Kebebasan Wanita

oleh Abdul Halim Abu Syuqqah

Indeks Islam | Indeks Wanita | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Mengingat hadits tersebut mengisyaratkan akan adanya kekurangan persaksian, ada baiknya juga jika di sini kita mengutip beberapa pendapat ahli fiqih mengenai persaksian wanita.

Dalam kitab Fathul Bari disebutkan: (Ibnu al-Mundzir berkata): "Berdasarkan zahir ayat: 'Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,' para ulama sepakat memperbolehkan persaksian kaum wanita bersama kaum laki-laki. Jumhur ulama mengkhususkan hal tersebut untuk masalah hutang-piutang dan harta. Mereka berpendapat tidak sah kesaksian wanita menyangkut masalah hudud dan qishash, sementara mereka berbeda pendapat jika kesaksian tersebut berkaitan dengan masalah nikah, talak, keturunan, dan wali. Jumhur ulama tidak memperbolehkannya. Yang memperbolehkannya hanyalah ulama-ulama Kufah. Kemudian para ulama sepakat menerima kesaksian wanita secara sendiri-sendiri pada masalah-masalah yang tidak dilihat oleh kaum laki-laki, seperti masalah haid, melahirkan, istihlal (waktu bayi pertama sekali lahir dan menangis), serta aib (kelemahan) kaum wanita, dan mereka berbeda pendapat menyangkut masalah penyusuan.431

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd disebutkan bahwa pendapat yang dipegang jumhur ulama adalah bahwa kesaksian wanita tidak diterima menyangkut masalah hudud. Pengikut Daud azh-Zhahiri mengatakan: "Kesaksian mereka bisa diterima bila bersama mereka ada seorang laki-laki dan perempuan yang lebih dari seorang dalam setiap kasus, sesuai dengan zahir ayat tersebut." Abu Hanifah berkata: "Bisa diterima menyangkut masalah harta dan selain hudud dari hukuman badan, seperti: talak, rujuk nikah, dan memerdekakan budak." Sementara Malik tidak menerimanya untuk suatu hukum dari hukum-hukum badan.

Adapun kesaksian wanita sendiri, artinya wanita saja tanpa laki-laki, diterima oleh jumhur ulama menyangkut hak-hak badan yang tidak dilihat oleh kaum laki-laki biasanya, seperti masalah melahirkan, istihlal, dan aib kaum wanita. Tidak ada perbedaan mengenai masalah ini kecuali menyangkut masalah penyusuan.432

Dalam kitab Al-Muhalla karangan Ibnu Hazm disebutkan: "Tidak dapat diterima menyangkut masalah zina kurang dari empat saksi yang terdiri atas laki-laki yang adil dan muslim, atau pengganti setiap lelaki dua orang wanita muslimah dan adil. Dengan demikian, para saksi itu terdiri atas tiga laki-laki dan dua orang wanita, atau dua orang laki-laki dan empat orang wanita, atau satu orang laki-laki dan enam orang wanita, atau delapan orang perempuan saja. Dan tidak diterima dalam seluruh hak yang menyangkut hudud, darah, begitu pula qishah, nikah, talak, dan rujuk kecuali kesaksian dua orang laki-laki yang muslim dan adil, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang perempuan. Selain itu, dapat diterima dalam semua masalah tersebut selain masalah hudud kesaksian seorang laki-laki yang adil atau dua orang perempuan beserta sumpah si penuntut. Kesaksian seorang perempuan yang adil atau seorang lelaki yang adil hanya dapat diterima dalam soal persusuan.433

Nabi saw. sendiri, sebagaimana yang kita lihat dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah saw., berkata: "Maka kesaksian dua orang perempuan itu sepadan dengan kesaksian seorang laki-laki." Kemudian melalui jalur Bukhari dari Abu Sa'id al-Khudari dikatakan bahwa Rasulullah saw. mengatakan dalam hadits beliau: "Bukankah kesaksian seorang wanita itu seperti setengah kesaksian seorang laki-laki?" Para sahabat menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Dengan demikian Rasulullah saw. telah memutuskan bahwa kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Berdasarkan ini pula sudah pasti tidak bisa diterima seperti diterimanya kesaksian seorang laki-laki kecuali kesaksian dua orang wanita. Begitulah selanjutnya.434

