|
Pengantar Dr. Yusuf Qardhawi (3/3)
Beliau tumbuh dan berkembang dalam gerakan Ikhwanul
Muslimin sejak usia remaja serta dekat dengan pendiri dan
pembina pertamanya, Imam Hasan al-Banna. Beliau menyatu
dengan aturan khusus Ikhwanul Muslimin yang pada saat itu
menghimpun pemuda-pemuda pilihan serta pernah masuk penjara
karena terlibat di dalam salah satu kasus Ikhwanul Muslimin.
Melalui hubungan tersebut beliau berhasil memetik berbagai
pengalaman. Dakwah sangat berpengaruh terhadap pola
berpikir, kecenderungan, dan tindak tanduknya. Setelah
matang dan mapan, beliau membuat catatan-catatan yang jeli
dan kritis terhadap apa yang telah beliau alami, tidak takut
atau bakhil menyebutkan dan menjelaskannya, apalagi mengenai
aturan khusus Ikhwanul Muslimin serta perkembangannya.
Sejak edisi pertama majalah Al-Muslim al-Mu'ashir --dalam
kelahiran majalah ini, peran dan jasa beliau sangat besar,
bahkan beliaulah yang memiliki ide dan menghimbau untuk
menerbitkannya-- telah kita lihat pembicaraan beliau yang
sangat menarik dan berani mengenai krisis pemikiran muslim
modern. Melalui hal itu terungkaplah kemampuan beliau dalam
menyelami, menganalisis, dan mengkritik, sekaligus juga
tentang kedalaman pemahaman beliau terhadap agama dan
kehidupan serta keberanian dalam menentang apa yang beliau
yakini salah, meskipun akhirnya beliau dikenal orang sebagai
seorang tokoh yang kontroversial.
Pada edisi berikutnya beliau menurunkan tulisan mengenai
krisis akhlak muslim modern . Kedua tulisan tersebut
membuktikan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki
kejelian berpikir, kecermelangan pemikiran, dan jiwa yang
kritis. Beliau hidup pada zamannya sekaligus mengenal seluk
beluknya dan menghadapinya dengan hati seorang mukmin,
pemikiran seorang peneliti, dan kemauan seorang reformis,
jauh dari asal bunyi dan taklid buta.
Orang yang membaca tulisan beliau boleh saja tidak
sependapat dengannya. Saya sendiri pernah menentang pendapat
beliau dalam edisi lanjutan majalah tersebut. Namun
demikian, Anda pasti tetap salut dan hormat pada pemikiran
dan keikhlasannya.
Buku ini berjalan ke arah memberi kemudahan serta
menghilangkan kesulitan dan beban dari pundak wanita
muslimah. Bagaimanapun, trend yang melanda umat Islam selama
berabad-abad cenderung menunjukkan sikap keras, kaku, dan
berburuk sangka terhadap wanita. Tampaknya, sikap keras
tersebut terjadi karena dua hal. Pertama, karena
ketidaktahuan orang mengenai nash-nash syariat yang
mengandung dalil tentang kemudahan dan menentang sikap
mempersulit, khususnya nash-nash Sunnah Nabi saw. yang
sahih. Sementara, nash-nash Al-Qur'an sudah dimaklumi oleh
semua orang dan sunnah-sunnah hanya tampil dalam beberapa
kitab saja. Sedangkan di dalam berbagai dawawin (buku-buku
besar) yang menghimpun berbagai hadits, sanad, dan
bagian-bagiannya, hal-hal seperti itu terlupakan. Orang
sibuk membaca kitab-kitab mazhab fiqih saja sehingga tidak
sempat lagi menggali kitab-kitab besar yang sarat dengan
sunnah. Akibatnya, banyak Anda lihat kaum muslimin tidak
mempedulikan hadits-hadits sahih; mereka hanya mengambil
dalil dari hadits-hadits dha'if atau maudhu'.
Kedua, tidak memahami dengan baik nash-nash yang sudah
mereka ketahui, misalnya dengan meletakkan tidak pada
tempatnya, ceroboh dalam meng-istinbath hukum darinya,
mengartikannya secara kasar, memisahkannya dari sababulwurud
(sebab muncul)-nya satu hadits, memisahkannya dari
pembicaraan sebelumnya atau dengan konteks pembicaraan,
serta mengucilkannya dari hukum-hukum Islam yang lazim dan
tujuannya yang menyeluruh sehingga tidak ada kesinkronan
antara satu dengan yang lainnya.
