|
Pengantar Dr. Yusuf Qardhawi (2/3)
Ketika membaca buku Muhadharutul Udaba' karangan
ar-Raghib al-Ashfahani, saya menemukan keterangan bahwa
beliau menyediakan bab khusus mengenai anak perempuan dengan
judul Fa'idatu Mautiha wa Tamanihi (Manfaat Kematian Anak
Perempuan dan Mendambakan Kematiannya). Beliau memulai
pembahasan dengan perkataan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Sebaik-baik mertua/ipar adalah kubur," dan "Menguburkan
anak-anak perempuan merupakan salah satu kemuliaan." Kedua
hadits tersebut tergolong pada sebagian dari hadits-hadits
maudhu' dan mendustakan Rasulullah saw. Pada dasarnya,
buku-buku sastra tidak dapat dijadikan sumber pengambilan
hadits-hadits Nabi saw. Hanya saja, sebagian orang tidak
mampu melakukan evaluasi atau penilaian terhadap sumber
rujukan, sekaligus tidak mampu membedakan satu riwayat
dengan yang lainnya. Mereka mengira bahwa semua yang
terdapat dalam buku adalah keterangan yang dapat dipercaya.
Apalagi jika ternyata penulisnya adalah orang yang ternama
dan populer dalam dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran
seperti halnya ar-Raghib al-Ashfahani. Beliau adalah penulis
buku Mufradatul Qur'an, Ad-Dzrari'ah ila Makarimisy Syariah,
dan lain-lain. Namun, ada yang mereka lupakan bahwa
seseorang itu dapat saja menjadi figur dalam salah satu
bidang ilmu pengetahuan, tetapi dalam bidang yang lain dia
buta atau semibuta. Banyak di antara mereka yang tidak
memperhatikan hal itu, sebagaimana telah diingatkan oleh
Imam al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Al-Munqidz
minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).
Mereka yang berhaluan keras menjadikan kehidupan wanita
bagaikan penjara yang tidak tembus ke dalamnya walaupun
seberkas cahaya. Karena itulah, wanita tidak boleh keluar
rumah, pergi ke masjid, tidak dianjurkan berbicara dengan
kaum laki-laki --meskipun dengan cara yang sopan. Muka dan
telapak tangannya adalah aurat, begitu pula suara dan
pembicaraannya. Bahkan sampai pada pelarangan menggunakan
pakaian putih yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita Mesir
sejak dahulu ketika mereka menunaikan ibadah haji dan umrah.
Ketika ditanyakan alasan pelarangannya, mereka menjawab
bahwa perbuatan tersebut menyerupai laki-laki! Padahal,
dalam soal berpakaian, Allah memberikan kelonggaran bagi
wanita dalam hal yang tidak diperbolehkan bagi kaum
laki-laki, misalnya pengharaman memakai perhiasan emas dan
mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera bagi kaum
laki-laki.
Kebalikan dari mereka yang menyia-nyiakan, menyepelekan,
dan mempecundangi hak wanita, kita temukan pula kelompok
lain yang berlebihan dalam urusan wanita, sehingga
melangkahi hukum Allah serta melampaui garis fitrah dan
akhlak mulia yang telah ditetapkan agama. Jika kelompok
pertama tadi menjadi tawanan tradisi Timur yang diwarisi
turun-temurun, maka kelompok kedua ini menjadi tawanan
tradisi Barat.
Saya melihat kelompok kedua ini ingin mengikis semua
bentuk perbedaan antara laki-laki dan wanita sebab keduanya
sama-sama manusia, hanya yang satu dilahirkan sebagai
laki-laki dan yang satu lagi sebagai wanita. Menurut mereka,
mengapa harus ada perbedaan antara keduanya? Mereka telah
lupa bahwa Allah menciptakan kedua insan dengan perbedaan
dalam struktur fisik untuk suatu tujuan yang sangat besar
dan mulia. Mereka memiliki misi dalam kehidupan ini yang
sesuai dengan tabiat dan keahlian masing-masing. Menjadi ibu
dengan segala ciri, kelebihan, dan beban deritanya merupakan
inti misi kaum wanita. Inilah yang membuat wanita lebih
banyak tinggal di rumah dibandingkan dengan kaum
laki-laki.
