|
Sebagaimana pemikir Yunani, bagi para pemikir politik
Islam, politik terkait dengan etika. Bedanya, jika pemikir
Yunani membicarakan keterkaitan itu dalam wilayah filsafat
moral, pemikir politik Islam mendiskusikannya dalam naungan
teologi.1 Ini
indikasi, bahwa bagi Islam persoalan politik tidak terpisah
dengan persoalan agama.2
Sejarah politik Islam sarat dengan tarik-menarik antara
persoalan politik murni dengan keyakinan teologi. Beberapa
aliran teologi besar diduga kuat lahir dari persoalan
politik; dan pergantian pemimpin politik biasanya diwarnai
isu aliran teologi. Inilah yang kemudian melahirkan
"teo-politik".3
Persoalan tidak berhenti di situ. Persoalan berikutnya, dan
ini sangat elementer, adalah apakah Islam sesungguhnya
mengenal sistem politik.4
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memicu sejumlah
persoalan baru. Semua persoalan itu, kalau dipadatkan dan
ditarik intinya, maka akan tampak bahwa semua kembali kepada
pertanyaan besar: apakah Rasul - sebagai pemimpin politik -
telah menunjuk penggantinya atau tidak?
Jika menengok ke belakang, pada masa antara wafatnya
Rasul dan menjelang terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah,
tepatnya kalau perhatian dipusatkan kepada sebuah
"balairung" Saqifah Bani Sa'idah, akan tampak sebuah
kenyataan sejarah yang, mungkin tanpa pernah disadari
sepenuhnya oleh mereka yang hadir di Saqifah, berakibat
panjang dan masih (sangat) terasa dalam kehidupan
keberagamaan. Sejarah Saqifah adalah bagian penting dari
sejarah politik Islam.5
Pada konteks inilah bisa dijelaskan antusiasme beberapa
pakar untuk menulis dan mendiskusikan akar politik Islam
itu, yakni peristiwa Saqifah, atau tepatnya proses suksesi
sepeninggal Nabi. Ali Syari'ati termasuk di antara pakar
yang mengetahui arti sebuah sejarah.6
Lewat karyanya Al-Ummah wa al-Imamah,7
Syari'ati membaca ulang proses peralihan kepemimpinan dari
Nabi Muhammad Saw ke Abu Bakar. Syari'ati mencoba menembus
batas-batas aliran politik dan justifikasi syari'ah - serta
menukik ke dalam semangat tasamuh (toleransi) yang luar
biasa, tanpa musti menodai keyakinannya. Ia tidak terjebak
pada klaim yang dilancarkan kaum Sunni dan Syi'ah dalam
masalah yang sangat sensitif ini.
Hasil bacaan ulang Syari'ati terhadap peristiwa Saqifah
amatlah menarik. Hal ini karena pisau sosiologis yang
dikedepankannya membuat ia berbeda dengan pakar lain yang
"terpaku" pada nash-nash dan doktrin mapan lainnya. Urgensi
melihat bacaan ulang Syari'ati terletak pada usahanya untuk
menurunkan "derajat" pembahasan dari sesuatu yang bersifat
transenden - dan karenanya menimbulkan efek yang masih
dirasakan sampai kini - kepada kajian yang bersifat profan
dan realis.
Tulisan ini ingin menengok ke belakang, ke masa silam dan
mengurai pokok-pokok pikiran Syari'ati tentang Imamah, yang
berujung pada hasil bacaan ulang Syari'ati terhadap
peristiwa Saqifah. Selanjutnya akan dikemukakan analisis
kritis berupa pengujian sosio-historis terhadap argumen
Syari'ati dan pada bagian akhir, lewat fiqih
siyasah,8 penulis
mencoba membaca ulang peristiwa Saqifah tersebut.
Proses Terpilihnya Abu
Bakar
Nabi Muhammad adalah pemimpin agama dan politik
sekaligus. Ia adalah Nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada
Nabi lagi sepeninggalnya.9
Artinya, posisi sebagai pemimpin agama (setingkat Nabi)
tidak mungkin ada yang meneruskan, tetapi sebagai pemimpin
politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan
diteruskan oleh sahabatnya. Pertanyaannya: siapa yang
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya,
dan bagaimana caranya?
Wafatnya Rasul membuat Madinah bising oleh tangisan. Umat
pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian
sahabat terkemuka rupanya telah memikirkan hal itu dan
berkumpul di "balairung" Saqifah di perkampungan Bani
Sa'idah.10 Yang
mula-mula berkumpul di sana adalah golongan Anshar: Khazraj
dan Aus.11
Umar rupanya Mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu
Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan. Umar berkata,
"saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di
Saqifah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa'ad bin
Ubaidah (dari suku Khazraj) untuk menjadi pemimpin. Bahkan,
di antara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang
pemimpin dan dari Quraish seorang pemimpin (minna amir wa
minkum amir)." Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan
yang tak pelak akan menggoyang "bayi" umat Islam.
Setelah mengerti betapa gawatnya persoalan, Abu Bakar
mengikuti Umar ke Saqifah. Di tengah perjalanan keduanya
bertemu Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan ia diajak ikut serta.