Mengenai masalah ini cukup banyak contoh. Dalam hal ini,
kita tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk
menyebutkannya satu persatu. Penulis buku kita ini jeli
sekali melihat kedua faktor tadi untuk kemudian beliau
mencurahkan perhatian sepenuhnya pada kedua masalah berikut.
Pertama, mencari nash-nash yang muhkamat, khususnya dari
hadits-hadits Nabi saw. Kemudian mengumpulkan nash-nash yang
mencerminkan roh Islam ini dan sikapnya terhadap kaum
wanita. Jumlah nash-nash tersebut sangat banyak dan
dilengkapi dengan keterangan yang jelas. Anda dapat membaca
topik-topik pembahasan dan bagian-bagian yang menghimpun
hadits-hadits yang banyak sekali. Anda akan merasakan betapa
banyak dan jelasnya maksud nash-nash tersebut. Dalam hal
ini, dapat saya sebutkan kepada para pembaca beberapa tema
dari buku ini sebagai contoh tentang kekuatan pribadi
muslimah dan kesadarannya pada tanggung jawab:
- Kaum wanita menuntut Rasulullah saw. supaya
memberikan kesempatan belajar yang lebih luas lagi bagi
mereka.
- Kaum wanita memenuhi undangan untuk menghadiri
pertemuan umum di masjid.
- Zainab binti Jahsy melakukan pekerjaan dengan tangan
sendiri dan bersedekah.
- Zainab --istri Mas'ud-- bekerja dengan tangan sendiri
dan memberi nafkah (belanja) untuk suami dan anak-anak
yatim yang dipeliharanya.
- Ummu Athiyyah ikut bersama suaminya dalam enam kali
peperangan.
- Ummu Haram mendambakan mati syahid bersama pasukan
marinir.
- Ummu Hani melindungi pelarian perang dan menyesalkan
ketidaksetujuan saudara laki-lakinya.
- Hafshah binti Umar meralat kesalahan Abdullah bin
Umar.
- Asma binti Syakl mengenyampingkan rasa malu demi
mendalami agama.
- Atikah binti Zaid, istri Umar ibnul Khattab,
mempertahankan haknya terhadap kesaksian jamaah.
- Ummu Kaltsum binti Uqbah --seorang gadis remaja--
berpisah dengan keluarganya dan ikut hijrah guna
menyelamatkan agamanya.
- Seorang wanita mempertahankan haknya dalam memilih
suami.
- Seorang wanita mempertahankan haknya untuk berpisah
dengan suaminya.
- Subai'ah binti al-Harits mengetahui cara mencari
kebenaran hingga sampai ke tingkat yakin.
- Ummu ad-Darda menyangkal pendapat Abdul malik bin
Marwan.
- Seorang wanita dari Kabilah al-Khats'amiyyah --masih
gadis remaja-- bersusah payah menghajikan bapaknya.
- Hindun binti Utbah mengucapkan selamat kepada
Rasulullah saw. setelah dia masuk Islam.
- Zainab binti al-Muhajir berdialog dengan Abu Bakar
Siddiq.
- Ummu Ya'qub berdialog dengan Abdullah bin
Mas'ud.
Pola dan langkah-langkah awal yang dilakukan dalam
penyusunan buku ini adalah membaca sebanyak mungkin
buku-buku Sunnah sebab di dalamnya terdapat banyak sekali
khazanah ilmiah yang tidak patut diabaikan. Beliau
membacanya dengan tekun dan menyelidikinya secermat mungkin
sehingga beliau berhasil mengumpulkan nash yang banyak
sekali jumlahnya. Akan tetapi, dalam tahap ini, kepada
pembaca beliau memutuskan untuk menyuguhkan khazanah yang
diambil dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim saja. Sekarang
beliau mempersembahkan kepada kita mutiara-mutiara Nabawi
berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) Nabi
saw.
Pada bagian tertentu, beliau seringkali menyuguhkan
nash-nash tersebut tanpa mengomentarinya karena nash-nash
itu berbicara sendiri untuk menyampaikan maksud kepada
manusia yang satu sama lainnya saling menjelaskan. Akan
tetapi, jika beliau mengomentari nash tersebut dengan
menarik kesimpulan, menerangkan, menguatkan, atau
menerapkannya dalam realita kehidupan, maka beliau
menampakkan keluasan wawasan dalam menyampaikan apa yang
beliau inginkan.