Kalau memang sudah diciptakan dalam bentuk yang berbeda
dari segi ciptaannya, hal itu tidak boleh kita abaikan,
terutama dalam merancang pendidikan dan pekerjaan bagi
wanita, dan hal seperti itu telah mendapat perhatian dari
ilmu modern pada zaman sekarang ini. Kita lihat, sebagian
orang secara membabi buta menolak nash-nash sahih yang sudah
mapan tanpa penjelasan, seperti yang dilakukan oleh seorang
satrawan wanita terkenal. Ketika menyampaikan ceramah di
Qatar, dia menolak mentah-mentah hadits: "Tidak akan
berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
seorang wanita." Padahal hadits itu adalah hadits sahih yang
diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitabnya dan diterima secara
bulat oleh para ulama dan tidak ada yang mempermasalahkannya
sejak beberapa abad yang silam. Lebih aneh lagi, salah
seorang penulis menolak hadits ini dan menganggapnya sebagai
hadits bohong dan palsu, sebab menurut pandangannya hadits
ini berlawanan dengan hadits sahih yang berbunyi: "Ambillah
separuh agamamu dari wanita yang pipinya merah ini
(maksudnya Aisyah r.a.)"
Bayangkan bagaimana dia menolak hadits sahih yang telah
diterima secara bulat demi mempertahankan suatu hadits
bohong dan batil yang tidak ada nilai dan bobotnya menurut
neraca ilmu pengetahuan! Ada pula kita temukan orang yang
ingin mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagi laki-laki,
yaitu kawin kepada lebih dari seorang wanita bagi orang yang
berkeinginan untuk itu atau merasa dirinya mampu dan yakin
bahwa dia akan bisa berbuat adil. Mereka menyalahi apa yang
sudah tetap dalam Al Qur'an dan perbuatan Rasulullah saw.
beserta para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Begitu juga
perbuatan generasi salaf pada zaman-zaman keemasan umat
Islam, serta generasi khalaf (berikutnya) di berbagai
belahan dunia dan berbagai masa, atau dalam semua mazhab
umat sampai masa sekarang ini.
Bahkan adapula yang menghimbau agar diciptakan sistem
yang membagi-bagikan harta warisan kepada wanita sama dengan
bagian saudara laki-lakinya, menolak bagian laki-laki dua
kali lipat bagian perempuan, serta secara terang-terangan
menyalahi nash Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw., dan Ijma'
para ulama, baik dari segi fiqih maupun dalam bentuk
perbuatan selama empat belas abad. Yang lebih mengherankan
lagi, arus pemikiran tersebut telah melanda orang yang
mengaku sebagai ahli agama. Mereka membuat keadaan
menyimpang dari jalan yang benar. Mereka berbicara dengan
mengatasnamakan Islam melalui pers dan media massa, lalu
mereka berbicara mengenai Allah tanpa didasari ilmu
pengetahuan yang benar. Di antara mereka itu ada yang tidak
tahu atau berpura-pura tidak tahu mengenai hadits-hadits
yang sahih dan jelas, dengan tujuan agar mereka dapat
mengeluarkan fatwa yang menghalalkan apa yang diharamkan
oleh syariat Allah dan melegitimasi keadaan yang sedang
berlaku, atau guna menghalalkan kebijakan-kebijakan penguasa
yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Karena itu, Anda lihat mereka diam saja ketika muncul
undang-undang yang memperbolehkan zina dan mereka
ikut-ikutan menentang poligami.
Kita juga menemukan ulama yang memfatwakan bolehnya
wanita memakai rambut palsu, padahal ada riwayat hadits
sahih dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Aisyah, Asma, dan
Mu'awiyah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda:
"Allah melaknat wanita yang menyambung dan minta disambung
rambutnya." Perbuatan menyambung rambut ini disebut oleh
Rasulullah saw. sebagai pemalsuan, sebab si pelaku telah
memalsukan keadaan yang sebenarnya, dan beliau
mengisyaratkan bahwa yang demikian itu adalah perbuatan
orang-orang Yahudi.
