|
VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN
MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi
kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat
mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga
pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau
melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini
di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil,
yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal
ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui
pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid
tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar
(maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan,
penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu
kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus
mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya
termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh,
atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari
'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika
semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan
sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya
dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak
laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita
hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala.
Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak
laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya
juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima
orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok
masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit
meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki,
maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari
ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan
saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua
(2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara
kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat
dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya
masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga
(1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya
seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok
masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris
terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu jenis,
misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya-- kita harus mengalikan dan mencampur antara
beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang
mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling
berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah
yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah
ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami
pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib
fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua
bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4),
dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3),
dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian
yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok
masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila
dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah
(1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat
(4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya
terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan
seperdelapan-- maka pokok masalahnya dari delapan (8).
Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri
dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau
dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok
masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian
dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka
penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya
bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan
1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan
kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah
yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah
(1/2) --yang merupakan kelompok pertama-- bercampur
dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya,
maka pokok masalahnya dari enam (6).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat
(1/4) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan
seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua belas (12).
- Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan
(1/8) yang merupakan kelompok pertama-- bercampur dengan
seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya
utarakan beberapa contoh. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman
kandung. Maka pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat
setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu
sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan
mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima
bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak
berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok
pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam
(1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah
yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam.
Lihat diagram:
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
|
3
|
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1
|
Ibu sepertiga (1/3)
|
2
|
Paman kandung, sebagai 'ashabah
|
0
|
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu,
dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara
laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian
istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara
laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung
laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian
seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan
seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan
kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut
merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan
bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara
laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4))
|
3
|
Ibu seperenam (1/6)
|
2
|
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
|
4
|
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah
(sisanya)
|
3
|
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan
saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai
berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan
setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga
(2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara
kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat
sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara
seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam
(1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang
ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat
(24). Berikut ini tabelnya:
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)
|
berarti
|
3
|
Bagian anak perempuan setengah (1/2)
|
berarti
|
12
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam
(1/6)
|
berarti
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah
(sisa)
|
|
1
|
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok
masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari
enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau
setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x
6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka
tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya
kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian
kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna.
Begitulah seterusnya.
|