Dalam kitab Ath-Thuruq al-Hukmiyyah karangan Ibnul Qayyim disebutkan pula bahwa Syekh Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengulas firman Allah SWT yang berbunyi: "Dan jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai supaya jika seorang wanita sesat maka seorang lagi mengingatkannya." Beliau berkata: "Dalam ayat tersebut terdapat dalil mengenai kesaksian dua orang wanita menempati seorang laki-laki. Gunanya supaya wanita yang kedua bisa mengingatkan wanita pertama jika ternyata dia sesat. Yang dimaksud dengan sesat di sini mencakup sesat dalam hal yang biasa, misalnya lupa atau tidak akurat dalam menjelaskan sesuatu. Pengertian inilah yang dimaksud oleh Nabi saw. dalam sabda beliau yang berbunyi: 'Adapun kekurangan akal mereka adalah karena kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki.' Hadits tersebut menjelaskan bahwa pembagian kesaksian wanita seperti itu disebahkan oleh kelemahan akal mereka, bukan karena kelemahan agama. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa keadilan wanita sama tingginya dengan keadilan laki-laki; hanya kapasitas akal mereka saja yang agak kurang. Berdasarkan hal itu, maka kesaksian-kesaksian yang tidak dikhawatirkan akan terjadi kesesatan di dalamnya tidak berarti bernilai setengah dari kesaksian laki-laki. Kesaksian sendiri-sendiri yang diterima dari mereka hanyalah dalam perkara-perkara yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, atau dia sentuh dengan tangannya, atau dia dengar dengan telinganya sendiri, serta tidak tergantung pada akal, seperti: melahirkan, istihlal, menyusukan, haid, atau aib (kekurangan/cacat) yang tersembunyi di balik pakaian. hal-hal seperti itu biasanya tidak mungkin lupa dan untuk mengetahuinya tidak perlu mempergunakan akal. Lain halnya dengan tujuan/makna ucapan-ucapan yang dia dengar mengenai penetapan masalah utang dan yang sejenisnya karena makna ucapan-ucapan seperti itu membutuhkan akal atau logika untuk memahaminya dengan baik.435

Apabila hal di atas sudah disepakati, dapat kita katakan bahwa kesaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita dapat diterima di setiap tempat yang diterima padanya kesaksian seorang laki-laki dan sumpah si penuntut. Atha dan Hamad bin Abi Sulaiman berkata: "Kesaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita diterima dalam masalah hudud dan qishash. Dan menurut pendapat kami keputusan dapat diambil dengan kesaksian semacam ini dalam perkara nikah dan memerdekakan budak berdasarkan salah satu dari dua riwayat. Hal itu diriwayatkan dari Jabir bin Zaid, Iyas bin Mu'awiyah, asy-Sya'bi, dan ats-Tsauri. Begitu juga dalam kasus-kasus pidana yang mewajibkan denda harta menurut salah satu dari dua riwayat tersebut.436

Ibnul Qayyim berkata: "Wanita yang adil sama dengan laki-laki dalam soal kejujuran, amanah, dan agama. Hanya saja dikhawatirkan khilaf dan lupa, sehingga pendapatnya harus diperkuat dengan pendapat wanita lain yang sama dengannya. Cara seperti itu membuatnya lebih kuat daripada seorang laki-laki dan yang sejenisnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa kepercayaan kita pada kesaksian orang seperti Ummu Darda dan Ummu Athiyyah jelas lebih kuat daripada rasa percaya kita terhadap seorang lelaki ... "437 Dari kalangan ulama modern pun ada yang sama pendapatnya dengan pendapat Ibnu Hazm mengenai kesaksian wanita.438