Ketika mereka tiba telah hadir terlebih dahulu beberapa kaum
Muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum
Anshar. Umar, yang menyaksikan di depan matanya bahwa
Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah,
hampir-hampir tidak kuasa menahan amarahnya. Setelah
mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara
dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah
bersabda, "Al-Aimmah min Quraish (kepemimpinan itu berada di
tangan suku Quraish)."12
"Kami pemimpin (umara) dan kalian "menteri"/pembantu
(wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraish dan
jangan kalian mendahuluinya."
Abu Bakar tidak lupa mengingatkan kepada kaum Anshar
tentang sejarah pertentangan Khazraj dan Aus yang kalau
meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin)
akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian
Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraish, Umar dan Abu
Ubaidah. Kearifan Abu Bakar dalam berbicara - di tengah
suasana penuh emosional - rupanya mengesankan mereka yang
hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan kepada
mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar diminta oleh Nabi
untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat kalau Nabi
sakit. Umar dan Abu Ubaidah segera akan membai'at Abu Bakar
tetapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa'ad, seorang tokoh
Khazraj Kemudian yang hadir di Saqifah semuanya membai'at
Abu Bakar.13
Keesokan harinya Abu Bakar naik mimbar dan semua penduduk
Madinah membai'atnya.
Abu Bakar resmi menjadi Khalifah
ar-Rasul.14
Kemudian ia pun berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli
sejarah dianggap sebagai suatu statemen politik yang amat
maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat "modern"
(partisipatif-egaliter).15
Benarkah semua sahabat membai'at Abu Bakar? Ternyata
tidak.16 Dari
yang hadir di Saqifah, Sa'ad bin Ubaidah tidak membai'at Abu
Bakar dan tidak pula ikut shalat jama'ah bersamanya. Di
antara penduduk Madinah yang tidak hadir di Saqifah dan
tidak membai'at Abu Bakar adalah Fatimah az-Zahra. Ali bin
Abi Thalib dan Bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai'at
sampai enam bulan kemudian, setelah wafatnya Fatimah
az-Zahra.
Ketika diberitahukan kepada Imam Ali r.a. tentang
peristiwa yang telah terjadi di Saqifah bani Sa'idah setelah
Rasulullah wafat, ia bertanya:
"Apa yang dikatakan kaum Anshar?"
"Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan
kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian
sebagai pemimpin !"
"Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa
Rasulullah Saw telah berpesan agar berbuat baik kepada
orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa di
antara mereka yang berbuat salah," tanya Imam Ali lagi.
"Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti
itu?"
"Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini,
niscaya Rasululullah Saw tidak perlu berpesan seperti itu
tentang mereka."
Kemudian Imam Ali bertanya:
"Lalu apa yang dikatakan orang Quraish?"
"Mereka berhujjah bahwa Quraish adalah pohon'
Rasulullah Saw."
"Kalau begitu, mereka telah berhujjah dengan
pohonnya' dan menelantarkan
buahnya'."17
Imamah Dalam Pandangan Ali
Syari'ati
Syari'ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu
menerangkan makna ummah. Ia membandingkan istilah nation,
qaum, qabilah dan sya'b dengan ummah. Baginya, keempat
istilah itu - dengan pengecualian pada istilah qabilah -
sama sekali tidak mengandung arti kemanusiaan yang dinamis.
Hanya saja, kelebihan istilah qabilah ditemukan pula pada
istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih memiliki
kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia
mempunyai gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam
istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu
justru merupakan landasan ideologis.
Istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep:
kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan
tujuah tersebut; dan keharusan adanya pimpinan dan petunjuk
kolektif. Dari kajian filologi ini, Syari'ati memandang
bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummah tanpa
imamah.18 Apa
karakteristik imamah itu? Sebagaimana istilah ummah, istilah
imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana
seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan
pendinamisan massa. Yang pertama berarti menguasai massa
sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan
kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan
bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan
perubahan ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring
massa dan pemikiran mereka menuju bentuk
ideal.19
Syari'ati memandang umat dan imam dalam kondisi yang
dinamis, yang selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan
bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan
penting dari Imamah adalah perwujuan dari penegakan asas
pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan
transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu
melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju
kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu
terhadap ketenangan dan kenyamanan.20
Dalam kalimat lain namun senada ia menulis, "Imamah dalam
mazhab pemikiran Syi'ah adalah kepemimpinan progresif dan
revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik
lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan
menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam
mengambil keputusan."21
Tugas imam, di mata Syari'ati, tidak hanya terbatas
memimpin manusia dalam salah satu aspek politik,
kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada
masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir
atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada
umat manusia dalam semua aspek kemanusiaan yang
bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak
terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di
setiap saat dan hidup selamanya.22
Walaupun demikian, Syari'ati mengingatkan bahwa imam
bukanlah supra-manusia tetapi manusia biasa yang memiliki
banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia
super.23
Jika demikian agung dan tinggi hakikat imam, kemudian
bagaimana cara pemilihan imam itu? Syari'ati bertanya,
"apakah imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan,
ataukah berdasarkan penunjukkan dari Nabi Saw atau imam
sebelumnya?" Syari'ati mengajukan sebuah jawaban, "jawabnya
- secara teoretis - adalah negatif untuk ketiga-tiganya ..."