Serupa dengan itu orang yang memfatwakan bahwa pakaian
yang memperlihatkan kedua siku dan betis atau rambut, atau
pakaian tipis yang menerawang atau menampilkan bentuk dan
lekuk-lekuk tubuh --seperti pakaian budaya bangsa Barat yang
menyusup ke dalam masyarakat Islam--hanyalah dosa kecil yang
bisa dihapuskan dengan melakukan shalat atau ibadah lainnya.
Bodoh sekali orang yang berkata begitu. Sebab, Nabi saw.
sendiri memasukkan wanita-wanita seperti itu ke dalam
kelompok penghuni neraka yang "berpakaian telanjang". Beliau
pun memutuskan bahwa mereka tidak akan masuk surga bahkan
tidak bisa mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat
dicium dari jarak yang sangat jauh. Wanita-wanita yang
berpakaian telanjang adalah wanita yang pakaiannya tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan agama. Artinya mereka
memakai pakaian yang masih menerawang dan menampilkan
lekuk-lekuk dan bentuk tubuh, atau tidak menutupi
bagian-bagian tubuh yang harus ditutupi. Jika dikatakan
bahwa yang mereka lakukan itu hanya dosa kecil, tentu Nabi
saw. tidak memutuskan mereka masuk neraka atau mengharamkan
mereka dari surga walaupun sekadar mencium baunya.
Sekarang katakanlah kita menerima bahwa memakai pakaian
yang tidak menutup aurat itu hanyalah dosa kecil. Apakah
mungkin mereka tidak tahu bahwa berketerusan melakukan dosa
kecil akan mengantarkan pelakunya pada dosa besar
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama, sehingga
mereka berkata: "Tidak ada dosa yang kecil kalau dilakukan
secara terus-menerus dan tidak ada dosa yang besar jika
disertai dengan istighfar." Yang tepat dikatakan adalah
bahwa sebagian besar dari orang-orang yang bersikap ekstrem
dan berlebihan dalam meniru Barat adalah sebagai reaksi
terhadap orang-orang yang bersikap ekstrem dan keterlaluan
dalam meniru Timur, atau dengan kata lain mereka menjadi
tawanan zaman kuno dan zaman modern. Sementara yang dituntut
dari kita hanyalah tunduk dan patuh kepada petunjuk dan
bimbingan Dinulhaq yang dibawa oleh Nabi kita, Muhammad saw.
Karena itu, yang harus diambil adalah sikap yang
mencerminkan sifat atau karakter pertengahan Islam yang
tidak keterlaluan dan tidak pula menyepelekan suatu masalah,
tidak melebihi dan tidak pula mengurangi. Itulah yang
diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya:
"Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu." (ar-Rahman: 8-9)
Buku yang saya antarkan untuk pembaca sekarang ini dapat
menjelaskan karakter pertengahan Islam tersebut dan
menampilkan sikap Islam yang sebenarnya mengenai masalah
yang sangat penting ini. Dalam masyarakat Islam masih
bercampur aduk antara yang hak dan yang batil, jelasnya
mengenai masalah wanita serta perannya dalam rumah tangga,
masyarakat, dan kehidupan.
Penulis buku ini mulai menekuni masalah wanita muslimah
sejak bertahun-tahun, ketika dia banyak sekali menemukan
nash-nash yang berlawanan dengan sikap sebagian besar kaum
muslimin yang keras dan kaku mengenai wanita. Semakin dalam
kajian yang dia lakukan terhadap masalah ini, semakin
bertambah kuat keyakinannya mengenai keluasan pandangan
Islam terhadap wanita, kedudukan, dan peranan pentingnya di
tengah keluarga dan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Beliau semakin serius menangani masalah ini karena
melihat sikap berlebihan dari sekelompok umat Islam dan
sebagian para da'i dalam mengenali kaum wanita. Hal-hal itu
menyebabkan kaum laki-laki dan wanita semakin jauh dari
tuntunan Islam. Itu sama artinya dengan menyerahkan kepada
orang-orang sekuler dan antiagama senjata yang dapat mereka
gunakan untuk menghalangi para da'i dalam memecahkan
berbagai problem kehidupan secara islami.
