|
Pengantar Dr. Yusuf Qardhawi (1/3)
Dilihat dari hitungan banyaknya, jumlah wanita mencapai
separuh dari jumlah masyarakat dunia. Namun, dilihat dari
pengaruhnya terhadap suami, anak-anak, dan lingkungan jumlah
tersebut lebih dari separuh jumlah masyarakat dunia. Seorang
pujangga berkata:
- Seorang ibu ibarat sekolah ...
- apabila kamu siapkan dengan baik...
- berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum
namanya
Begitu juga, orang-orang bijak banyak yang mengaitkan
keberhasilan para tokoh dan pemimpin dengan peran dan
bantuan kaum wanita lewat ungkapan: "Di balik keberhasilan
setiap pembesar ada wanita!"
Di sisi lain, banyak kita lihat para filosof yang
menganggap wanita sebagai sumber atau biang terjadinya
berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia.
Bahkan, jika terjadi musibah atau tindak kriminal, ada yang
mengatakan: "Coba periksa kaum wanitanya!"
Manusia, baik dahulu maupun sekarang, terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, kelompok yang pro dan berbaik sangka
terhadap wanita. Kedua, kelompok yang menjadi musuh wanita.
Karena itu, seorang pujangga pernah berkata:
- Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi...
- yang diciptakan untuk kita ...
- setiap kita tentu senang mencium aromanya
- Tetapi ada pula pujangga yang berkata:
- Kaum wanita itu bagaikan setan ...
- yang diciptakan untuk kita...
- kita berlindung kepada Allah dari kejahatan
setan
Kita menemukan sebagian filosof mendukung keberadaan
wanita, menyanjung, serta menyebut-nyebut kelebihan dan
keutamaannya dalam keluarga atau masyarakat. Namun, ada juga
mereka yang melihat kaum wanita lewat kacamata hitam pekat
sehingga wanita dilihat bagaikan kuman penyakit dan
kejahatan di dunia. Bahkan orang-orang yang pesimistis
menganggap bahwa ilmu yang dapat memberi petunjuk kepada
orang yang sesat dan meluruskan orang yang bengkok dianggap
tidak berguna bagi kaum wanita. Ada di antara mereka yang
berpendapat bahwa wanita hanya cukup belajar menulis.
Menurut mereka, bagaimana pun ular dapat menularkan racun.
Lebih dari itu, mereka memikulkan ke atas pundak wanita
beban penderitaan yang telah dan akan dialami umat manusia
sejak Adam diciptakan sampai kiamat nanti. Menurut keyakinan
mereka wanitalah yang telah merayu Adam agar memakan buah
(pohon yang ada di surga) dan melanggar apa yang ditetapkan
Allah, sehingga Adam beserta anak cucunya dikeluarkan dari
surga dan diturunkan ke bumi hingga mereka merasakan pahit
getirnya kehidupan.
Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama --kitab suci
penganut Kristen dan Yahudi-- mereka membenarkan dalil-dalil
tuduhan tersebut yang dibebankan ke atas pundak kaum wanita.
Namun, apabila penelusuran kita sudah sampai pada Islam,
kita akan menemukan bahwa Islam mengangkat harkat dan
martabat wanita dengan memandangnya sebagai anak, istri,
ibu, dan anggota masyarakat. Dengan demikian, Islam
memandang wanita sebagai seorang manusia.
Wanita diberi tugas dan kewajiban seperti halnya
laki-laki; Kepadanya disampaikan perintah dan larangan Allah
seperti halnya kepada laki-laki, kepadanya diberikan pahala
atau siksaan seperti halnya kepada laki-laki. Pertama kali,
tugas dari Allah dikeluarkan dan disampaikan kepada
laki-laki dan wanita secara bersamaan (ketika keduanya
diperintah untuk menetap di surga). Kepada mereka berdua
Allah berfirman:
"Dan Kami berfirman: 'Hai Adam, diamilah oleh
kamu dan istrimu surga ini dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja
yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim."
(al-Baqarah: 35)
Di dalam Al-Qur'an --begitu juga di dalam Taurat-- tidak
ditemukan nash yang mengatakan bahwa wanita harus
bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh
Adam. Sebenarnya, Adamlah penanggung jawab utamanya,
sementara wanita hanya sebagai pengikut. Allah SWT
berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada
Adam dahulu, maka dia lupa (akan perintah itu), dan tidak
Kami dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)
"... dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.
Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya
dan memberinya petunjuk." (Thaha: 121-122)
Dalam pandangan Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan
kaum laki-laki. Sebaliknya, wanita adalah pelengkap
laki-laki dan laki-laki adalah pelengkap wanita. Wanita
adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian
dari wanita. Karena itulah Al-Qur'an mengatakan: "...
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ..."
(Ali Imran: 195) Rasulullah saw. pun bersabda: "Sebenarnya
wanita adalah saudara kandung laki-laki." Di dalam Islam
tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan atas hak wanita
atau penzaliman atas wanita demi kepentingan kaum laki-laki
sebab Islam adalah syariat Allah SWT yang diturunkan untuk
laki-laki dan wanita sekaligus.
Akan tetapi, ada beberapa pemikiran keliru mengenai
wanita menyusup ke dalam benak sekelompok umat Islam
sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif
terhadap watak dan peran wanita.
Persepsi tersebut diiringi dengan perlakuan yang tidak
baik terhadap kaum wanita. Karenanya, mereka digolongkan
sebagai kaum yang telah melangkahi hukum-hukum Allah. Mereka
digolongkan ke dalam kaum yang menzalimi diri wanita
sekaligus dirinya sendiri. Hal itu sering terjadi pada zaman
keterbelakangan ketika umat Islam sudah jauh dari tuntunan
Nabi saw, sikap pertengahan Islam, serta manhaj generasi
salaf yang mudah dan seimbang.
Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah kita, akan kita
temukan penyakit ganas yang melanda alam pemikiran manusia.
Banyak kasus atau peristiwa yang dipecahkan tidak didasarkan
pada jalan tengah yang di dalam terminologi Islam dikatakan
sebagai ash-shirat al-mustaqim. Lazimnya, sebagian besar
masyarakat mengambil keputusan dengan ekstrem atau
berlebih-lebihan, bahkan ada pula kecenderungan pada
penyia-nyiaan. Padahal, kita sendiri sering membaca firman
Allah berikut ini:
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam) umat pertengahan (yang adil dan pilihan)
..." (al-Baqarah: 143)
Selain itu, kita juga sering mendengar kata mutiara yang
mengatakan: "Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan."
Ali r.a. juga pernah mengatakan: "Hendaklah kalian mengambil
model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah
surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul."
Kasus wanita dalam masyarakat kita --yang dikenal dengan
sebutan masyarakat Islam-- menjadi contoh yang gamblang
tentang sikap keterlaluan dan berlebihan, atau menyepelekan
dan menyia-nyiakan wanita. Orang-orang yang menyepelekan hak
wanita memandang wanita dengan sikap angkuh dan pandangan
hina. Menurut mereka, wanita ibarat jerat setan dan
perangkap iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia.
Wanita dianggap makhluk yang kurang akal dan agama serta
tidak mempunyai keahlian apa pun. Wanita dianggap budak atau
setengah budak oleh laki-laki, dikawini untuk melampiaskan
keinginan kaum laki-laki, tubuhnya dimiliki dengan bayaran
uang, serta bisa diceraikan kapan pun diinginkan. Wanita
tidak memiliki wewenang untuk menolak dan tidak berhak
menuntut imbalan atau ganti rugi. Bahkan sebagian orang
menganggapnya seperti sandal yang bisa dipakai atau
dilepaskan kapan pun diinginkan.
Jika seorang wanita menikah dan tidak senang kepada
suami, dia tidak bisa benci atau lari. Yang dapat dia
lakukan hanyalah sabar meneguk derita dan pahitnya
kehidupan, sampai suami berkenan menalak atau dia meminta
diceraikan (khuluk). Di luar itu, wanita tidak mempunyai
jalan atau cara untuk lepas dari neraka perbudakan
laki-laki. Ada lagi kalangan masyarakat yang kembali ke
zaman jahiliah sebelum datangnya Islam. Anak-anak wanita
tidak diberi hak untuk mendapatkan warisan. Seluruh harta
peninggalan ditetapkan sebagai barang jual-beli bagi
anak-anak laki-laki, sementara anak-anak wanita tidak diberi
bagian sedikit pun. Mereka mengurung anak-anak perempuan di
dalam rumah, tidak boleh keluar untuk belajar atau bekerja,
tidak boleh mengikuti kegiatan yang bermanfaat untuk
masyarakat, apapun jenisnya, sehingga sebagian mereka
berpandangan bahwa wanita yang baik atau salehah tidak
keluar rumahnya kecuali dua kali, yaitu dari rumah orang
tuanya ke rumah suaminya dan dari rumah suaminya ke liang
kubur. Padahal Al-Qur'an hanya menjadikan "pengurungan
wanita dalam rumah" sebagai hukuman bagi wanita yang
melakukan perbuatan zina dengan kesaksian empat orang
laki-laki dari kaum muslimin. Hal itu diterapkan sebelum
syariat menetapkan had (hukuman) bagi perbuatan zina yang
sudah dikenal sekarang ini. Mengenai pengurungan wanita yang
melakukan zina itu Al-Qur'an menyebutkan:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara
kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemai
ajalnya atau Allah memberi jalan yang lain kepadanya."