Dalam alinea lain, ia menjelaskan bahwa imam adalah suatu
hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang.
Sumbernya adalah dari diri imam itu sendiri, dan bukan dari
faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. "Dia
adalah seorang imam" lanjut Syari'ati, "tak peduli apakah ia
muncul dari penjara al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul,
baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui
keagungannya oleh tujuh atau delapan kelompok orang
saja."24
Syari'ati menyimpulkan, "... imamah tidak diperoleh melalui
pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang.
Artinya, masyarakat - yang merupakan sumber kedaulatan dalam
sistem demokrasi - tidak terikat dengan imam melalui ikatan
pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan
kenyataan yang ada (pada imam tadi). Mereka bukan
menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya
(sebagai seorang imam)."25
Jika logika Syari'ati di atas diteruskan, maka
persoalannya apakah ada pemisahan lapangan kerja antara imam
(yang diakui) dengan khalifah (yang dipilih)? Syari'ati
menolak pandangan ini karena akan bermuara kepada pemisahan
antara agama dan negara. Kendati demikian, itu selalu
identik dengan imamah. Baginya, Imamah terbatas hanya kepada
pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengann nubuwah,
sedangkan pemerintahan tidak terbatas pada masa, sistem dan
orang-orang tertentu. Satu-satunya garis pemisah yang
ditegaskan Syari'ati adalah, "pemerintahan (khilafah) itu
merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah,
sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa maupun orangnya.
Dengan mengabaian perbedaan tadi, imamah dan khilafah
sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk
mencapai satu tujua dengan satu keterbatasan, seperti telah
dikemukakan di atas, di mana seorang penguasa tidak
selamanya seorang imam."26
Dalam hubungannya dengan peristiwa Saqifah, ada dua
persoalan besar dari alur logika Syari'ati di atas. Pertama,
bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada pada masa
yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh
Allah atau Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima
oleh umat manusia, kemudian diangkat sebagai imam untuk
memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia dipilih
oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan
umum?
Dalam pandangan Syari'ati hubungan khalifah dengan imam
yang ada pada satu masa merupakan bentuk hubungan seorang
pemimpin spiritual, politik dan sosial dengan penguasa,
sebagaimana halnya yang ada pada hubungan antara Gandhi
dengan Nehru. Bentuk seperti ini, di mata Syari'ati, adalah
bentuk yang wajar, dan pemisahan antara kedua tugas tersebut
dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan
dan kehormatan imam.
Sepintas memang jawaban Syari'ati bertentangan dengan
tidak setujunya ia pada pemisahan kerja khilafah dan imamah,
yang menurutnya akan bermuara pada pemisahan antara politik
dan agama. Dapat dijelaskan bahwa bagi Syari'ati, pemisahan
antara urusan politik atau negara dan agama bukan produk
Islam, tetapi produk sejarah Islam yang terpengaruh
nilai-nilai nasrani. Pada mulanya, seorang pemimpin
mengurusi masalah politik dan agama sekaligus. Ia bagaikn
Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi imam
sholat. Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya
pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam
bentuk aplikatif. Dan ini tidak disetujui oleh
Syari'ati.27
Ini dipersulit dengan terjadinya pemisahan keduanya dalam
ruang dan waktu yang berbeda. Terjadi pula pereduksian
peranan imamah dan khilafah dalam sejarah Islam, lalu
masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit.
Adapun yang dimaksud Syari'ati dengan pemisahan khilafah
dan Imamah (atribut/sifat) di atas adalah pada tataran
realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu
kelompok yang lain memilih orang lain untuk menjadi
khilafah. Di sini perlu diingatkan bahwa, bagi Syari'ati,
imamah bukanlah jabatan tetapi atribut (sifat). Penunjukan
atas orang lain sebagai khilafah di saat adanya imam, dapat
disejajarkan dengan penerimaan terhadap seorang Nabi sebagai
seorang Rasul - seperti yang diberlakukan pada Yesus - dan
menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa
Arab atau kaum muslim Emperor Islam, sebagaimana halnya
dengan Kaisar.28
Bagi Syari'ati, dalam ajaran Islam tidak dikenal
pemisahan urusan negara atau politik dengan agama. Jika
terjadi pada satu masa adanya imam dan adanya Khalifah maka
hubungan yang terjadi adalah bagaikan hubungan Nehru dan
Gandhi. Imam meski diam di rumah tidak berarti ke-imam-annya
hilang, karena imam adalah atribut (sifat); tanpa melewati
pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan tugas seorang
imam - meski tidak dipilih sebagai khalifah - tetaplah
ada.
Berbeda dengan konsep sekular yang betul-betul
menghendaki pemisahan antara negara dan agama; dalam konsep
Syari'ati, kalau pun harus terjadi - adanya imam dan
khalifah dalam satu masa - maka yang ada adalah adanya
pemimpin politik dan pemimpin spiritual. Apabila kemudian
imam terpilih sebagai khalifah (melalui pemilihan), seperti
yang terjadi pada Imam Ali dan Imam
Hasan,29 maka
bukanlah hal yang tabu bersatunya pemimpin politik dan
pemimpin spiritual dalam diri satu pemimpin. Ini yang tidak
mungkin terjadi dalam konsep sekular karena pemimpin
spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah jabatan
tersendiri.