Dalam kajian ini, penulis buku ini tidak berpegang pada
ucapan si fulan atau orang tertentu, tetapi membiarkan
nash-nash berbicara dan menentukan hukum sendiri. Karena
itu, banyak terdapat nash dalam buku ini yang secara sengaja
dikemukakan begitu saja, sehingga nash itu sendiri dengan
bahasa dan gayanya akan menjelaskan, menegaskan, dan
menentukan nilai dan maksud yang dituju. Beliau tidak
menukil/menyadur ucapan para ulama atau para pensyarah
kecuali dalam batas yang wajar untuk sekadar menjelaskan
hal-hal yang kurang jelas, samar-samar, atau ada beberapa
pendapat yang berbeda mengenai nash tersebut.
Kita benar-benar sedang menekuni suatu kajian ilmiah yang
dapat dipercaya karena didukung oleh nash-nash yang sahih,
diambil dari sumber-sumber yang paling dipercaya dan
betul-betul dikuasai oleh penulisnya. Beliau mengorbankan
waktu, tenaga, pikiran, hati, ilmu, dan pengalaman sehingga
membuahkan keberhasilan sampai ke tingkat yang begitu
matang. Bahkan pada kenyataannya kita sedang menghadapi
sebuah ensiklopedia yang sarat dengan masalah-masalah
penting mengenai wanita muslimah, baik menyangkut
kepribadian dan kedudukannya, pakaian dan perhiasannya,
perannya di tengah keluarga dan masyarakat, pertemuannya
dengan kaum laki-laki, hingga pada keterlibatannya dalam
kehidupan sosial dan politik menurut pandangan nash-nash
Al-Qur'an, hadits, dan pemahaman ulama salaf terhadap
nash-nash yang me-nyangkut masalah wanita tersebut.
Penulis buku ini, Profesor Abdul Halim Muhammad Abu
Syuqqah, adalah seorang tokoh yang belum begitu dikenal di
kalangan cendekiawan. Sebab, beliau belum banyak membuat
tulisan yang membuat beliau dikenal orang atau dengan kata
lain, belum banyak menurunkan tulisan yang dapat
mempublikasikan siapa dirinya kepada orang lain. Tulisan
beliau masih terbatas dalam bentuk artikel-artikel yang
dimuat dalam beberapa majalah Islam. Padahal sebenarnya
beliau banyak menulis dan merekam buah pikirannya dalam
berbagai bidang. Tulisan-tulisan beliau mengandung ide-ide
yang cemerlang dan teori-teori reformasi yang unggul. Hanya
saja, ide-ide beliau sering seperti mutiara yang masih
berserakan di sana sini dan belum ditata dalam satu ikatan.
Beliau masih terus mengulur-ulur waktu sehingga menemukan
tali pengikat yang diidam-idamkan.
Di samping itu sikap hati-hati dalam menyusun buku ini
--sikap pelan dan hati-hati disenangi oleh Allah dan
Rasul-Nya menurut nash yang sahih-- membuat beliau membaca
berulangkali pemikiran yang telah dituangkan ke dalam bentuk
tulisan, dan mendiskusikannya dengan teman-teman dekat
beliau, sehingga beliau betul-betul yakin akan kebenaran
yang ditulis. Mungkin juga beliau melakukan ralat dan
perbaikan sehingga beliau betul-betul merasa mantap dan puas
dengan tulisannya.
Meskipun Prof. Abdul Halim yang juga dijuluki Abu
Abdurrahman ini tidak begitu dikenal di kalangan luas,
kalangan yang mengenalnya merasa kagum dan mengakui
kemampuannya dalam berpikir secara tenang dan mendalam;
pandangannya yang kritis, reformis, dan berani mengemukakan
apa yang diyakininya benar; sampai pada kejujuran dan sikap
istiqamahnya sehingga lahir dan batinnya tetap seirama.