(an-Nisa': 15)
Mereka melarang wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu
dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua atau
suaminya yang berhak dan berkewajiban mendidik serta
memberikan pelajaran. Akibatnya, mereka menghambat wanita
dari pancaran nur ilmu pengetahuan dan memaksanya tetap
hidup dalam kegelapan dan kebodohan. Padahal, orang tua dan
suaminya pun tidak dapat mengajarinya, sebab mereka masih
membutuhkan pengajar. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak
memiliki sesuatu dapat memberi? Sudah banyak wanita yang
sesat karena yang membimbingnya adalah orang-orang yang
buta! Di sisi lain, mereka paham bahwa menuntut ilmu itu
wajib atas setiap muslim dan muslimah. Sesungguhnya,
istri-istri Nabi saw. serta istri-istri para sahabat dan
generasi salaf telah sampai ke satu posisi terhormat dalam
bidang ilmu, fiqih, dan periwayatan hadits, di samping
mengenal syair, sastra, dan retorika berbicara. Pernah saya
temukan salah seorang ulama kita berkata: "Seorang ulama
wanita yang dipercaya dan salehah, fulanah binti fulan,
menceritakan kepadaku." Karimah binti Ahmad al-Marwaziyyah
adalah seorang wanita periwayat sahih Bukhari. Buku
riwayatnya dijadikan salah satu buku pegangan yang dipercaya
dan sering disebut-sebut oleh Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam kitab Fathul Bari. Hingga ke masalah masjid, mereka
melarang wanita pergi, baik untuk shalat maupun menghadiri
pengajian. Padahal mereka tahu bahwa kaum wanita ikut shalat
berjamaah pada zaman Nabi saw., bahkan untuk shalat isya dan
subuh. Nabi saw. mengatakan dengan tegas dalam sabda beliau:
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah ke
masjid-masjid Allah." (HR Muslim) Anehnya, sampai saat ini,
wanita masih diharamkan menikmati hak yang sama dimiliki
wanita pemeluk agama lain selain Islam. Wanita Yahudi,
misalnya, mereka boleh pergi ke sinagog, wanita Nasrani
boleh pergi ke gereja, dan wanita Budha atau Hindu boleh
pergi ke biara mereka. Hanya wanita muslimah saja yang
dilarang pergi ke masjid.
Mereka melarang wanita mengikuti bapak atau suaminya
untuk melakukan berbagai macam aktivitas kehidupan yang
sebenarnya sanggup dia lakukan dan diperbolehkan oleh agama.
Padahal, hal itu didukung oleh riwayat sahih yang mengatakan
bahwa sebagian istri para sahabat pernah melakukannya,
seperti Asma yang dijuluki sebagai wanita pemilik dua ikat
pinggang dengan suaminya Zubair ibnul Awwam.
Lebih jelasnya, hal itu diceritakan dalam Al-Qur'an
berkaitan dengan dua anak gadis seorang laki-laki tua dalam
surat al-Qashash ketika keduanya menggembala dan memberi
minum kambingnya. Kedua gadis itu berbicara dengan Musa a.s.
dan begitu pula sebaliknya. Salah satu dari dua gadis itu
dengan berterus terang dan berani berkata kepada bapakaya
sebagaimana tercantum dalam ayat berikut ini:
"... Ya bapakku, ambillah dia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orangyang kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash:
26)
Perkataan ringkas gadis itu telah dijadikan dasar bagi
laki-laki untuk memilih berbagai pekerjaan.