Berangkat dari tesis bahwa imam adalah sifat (atribut),
ketika yang bukan imam menjadi khalifah maka bukannya hak
imam yang terampas; tetapi yang terampas adalah hak umat
manusia.30
Seorang imam tetap menjadi imam meskipun ia tidak
menjalankan kekuasaan duniawi. Yang terampas haknya (dari
memperoleh manfaat atas kehadiran imam) adalah makmum.
Adalah hak umat untuk mendapat bimbingan dari imam dan bila
ada "rekayasa" maka yang paling merugi adalah umat; karena
umatlah yang terampas haknya.
Persoalan kedua sesungguhnya bermuara pada dua prinsip;
pengangkatan dari Tuhan dan ijma' umat Islam. Sejarah telah
menjelaskan bahwa Syi'ah cenderung pada prinsip pertama dan
Sunni cenderung pada prinsip kedua. Syari'ati menyerang
prinsip kedua yang oleh Sunni dianggap telah menjadi unsur
penting pada peristiwa Saqifah. Syari'ati sempat "terbang"
ke Konferensi Asia Afrika di Bandung, menyebut Jenderal De
Gaul dari Maroko, mengutip Profesor Chandle yang mengatakan,
"musuh demokrasi dan kebebasan yang paling besar adalah
demokrasi, liberalisme, dan kebebasan individu itu sendiri",
menyerang dunia Barat atas kecurangan mereka dalam
memperkenalkan demokrasi, menyerang Robert Kennedy, revolusi
kebudayaan di Cina dan revolusi Perancis. Syari'ati menyebut
semua itu untuk menyerang demokrasi dan pemilihan pemimpin
dengan suara terbanyak.31
Setelah "berbusa-busa" berbicara tentang banyak hal,
Syari'ati mulai menyinggung peristiwa Saqifah. Menurutnya,
dengan mengabaikan polemik nash-wasiat, di satu sisi, dan
syura-bai'at, di sisi lain, dalam peristiwa Saqifah hanya
ada lima suara: dua suara dari kabilah Aus dan Khazraj, tiga
suara dari Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah
bin al-Jarrah. Itu pun dengan catatan apabila pemimpin
kabilah Aus, Sa'id bin Mu'adz, sudah tidak ada lagi, maka
otomatis Sa'ad bin Ubaidah, pemimpin Khazraj, menjadi
pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Mekah -
yang terakhir ini disebut Syaria'ti telah memiliki kesadaran
politik tinggi, sebagaimana terbukti pada akhirnya, di mana
mereka (kelompok Mekah) tahu betul apa yang sedang mereka
hadapi, dan bagaimana pula seharusnya
bertindak.32
Syari'ati bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan
penduduk Madinah hanya ditemukan oleh lima suara, yang
berarti mengabaikan ratusan suara lainnya, dalam peristiwa
Saqifah.
Bagi Syari'ati, sesungghunya prinsip bai'at-syura dan
nash-wasiat tidaklah bertentangan sama sekali dan tidak pula
ada di antara keduanya yang merupakan bid'ah dan tidak
islami. Baik bai'at, musyawarah, maupun ijma' (demokrasi)
adalah salah satu kaidah islamiyah yang diajarkan oleh
Al-Quran. Tetapi, Syari'ati tidak lupa menegaskan, "...
tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari adanya wasiat
Rasulullah kepada Ali ... Umat harus melaksanakan wasiat ini
dan menyerahkan persoalan mereka kepada washi (orang yang
diberi wasiat), dan kalau itu tidak mereka lakukan, mereka
akan tersesat."33
Dalam pandangan Syari'ati, wasiat itu berfungsi sepanjang
beberapa generasi, hingga kelak tiba pada masanya masyarakat
dapat berdiri sendiri di atas kaki mereka, lalu memulai-
setelah berakhirnya imamah atau tahap wasiat - tahapan
pembinaan revolusioner tertentu, suatu tahap bai'at,
musyawarah, dan ijma' atau apa yang disebut Syi'ah atau para
washi Rasulullah berjumlah dua belas imam, tidak lebih.
Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat
Nabi hingga akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.
Pada masa-masa awal wasiat digunakan dalam proses
suksesi. Selanjutnya, menurut Syari'ati, setelah pada tahun
250 H (tahun gaibnya Imam ke-dua belas) baru berlaku prinsip
syura. Kalau ini berjalan mulus maka pada 250 H kita telah
mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya, dan memiliki
kelayakan yang membuatnya patut memilih pemimpin mereka yang
paling baik melalui asas musyawarah, yang kemudian menduduki
kursi kepemimpinan, dan menggerakkan sejarah sesuai dengan
jalur yang telah digariskan oleh risalah Muhammad Saw.