Terakhir, yang patut dilakukan oleh kita yang berada pada abad ke-15 Hijriah dan ke-20 Masehi ini adalah ikut ambil bagian dalam penelitian ilmiah yang sedang berlangsung untuk menetapkan kemampuan wanita dan mengetahui secara akurat apa bidang kekurangannya, berapa derajatnya, kapan waktu kemunculannya, dan berapa persentase keberadaannya di kalangan wanita. Kemudian perlu juga kita ketahui bidang kelebihannya, berapa derajatnya, dan kapan masa munculnya. Dengan demikian, kita dapat mempersembahkan sesuatu yang sangat berharga bagi Sunnah Rasulullah saw. Jika ulama-ulama kita yang terdahulu dapat menemukan ilmu mushthalahul hadits untuk mengetahui perbedaan hadits sahih dengan hadits dha'if (lemah), maka kita juga dapat melakukan sesuatu yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini, misalnya dengan melakukan penelitian ilmiah di lapangan guna membantu lebih memperjelas maksud beberapa nash hadits. Ketika melakukan penelitian ilmiah di lapangan itu kita tidak mencukupkan dengan menyitir sejumlah kemungkinan mengenai makna suatu nash, lalu memilih mana yang terkuat diantaranya dengan bersandarkan pada persepsi-persepsi pribadi yang dangkal dan dugaan-dugaan semata. Akan tetapi, kita kemukakan juga maknanya yang diperkuat dan didukung oleh hasil penelitian ilmiah lapangan. Dapat saja makna tersebut belum terlintas sama sekali dalam benak kita ketika kita melakukan penelitian teoretis.

Hingga sekarang, sudah ada kalangan umat Islam yang melakukan penelitian ilmiah sehingga betul-betul dapat dipertanggungjawabkan untuk mengetahui kriteria-kriteria akal dan kejiwaan dalam diri laki-laki dan wanita. Untuk itu, ada baiknya saya kemukakan beberapa penggal kalimat dari sumber modern mengenai ilmu jiwa439 yang barangkali dapat memberi sedikit penerangan terhadap pembahasan ini.

Pertama, perbedaan antara kedua jenis hanya cocok untuk masyarakat yang di dalamnya terdapat penerapan penelitian ini sesuai dengan kondisi khusus masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, perbedaan tersebut tidak cocok diterapkan secara umum. Namun demikian, kita tidak akan menghapuskan sama sekali sarana untuk memetik keuntungan parsial dari perbedaan tersebut.

Kedua, kenyataannya, setiap perbandingan antara kedua jenis yang hanya berdasarkan pada hasil umum tes kecerdasan diperkirakan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak jelas, sebab kaum wanita memiliki keunggulan dalam beberapa bidang kemampuan dan kaum laki-laki memiliki keunggulan dalam beberapa bidang kemampuan lain. Karena itu, setiap tes kecerdasan yang terdiri atas berbagai macam pertanyaan yang tidak sejenis, dapat kita perkirakan sejak awal bahwa keunggulan pada satu sisi akan diimbangi oleh kelemahan pada sisi yang lain. Dengan demikian, kita tidak akan mampu melahirkan kesimpulan apa-apa. Kemudian, tes kecerdasan semata, maksudnya nilai rata-rata yang diperoleh individu-individu dalam tes ini tidak dapat dijadikan hukum atau patokan untuk membedakan laki-laki dengan wanita. Kesimpulannya, perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan wanita tidak jelas pada tingkat kecerdasan umum, tetapi jelas pada kemampuan-kemampuan khusus.

