Kebebasan Wanita

oleh Abdul Halim Abu Syuqqah

Indeks Islam | Indeks Wanita | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dalam satu referensi dari abad kelima yang mengulas hadits Aisyah berbunyi:

"Mereka (kaum wanita) pulang dari menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. dan mereka berselubung dengan kerudung. Mereka tidak bisa dikenali karena sangat gelapnya malam hari."

disebutkan hal berikut ini:

"Yang lazim, Nabi saw. menunggu hari agak terang (untuk melakukan shalat subuh). Kalau pada suatu waktu sudah tetap waktu melakukannya ketika hari masih gelap disebabkan alasan bepergian (safar). Atau mungkin hal itu dilakukan ketika ikutnya kaum wanita melaksanakan shalat berjamaah. Tapi kemudian hal ini sudah dinasakh dengan keluarnya perintah supaya kaum wanita menetap di rumah."17

Hal itu berarti bahwa kalimat [kalimat Arab] telah menasakh sabda nabi saw. yang berbunyi [kalimat Arab]. Sedangkan wanita-wanita muslimin tetap saja menghadiri shalat jamaah di masjid setelah turunnya ayat ini sampai wafatnya Rasulullah saw. Dalil-dalil mengenai masalah ini banyak sekali, dan insya Allah akan saya sebutkan dalam pembahasan selanjutnya.

Contoh-contoh yang terjadi pada zaman sekarang pun cukup banyak. Untuk itu, akan saya sebutkan sebagiannya tanpa menyebutkan nama pengarang atau penulisnya, agar tulisan ini tidak merusak nama para tokoh dan ulama terpandang. Kepada mereka saya pernah belajar; saya pun tetap menghormati dan merasa bangga terhadap mereka. Tujuan saya menjelaskan masalah ini adalah untuk membuktikan bahwa setiap manusia, betapapun tinggi kedudukannya, dapat dipegang ucapannya bisa juga ditinggal. Sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Karena itulah kita diharuskan kembali kepada Sunnah Nabi saw. Hanya dengan Sunnah beliau kita memperoleh petunjuk dan dengan Sunnahnya pula kita mengoreksi kesalahankesalahan para tokoh.

Seorang pengarang ternama, ketika menjawab pendapat orang yang memperbolehkan wanita membuka wajah berkata: "Sebelum mengatasi masalah hijab (maksudnya memperbolehkan wanita membuka wajah) Anda harus menghimpun kekuatan dan kekuasaan yang dapat melindas setiap kejahatan yang muncul, sehingga apabila ada dalam masyarakat dua mata yang melotot ke arah seorang perempuan yang keluar dari rumahnya dengan wajah terbuka, maka hendaknya pada waktu yang sama sudah ada tujuh puluh tangan yang siap mencongkel kedua bola mata itu dari tempatnya."

Bayangkan, betapa dahsyatnya ancaman itu jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika beliau melihat seorang pemuda yang memandang seorang gadis remaja, kemudian pemuda itu mengulangi lagi pandangannya!

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: "... ketika dalam perjalanan, Rasulullah saw. melewati beberapa orang wanita yang sedang menunggang unta. Lalu al-Fadhal memandangi mereka. Rasulullah saw. segera meletakkan tangannya ke muka al-Fadhal, lalu al-Fadhal memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian al-Fadhal kembali memandangi wanita-wanita itu. Dari arah lain Rasulullah saw. kembali meletakkan tangannya ke muka al-Fadhal sehingga al-Fadhal mengalihkan pandangannya." (HR Muslim)18

Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata: "Seorang wanita cantik dari Kabilah Khats'am datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa. Lantas al-Fadhal memandang wanita itu dan dia kagum terhadap kecantikannya. Nabi saw. menoleh dan pada saat itu al-Fadhal masih memandangi wanita itu. Nabi saw. segera memegang leher al-Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak melihat lagi ke arah wanita itu." (HR Bukhari dan Muslim)19

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap Fadhal bin Abbas ketika dia mengulangi pandangannya? Bukankah Rasulullah saw. hanya memutar wajah Fadhal ke arah yang lain? Ketika itu Fadhal masih remaja belia. Dia adalah anak paman Rasulullah saw. Rasulullah saw. berjalan ditemani Fadhal, bahkan Fadhal berboncengan bersama Rasulullah saw. di atas unta. Rasulullah saw. tidak pernah menghukum dengan mencongkel matanya atau memberinya pelajaran dengan satu atau beberapa kali pukulan.