Masa sepeninggal Nabi sampai 250 H adalah masa revolusi
yang tidak membutuhkan demokrasi. Sayangnya, menurut
Syari'ati, sesuatu yang tidak terduga telah muncul di
Saqifah bani Sa'idah dan menyeret perjalanan sejarah Islam
ke arah lain. Syari'ati pun berandai-andai, kalau seandainya
peristiwa Saqifah itu terjadi pada 250 H dan tidak pada
tahun 11 H, niscaya sejarah akan lain bentuknya. Sebab,
meminjam istilah Chandle, demokrasi - bagi masyarakat belum
maju - merupakan musuh demokrasi itu
sendiri.34
Catatan Kritis
Syari'ati memulai bahasannya dengan menjelaskan kaitan
organik antara makna ummah dengan imamah. Pada bagian ini
kajian Syari'ati lebih menitikberatkan pada pendekatan
filologis, ketimbang sosiologis. Menurut hemat penulis,
dalam menguraikan benang merah antara konsep ummah dengan
imamah, sama sekali tidak berarti bahwa konsep khilafah
tidak mendapat tempat dalam ummah. Hal ini perlu
digarisbawahi mengingat terma imamah dianggap khas Syi'ah
dan terma khilafah khas Sunni.
Hamid Enayat membedakan khilafah dan imamah sebagai kata
kunci memahami paradigma politik Sunni dana Syi'ah, di
samping kata kunci lain seperti wilayah dan
'ishmah (Syi'ah), ijma' dan bai'at
(Sunni). Tetapi, perbedaan istilah imamah dan khilafah
sesungguhnya hanya berlaku dalam makna aplikatif dan
sistemik, keduanya tidak berbeda pada tataran teoretis. Bagi
Ibn Khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang
dikehendaki oleh peraturan syari'at untuk mewujudkan
kemashlahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk
kemashlahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk
padanya. Hakekat khilafah ialah sebagai pengganti fungsi
pembuat syari'at dalam memelihara urusan agama dan politik
duniawi.36 Ini
senada dengan pendapat al-Mawardi akan imamah, yakni,
"imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna
memelihara agama dan mengatur
dunia."37
Artinya, khilafah dan imamah dalam makna yang belum
memperoleh sentuhan politis adalah satu makna. Ini berarti
mengatakan tidak mungkin ada ummah tanpa imamah - seperti
yang disimpulkan Syari'ati - sama maknanya dengan
pernyataan: tiada ummah tanpa khilafah.
Sejarah membuktikan bahwa masyarakat, apa pun nama
komunitas itu, baik umat, qabilah atau society, memang
membutuhkan pemimpin, atau istilah yang setara dengannya
seperti khilafah, imam, presiden atau raja. Dalam masyarakat
primitif sekalipun seorang pemimpin pasti lahir. Ia
merupakan sesuatu yang lahir dari proses kebutuhan sosial
masyarakat dalam memenuhi hajatnya baik secara bersama-sama
maupun demi kepentingan individu
semata.38
Persoalannya , adakah manusia yang sejak lahir (bahkan sejak
belum lahir) telah ditakdirkan menjadi pemimpin?
Bagi Syari'ati, imam merupakan sifat atau atribut yang
melekat pada diri seseorang. Seorang imam tidak perlu
dipilih karena imam bukanlah sebuah jabatan. Dipilih atau
tidak ia tetap sebagai imam. Syari'ati dengan tegas ingin
mengatakan bahwa ada seseorang yang ditakdirkan dan
dilahirkan untuk menjadi imam, yakni melekatnya sifat atau
atribut imam itu. Nabi Muhammad memberitahu umat melalui
wasiatnya. Lalu kita pun mengetahui bahwa seseorang itu
memiliki sifat seorang imam.
Pandangan Syari'ati tersebut perlu segera diberikan
catatan. Jika imam itu lebih merupakan sifat atau atribut
ketimbang jabatan, mengapa imam masih membutuhkan wasiat
untuk memimpin umat? Bukankah dengan atau tanpa wasiat imam
tetaplah seorang imam? Persoalannya, kalau ada sekelompok
masyarakat menolak seorang imam (dalam arti sifat / atribut)
sebagai pemimpin (khalifah, amir atau raja) meskipun telah
ada wasiat (yang memberitahu siapa pemimpin sepeninggal
Nabi) maka yang tidak diakui, sebenarnya, seseorang yang
memiliki sifat imam atau sekelompok orang itu tidak mengakui
kebenaran adanya wasiat tentang itu. Pembedaan ini penting,
karena jika dipilih alasan yang pertama maka boleh jadi imam
itu rupanya kurang menampakkan sifat-sifat keimamannya.
Sebagai orang yang memiliki atribut atau sifat imam ia
ditolak. Dan ini semata-mata persoalan psiko-sosial
masyarakat. Jika alasan kedua yang dipilih maka kita
berjalan menyisiri "pantai" teologi.
Tampaknya, para pakar cenderung memilih yang kedua,
sehingga persoalan menjadi bersifat teologis. Bagaimana
mungkin wasiat Nabi dikesampingkan, kata kelompok yang satu.
Kelompok lain menjawab bahwa mereka bukan mengesampingkan
wasiat Nabi, tetapi apa betul Nabi berwasiat seperti itu?
