|
VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD
A. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di
antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil,
seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan
'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang naik
meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti
tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti
'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu
bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib
(bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh
sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara
mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti
ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul
furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat
setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam
keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan
dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal
ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6
(setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula
halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat
berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu
Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan --sebagai
salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak
pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa
khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang
yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul)
adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh
yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti
berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua
orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu
faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah
(1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua
per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah
melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut
tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta
waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara
kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang
menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia
berkata: "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara
kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan.
Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung
perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya.
Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak
kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan
berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian
mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah
saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan
kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran
Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh
akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut,
dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini
sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat dan
Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh.
Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat
tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam
(6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan
pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu
dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang
wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu
(1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti
mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak
menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan
ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan
sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok
masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah
dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri,
saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1)
bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara
saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan,
dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang istri, anak perempuan, dan saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8)
berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat
bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima
sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam
contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya tidak dapat
di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan
bagian para ashhabul furudh.
Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka
pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6),
dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga
pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat
tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat
di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik
menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari
angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya
dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat
dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka
ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12)
hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15),
atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka
dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat
di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun
hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di
kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah
al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita
terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu kita
simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
- Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak
perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian,
bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian
anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian,
sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per
tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada
'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam
(6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian
saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga,
sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6)
berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian
yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah
enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian,
jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara
kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu
seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung
perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara
perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila
demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok
masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu,
asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan.
Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan
istilah al-mubahalah.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua
orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara
laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok
masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti
tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung
perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan
bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok
masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan
menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan
pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan
masalah marwaniyah.
- Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua
orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti
tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang
saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat,
sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi
pokok masalahnya, yaitu enam banding sepuluh (6:10). Karena
itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam
menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua
belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi
tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17).
Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
- Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua
orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12).
Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu
seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua
orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3)
berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi
pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus
dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai
dengan jumlah bagian yang ada.
- Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu,
seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara
perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua
belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga,
ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara
kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam
bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam
(1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua
bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam
(1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok
masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok
masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
- Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri,
dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah,
dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas
(12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4)
berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah
seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan
saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti
delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan
seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian
ashhabul furudh telah melampaui pokok masalahnya, yakni
tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok
masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh
belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah
saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka dua
puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada
dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah
al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin
Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas
mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat
(24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian,
ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri
mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak
perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian,
sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki
mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga
(2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah
bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul furudh
melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus
meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah
bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh.
Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini
pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi
angka dua puluh tujuh.
Catatan
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat
ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2)
dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan
sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing
berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok
masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat
ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3)
dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang
satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang
lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari
tiga (3), dan tidak ada 'aul.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat
ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4)
dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang
satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain
berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya
dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
- Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat
ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8)
dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang
satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya
setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak
ada 'aul.
|