|
Bab. I PENDAHULUAN
Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orangyang beriman, bertakwalah kepada
Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keaduan beragama
Islam." (Ali Imran: 102)
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahlm.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
(an-Nisa': 1)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar." (al-Ahzab: 70-71)
Buku ini merupakan buah karya hamba Allah yang lemah,
yang berusaha membahas topik permasalahan yang sangat besar
dan penting. Hanya Allah --sebelum dan sesudahnya-- tempat
kita meminta pertolongan dan kepada-Nya juga penulis
bertawakal serta berserah diri.
A. LATAR BELAKANG PENULISAN BUKU
Telah sekian tahun penulis bertekad melakukan kajian yang
mendalam tentang Sirah Nabawiyyah (Sejarah Kehidupan Nabi
saw.) berdasarkan buku-buku Sunnah agar kita memiliki
pegangan yang lebih kuat dan mantap. Bagaimana pun, kisah
atau sejarah kehidupan Nabi saw. belum mendapatkan perhatian
yang cukup sehingga banyak sanad yang belum ditahqiq
(diteliti). Akibatnya, masih sangat sulit untuk menentukan
mana yang sahih dan mana yang dhaif. Faktor yang mendorong
penulis melakukan pekerjaan ini adalah kenyataan bahwa Sirah
Nabawiyyah yang mengetengahkan kehidupan Rasulullah
mengandung banyak sekali perkataan, perbuatan, dan taqrir
(ketetapan) yang masuk ke dalam kategori Sunnah, sehingga
dapat ditiru oleh kaum muslimin dalam kehidupan mereka.
Karena itu, sirah harus diketengahkan kepada kaum muslimin
dengan dalil yang lebih kuat sehingga mereka dapat mengikuti
petunjuknya dengan perasaan tenang dan mantap melalui
keabsahan dalil-dalil yang dijadikan pegangan. Perlu juga
penulis sebutkan di sini bahwa kecenderungan untuk
mempelajari sirah melalui kitab-kitab Sunnah merupakan
akibat hubungan penulis dengan seorang yang alim dan ahli
hadits, Syekh Nashiruddin al-Albani. Penulis pernah belajar
kepada beliau dan merasakan bahwa masa tersebut merupakan
masa yang indah dan penuh berkah. Penulis memulainya dengan
mempelajari kitab Shahih Muslim beserta Syarah Imam
an-Nawawi. Namun, ketika menguraikan dan mengelompokkan
hadits-hadits tersebut, penulis sempat dikejutkan oleh
beberapa hadits yang bersifat praktis dan operasional serta
berkaitan dengan masalah wanita dan hubungannya dengan
laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Yang mengejutkan
itu adalah bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang
sama sekali dengan apa yang penulis pahami dan praktekkan
selama ini, bahkan dengan apa yang dipahami dan dipraktekkan
oleh berbagai kelompok keagamaan yang pernah berhubungan
dengan mereka. Mereka terdiri atas berbagai aliran, seperti
organisasi asy-Syari'ah, Ikhwanul Muslimun, kelompok Sufi,
kelompok Salaf, Partai Pembebasan Islam, dan lain-lain.
Bahkan, hadits-hadits tersebut --karena vital dan
pentingnya-- telah menarik penulis untuk membenahi persepsi
mengenai karakteristik wanita muslimah dan sejauh mana
keterlibatannya dalam berbagai bidang kehidupan pada zaman
kerasulan Muhammad saw.
Di sini penulis kemukakan kepada pembaca apa yang
diisyaratkan oleh beberapa hadits dengan harapan pembaca
akan menemukan sesuatu yang baru, sekaligus tertarik, untuk
kemudian melakukan peninjauan kembali terhadap kenyataan
yang sedang kita hadapi sesuai dengan tuntunan hadits-hadits
tersebut, seperti:
- Wanita muslimah menghadiri shalat isya dan subuh di
masjid Rasulullah saw.
- Wanita muslimah menghadiri shalat Jum'at dan
menghapal surat Qaaf langsung dari mulut Rasulullah saw.
sendiri.
- Wanita muslimah menghadiri shalat gerhana, meskipun
waktunya panjang, bersama Rasulullah saw.
- Wanita muslimah beri'tikaf pada sepuluh hari yang
terakhir dari bulan Ramadhan di masjid Rasulullah
saw.
- Wanita muslimah mengunjungi suaminya, yaitu
Rasulullah saw., yang sedang beri'tikaf di masjid.
- Wanita muslimah memenuhi undangan ke pertemuan umum
di masjid yang disampaikan oleh muazin Rasulullah
saw.
