|
D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham
- Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul
fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi
sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka
secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli
waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih
didahulukan dibandingkan dzawil arham.
- Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan
mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak
ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka
para 'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada,
setelah diambil hak para shahibul fardh.
Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami
atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara
fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab
kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah
kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris
akan diberikan kepada dzawil arham.
Beberapa Catatan Penting:
Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan)
seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima
seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan
salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima
sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka
pembagiannya sebagai berikut:
- Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya,
pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari
keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari
keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah
cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya.
- Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat
kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan
adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul
fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan anak
perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara
kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan kekerabatan
dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada
pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari
keturunan anak perempuan melalui dzawil arham.
- Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris
sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat
kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan anak perempuan dari saudara kandung
laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan
dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan kandung),
maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan
keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris
menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan
kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
- Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka
pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli
waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan
dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak
paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan
dari anak paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi
lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri
keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi
secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki
derajat yang sama dari segi kekerabatan.
Catatan lain
Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini
ialah bahwa dalam pemberian hak waris terhadap para dzawil
arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian
perempuan, seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah,
sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau
saudara perempuan seibu.
Penutup
Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham
menurut mazhab ahlul qarabah yang merupakan mazhab imam Ali
bin Abi Thalib r.a. dan para ulama mazhab Hanafi. Pendapat
ini banyak diterapkan di sebagian negara Arab dan negara
Islam lainnya.
Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai
perbedaan tentang cara pembagian masing-masing kelompok
tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad
(keduanya murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun,
saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan bertele-tele
dan menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki
pengetahuan lebih luas dalam masalah ini dapat merujuknya
pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang
banyak diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil
sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut oleh ulama
muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi
pengamalannya memang lebih mudah.
|