Seorang ulama terkenal berkata: "Telah tetap bahwa muka bukanlah aurat yang wajib ditutup. Namun demikian kita harus mengaitkan masalah ini dengan perhiasan yang tidak berada di muka dan kedua telapak tangan yang merupakan bagian dari kecantikan." Padahal pengarang tersebut, pada beberapa lembar sebelum pernyataanya, telah mengemukakan beberapa hadits sahih yang menerangkan bolehnya terlihat beberapa jenis perhiasan seperti celak di kedua mata dan inai/pacar pada kedua telapak tangan.

Seorang dosen berkata: "Islam memandang ikhtilat (perbauran antara laki-laki dan wanita) sebagai bahaya besar dan cara mengatasinya hanyalah dengan perkawinan. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah masyarakat perseorangan, bukan masyarakat bersama dan kami tegaskan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat tunggal, bukan masyarakat pasangan. Kaum laki-laki mempunyai masyarakatnya tersendiri, begitu juga kaum wanita. Islam memang membolehkan wanita menghadiri shalat 'id, shalat jamaah, dan ikut pergi berperang dalam keadaan sangat mendesak. Akan tetapi, hal itu sampai di batas ini saja."

Dari pendapat dosen tersebut, penulis berharap --jika yang dimaksudkannya adalah menentang ikhtilath yang urakan dan tidak mengindahkan ketentuan agama saja-- agar dia menjelaskan bahwa Islam membolehkan wanita terlibat dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam batas-batas serta aturan-aturan yang menjamin murni dan benarnya partisipasi wanita, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya. Hal itulah yang tercantum di dalam banyak nash Sunnah yang sebagiannya sudah disebutkan dalam pembukaan buku ini. Diperkirakan, terdapat lebih dari 300 buah nash dengan sumber kitab Shahih Bukhari dan Muslim yang menerangkan keterlibatan kaum wanita dalam bebagai bidang kehidupan bersamaan dengan kehadiran kaum laki-laki."20

Seorang pengarang pernah mengemukakan hadits berikut ini: "Rasulullah saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah r:a.: 'Apa yang terbaik untuk wanita?' Fathimah menjawab: 'Jika wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya.' Nabi saw. merangkul putrinya seraya berkata: 'Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan sebagian yang lain.' Pengarang tersebut berkata: 'Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang empat. At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan dan sahih."' Pengarang tersebut mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil tentang wajibnya wanita menetap di rumah.

Namun, hadits tersebut lemah sekali. Meskipun seringkali disampaikan oleh para khatib serta sering ditemukan dalam lembaran-lembaran buku dan majalah, kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku perawi yang empat itu. Perawi hadits ini sebenarnya adalah al-Bazzar, dan ini pun masih dipertikaikan para ulama. Al-Hafizh al-Haitsami mengatakan dalam bukunya Majma'uz Zawa'id: "Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar, dan di antara sanadnya ada orang yang tidak saya kenal."21 Sementara Al-Hafizh al-'Iraqi berkata ketika mengeluarkan hadits ini dalam kitab Ihya' Ulumiddin: "Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab Al-Ifrad dari hadits Ali dengan sanad yang lemah."22

Demikian jika kita melihat hadits tersebut dari segi sanad. Adapun dari segi matan (isi), hadits tersebut jelas sekali bertentangan dengan manhaj (pola) yang dicontohkan oleh sahabiyah pada zaman Nabi saw. Ketika itu mereka berperan aktif dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam berbagai kesempatan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Seorang pengarang berkata: "Al-Haitsami mengemukakan beberapa hadits dalam kitab Majma'uz Zawa'id yang secara keseluruhan derajatnya lemah. Akan tetapi karena terkumpul banyak maka statusnya naik menjadi hasan li ghairihi (hadits dhaif yang naik tingkatnya menjadi hasan karena diperkuat oleh hadits lain yang sama maksudnya). Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa hanya wanita-wanita tua yang ikut shalat bersama Rasulullah saw., sementara yang muda tidak."