- Wanita muslimah menuntut Rasulullah saw. memberikan
pelajaran khusus bagi mereka, sebab kesempatan di masjid
lebih banyak dikuasai oleh kaum laki-laki.
- Wanita muslimah mendatangi Rasulullah saw. untuk
meminta fatwa tentang berbagai masalah, baik yang
bersifat pribadi ataupun umum.
- Wanita muslimah menyuruh kaum laki-laki berbuat
ma'ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar.
- Wanita muslimah menerima tamu, di antara mereka
terdapat Rasulullah saw., dan menghidangkan makanan
kepada mereka.
- Wanita muslimah menyediakan rumahnya untuk para tamu
yang berasal dari kalangan muhajirin gelombang
pertama.
- Wanita muslimah duduk bersama suaminya dan ikut
santap malam bersama tamunya.
- Wanita muslimah melayani tamu laki-laki dalam suatu
resepsi perkawinan dan menyuguhkan minuman segar kepada
Rasulullah.
- Wanita muslimah ikut dalam beberapa peperangan
Rasulullah saw., bertugas memberi minum para pasukan yang
kehausan, mengobati yang terluka, serta mengangkut yang
terbunuh dan terluka ke Madinah
- Wanita muslimah memohon kepada Rasulullah saw. untuk
mendoakan agar dirinya dapat mati syahid bersama pasukan
marinir pertama, dan permohonannya itu dikabulkan oleh
Rasulullah saw.
- Wanita muslimah menghadiri shalat 'id bersama
Rasulullah saw. dan kaum wanita mendapatkan wejangan
khusus dari Rasulullah saw. seusai khotbah 'id.
- Wanita muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw.
--meskipun masih gadis remaja dan dalam pingitan-- supaya
keluar menghadiri shalat 'id agar dapat menyaksikan suatu
pertemuan yang baik dan mengikuti doa orang-orang
mukmin.
- Wanita muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw.
--meskipun dalam keadaan haid-- supaya keluar menghadiri
shalat 'id, tetapi agak menjauh dari mushalla (tempat
shalat). Tempat mereka adalah di belakang jamaah serta
ikut bertakhir dan berdoa bersama mereka.
Karena kuatnya tarikan tersebut, penulis mengubah haluan
pengkajian dari proyek penulisan Sirah Nabawiyyah pada
proyek pengkajian wanita muslimah pada masa kenabian.
Kondisi wanita muslimah pada masa kenabian memberikan
gambaran yang jelas sekali tentang udara kebebasan yang
dapat dihirup kaum wanita. Yang mendorong penulis
mengerjakan proyek baru ini adalah bahaya besar yang pernah
dan masih penulis rasakan, yaitu dominasi visi dan persepsi
yang bertolak belakang dengan ajaran agama mengenai
emansipasi wanita. Apalagi, sikap yang bertolak belakang
dengan ajaran agama itu sudah sangat kental terdapat dalam
jiwa beberapa kelompok umat Islam yang taat beragama dan
antusias sekali menegakkan syariat Islam, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Mengatakan yang hak itu hak dalam soal wanita sama
pentingnya dengan mengatakan yang hak itu adalah hak dalam
aspek mana pun dari aspek-aspek syariat karena kedua-duanya
sama-sama memperjuangkan agama Allah. Namun demikian,
masalah wanita memiliki urgensi tersendiri karena beberapa
pertimbangan berikut:
- Bagi seorang muslim, wanita adalah ibu, saudara
perempuan, istri, atau anak perempuan. Jika keempat
status itu dihimpun oleh seorang wanita, maka manusia
manakah yang lebih mulia daripadanya?
- Wanita muslimah paling sering dijadikan mangsa oleh
dua jenis jahiliah: jahiliah abad keempat belas hijrah,
yaitu jahiliah dalam sikap yang berlebihan, keras, dan
taklid buta yang dimiliki oleh kaum bapak, dan jahiliah
abad kedua puluh masehi, yaitu jahiliah yang memamerkan
aurat, melakukan seks bebas, dan taklid buta terhadap
Barat. Kedua jenis jahiliah tersebut tidak sesuai sama
sekali dengan syariat Allah.