Ketiga, barangkali bermanfaat bagi kita jika kita melakukan penelitian atas perbedaan-perbedaan jenis dalam kemampuan-kemampuan khusus tersebut. Dalam hal ini kita dapat menyimak beberapa informasi penting dari analisis hasil-hasil tes cabang tertentu yang darinya akan lahir sejumlah besar tes kecerdasan. Dengan mengikuti cara pertama, yaitu membandingkan kedua jenis tersebut dalam beberapa kemampuan khusus, akan terkumpul sejumlah besar fakta dalam berbagai macam penelitian yang menggunakan standard lafal, bilangan, tempat, dan kemampuan-kemampuan lain yang relatif lebih mandiri. Hal yang penting dicatat dalam konteks ini adalah bahwa perbedaan-perbedaan antara kedua jenis dalam aspek-aspek itu lebih terlambat munculnya daripada kemampuan-kemampuan yang lain.

Keempat, anak laki-laki lebih menonjol dalam tes-tes bilangan yang memerlukan dalil. Perbedaan-perbedaan ini belum kentara dengan jelas kecuali tahap pertama dari pendidikan selesai. Ketika tes Alfred Binet diterapkan terlihat bahwa anak laki-laki terlihat lebih menonjol, khususnya dalam masalah berhitung.

Kelima, banyak penelitian yang menggunakan standard penilaian pribadi terhadap watak seseorang, yang diterapkan terhadap sejumlah laki-laki dan wanita usia dewasa, menunjukkan adanya perbedaan kedua jenis dalam segi emosi. Di antara hasil penerapan suatu penelitian membuktikan bahwa emosi kaum laki-laki jauh lebih stabil daripada wanita dan mereka lebih sedikit menghadapi stres. Yang menarik perhatian adalah bahwa tes kesiapan dan kecenderungan saraf kalangan usia muda membuktikan tidak adanya perbedaan antara kedua jenis kelamin yang usianya masih di bawah empat belas tahun. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa beberapa perbedaan antara kedua jenis kelamin baru muncul setelah usia balig, baik dalam beberapa jenis kemampuan akal seperti berhitung, ataupun dalam bentuk-bentuk karakter/watak seseorang seperti masalah emosi.

Keenam, penelitian ini menunjukkan bahwa anak perempuan mendapatkan nilai sedang yang paling tinggi dalam setiap kecenderungan sosial, kecantikan, dan agama, sementara terlihat jelas sekali perhatian anak laki-laki terhadap kecenderungan ekonomi, teori, dan politik. Wajar sekali jika kesimpulan ini ditafsirkan sesuai dengan kondisi lingkungan, perbedaan tradisi kedua jenis kelamin, dan apa yang diharapkan masyarakat dari kedua golongan tersebut.

Ketujuh, di antara penelitian yang cukup komplet mengenai problem perbedaan kedua jenis tentang ciri-ciri karakternya adalah penelitian Turman dan Mailez, dan standard yang mereka capai untuk menganalisis kecenderungan dan orientasi. Standard Turman dan Mailez ini terdiri atas sejumlah pertanyaan yang disusun untuk mengetahui sajauh mana perbedaan antara berbagai kecenderungan umum dalam jawaban laki-laki dan wanita terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jawaban-jawaban tersebut merupakan standard sejauh mana kemaskulinan dan kefemininan seseorang bisa dilihat. Standard ini dibangun atas dasar kajian yang cukup lama dan mengacu pada sasaran. Pertanyaan-pertanyaannya disaring dengan ketat dan standard tersebut mencakup pertanyaan-pertanyaan yang menerangkan dengan jelas sekali tentang adanya beberapa perbedaan di antara kedua jenis yang hidup di dalam masyarakat Amerika. Data dikumpulkan dari sekian ratus individu yang diantaranya berasal dari siswa sekolah dasar, menengah dan lanjutan atas, serta tamatan perguruan tinggi. Ada pula yang berasal dari orang-orang dewasa, baik yang terpelajar ataupun tidak; bahkan juga dari kalangan berbagai jenis profesi. Sementara yang dijadikan sampel juga mencakup beberapa kelompok yang dipilih dari kalangan remaja gelandangan, orang-orang dewasa yang menyimpang dalam perilaku seksual, dan para olahragawan. Setiap kelompok memiliki pengaruh dalam membuktikan bahwa standard tersebut telah mencatat sukses luar biasa dalam membedakan jawaban laki-laki dan jawaban wanita dalam masyarakat Amerika. Pada waktu yang bersamaan juga ditemukan bahwa tempat-tempat bekerja kaum laki-laki dan wanita berkaitan erat dengan faktor pengalaman yang diperoleh dari pendidikan di rumah ataupun di tempat kerja. Dalam hal ini, ditemukan juga bahwa pengaruh faktor-faktor ini lebih kuat daripada pengaruh faktor-faktor jasmaniah. Juga terlihat jelas bahwa wanita terpelajar dan mengenyam pendidikan tinggi memiliki wawasan yang luas dan dalam standard ini memperoleh nilai lebih tinggi daripada nilai rata-rata yang diperoleh wanita lainnya. Dengan demikian, seolah-olah mereka mendekati kelaki-lakian. Arti semua itu adalah bahwa pendidikan, pelajaran, dan pengalaman yang dilalui seseorang dapat memperdekat jarak sudut pandang antara mereka dan memperkecil perbedaan sifat-sifat bawaan antara kedua jenis kelamin.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan dan faktor sosial jelas sekali pengaruhnya, dan bahkan lebih besar daripada pengaruh faktor-faktor jasmaniah.