Demikianlah, mereka berpegang pada hadits-hadits lemah untuk menguatkan pendapat yang ingin menjauhkan wanita muda dari masjid. Sebaliknya, hadits-hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menegaskan kehadiran wanita-wanita remaja di masjid, seperti Asma binti Abu Bakar, Atikah binti Zaid (istri Umar bin Khattab) Fatimah binti Qais, Ummul Fadhal, Zainab (istri Ibnu Mas'ud), ar-Ruba'i binti Mu'awwidz, dan banyak lagi yang lainnya."23

Dalam sebuah majalah Islam terdapat pertanyaan pembaca: "Kami adalah sekelompok mahasiswa muslim yang berdomisili di salah satu negara Eropa. Kami berusaha melaksanakan syariat Islam terhadap diri kami sedapat mungkin. Di antara kami ada yang sudah menikah. Istrinya memakai hijab seperti yang dianjurkan agama. Akan tetapi dia merasa sendiri dan terasing, sebab di sini tidak ada wanita lain yang memakai hijab atau yang dapat berbahasa Arab. Pertanyaan kami adalah sejauh mana istri kawan kami itu boleh berbaur --didampingi suaminya tentunya dan bukan berkhalwat-- dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya." Pertanyaan itu dijawab oleh seorang dosen sebagai berikut: "Ikhtilath (berbaurnya laki-laki dengan wanita) pada dasarnya dilarang oleh Islam karena sabda Nabi saw. mengatakan:

"Ingat, kaum laki-laki tidak dibenarkan masuk/bertemu dengan kaum wanita. Tetapi diperbolehkan sebagai pengecualian dalam keadaan terpaksa menurut syariat. Tetapi hanya dalam batas terpaksa. "

Bayangkan, fatwanya pertama kali menetapkan dengan tegas bahwa Islam melarang ikhtilath antara laki-laki dan wanita, tetapi kemudian memperbolehkannya dalam keadaan terpaksa. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah telah menjelaskan bahwa pertemuan antara laki-laki dan wanita --yang mereka namakan ikhtilath-- pada dasarnya boleh-boleh saja. Sunnah Nabi saw. telah menetapkan keikutsertaan seorang wanita bersama suaminya dalam menerima dan melayani tamu di samping pertemuan wanita dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Jika Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menetapkan aturan tentang keterlibatan wanita agar segala sesuatunya berjalan dengan baik dan benar, Dia juga telah membuat ketentuan dan aturan mengenai perkawinan, makan, minum, atau jual beli agar semuanya berjalan dengan baik dan benar pula. Adapun hadits yang dikemukakan oleh dosen kita yang mengeluarkan fatwa tersebut maksudnya adalah larangan bertemu dengan wanita dalam bentuk berkhalwat.24

Inilah beberapa buah contoh yang sering dibicarakan oleh para ulama dan penulis yang didorong oleh keinginan untuk menjelaskan hukum-hukum agama. Selain itu, ada lagi contoh lain dari para penulis yang kebarat-baratan dan membuka front permusuhan terhadap agama. Dengan gigihnya mereka melecehkan hukum-hukum agama atau yang mereka anggap sebagai hukum agama, padahal yang mereka duga itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Teman saya bercerita bahwa setiap dia mengemukakan pandangannya untuk menjelaskan hukum agama yang berkaitan dengan salah satu kasus sosial atau politik, teman lainnya --seorang dosen di sebuah universitas terkenal-- berkata: "Inilah sudut pandang Anda sebagai akibat dari latar belakang keilmuan dan pendalaman Anda terhadap pemikiran-pemikiran Barat modern. Dalam hal ini tidak ada penggambaran tentang hakikat hukum agama sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, atau buku-buku fiqih dengan dalil. Banyak sekali ulama Islam yang mengatakan sesuatu berbeda sekali dengan apa yang Anda katakan itu."

Menurut pandangan saya, kita harus memberikan keterangan yang jelas sekali kepada orang-orang yang berpemikiran aneh, yang keanehan pemikirannya itu diantaranya disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para ulama dan penulis terkemuka. Karena itu, dengan metode yang digunakan dalam buku ini, saya berharap, kiranya dapat memudahkan bagi dosen-dosen seperti dalam kasus tadi dalam upaya mendalami hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya yang asli, bukan dari pendapat manusia yang bisa benar serta mendekatkan dan menjauhkan manusia dari syariat yang penuh toleransi atau kemudahan.