Dalam melakukan pengurungan wanita di rumah, mereka
sering menyandarkan keputusan pada nash-nash yang
mutasyabihat (kalimat yang mengandung beberapa arti, penj.)
dan meninggalkan nash-nash yang muhkamat (tegas dan jelas
maksudnya). Sebagai contoh kita lihat mereka berargumentasi
dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Ahzab mengenai
istri-istri Nabi saw, yaitu:
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik ..." (al-Ahzab: 32-33)
"... Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada
mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang
tabir..." (al-Ahzab: 53)
Mereka pun kadang-kadang mengekang hak wanita dalam
memilih pasangan hidupnya, atau setidaknya hak untuk
mengatakan setuju atau tidak, ketika wali wanita
memperkenalkan calon suaminya. Bahkan, kita menemukan kaum
bapak yang mengawinkan anak gadisnya tanpa restunya, tanpa
musyawarah atau memperhatikan pendapatnya; meskipun sekadar
menduga-duga pendapatnya!
Namun, sungguh disayangkan, banyak masalah yang
disebutkan dalam pendapat Syafi'i, Maliki, dan sebagian
besar pengikut Hanbali didasarkan pada dalil-dalil yang
tidak layak didiskusikan dan tidak akan tegar menghadapi
argumentasi-argumentasi lawannya, sehingga ditolak oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah atau muridnya, Imam Ibnul
Qayyim.
Betapa berlebihannya mereka melindas hak wanita. Mereka
mengutip hadits-hadits sahih, tetapi tidak meletakkannya
pada tempatnya, serta menjadikan hadits-hadits tersebut
sebagai dalil walaupun maksudnya tidak sesuai. Sebagai
contoh, hadits yang sering mereka jadikan pegangan untuk
meloloskan pendapat mereka mengenai wanita adalah hadits
yang menggambarkan wamta sebagai makhluk kurang akal dan
kurang agama. Begitu juga dengan hadits: "Kalau aku ingin
memerintahkan seseorang supaya sujud kepada yang lain, maka
pastilah aku perintah wanita supaya sujud kepada
suaminya."
Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan mengemukakan
hadits-hadits yang tidak jelas ujungpangkalnya, tidak jelas
asal dan sanadnya, sangat lemah, atau hadits palsu dan
berdusta terhadap Rasulullah saw., seperti hadits yang
mengatakan bahwa Nabi saw. bertanya kepada putrinya,
Fathimah az-Zahra: "Apa yang paling baik untuk wanita?"
Fathimah berkata: "Bila wanita tidak melihat laki-laki dan
laki-laki pun tidak melihatnya." Lalu beliau mencium
Fathimah seraya berkata: "Sebagian manusia adalah satu
keturunan dengan bagian yang lain." Hadits tersebut sangat
lemah. Nilainya tidak sepadan sama sekali dengan harga tinta
yang dipergunakan untuk menulisnya. Atau seperti hadits:
"Bermusyawarahlah dengan mereka (perempuan) kemudian
tentanglah pendapat mereka." Hadits ini sama sekali tidak
ada dasarnya sebab bertentangan dengan prinsip musyawarah
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an untuk orang tua
dalam soal menghentikan bayinya menyusu:
"... Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan,
maka tidak ada dosa atas keduanya ..." (al-Baqarah: 233)
Hadits tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat yang
sahih dari sunnah dan sirah (sejarah) kehidupan Rasulullah
saw. Beliau pernah bermusyawarah dengan istri beliau, Ummu
Salamah, ketika terjadi Perang Hudaibiyah. Nabi saw.
mengambil pendapat Ummu Salamah yang dipandang lebih baik
dan lebih tepat. Hal itu pun tergambar dalam riwayat mereka
dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berbunyi:
"Wanita itu jelek keseluruhannya, dan yang lebih
jeleknya lagi pada diri wanita itu bahwa dia harus
memiliki kejelekan tersebut."
Ketidakbenaran riwayat ini telah saya jelaskan dalam
tulisan-tulisan saya terdahulu (lihat buku Fatawa
Mu'ashirah). Atau seperti yang diriwayatkan oleh al-Hakim
dalam kitab Mustadrak-nya dan dengan sanadnya: "Dan
janganlah kalian suruh wanita tinggal dalam kamar dan jangan
kalian ajarkan kepada mereka menulis!"
Hadits ini telah divonis oleh para kritikus hadits
sebagai hadits maudhu' (palsu) sebagaimana yang dikatakan
oleh Hafizh adz-Dzahabi ketika beliau mengulas riwayat
al-Hakim ini.
|