Kedelapan, ternyata ada perbedaan besar antara wanita dan laki-laki pada sebagian besar sifat-sifat jasmaniah, diantaranya struktur tubuh yang termasuk di dalamnya kerangka tulang, susunan otot secara umum baik otot besar maupun otot kecil. Wanita dan laki-laki juga berbeda dalam soal fungsi fisiologi dan unsur kimiawi beberapa cairan yang terdapat di dalam tubuhnya. Mungkin dapat dikatakan bahwa beberapa perbedaan kondisi psikologis antara keduanya bersumber dari perbedaan-perbedaan jasmaniah tersebut.

Kesembilan, ada lagi perbedaan lain antara kedua jenis kelamin, yaitu mengenai tetapnya sebagian besar fungsi tubuh. Kaum laki-laki secara umum lebih sedikit daripada kaum wanita mengalami perubahan-perubahan yang dapat mengganggu keseimbangan anggota tubuh bagian dalam. Artinya, kaum laki-laki cenderung lebih stabil dan memiliki beberapa sifat penting yang membuat mereka berbeda, seperti derajat panas yang relatif stabil, keseimbangan antara proses penghancuran dan pembangunan kestabilan yang relatif stabil antara zat asam dan zat alkalin dalam darah, demikian pula kadar gula dalam darah. Yang jelas, tingginya frekuensi beberapa fungsi jasmani di kalangan wanita jika dibandingkan dengan laki-laki dapat mempengaruhi pertumbuhan beberapa perbedaan tersebut, selain juga mempengaruhi aspek emosi, perilaku mental, dan yang sejenis dengan itu.

Kesepuluh, tidak diragukan lagi bahwa dasar dari kebanyakan perbedaan antara laki-laki dan wanita tersebut bersumber pada faktor-faktor biologi sekaligus budaya. Dapat dipastikan bahwa faktor-faktor biologi saja sudah dapat menimbulkan berbagai perbedaan dalam sifat-sifat psikologis, bahkan sekalipun semua syarat lingkungannya sama. Pada waktu yang sama perlu pula kita perhatikan tentang kemungkinannya faktor-faktor lingkungan dapat memberikan pengaruh yang bertolak belakang sama sekali dengan pengaruh faktor-faktor biologi. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa perbedaan-perbedaan anggota tubuh laki-laki dan wanita besar sekali dan hal itu jelas berpengaruh terhadap aspek kejiwaan selama belum dimasuki oleh faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh besar atau menimbulkan pengaruh yang bertolak belakang.

Setelah kita mengutip beberapa penggal kata dari referensi modern mengenai ilmu jiwa, sekarang mari kita kembali pada hadits Nabi saw.