B. TEMA PENULISAN

Pada dasarnya, buku ini merupakan kajian sosial yang bernuansa fiqih mengenai wanita pada zaman kerasulan. Saya mengupayakan agar buku ini memuat semua nash yang mengindikasikan wanita, dari dekat ataupun jauh, dalam hal kehidupannya, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Selain itu juga mengindikasikan sifat hubungan sosial wanita dan keanekaragaman kegiatannya. Karena agama Islam mengatur kehidupan perseorangan --laki-laki ataupun wanita-- seperti halnya mengatur tatanan masyarakat, penggabungan antara kajian sosial dan kajian fiqih serta keterkaitan kegiatan sosial dengan dalil-dalil fiqihnya akan menjadi faktor yang sangat membantu dalam penyelidikan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu muslim. Bagaimanapun, ciri-ciri kajian sosial tidak hanya berpegang pada dalil-dalil dan nash-nash yang qath'i, tetapi juga mengambil nash-nash dan dalil-dalil yang tingkatannya zhanni dengan pertimbangan bahwa penetapan realita sejarah baru bisa terlaksana jika dua dalil tersebut diambil sekaligus. Jika hukum fiqih membutuhkan dalil yang qath'i atau yang rajih untuk menetapkannya, maka dalil yang mungkin dipakai sebagai dalil sudah cukup untuk menguatkannya. Artinya suatu dalil yang dimungkinkan itu dapat dijadikan dalil pendukung bagi dalil asli yang qath'i atau rajih. Pembaca dapat memperhatikan bahwa beberapa nash yang dijadikan dalil untuk sesuatu perkara bersifat dimungkinkan. Sementara kaidah mengatakan bahwa apabila maksud suatu nash yang dijadikan dalil bersifat dimungkinkan (muhtamal), maka hal itu tidak dapat dijadikan dalil. Karena itu, yang dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hukum hanyalah nash-nash yang dalil/ maksudnya adalah yang qath'i atau rajih. Sedangkan nash-nash yang lain dari itu hanya dapat dijadikan pelengkap kajian sosial.

Sesungguhnya setiap perbuatan dari perbuatan-perbuatan orang yang mukallaf mengandung sisi substansi dan formalitas. Sisi substansial tercermin dalam berbagai bentuk penerapan yang dipengaruhi oleh lingkungan, situasi, tempat, dan waktu sehingga sisi ini sangat perlu dipahami. Sesuatu yang mubah harus senantiasa berada dalam kemubahannya; dan sesuatu yang haram, harus terus berada dalam keharamannya. Adapun bentuk-bentuk penerapan yang substantif ini, seperti yang telah kita katakan, terus berkembang. Meskipun terjadi berbagai macam perubahan, semuanya tetap berpegang pada hukum yang substantif tersebut. Pengetahuan atas perbedaan masalah ini penting sekali dan membantu kita dalam menerima dan mengetahui bentuk-bentuk penerapan baru, misalnya dalam masalah pendidikan wanita, tugas wanita, atau kegiatannya dalam bidang sosial dan politik. Semua permasalahan itu mengandung substansi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang mulia. Namun, apakah bentuk-bentuk penerapan yang berlaku pada zaman Nabi saw. mengandung pewajiban bahwa kita harus terpaku pada bentuk penerapan seperti itu dan tidak boleh melangkahinya? Ataukah kita harus mempertimbangkan faktor-faktor baru yang berpengaruh, maksudnya gejala-gejala sosial baru, lalu bentuk-bentuk penerapannya kita format ulang berdasarkan gejala-gejala baru tersebut?

Dalam hal ini, penulis sudah berusaha memantau gejala-gejala sosial baru yang berpengaruh terhadap kegiatan wanita dan hubungannya, baik dalam keluarga atau dalam bidang profesi, sosial dan politik. Begitu juga gejala-gejala yang berpengaruh terhadap pakaian wanita dan perhiasannya. Semua itu dimaskudkan agar wanita muslimah dapat menyesuaikan diri secara benar dan dapat bermasyarakat secara modern sambil tetap berpijak pada substansi yang telah digariskan agama. Dengan demikian dia senantiasa konsisten terhadap perintah Allah.

Adapun tujuan kajian sosial yang bernuansa fiqih ini --dan yang menerangkan dengan jelas sekali bagaimana keikutsertaan wanita dalam kehidupan sosial pada zaman kerasulan-- adalah dalam rangka ikut ambil bagian memberikan gambaran agar wanita-wanita muslimah modern dapat mengikuti langkah-langkah atau aktivitas wanita-wanita zaman kerasulan dengan pedoman petunjuk Nabi saw.