Pembuktian masalah ini akan dipenuhi dalil dan justifikasi
Al-Qur'an dan Hadis. Dan ini yang telah terjadi dalam
sejarah Islam. Jika ingin mengikuti alur pemikiran Syari'ati
maka sebaiknya dipilih alasan pertama.
Sayangnya, Syari'ati tidak konsisten dengan alur
logikanya. Maka imam yang ia ketengahakan tetap bergantung
pada wasiat. Imam memiliki kekuasaan atas dasar
wewenang39 yang
diperoleh dari wasiat. Padahal dari awal Syari'ati telah
menegaskan, "salah satu ciri penting yang ingin saya
tegaskan dalam kajian saya ini adalah pendekatan sosiologis
terhadap masalah ummah dan imamah."40
Mengaitkan imam dengan wasiat, hemat penulis, telah
meruntuhkan bangunan logikanya yang dibangun dengan
pendekatan sosiologis. Tetapi itu tidak berarti seluruh
argumen Syari'ati inkonsisten. Syari'ati cukup konsisten
dengan alur logikanya ketika ia berpendapat jika imam tidak
dipilih untuk memimpin umat, maka yang terampas adalah hak
umat (dari memperoleh manfaat atas kehadiran imam) bukan hak
imam. Ia meletakkan imam secara sistemik dengan masyarakat
dan dalam hubungan sosial yang demikian erat. Karenanya,
alur logika Syari'ati bisa diteruskan dengan perumpamaan:
jika umat tidak memperoleh pelayanan yang maksimal dari
aparatur negara maka sesungguhnya yang terampas adalah hak
imam (untuk melayani umatnya).
Syari'ati memandang bahwa sesungguhnya wasiat dan
musyawarah sama-sama memperoleh justifikasi islami. Yang
membedakan keduanya adalah waktu dan kondisi umat.
Sepeninggal Nabi "bayi" umat belumlah kokoh dan kuat hingga
tidak mungkin dapat menentukan nasibnya sendiri. Umat
membutuhkan wasiat untuk menentukan siapa pemimpin mereka.
Kelak, saat kondisi umat telah matang, wasiat tidak
dibutuhkan lagi dan musyawarah-lah jalan yang tepat. Dalam
rentang waktu 11 H sampai dengan 250 H yang dibutuhkan
adalah mekanisme wasiat; pertama dari Nabi kemudian dari
Imam yang terdahulu. Angka 250 H dipilih Syari'ati karena
pada tahun itulah Imam Mahdi (imam kedua belas dalam
kepercayaan Syi'ah Imamiyah Itsna Asy'ariyah) gaib dan akan
kembali nanti di akhir zaman.41
Setelah 250 H mekanisme yang digunakan adalah
musyawarah.
Benarkah umat pada masa awal itu belum matang? Robert N.
Bellah, sebagaimana sering dikutip Nurcholish
Madjid,42
menganggap masyarakat pada masa itu telah menghasilkan
sesuatu yang untuk masa dan tempatnya luar biasa modern.
Tetapi, karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan
dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhilafahan Islam
itu tidak bertahan lama dan diganti dengan sistem "kerajaan"
Bani Umayyah. Apabila komentar Bellah ini benar, maka umat
pada masa itu bukan belum matang, seperti yang dinyatakan
Syari'ati, tetapi, lebih tepat, terlalu matang (modern). Hal
ini bisa ditafsirkan bahwa Syari'ati benar ketika mengutip
Chandle, "demokrasi - bagi masyarakat belum maju - merupakan
musuh demokrasi itu sendiri." Faktor yang bisa dikemukakan
untuk membuktikan belum siapnya umat Islam dengan pemilihan
yang terbukan dan "modern" adalah sosialisasi politik yang
masih primitif43
dengan ciri seperti, misalnya, tingkat fanatisme kesukuan
yang cukup tinggi. Faktor lainnya adalah terdapat
kecenderungan "membeo" seperti bila telah ada beberapa orang
yang berbai'at maka semuanya akan berbai'at, juga tidak
konsisten dalam mekanisme pemilihan khalifah pertama, kedua,
ketiga dan keempat.
Pertanyaannya, apakah dengan demikian ide wasiat
memperoleh justifikasi? Menurut hemat penulis, terlalu
terburu-buru menyimpulkan demikian. Ada faktor yang luput
dari perhatian selama ini, yakni mekanisme wasiat tidak
menjamin hilangnya perpecahan. Apabila dianggap kelompok
Syi'ah merupakan kelompok yang representatif dalam mekanisme
wasiat ini, maka yang terlihat adalah ketidakjelasan subjek
penerima wasiat setelah Imam Husain. Syi'ah pun terpecah ke
dalam beberapa kelompok, seperti Imamiyah, Kaisaniyah,
Zaidiyah, dan Ismailiyah, karena saling mengklaim telah
menerima wasiat.
Syari'ati berandai-andai, bila mekanisme wasiat ini
berjalan maka pada 250 H masyarakat telah sempurna
bentuknya. Penulis ingin melihat fakta sejarah sekitar 250 H
baik di dunia Sunni secara umum maupun pada kelompok Syi'ah.