Untuk pembaca budiman, dalam hal ini, cukup saya
tunjukkan satu contoh tentang komentar penulis untuk dibaca
dengan tenang dan teliti bab penutup yang sarat dengan
kandungan nash mengenai keterlibatan wanita bersama kaum
laki-laki dalam kehidupan sosial. Beliau berbicara mengenai
gejala-gejala sosial baru yang memaksa terjadinya pertemuan
wanita dengan laki-laki pada masa sekarang ini.
Masalah-masalah tersebut dibicarakan oleh seseorang yang
berpengalaman dan memahami kondisi zaman serta perubahan
masyarakatnya. Dapat saya katakan bahwa orang yang tidak
memahami gejala-gejala sosial yang sedang terjadi dalam
masyarakat kita, tidak mungkin memiliki kesimpulan yang
benar mengenai kasus-kasus wanita, meskipun dia hapal di
luar kepala berbagai macam nash. Kata Imam Ibnul Qayyim
--semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya-- seorang ahlu
fiqih haruslah mampu mengawinkan kewajiban dengan
kenyataan.
Adapun masalah kedua yang mendapat perhatian dari penulis
adalah menjawab pemahaman-pemahaman keliru yang menyebabkan
nash melenceng dari jalurnya, baik secara sengaja ataupun
tidak. Kemudian, beliau menarik kesimpulan/hukum yang benar
dari nash tersebut, misalnya pendapat beliau mengenai firman
Allah yang berbunyi: "Dan hendaklah kamu (perempuan) tetap
di rumahmu" dan hadits yang menggambarkan wanita sebagai
makhluk yang kurang akal dan agama.
Pada dasarnya, ayat di atas beserta ayat yang sebelum dan
sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Perintah
untuk tetap di rumah hanya diperuntukkan bagi istri-istri
Nabi saw., diperkuat dengan dalil yang bahwa Umar ibnul
Khattab terus melarang mereka pergi haji, dan baru diizinkan
pergi haji ketika Umar menunaikan hajinya yang terakhir.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Firman Allah tentang
hendaknya kamu (perempuan) tetap di rumahmu, sebenarnya
ditujukan kepada istri-istri Nabi saw." Pada bagian lain
Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Aisyah dan orang-orang yang
sependapat dengannya memahami targhib (dorongan) untuk
melaksanakan haji yang terdapat dalam sabda Nabi saw.:
'Jihad yang paling baik dan paling indah bagi kalian adalah
menunaikan haji.' Dengan demikian, diperbolehkan menunaikan
haji berulangkali, dan hadits ini mengkhususkan keumuman
sabda Nabi saw. yang berbunyi: 'Ini, dan munculnya
hambatan.' Pada ayat: 'Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,'
itu pada mulanya, seolah-olah Umar mengambil sikap tawaqquf
(berdiam diri). Namun, kemudian setelah mengetahui kekuatan
dasar/alasan Aisyah, akhirnya Umar mengizinkan mereka
(istri-istri Nabi saw.) melaksanakan haji pada akhir masa
pemerintahan beliau. "
Jika kita katakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada
semua wanita muslimah, coba kita perhatikan nash-nash Sunnah
--yang berfungsi menjelaskan Al-Qur'an-- agar kita dapat
melihat bagaimana wanita-wanita kaum muslimin pada zaman
Nabi saw. menerapkan perintah untuk tetap tinggal di rumah.
Mengapa perintah ini tidak menghalangi mereka keluar rumah
untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial? Kami telah
menyebutkan ratusan nash yang bersumber dari kitab Shahih
Bukhari dan Muslim. Nash-nash tersebut menegaskan
keterlibatan wanita dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam menjelaskan hadits, penulis berkata: "Dari Abu
Sa'id al-Khudri, dia berkata bahwa pada hari raya Fitri atau
Adha Rasulullah saw. pergi ke lapangan yang dikhususkan
sebagai tempat penyelenggaraan shalat 'id, lalu beliau
melewati jamaah wanita dan bersabda: 'Wahai kaum wanita, aku
tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu
melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah
seorang dari kalian'" (HR Muslim)
Kita dapat menguraikan hadits di atas dari tiga sisi.
Akan tetapi, di sini kami hanya membahas sisi yang pertama.
Hadits Nabi saw. di atas masih memerlukan kajian dan
penelitian, baik dari segi momentum dikeluarkannya hadits
tersebut atau dari segi kepada siapa hadits tersebut
ditujukan maupun dari segi bentuk dan susunan katanya. Hal
itu perlu sekali dilakukan guna mengetahui relevansinya
dengan karakteristik wanita. Dari segi momentum, hadits di
atas disampaikan ketika Nabi saw. memberikan saran dan
nasihat kepada kaum wanita setelah shalat hari raya.