Tujuan tersebut mengalihkan perhatian penulis pada sebuah masalah besar dan penting yang menuntut kerjasama serta pengorbanan kalangan ulama dan cendekiawan, yaitu masalah emansipasi atau pembebasan pemikiran muslim modern. Dalam arti membebaskannya dari belenggu raksasa, ukuran-ukuran palsu, dan pemikiran-pemikiran rusak yang telah menguasainya selama beberapa kurun waktu sehingga dia menjadi lemah dan cacat. Jika pemikiran umat Islam modern sudah bebas dari semua belenggu tersebut, segala aktivitas dan pekerjaannya senantiasa sesuai dengan pancaran hidayah Ilahi. Pembebasan pemikiran umat Islam merupakan jalan satu- satunya menuju kebebasan yang sempurna dan murni bagi wanita dan laki-laki muslim secara sekaligus. Bahkan, hal tersebut merupakan jalan satu-satunya menuju restrukturisasi masyarakat secara keseluruhan berdasarkan sendi yang benar dan kuat. Akal atau pikiran adalah pengarah/motor bagi gerakan manusia. Jika pemikiran atau akal seseorang bebas dan mendapat petunjuk, dia akan bergerak dengan bebas ke arah yang benar berdasarkan petunjuk dan arahan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Masalah ini merupakan induk dari segala permasalahan. Setiap cacat yang terjadi akan menimbulkan kerusakan yang fatal terhadap pola berpikir seorang muslim yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan umum yang meliputi semua aspek kehidupan.

C. METODE PENULISAN BUKU

Metode yang dipakai dalam penulisan buku ini diawali dengan membaca secara cermat nash-nash Al-Qur'an dan nash-nash hadits yang sahih. Mulai terbetik dalam pikiran untuk mengikuti pola seperti itu sejak saya menggali hadits-hadits sahih Muslim ketika melaksanakan proyek pengkajian Sirah Nabawiyah melalui buku-buku Sunnah seperti yang telah saya sebutkan sebelum ini. Saya memulainya dari Shahih Bukhari dengan mempelajari nash-nash yang berkaitan dengan wanita mengenai setiap aspek dari berbagai aspek kehidupannya, kemudian Shahih Muslim, dan diteruskan dengan mempelajari kitab-kitab sunnah yang banyak beredar, sehingga saya menamatkan sebanyak empat belas kitab, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa'i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, Zawa'id Shahih Ibnu Hibban, Musnad Ahmad, Mu'jam ath-Thabrani yang tebal, sedang, dan tipis, Musnad al-Bazzar, serta Musnad Abu Ya'la. Enam buku yang disebutkan terakhir penulis telaah dalam kitab Majma'uz Zawa'id Wa Manba'ul Fawa'id, yaitu satu kitab yang di dalamnya al-Hafizh al- Haitsami mengumpulkan nash-nash tambahan yang tidak terdapat dalam enam buku pertama, (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah).

Pembacaan nash Sunnah secara cermat tidak berarti merupakan batasan cukup untuk tidak membaca nash-nash Kitabullah sebab Kalamullah Ta'ala merupakan sumber pertama yang mempunyai keagungan dan kebesaran, serta memiliki kepadatan kandungan yang membuat setiap orang tertegun untuk memikirkan makna setiap ayatnya. Setelah keseluruhan ayat tersebut saya telaah, rasanya tidak hanya cukup satu kali untuk membacanya. Karena itu, saya ulang dan ulang lagi sehingga hasilnya, alhamdulillah, cukup baik.

Tekad saya pertama kali adalah agar buku ini mencakup nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan buku-buku Sunnah Rasulullah saw. sebagaimana yang telah saya isyaratkan sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, saya membuat beberapa pasal. Namun, kemudian saya memutuskan untuk tahap pertama ini cukup dengan nash-nash dari Kitabullah, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim saja, karena beberapa pertimbangan berikut:

  1. Faktor waktu; alangkah baiknya jika bisa segera mempersembahkan topik penting seperti ini kepada umat. Walaupun menyegera, saya ingat bahwa untuk menghasilkan karya yang memuaskan tentu dibutuhkan tenaga dan waktu yang berlipat ganda, karena sanad hadits-hadits itu pun harus diteliti.
  2. Faktor memberi kemudahan bagi pembaca dengan pertimbangan bahwa satu jilid untuk setiap pembahasan dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam satu buku tentu lebih ringan daripada beberapa jilid.
  3. Faktor penghargaan dan kepercayaan terhadap apa yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kedua kitab tersebut mendapat tempat khusus dalam hati setiap insan muslim, karena keduanya mengandung hadits-hadits sahih dan tidak memuat hadits-hadits dha'if. Kedua kitab tersebut merupakan kitab paling dipercaya setelah Kitabullah. Dengan demikian, pembaca dapat meyakini sepenuhnya kesahihan nash-nash yang dimuat dalam buku ini.