Kegaiban Imam kedua belas sekitar tahun 250 H (862 M) atau
260 H (873 M) saat Dinasti Abbasiyah masih berkuasa. Pada
masa diperintah oleh al-Mu'tamid (260 H) Imam kesebelas
Syi'ah wafat dan tidak lama Imam kedua belas pun gaib. Ini
bila berpegang pada angka 260 H (angka dari Thabathaba'i)
tetapi jika berpegang pada angka 250 H (angka Syari'ati)
maka yang berkuasa adalah al-Musta'in.
Jika dilihat masa kekuasaan Abbasiyah yang berkuasa dalam
rentang waktu ratusan tahun, maka sekitar tahun 250-260 H
adalah periode kedua Abbasiyah, yakni masa-masa kemunduran
Khilafah Abbasiyah.44
Pada pemerintahan al-Musta'in berdiri Daulat Zaidiyah di
Timur (Iran) yang didirikan oleh Hasan ibn Zaid (keturunan
Ali bin Abi Thalib). Pemerintahannya berdasarkan "kerajaan"
jika dilihat dari sistem pemilihannya (berdasarkan keluarga
dan maula). Daulat ini bertahan selama 100 tahun dan
kemudian punah.45
Pendek kata, pada mas itu kekuasaan telah terpecah menjadi
beberapa dinasti kecil (seperti dinasti Fatimiyah di Mesir
pada 296 H dan berkuasa selama 280 tahun). Terlihat bahwa
masyarakat yang "matang" tidak tercapai: bahkan dunia Syi'ah
pun dipenuhi perselisihan (misalnya, setelah tahun 140 H
lahir sekte Ismailiyah). Sistem pemerintahan juga tidak
berdasarkan musyawarah, yang dapat memungkinkan seorang
muslim non-bangsawan menjadi khalifah.
Masyarakat sempurna memang tidak terjadi pada 250 H (atau
260 H) dan itu, Syari'ati memberi alasan, karena mekanisme
wasiat terpotong oleh peristiwa Saqifah. Di samping alasan
Syari'ati terkesan terburu-buru dan merupakan simplifikasi,
dunia menyaksikan bahwa pada kondisi umat terpecah-pecah
itulah Imam Mahdi gaib. Jadi, Imam Mahdi gaib pada situasi
umat yang "tidak sempurna". Tetapi bukan berarti keadaan
kacau-balau. Sejarah mencatat pada sekitar masa Imam Mahdi
berada dalam kegaiban beberapa disiplin ilmu dalam Islam
mencapai puncak keemasannya. Sekitar dua puluh tahun setelah
gaibnya Imam Mahdi, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (893 M)
lahir. Ia kemudian dikenal sebagai mufassir dan juga ahli
fiqih terkemuka. Sekitar dua puluh tahun setelah gaib Imam
Mahdi juga wafat at-Tirmidzi (892), Ibn Majah (886), Abu
Dawud (888). Ketiganya merupakan ahli hadis terkemuka di
samping Bukhari (wafat 870 M) - semasa dengan Imam
ke-sebelas - dan Muslim (wafat 875).
Apa komentar Syaria'ti terhadap kemajuan ilmu agama pada
masa itu?46
Syari'ati menyerang kondisi "keemasan" itu dan menganggap
dinasti Abbasiyah telah mendepolitisasi rakyat dan
mengalihkan perhatian mereka dari masalah-masalah politik
yang aktual dan soal-soal tentang "benar-salah" dengan jalan
mendukung pertumbuhan ilmu pengetahuan, kesenian,
kesusasteraan, penemuan ilmiah, argumen filosofis, dan
penerjemahan, serta peniruan warisan dan budaya
bangsa-bangsa lain. Pertumbuhan "ilmu-ilmu agama" memaksa
soal-soal penting menyangkut agama terdesak ke
belakang.47Walhasil,
Syari'ati tidak puas pada situasi masa Abbasiyah. Pada
situasi yang tidak memuaskan itulah Imam Mahdi gaib, dan
Syari'ati mengusulkan mulai diberlakukannya sistem
musyawarah, sebagai ganti wasiat.
Tetapi, apakah memang pernah terjadi praktek musyawarah
dalam pemilihan pemimpin? Tentu tergantung dalam memberi
makna pada terma musyawarah.48
Syari'ati memandang peristiwa Saqifah hanya
"mengatasnamakan" musyawarah. Bagaimana mungkin terdapat
musyawarah jika di sana hanya ada empat atau lima suara
sementara hasil musyawarah menyangkut kepentingan seluruh
penduduk Madinah dan sekitarnya? Apabila diterima pendapat
Syari'ati bahwa musyawarah di sana "diragukan" keabsahannya
(karena hanya diwakili lima suara), maka dapatkah
disimpulkan bahwa sebenarnya dalam rentetan sejarah Islam,
khususnya pemilihan pemimpin, musyawarah telah ditendang
jauh-jauh. Tentu saja hal ini berlebihan. Bagi penulis,
jumlah lima suara dalam Saqifah itu absah. Hanya saja, perlu
diperhitungkan apakah benar mereka yang tidak hadir di
Saqifah terakomodasi dalam kelima suara itu? Jadi, jika
Syari'ati mempersoalkan jumlah suara (yang hanya lima),
penulis tidak peduli lima suara atau dua suara sekalipun,
tetapi apakah jumlah suara (dua, lima atau seratus) memang
dapat mengakomodir aspirasi umat. Dan ini bukan saja problem
umat dan mereka yang hadir di Saqifah, tetapi juga problem
demokrasi masa kini. Perdebatan sistem pemilu distrik atau
proporsional yang tengah marak di Indonesia, sebagai contoh,
sebenarnya juga berujung pada persoalan mengakomodasi
aspirasi rakyat.