Saya tegaskan di sini bahwa saya sudah mengenalnya secara
baik sejak seperempat abad silam, ketika kami sama-sama
bekerja di kementerian pendidikan di Qatar. Sejauh yang saya
tahu, beliau selalu berbicara jujur, benar, bersih, sopan,
halus, jenius, dan kritis. Di dalam pergaulan hidup, saya
mengenalnya sebagai seorang muslim yang sangat konsisten
pada ajaran Islam serta senantiasa mempelajari hukum dan
ajaran agama untuk diterapkan pada diri dan keluarganya.
Beliau tidak belajar untuk pandai beretorika atau
membangga-banggakan kehebatan dan kepintaran yang dimiliki,
tetapi untuk dijadikan petunjuk dalam kehidupannya.
Kekonsistenan beliau tidak didasarkan pada Islam mazhab
tertentu dari mazhab-mazhab yang lazim diikuti atau Islam
suatu periode dari periode-periode sejarah terdahulu, dan
bukan pula Islam suatu negara dari negara-negara Islam yang
dikenal. Akan tetapi, Islam beliau adalah Islam Al Qur'an
dan Sunnah semata. Karena itulah dia sangat hati-hati dalam
membuat tulisan agar jangan berdasarkan pada pendapat ulama
ini atau ulama itu. Sebab ulama mana pun di dunia ini pasti
memiliki kelebihan dan kekurangannya, bagaimana pun
kehebatan ilmu pengetahuan dan fatwanya.
Saya mengenalnya sebagai seorang pendidik yang didukung
bakat, studi, dan pengalaman. Beliau pernah menjadi guru
sekolah lanjutan atas dan direktur sebuah SLTA di Doha.
Karena itu, tidak mengherankan jika pada diri beliau sering
terlihat semangat seorang pendidik yang senantiasa berupaya
memberi dan mengajar dengan berbagai cara dan metode yang
sangat menarik.
Saya juga mengenalnya sebagai seorang pemburu kebenaran
yang ikhlas dalam mencarinya, tidak pernah merasa jemu dan
bosan untuk mengetahui rahasianya, serta teliti dalam
membaca dan mengkaji. Sifat tekun dan teliti serta berpikir
dan mengamati merupakan beberapa keistimewaan yang cukup
menonjol dan ciri yang sangat kentara dalam seluruh
kehidupannya. Beliau tidak suka terburu-buru membuat
keputusan dan kesimpulan, serta tidak suka meniru-niru.
Keputusan dibuat melalui kajian yang teliti dan pemikiran
yang mendalam. Setelah itu baru beliau menyusun catatan
tentang pokok-pokok pikiran yang masih berserakan untuk
dihimpun dan disusun secara rapi.
Beliau juga seorang yang sederhana dan rendah hati.
Apabila diberi nasihat, beliau tidak cukup sekadar menerima.
Lebih dari itu, beliau meminta nasihat lebih banyak dan
lebih banyak lagi dari orang yang beliau percayai ilmu dan
pendapatnya, sehingga beliau yakin betul dengan hasil yang
disimpulkan. Beliau senantiasa lapang dada dalam menerima
pendapat lain, tidak acuh bila menemukan suatu kebenaran.
Beliau menampakkan wajah yang ceria, siap beradu pendapat,
menghapuskan atau menambahkan, mendiskusikan dan
memperbaiki, hingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan
yang betul-betul mantap.
Beliau selalu mendambakan perbaikan, tidak berhenti kalau
sudah mengenal jenis penyakit, tetapi senantiasa berusaha
menentukan obat dan menjelaskan cara perawatannya.
Beliau selalu mendukung semangat kemudahan dan keluwesan
dalam menyampaikan dakwah Islam, khususnya mengenai
kasus-kasus yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat.
Beliau pun tidak mengada-ada mencari kemudahan dalam syariat
Allah. Beliau hanya mengikuti saja kemana arah syariat itu
berjalan. Hal itu tidaklah aneh sebab memberikan kemudahan
merupakan roh dan darah daging syariat Islam.
|