Singkatnya, saya mengambil keputusan untuk menerbitkan buku ini dalam dua tahap. Tahap pertama --hasilnya seperti yang ada di tangan para pembaca sekarang-- terbatas pada nash-nash tertentu yang bersumber dari Kitabullah serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kadang-kadang pembahasan ini keluar juga dari kedua kitab sahih tersebut, tetapi dalam masalah-masalah yang sangat terbatas, misalnya jika dalil-dalil penjelasan untuk masalah tertentu tidak ditemukan di dalam kedua kitab sahih tersebut. Dan kadang-kadang saya juga menyebutkan beberapa alasan yang bersumber dari luar kedua kitab sahih tersebut dengan tujuan untuk lebih memperjelas keterangan. Bersamaan dengan itu saya upayakan sedapat mungkin untuk mengkaji pendapat-pendapat ulama yang pakar dalam bidangnya untuk mengetahui sejauh mana keabsahan sanad nash-nash yang dikutip. Saya lebih mendahulukan nash riwayat Bukhari dalam kondisi riwayat kedua imam hadits ini. Dan dalam kondisi yang terbilang jarang, penulis memilih nash riwayat Muslim karena saya lihat maksudnya yang lebih jelas. Dalam kondisi seperti ini saya tegaskan bahwa riwayat tersebut dikeluarkan oleh Muslim.

Pada tahap kedua --insya Allah-- nash-nash dari Kitabullah akan mengambil porsi lebih besar dibandingkan nash-nash dari kitab-kitab Sunnah yang asli. Saya memohon kepada Allah semoga karya ini benar-benar ikhlas karena-Nya, diterima di sisi-Nya, dan bermanfaat bagi pembaca. Allah adalah sebaik-baik tempat memohon dan menyampaikan keinginan.

Konsep umum dari buku ini adalah mengetengahkan nash-nash yang dapat dijadikan dalil bagi topik-topik pembahasan sebagai mana telah saya sebutkan sebelumnya. Maksud dan tujuan nash-nash tersebut jelas sekali karena secara umum merupakan nash-nash yang bersifat praktis dan operasional sehingga kita tidak perlu bersusah payah membuang energi untuk menyimpulkan maksudnya. Setiap orang yang mempunyai sedikit latar belakang ilmu syariat pasti mampu memahami maksudnya. Meskipun demikian, kadang-kadang saya tetap berusaha menyebutkan pendapat beberapa ahli fiqih yang secara umum saya saring dari keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar terhadap Shahih Bukhari (Fathul Bari) yang benar-benar merupakan enskilopedia hadits dan fiqih. Pengutipan pendapat dan ucapan para ulama itu bertujuan untuk menetapkan bahwa dalil nash yang saya pahami dan yang merupakan dasar pengelompokan tematis bukanlah sesuatu yang aneh. Hal itu sudah biasa dilakukan oleh ulama-ulama besar sebelumnya.

Sehubungan dengan pengutipan pendapat-pendapat ulama tersebut, perlu pula dijelaskan bahwa saya hanya mengutip pendapat satu dari sekian banyak ulama untuk lebih menegaskan pendapat saya mengenai dalil suatu nash. Saya tidak mengutip pendapat semua ulama, baik yang bersifat pro ataupun kontra karena hal itu hanya akan menambah panjangnya permasalahan serta berlawanan dengan konsep penulisan yang saya pilih untuk buku ini. Bahkan tidak mustahii juga hal seperti itu menggiring saya pada konsep lain yang mengarah pada studi perbandingan terhadap pendapat-pendapat ulama, kemudian memilih mana yang lebih kuat dari pendapat-pendapat tersebut. Hal seperti itu menuntut dilakukannya kajian fiqih yang mendalam, bukan kajian sosial yang menghimpun nash-nash yang bersumber dari Kitabullah serta Shahih Bukhari dan Muslim. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih luas perbedaan pendapat ahli fiqih, silakan melihat kitab-kitab syarah dan buku-buku fiqih yang tebal. Kemudian perlu pula diketahui bahwa hampir tidak ditemukan suatu masalah dalam fiqih yang tidak diwarnai oleh perbedaan pendapat ulama. Soal perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah furu' sudah merupakan perkara yang lazim dan sudah diakui. Tapi yang penting menurut konsep buku ini adalah menciptakan rasa tenteram bagi pikiran dan hati seorang muslim, yaitu dengan membaca dalil-dalil syariat dalam nashnya yang asli serta menguatkan. Pendapat yang didukung oleh nash-nash syariat adalah pendapat yang bisa dijadikan pegangan dalam kondisi terjadinya perbedaan pendapat.