- Rasulullah saw. bersabda: "Wanita itu adalah saudara
kandung pria." (HR Abu Daud)1
Menolong wanita muslimah berarti menolong insan muslim
dengan kedua belah pihaknya, yaitu yang teraniaya dengan
menyadarkan dan membersihkannya serta yang menganiaya
dengan mengembalikannya ke jalan yang benar dan tidak
berbuat aniaya lagi, sebagai pelaksanaan terhadap
perintah Nabi saw. yang berbunyi: "Bantulah saudaramu
yang menganiaya atau yang teraniaya." Para sahabat
bertanya: "Wahai Rasulullah, yang ini kami bantu karena
dia teraniaya. Tetapi bagaimana kami membantunya kalau
dia yang menganiaya?" Rasulullah saw. menjawab: "Kalian
tahan tangannya."2
Dan menurut satu riwayat: "Kamu cegah dia dari berbuat
aniaya, itulah pertolongan
kepadanya."3
- Wanita adalah setengah masyarakat. Jika kaum wanita
tidak berfungsi berarti separuh kehidupan manusia tidak
berfungsi dengan melahirkan generasi mukmin mujahid yang
cemerlang atau tidak berfungsi dari berpartisipasi dalam
membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial maupun
politik. Namun, hal itu tidak menafikan tidak
berfungsinya "setengah yang lain" (kaum laki-laki) sampai
ke tingkat yang cukup memprihatinkan. Dengan begitu,
membebaskan wanita muslimah sama artinya dengan
membebaskan setengah masyarakat muslim, dan wanita tidak
dapat bebas kecuali bersamaan dengan bebasnya kaum
laki-laki. Selanjutnya kedua kelompok tersebut tidak akan
pernah bebas kecuali dengan mengikuti petunjuk
Allah.
- Di balik semua itu, Allah telah memberikan perasaan
yang halus kepada wanita sehingga mereka senang beragama
asalkan saja mendapatkan pengarahan yang baik dan
bijaksana. Hal ini mengingatkan penulis pada kata-kata
dua orang ulama masa kini yang karyanya pernah penulis
baca. Ulama pertama4
berkata: "Mereka (wanita) paling siap mempelajari agama,
memiliki akhlak yang baik dan berbuat kebajikan. Mereka
paling siap mendengar dan mengikuti asalkan saja mereka
menemukan pembimbing, laki-laki maupun wanita, yang
bijaksana dan saleh serta dapat menunjukkan kebenaran dan
dengan kebenaran itu dia melakukan perubahanperubahan
terhadap wanita." Sementara ulama
kedua5
berkata: "Ketika saya bergelut dengan tugas memberikan
fatwa melalui radio dan televisi selama bertahun-tahun,
saya mendapatkan sejumlah catatan penting. Sekian ribu
surat yang saya terima itu berasal dari berbagai negara
dan dari berbagai kelompok manusia, yang masih remaja dan
sudah tua atau dari kalangan laki-laki dan wanita.
Surat-surat tersebut bersifat pribadi dan umum. Di antara
catatan-catatan penting tersebut, yang pertama, adalah
agama dalam masyarakat kita masih berada di garis
terdepan dalam soal memberikan pengarahan dan pengaruh.
Kedua, bahwa wanita secara umum lebih peduli terhadap
agama dibandingkan dengan laki-laki. Tampaknya, apa yang
dikaruniakan Allah kepada wanita berupa perasaan yang
halus, sifat santun, dan rasa kasih sayang telah
membuatnya lebih dekat kepada fitrah/naluri keagamaan
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Karena itu, tidak
heran jika kepedulian wanita terhadap agama lebih besar
dan rasa takutnya akan 'hisab' yang jelek lebih kuat.
Masih banyak kita lihat wanita yang sebelumnya suka
buka-bukaan, kemudian sadar atas kemauan sendiri dan
kembali menutup aurat serta mengikuti etika Islam,
meskipun berbagai upaya dan cara dilakukan oleh
musuh-musuh Islam untuk merusak mereka, baik di dalam
maupun di luar negeri. Juga tidak aneh jika kita melihat
banyak gadis remaja dan kaum ibu yang memakai pakaian
gaya Barat modern (yang bertentangan dengan tuntunan
agama), tetapi mereka tetap rajin melakukan shalat,
puasa, haji, umrah, dan rukun-rukun Islam lainnya.
Artinya adalah bahwa benih-benih agama yang ada di dalam
dada mereka belumlah mati. Rasa keterpautan dan perhatian
pada agama, meskipun sedikit, masih hidup sehingga
membuatnya tetap konsisten, tumbuh dan berkembang,
kemudian berbuah dan menghasilkan dalam waktu dekat
dengan izin Tuhannya. Dengan demikian, dia dapat bebas
dari bayang-bayang kehancuran yang senantiasa menghantui
hidupnya."