C. HADITS KETIGA

1. Pengertian Khusus Hadits

Sesungguhnya Rasulullah saw. ketika ditanya mengenai maksud 'kurang agama' dalam penggalan hadits di atas, beliau menyebutkan perkara yang jelas sekali, yaitu kurang shalat dan puasa pada hari-hari ketika kaum wanita mengalami haid dan nifas. Jadi kekurangan tersebut terdapat pada satu sisi, yaitu kekurangan parsial yang terbatas dalam ibadah, atau bahkan dalam beberapa syi'ar saja. Bagaimanapun, wanita haid atau nifas masih dapat melakukan manasik haji secara keseluruhan selain thawaf di Baitullah. Di samping itu dia juga tidak perlu meninggalkan dzikrullah. Agama yang benar adalah iman dan takwa itu mengikuti iman, kemudian ibadah, kemudian akhlak dan mu'amalah. Kekurangan pada sisi kedua adalah kekurangan sementara, bukan selama hidup seorang wanita. Hal itu hanya terjadi dalam masa yang pendek. Setelah itu haid akan berhenti karena terjadinya kehamilan --yaitu sekitar sembilan bulan-- dan haid akan berhenti sama sekali pada usia lanjut. Terakhir, kekurangan tersebut bukanlah sesuatu yang diusahakan wanita untuk memperolehnya, bukan merupakan sesuatu yang menjadi pilihannya. Seorang wanita mukmin mungkin merasa kecewa karena meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi dia rela dan sabar menghadapi suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah atas dirinya. Untuk itu, Allah akan memberikan pahala atas kesabaran dan kerelaannya tersebut. Wanita mukminah dapat melakukan dua jenis amalan untuk mengganti shalat-shalatnya yang hilang tersebut, misalnya:

Penggantian segera dengan ibadah-ibadah lain, seperti membaca Al-Qur'an440, berdoa dan berdzikir dengan khusyu, kemudian memohon ampunan dari Allah, menyucikan, memuji, dan membesarkan-Nya. Jenis penggantian ini mengingatkan kita pada apa yang dilakukan oleh Aisyah r.a. ketika diwajibkan hijab atas sekalian ummul mukminin. Lantas mereka dilarang mengikuti jihad yang merupakan amalan yang paling afdal. Maka kesenangannya melaksanakan ibadah haji dijadikan sebagai pengganti bagi kewajiban jihad yang sudah tidak bisa lagi dilakukannya.

Dari Aisyah r.a., dia berkata: "Wahai Rasulullah, apakah kami tidak boleh ikut berperang dan berjihad bersamamu?" --Dalam satu riwayat dikatakan: "Kami melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdal"441-- Rasulullah saw. bersabda: "Untuk kalian ada jihad yang paling baik, yaitu haji, haji mabrur." Aisyah berkata: "Setelah itu aku tidak pernah lagi meninggalkan ibadah haji, sebab aku mendengar ini langsung dari Rasulullah saw."442

Penggantian tidak menyegera dengan memperbanyak mengerjakan shalat sunnah setelah suci dari haid. Jenis penggantian yang tidak menyegera ini mengingatkan kita pada kebiasaan Aisyah menggganti umrah yang belum sempat dia lakukan karena haid. Aisyah berkata: "Nabi saw. datang menemuiku. Ketika itu aku sedang menangis." Beliau bertanya: "Apa yang menyebabkanmu menangis?" Aku menjawab: "Aku terlarang melakukan umrah." --Dalam satu riwayat, Aisyah berkata: "Wahai Rasulullah, apakah orang-orang kembali dengan membawa dua pahala sementara aku kembali hanya membawa satu pahala?"443-- Rasulullah saw. bertanya: "Ada apa denganmu?" Aku menjawab: "Aku sedang tidak boleh shalat." Beliau berkata: "Itu tidak menjadi soal bagimu. Kamu sama dengan anak-anak perempuan Adam lainnya. Allah telah mentakdirkan atasmu seperti Dia takdirkan atas mereka. Karena itu tetaplah kamu dalam ibadah hajimu. Barangkali Allah ingin memberimu rezeki dua pahala." Aisyah berkata: "Akhirnya aku terus melaksanakan ibadah hajiku hingga kami berangkat dari Mina. Kemudian kami singgah di Muhashshab. Lalu Rasulullah saw. memanggil Abdurrahman. Beliau berkata: "Pergilah kamu bersama saudara perempuan itu ke Haram, kemudian berihramlah untuk umrah!" (HR Bukhari dan Muslim)444

