut  dilarang
meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah
akan  sirna,  jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi
waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang  akan
datang  sama  saja.  Dari  sini dan dari sekian ayat yang lain
sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
 
Ketika Al-Quran berbicara tentang  waktu  yang  ditempuh  oleh
malaikat   menuju   hadirat-Nya,   salah  satu  ayat  Al-Quran
menyatakan  perbandingan  waktu  dalam  sehari  kadarnya  sama
dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia).
 
     Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada
     Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun
     (QS Al-Ma'arij [70]: 4).
 
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang  ditempuh
oleh  para  malaikat  tertentu  untuk  naik ke sisi-Nya adalah
seribu tahun menurut perhitungan manusia:
 
     Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
     (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang
     kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu (QS
     Al-Sajdah [32]: 5).
 
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang  dilakukan  oleh
satu  pelaku  mengakibatkan  perbedaan  waktu  yang dibutuhkan
untuk  mencapai  suatu  sasaran.  Batu,  suara,   dan   cahaya
masing-masing  membutuhkan  waktu  yang berbeda untuk mencapai
sasaran yang sama. Kenyataan ini  pada  akhirnya  mengantarkan
kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan
waktu demi  mencapai  hal  yang  dikehendakinya.  Sesuatu  itu
adalah Allah Swt.
 
     Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti
     kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50).
 
"Kejapan mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam
pengertian  dimensi  manusia,  karena  Allah  berada  di  luar
dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:
 
     Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
     sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka
     terjadilah ia (QS Ya Sin [36]: 82)
 
Ini pun bukan berarti bahwa untuk  mewujudkan  sesuatu,  Allah
membutuhkan  kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan
Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat  di  atas
hanya  ingin  menyebutkan  bahwa  Allah  Swt.  berada  di luar
dimensi ruang dan waktu.
 
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak  boleh  dipahami
secara  mutlak  seperti  pemahaman  populer dewasa ini. "Allah
menciptakan alam raya selama enam hari", tidak harus  dipahami
sebagai  enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata
"tahun" dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari --walaupun  kata
yaum  dalam  Al-Quran  yang  berarti  hari  hanya terulang 365
kali-- karena umat manusia  berbeda  dalam  menetapkan  jumlah
hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan
perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat
manusia  mengenal  pula  perhitungan yang lain. Sebagian ulama
menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi  Nuh
a.s.  hidup  di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29:
14), tidak harus dipahami dalam konteks  perhitungan  Syamsiah
atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan
tahun berdasarkan  musim  (panas,  dingin,  gugur,  dan  semi)
sehingga  setahun  perhitungan  kita  yang  menggunakan ukuran
perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan
musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi
Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230
tahun.
 
Al-Quran  mengisyaratkan  perbedaan  perhitungan  Syamsiah dan
Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya  penghuni  gua
(Ashhabul-Kahfi) tertidur.
 
     Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama
     tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS
     Al-Kahf [18]: 25).
 
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut  perhitungan  Syamsiah,
sedangkan   penambahan   sembilan   tahun  adalah  berdasarkan
perhitungan  Qamariah.  Seperti  diketahui,  terdapat  selisih
sekitar  sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah
dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu  adalah  sekitar
300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.
 
TUJUAN KEHADIRAN WAKTU
 
Ketika beberapa orang  sahabat  Nabi  Saw.  mengamati  keadaan
bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama,
kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka
bertanya   kepada   Nabi,  "Mengapa  demikian?"  Al-Quran  pun
menjawab,
 
     Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan
     untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]:
     189).
 
Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa  peredaran  matahari
dan   bulan   yang   menghasilkan   pembagian  rinci  (seperti
perjalanan  dari  bulan  sabit  ke   purnama),   harus   dapat
dimanfaatkan  oleh  manusia  untuk  menyelesaikan  suatu tugas
(lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas).
Salah  satu  tugas  yang harus diselesaikan itu adalah ibadah,
yang dalam hal ini  dicontohkan  dengan  ibadah  haji,  karena
ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.
 
Keadaan   bulan  seperti  itu  juga  untuk  menyadarkan  bahwa
keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak  ubahnya  seperti
bulan.  Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak
di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil  bagai  sabit,
dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur
bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai
akhirnya hilang dari pentas bumi ini.
 
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
 
     Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti
     untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yartg
     ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang
     ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).
 
Mengingat berkaitan  dengan  masa  lampau,  dan  ini  menuntut
introspeksi  dan  kesadaran  menyangkut  semua  hal yang telah
terjadi,  sehingga  mengantarkan   manusia   untuk   melakukan
perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi
agama, adalah "menggunakan segala potensi  yang  dianugerahkan
Allah   sesuai   dengan  tujuan  penganugerahannya,"  dan  ini
menuntut upaya dan kerja keras.
 
Banyak    ayat     Al-Quran     yang     berbicara     tentang
peristiwa-peristiwa  masa  lampau,  kemudian  diakhiri  dengan
pernyataan.  "Maka  ambillah  pelajaran  dan  peristiwa  itu."
Demikian  pula  ayat-ayat  yang menyuruh manusia bekerja untuk
menghadapi masa depan, atau berpikir,  dan  menilai  hal  yang
telah dipersiapkannya demi masa depan.
 
Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
 
     Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
     Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang
     telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]:
     18).
 
Menarik untuk  diamati  bahwa  ayat  di  atas  dimulai  dengan
perintah  bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini
mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta  tempat  bertolak
untuk  mempersiapkan  hari  esok haruslah ketakwaan, dan hasil
akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.
 
Hari esok yang dimaksud oleh ayat  ini  tidak  hanya  terbatas
pengertiannya  pada  hari  esok  di  akhirat  kelak, melainkan
termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu  yang
kita  alami.  Kata  ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan
dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga
di  antaranya  secara  jelas digunakan dalam konteks hari esok
duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik
yang dekat maupun yang jauh.
 
MENGISI WAKTU
 
Al-Quran  memerintahkan  umatnya  untuk   memanfaatkan   waktu
semaksimal  mungkin,  bahkan  dituntunnya  umat  manusia untuk
mengisi seluruh 'ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal  dengan
mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Sebelum menguraikan
lebih  jauh  tentang  hal  ini,  perlu   digarisbawahi   bahwa
sementara  kita  ada yang memahami bahwa waktu hendaknya diisi
dengan beribadah (dalam  pengertian  sempit).  Mereka  merujuk
kepada  firman  Allah  dalam  surat  Adz-Dzariyat ayat 56 yang
menyatakan, dan memahaminya dalam arti
 
     Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar
     mereka beribadah kepada-Ku.
 
Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan  kerancuan,  karena
memahami  lam  (li)  pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam
bahasa Al-Quran, lam tidak selalu berarti demikian,  melainkan
juga  dapat  berarti  kesudahannya  atau akibatnya. Perhatikan
firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat  8  yang  menguraikan
dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir'aun.
 
     Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang
     akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.
     Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya
     adalah orang-orang yang bersalah (QS Al-Qashash [28]:
     8).
 
Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan  "agar",  maka  ayat
tersebut  akan  berarti,  "Maka  dipungutlah  ia  (Musa)  oleh
keiuarga Fir'aun 'agar' ia menjadi musuh  dan  kesedihan  bagi
mereka."  Kalimat  ini  jelas  tidak  logis,  tetapi  jika lam
dipahami sebagai akibat atau  kesudahan,  maka  terjemahan  di
atas  akan berbunyi, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga
Fir'aun,  dan  kesudahannya  adalah  ia  menjadi  musuh   bagi
mereka."
 
----------------                              (bersambung 2/2)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931  Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team