Mungkinkah Rasulullah saw. sebagai seorang yang berakhlak
mulia memejamkan mata ketika menghadapi persoalan wanita,
kemudian menjatuhkan martabat mereka dan merendahkan nilai
kepribadian mereka pada saat yang penuh dengan suka cita
itu? Dari segi kepada siapa hadits itu ditujukan, sudah
jelas. Mereka adalah jamaah wanita kota Madinah yang
mayoritas kaum Anshar. Mereka digambarkan oleh Umar dalam
ucapannya sebagai berikut: "Tatkala kami sampai di Madinah,
kami temukan bahwa kaum yang lebih dominan adalah kaum
wanitanya. Lalu wanita-wanita kami meniru adab dan perilaku
orang-orang Anshar." Hal itu menjelaskan mengapa Rasulullah
saw. mengatakan: "... Aku tidak pernah melihat orang-orang
yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang
laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari
kalian?"
Dari segi bentuk dan susunan nash, kata-kata di dalam
hadits tersebut tidak berbentuk taqriri (ketetapan) kaidah
umum atau hukum umum, tetapi lebih bersifat ungkapan rasa
kagum Rasulullah saw. terhadap kontradiksi yang terjadi,
yaitu mengenai lebih dominannya kaum wanita --padahal mereka
adalah makhluk yang lemah-- atas kaum laki-laki yang
memiliki sikap tegas. Artinya, kekaguman Rasulullah saw.
terhadap hikmah/kebijaksanaan Allah SWT adalah karena Allah
meletakkan kekuatan di tempat yang kita duga lemah dan dia
memperlihatkan kelemahan di tempat yang kita duga kuat!
Karena itu kita patut bertanya, bukankah kata-kata hadits
yang terdapat dalam nasihat Nabi saw. itu mengandung
sentuhan atau sindiran halus terhadap kaum wanita? Bukankah
itu merupakan permulaan yang apik pada satu bagian dari
bagian-bagian nasihat Nabi saw.? Seolah-olah beliau ingin
mengatakan: "Wahai kaum wanita, kalau kalian diberi kekuatan
oleh Allah untuk melumpuhkan hati kaum laki-laki yang
bersifat tegas, meskipun kalian lemah, maka takutlah kepada
Allah, dan jangan kalian pergunakan kekuatan kalian itu
kecuali untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat."
Demikianlah permasalahannya, dan kalimat "yang kurang
akal dan agama" disampaikan hanya satu kali dengan tujuan
menarik perhatian sekaligus merupakan pendahuluan yang
apik-dan halus dalam menyampaikan nasihat, khususnya
terhadap kaum wanita. Artinya, hal itu tidak pernah
disampaikan secara khusus dalam bentuk taqriri, baik di
hadapan kaum wanita maupun kaum laki-laki.
Penulis berupaya mendiskusikan beberapa masalah
fundamental dan sangat penting yang ada kaitannya dengan
topik di atas. Masalah-masalah tersebut sering dipakai oleh
banyak ulama untuk mempersempit ruang gerak wanita. Tentu
saja, hal itu berbeda dengan apa yang diterapkan oleh Nabi
saw., diantaranya, seperti dalam masalah saddudz dzari'ah
(pencegahan sebelum terjadinya sesuatu yang tidak
diinginkan).
Sebagai penutup, saya katakan bahwa buku yang berisikan
nash-nash yang kuat, pendapat-pendapat yang benar,
bukti-bukti yang hidup, pemahaman yang cemerlang, dan
ulasan-ulasan yang padat telah menambah khazanah kepustakaan
Islam, di samping bobot dan orisinilitas yang terkandung di
dalamnya.
Pada beberapa bagian buku ini mungkin terdapat hal-hal
yang berbeda dengan pendapat sebagian orang akibat pengaruh
budaya dan lingkungan. Hal itu sesuai dengan ketentuan
sunnatullah terhadap manusia. Namun demikian, semangat dan
esensi buku ini dalam menjelaskan sikap Islam terhadap
wanita berdasarkan nash-nash yang muhkamat dan petunjuk umum
pada masa kenabian tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Saya berdoa kepada Allah semoga para pembaca buku ini
dapat memetik manfaat darinya, sementara penulisnya diberi
ganjaran yang setimpal atas jasa, jerih payah, dan tenaga
yang telah dikorbankan selama bertahun-tahun demi
terwujudnya buku ini. Semoga Allah menunjuki kita semua
jalan yang benar!
|