Dalam kitab Fathul Bari dipertanyakan hal seperti berikut: "Apakah wanita haid diberi pahala karena meninggalkan shalat lantaran shalat itu diwajibkan atasnya, seperti halnya orang sakit yang diberi pahala atas shalat-shalat sunnah yang selalu dia kerjakan sewaktu masih sehat, tetapi karena sakit dia tidak bisa lagi melakukannya? Ataukah di sini ada perbedaan, karena orang sakit itu telah memasang niat sejak sebelumnya akan terus melakukan shalat sunnah dan dia memang berhak untuk melakukan itu, sementara wanita haid tidak demikian? Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Menurut pendapatku, masalah tentang harus adanya perbedaan karena wanita haid itu tidak diberi pahala, masih tawaqquf."445 Artinya masalah pahala itu --menurut al-Hafizh Ibnu Hajar-- adalah sesuatu yang mungkin muhtamal (bisa saja diberi). Jadi, coba perhatikan, bagaimana seorang wanita haid mungkin saja diberi pahala meskipun dia meninggalkan shalat. Hal itu dapat kita lihat dari berbagai kekurangan wanita dalam masalah agama yang terjadi melalui bentuk-bentuk berikut:

  1. Mungkin saja wanita yang lemah imannya merasa gembira karena tidak melakukan shalat, seolah-olah dia mendapat keringanan dari melakukan suatu kewajiban yang dia anggap berat. Sikap semacam ini menjauhkan dia dari pahala.
  2. Kekurangan yang terjadi karena tidak melakukan shalat tidak berkaitan dengan masalah pahala saja, tetapi berkaitan dengan khusyunya hati seorang mukmin karena dia tidak dapat tampil di hadapan Allah, khususnya ketika tidak ada penggantinya.
  3. Ada lagi kurangnya kekuatan untuk mengalahkan yang munkar, sebab shalat itu mencegah seseorang dari hal-hal yang keji dan munkar. Apabila penggantian dengan ibadah-ibadah lain tidak dilaksanakan, sudah pasti akan terjadi kekurangan.

Dengan demikian, kesimpulan mengenai kurang akal dan agama ini adalah bahwa kurang akal menyebabkan seseorang mengalami salah satu dari dua hal berikut ini:

  1. Kurangnya kemampuan akal; artinya adanya kekurangan dalam penciptaan akal.
  2. Kurangnya kegiatan akal; artinya kurangnya hasil kerja akal akibat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan akal, baik faktor biologi atau sosial maupun kejiwaan. Dalam hal ini terdapat faktor kejiwaan yang sifatnya permanen, yaitu perasaan wanita yang sangat halus. Hal ini merupakan sesuatu yang sudah tetap dan permanen dalam sifat kaum wanita umumnya. Sementara pembicaraan kita di sini berkisar pada kekurangan yang berkaitan dengan kegiatan akal sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah: "Supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya."