Tidak heran jika kedua orang ulama yang mulia itu berkata
demikian sebab nash-nash petunjuk Nabi saw. membuktikan apa
yang mereka katakan itu. Sebagai contoh adalah Aisyah r.a..
Dia senang dan mendambakan sekali agar dirinya boleh ikut
berjihad, sehingga dia berkata: "Wahai Rasulullah, kami
melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdal, apakah
kami boleh ikut berjihad?" (HR
Bukhari)6
Selain itu ada Ummu Haram yang ingin mati syahid bersama
pasukan marinir. Dia berkata: "Wahai Rasulullah, tolonglah
doakan semoga Allah menjadikanku bersama mereka." Lalu
Rasulullah saw. mendoakannya." (HR
Bukhari)7
Lihat pula seorang wanita yang bekerja dengan tangannya
sendiri, kemudian bersedekah dengan hasil usahanya itu.
"Adalah Zainab binti Jahasy orang yang paling takwa kepada
Allah, paling suka menyambung silaturrahim, paling banyak
bersedekah, dan paling suka mengorbankan dirinya untuk
melakukan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia dapat
bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT." (HR
Muslim)8
Ada pula sejumlah wanita yang meminta dan mengharapkan
diberi kesempatan yang lebih luas lagi untuk menimba ilmu
pengetahuan dari Nabi saw. Sejumlah wanita berkata kepada
Nabi saw.: "Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki dalam
merebut kesempatanmu. Karena itu tolonglah engkau sediakan
harimu untuk kami." (HR Bukhari dan
Muslim)9
Ada lagi sejumlah wanita yang bersedekah dan berkorban lebih
banyak daripada kaum laki-laki. Rasulullah saw.
bersabda:
"Bersedekahlah, bersedekahlah kalian (kaum
laki-laki), sebab yang sudah banyak bersedekah adalah
dari kalangan wanita." (HR
Muslim)10
Sebelum masuk Islam, wanita Quraisy adalah orang yang
sangat lembut hatinya dan sangat senang mendengarkan
Kalamullah. "Dari Aisyah r.a. dikatakan bahwa Abu Bakar
membangun sebuah masjid di pekarangan rumahnya. Dia
melaksanakan shalat dan membaca Al-Qur'an di masjid
tersebut. Lalu datang berduyun-duyun ke tempat itu
wanita-wanita Quraisy bersama anak-anak mereka karena mereka
kagum dengan apa yang dibaca Abu Bakar dan mereka
memperhatikan Abu Bakar. Kejadian itu membuat para pemuka
Quraisy takut dan berkata: "Kami khawatir ia memperdaya
istri dan anak-anak kami." (HR
Bukhari)11
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Kejadian itu membuat para
pemuka Quraisy takut. Artinya mereka mengkhawatirkan
orang-orang kafir karena mereka mengetahui kelembutan hati
para istri dan pemuda-pemuda mereka yang mengkhianatinya
cenderung pada agama Islam. "12
Masih berkaitan dengan masalah motivasi, perhatian
penulis terhadap gagasan ini semakin bertambah setiap
membaca tulisan dan artikel atau mendengarkan ceramah
tentang wanita dalam Islam. Pendapat saya sering berbenturan
dengan pendapat para ulama yang mulia, baik yang terdahulu
maupun yang sekarang, yang tidak sejalan dengan apa yang
terdapat dalam buku-buku Sunnah yang berisi nash-nash sahih
dan tegas (sharih).
Saya akan mengemukakan dua contoh saja mengenai pendapat
ulama terdahulu. Sebuah riwayat yang datang dari Ikrimah dan
asy-Sya'bi dalam kitab ath-Thabari mengatakan tentang
diharamkannya paman dan bibi melihat perhiasan wanita
kemenakannya. Dalam membahas masalah ini mereka disamakan
dengan kalangan asing (ajnabi). Hadits ini dikutip
turun-temurun oleh para penulis umumnya dan mufassir (ahli
tafsir) khususnya selama berabad-abad hingga sekarang ini,
tanpa meneliti matan riwayat tersebut atau sejauh mana
sejalannya dengan Sunnah, juga tanpa memperhatikan apa yang
menyebabkan datangnya riwayat ini.
Dari segi matan, ada hadits --yang berfungsi untuk
menjelaskan Kitabullah-- yang menyebutkan bahwa paman dan
bibi sama haknya dengan mahram-mahram lain sebagaimana yang
tercantum dalam ayat berikut:
"... dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau
putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau
saudara-saudara lelaki mereka atau putra putra saudara
lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka
atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-lakiyang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita ..." (an-Nuur: 31)
Hadits yang dimaksud adalah hadits Aisyah r.a. berikut
ini:
"Aflah, saudara Abul Qu'ais, minta izin (untuk
bertemu denganku) setelah diturunkannya ayat hijab. Aku
berkata: 'Aku tidak bisa memberi izin kepadanya sampai
aku minta izin pada Nabi saw. tentang dia. Sesungguhnya
saudaranya Abul Qu'ais bukanlah dia yang menyusukanku.
Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu'ais.'
Kemudian Nabi saw. datang kepadaku, lalu aku katakan
padanya: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah, saudara
Abul Qu'ais minta izin untuk bertemu denganku. Tetapi aku
enggan memberikan izin kepadanya sebelum aku minta izin
terlebih dahulu kepadamu.' Lalu Rasulullah saw. berkata:
'Apa yang menghalangimu sehingga kamu tidak mengizinkan
masuk pamanmu sendiri?' Aku jawab: 'Wahai Rasulullah,
lelaki itu, bukan dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang
menyusukanku adalah istri Abul Qu'ais. 'Lantas Rasulullah
saw. bersabda: 'Izinkanlah dia masuk, sebab dia itu
adalah pamanmu, dan hal itu tidak jadi masalah bagimu.'"
(HR Bukhari dan Muslim)13
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Dengan mengetengahkan
hadits ini, seolah-olah Bukhari ingin menjawab pendapat
orang yang tidak senang ketika seorang wanita melepaskan
kerudungnya di depan paman atau saudara laki-laki dari ibu
(khal). Seperti riwayat yang dikeluarkan oleh ath-Thabari
melalui Daud bin Abu Hindun dari Ikrimah dan asy-Sya'bi.
Kepada mereka berdua ada yang bertanya: "Mengapa tidak
disebutkan paman dan saudara laki-laki dari ibu (khal) dalam
ayat tersebut?" Kedua ulama ini menjawab: "Sebab paman dan
khal bisa menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan
anak-anak laki-lakinya." Karena itulah Ikrimah dan
asy-Sya'bi tidak senang jika seorang perempuan melepaskan
kerudungnya di hadapan paman atau khalnya. Hadits Aisyah
tentang kisah Aflah di atas dapat menjawab pendapat Ikrimah
dan asy-Sya'bi ini. Inilah di antara ketelitian yang
terdapat dalam bab-bab Shahih
Bukhari."14
Al-Hafizh ibnu Hajar juga berkata: "Kalau ada yang
bertanya, mengapa dalam ayat tersebut tidak disebutkan paman
dan khal?" Jawabannya: "Penyebutan paman dan khal tersebut
cukup dalam bentuk isyarat saja. Sebab paman sama
kedudukannya dengan bapak dan khal sama kedudukannya dengan
ibu." Adapula yang mengatakan karena paman dan khal dapat
menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak
laki-lakinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah dan
asy-Sya'bi. Tetapi pendapat ini dibantah oleh jumhur
ulama.15
Sementara itu, asy-Syaukani berkata: "Tidak disebutkan
paman dan khal karena kedudukan mereka sama dengan kedua
orang tua."16
Sedangkan pelarangan lebih disebabkan oleh kekhawatiran
paman dan khal akan menceritakan kondisi keponakannya kepada
anak laki-lakinya untuk kemudian menjodohkan mereka. Kalau
kita pikirkan secara cermat, alasannya terasa lemah sekali.
Sebab atas dasar motivasi apa paman dan khal menceritakan
keponakan perempuannya kepada anak laki-lakinya --kalau hal
itu benar-benar mereka lakukan-- selain mendorong mereka
untuk kawin? Jika memang itu yang dikhawatirkan, mengapa
larangan itu hanya berlaku untuk paman dan khal dari pihak
bapak, sementara bibi dari ayah dan ibu tidak? Bahkan,
mengapa paman dan khal dari pihak bapak termasuk ke dalam
larangan sementara perempuan lain yang tidak memiliki
hubungan darah sama sekali tidak dilarang? Kami kira orang
yang memiliki hubungan darah pasti memiliki lebih besar
kepeduliannya dalam menjaga kehormatan kaum keluarganya.
Mengapa berprasangka buruk semacam itu? Mengapa harus
berperasaan yang bukan-bukan terhadap kaum keluarga? Selain
itu, mengapa harus menyalahi dalil aqli dan naqli? Rasa
hormat macam apa lagi yang masih tersisa dalam hati seorang
keponakan terhadap paman dan bibinya jika dia sudah khawatir
bahwa paman dan bibinya itu akan menghancurkan
kehormatannya?
|