Alhamdulillah, dengan mengikuti konsep ini telah berhasil diwujudkan semacam pengelompokan tematis terhadap nash-nash yang berkaitan dengan wanita dalam Al-Qur'an serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Saya menganggap buku ini sebagai langkah konkret dalam dakwah ke arah pengelompokan baru terhadap nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw. sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan umat Islam yang terus berkembang. Di antara kebutuhan tersebut adalah bidang humaniora, seperti ilmu jiwa, sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik. Begitu pula halnya dengan kasus-kasus dan aneka problematika modern seperti kasus-kasus wanita, kesetiakawanan sosial, konsep pembaruan, dan perubahan. Yang lebih penting daripada semua itu adalah pola berpikir muslim. Masalah ini pantas sekali didukung dan mendapat perhatian khusus, sebab hal ini menuju karya sistematis baru yang membantu terwujudnya apa yang dinamakan ijtihad yang dibutuhkan dalam bidang fiqih dan pembaruan yang didambakan untuk kepentingan agama yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Berkat karunia Allah, akhir-akhir ini, usaha pengelompokan tematis terhadap nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah banyak mendapat perhatian kalangan ulama. Juga merupakan karunia Allah bagi umat Islam bahwa Dia telah memberikan jaminan akan memelihara Kitab-Nya sebagaimana memelihara Sunnah Nabi-Nya yang merupakan penjelasan bagi Kitabullah yang telah dan akan terus dipelihara pada derajat yang paling tinggi sesuai dengan perlindungan yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya ini:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (al-Hijr: 9)

maka Sunnah dengan izin Allah SWT dijaga oleh kaum muslimin dengan penuh perhatian dan mereka korbankan segala tenaga untuk menjaga kemurniannya. Allah mengaruniai mereka ilmu yang sistematis sehingga menjamin terpeliharanya keabsahan sanadnya sepanjang masa. Karunia yang diperuntukkan bagi umat Islam ini sungguh merupakan hikmah yang luar biasa dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Jika dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya, kitab-kitab mereka telah mengalami perubahan dan penggantian. Kemudian Sunnatullah menghendaki untuk memilih nabi baru atau menurunkan kitab baru guna meluruskan kembali ajaran-ajaran petunjuk Ilahi. Setelah umat Islam memikul misi agama penutup dan tidak ada lagi nabi setelah Muhammad saw., lantas Allah memelihara pokok-pokok agama ini sehingga manusia kembali kepadanya setiap saat sampai hari kiamat. Hal itu dilakukan jika mereka berminat mengikuti petunjuk Allah yang nyata dan tidak menganggap masalah agama sebagai benda pusaka yang diwarisi secara turun- temurun oleh anak cucu dari orang tua dan nenek moyang mereka sebagaimana adanya serta iidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh umat-umat terdahulu:

"... Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka." (az-Zukhruf: 22)

Saya kira, umat Islam yang menghargai sepenuhnya karunia Allah berupa pemberian jaminan pemeliharaan pokok-pokok agama mereka, pantas sekali untuk kembali setiap saat pada pokok-pokok agamanya, serta menjadikannya sebagai pedoman dan acuan hukum karena Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisa': 59)

Saya berharap kiranya segala tenaga yang dikorbankan melalui buku ini dengan izin Allah dapat membantu umat Islam dalam mengembalikan masalah-masalah wanita pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.

(sebelum, sesudah)


Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah)
Abdul Halim Abu Syuqqah
Penerjemah: Drs. As'ad Yasin
Juni 1998
Penerbit Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

Indeks Islam | Indeks Wanita | Indeks Artikel | Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team

| Tentang Pengarang
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team