Tetapi tentang hal yang berkaitan dengan adanya kekurangan ciptaan (dalam kelengkapan akal) di balik kurangnya kegiatan akal seorang wanita tidak disinggung dalam hadits yang sedang kita bicarakan ini. Rujukan masalah ini adalah penelitian ilmiah yang dapat dipercaya, sebagaimana yang telah kita bahas tadi. Selanjutnya, tentang masalah kurang agama, hal itu menyebabkan seseorang mengalami salah satu dari dua hal berikut ini:

  1. Kurangnya keberagaman seseorang; artinya kurangnya rasa takwa dan taat kepada Allah SWT.
  2. Kurangnya apa-apa yang diwajibkan Allah SWT atas manusia berupa amal-amal fardu. Artinya berkurangnya kegiatan ibadah yang dilakukan seseorang, bukan akibat kelalaian dirinya, melainkan sudah merupakan ketentuan dari Allah SWT. Hadits di sini mengambil dalil mengenai kekurangan yang terjadi berdasarkan ketentuan Allah atas wanita, yaitu, menghindari shalat dan puasa pada beberapa hari tertentu. Kekurangan semacam ini --artinya berkurangnya apa yang difardukan Allah atas wanita-- dapat mengakibatkan berkurangnya rasa takwa wanita yang bersangkutan kepada Allah. Hal semacam ini diperkirakan bisa saja terjadi pada sebagian wanita, tidak pada semuanya.

Berdasarkan uraian di atas kita sudah semestinya berhenti sampai di batas penafsiran Rasulullah saw. terhadap makna kekurangan yang dimaksud, tidak melampauinya. Jika melewati batas-batas yang telah digariskan Rasulullah saw., kita akan terjebak ke dalam perangkap berbagai macam perkiraan dan dugaan semata. Pada saat yang sama kita sudah tercebur ke dalam larangan mengikuti hal-hal yang syubhat. Hal-hal yang berkaitan dengan syubhat, di samping terdapat dalam Al-Qur'an, juga terdapat dalam Sunnah Nabi saw. Allah SWT telah memperingatkan kita akan hal itu dalam firman-Nya:

"... Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah ..." (Ali Imran: 7)

Asy-Syaukani berkata: "Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan mengikuti ayat-ayat Al-Qur'an yang mutasyabihat. Makna mutasyabihat/mutasyabih itu adalah apa yang musykil/sulit maknanya dan tidak jelas maksudnya, baik yang berbentuk mutasyabih haqiqi --seperti lafaz-lafaz yang mujmal dan yang tampaknya ada kesamaan-- atau yang berbentuk mutasyabih idhafi, yaitu suatu ayat yang untuk menjelaskan makna yang sebenarnya memerlukan dalil dari luar, meskipun bagi orang yang berpikir sederhana maknanya sudah jelas."446

Adapun hadits-hadits maudhu' dan dha'if yang menimbulkan keraguan tentang akal dan agama wanita tidak lebih dari pengaruh dugaan-dugaan yang tidak beralasan. Sumber dari dugaan itu adalah sisa-sisa pemahaman jahiliah kuno yang seharusnya sudah ditinggalkan oleh umat Islam. Namun sangat disayangkan, pemahaman semacam itu masih tersebar luas akibat banyak di antara umat Islam yang melampaui batas-batas penafsiran yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. mengenai maksud kurang akal dan agama tersebut.

Di antara hadits-hadits maudhu' (palsu) tersebut adalah sebagai berikut

"Janganlah mereka (wanita) diajari menulis dan jangan biarkan mereka tinggal dalam kamar!"447

"Mematuhi wanita berarti penyesalan."448

"Kalau bukan karena wanita, niscaya Allah sudah disembah dengan sebenar-benarnya."449

"Bermusyawarahlah kalian (lelaki) dengan mereka (wanita) dan tentanglah mereka."450

Selain itu ada juga beberapa hadits dan atsar dha'if (lemah), sebagai berikut ini:

"Celakalah kaum laki-laki ketika menaati kaum wanita."451

"Musuh kamu yang paling berat adalah istrimu."452

Kemudian ada juga atsar mauquf dari Umar ibnul Khattab yang berbunyi:

"Tentanglah olehmu pendapat kaum wanita, karena dalam menentang pendapatnya itu ada berkah."453

(sebelum, sesudah)


Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah)
Abdul Halim Abu Syuqqah
Penerjemah: Drs. As'ad Yasin
Juni 1998
Penerbit Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

Indeks Islam | Indeks Wanita | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team

el | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team