Peristiwa Saqifah: Tinjauan Fiqih
Siyasah
Peserta Saqifah, pendukung Ali, pendukung Abu Bakar dan
para ulama tentu mempunyai alasan masing-masing dalam
menilai terpilihnya Abu Bakar. Alasan itu seringkali
dipenuhi dalil demi dalil; hingga dalil dibantah dalil.
Lewat formula "tarjih" dan pendekatan Fiqih Siyasah, di
bawah ini penulis akan berandai-andai.
Jika diterima riwayat yang mengatakan bahwa Nabi telah
menyuruh Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam
sholat, sehingga pendukungnya berkata, "Nabi telah
mempercayainya dalam urusan akhirat, lalu mengapa kita tidak
mempercayainya dalam urusan dunia?", kemudian diterima pula
riwayat tentang wasiat Nabi yang menyatakan bahwa
sepeninggal beliau Ali bin Abi Thalib-lah yang akan memimpin
umat. Sekali lagi, jika kedua riwayat ini diterima, maka apa
yang terjadi?
Pendukung Abu Bakar telah melakukan analogi, atau qiyas
dalam bahasa usul fiqih. Sementara pendukung Ali menggunakan
hadis (nash) sebagai dasar dukungannya. Jika kedua riwayat
di atas diterima, maka berarti telah terjadi pertentangan
antara qiyas dengan nash. Dalam konsepsi hukum Islam, bila
nash dan qiyas dipertentangkan maka qiyas dikesampingkan.
Lalu, apakah pendukung Ali menjadi "benar", dan pendukung
Abu Bakar telah "keliru"?
Boleh jadi pendukung Ali memang "benar", namun pendukung
Abu Bakar belum tentu "keliru". Bukankah dalam pengambilan
konklusi diperlukan tidak saja "dalil intern" tetapi juga
"dalil ekstern". "Dalil intern" adalah nash, ijma' dan
qiyas; sedangkan "dalil ekstern" adalah keadilan,
kemashlahatan, kesejahteraan, skala prioritas atau
kebutuhan, dan sebagainya. Dengan alasan gentingnya
persoalan bisa saja sebuah "dalil ekstern" mengalahkan
"dalil intern". Dalam konteks Saqifah, dapat dibayangkan
seandainya perpecahan semakin memuncak dan budaya jahiliyah
menyeruak ketengah-tengah pertemuan itu. Maka kemashlahatan
umat dapat dipertimbangkan sehingga pengabaian nash itu
terjadi.
Keputusan yang diambil "wakil
umat"49 untuk
mengabaikan nash demi kemashlahatan bisa dimaklumi, dan ini
dibenarkan dalam Fiqih Siyasah. Tetapi, sayangnya,
pengabaian nash ini berlangsung tidak hanya dua tahun (masa
Abu Bakar) tetapi juga berlanjut dengan penunjukan Abu Bakar
terhadap Umar untuk menggantikannya. Pada peristiwa terakhir
ini sulit mentolelir keengganan Abu Bakar untuk menunjuk Ali
sebagai khalifah. Agaknya, tidak ada alasan yang kuat, baik
"dalil intern" maupun "dalil ekstern", untuk lebih memilih
Umar dibanding Ali. Kalaupun ada yang mencoba menjelaskan
(atau membela) keputusan Abu Bakar itu, kelihatannya tidak
lebih sebagai "rasionalisasi". Jadi, yang justru menjadi
persoalan adalah pengabaian nash oleh Abu Bakar saat Umar
ditunjuk (atau wasiat?) menjadi khalifah dan diteruskan saat
terpilihnya Usman. Pengabaian nash tanpa alasan dan kondisi
yang memungkinkan tentu menjadi persoalan besar. Fiqih
Siyasah tidak dapat membenarkan hal yang terakhir ini.
Tentu saja, analisa di atas baru berlaku bila memang
benar Ali mendapat wasiat Nabi untuk menggantikannya, dan
jika juga benar Nabi menyuruh Abu Bakar menggantikannya
menjadi imam shalat. Apabila diandaikan kedua riwayat itu
tidak benar, lalu bagaimana Fiqih Siyasah merespon peristiwa
Saqifah? Tentu saja, keputusan itu sah, selama memenuhi
keadilan, sesuai dengan asas musyawarah, menjamin
kemashlahatan umat dan sebagainya, meskipun tidak ada dalil
khusus tentang keputusan itu.50
Penutup
Beberapa komentar di atas tentang pemikiran Syari'ati
agaknya tidak akan sedikitpun menciderai kenyataan - seperti
diakui beberapa penulis - akan besarnya sumbangan pemikiran
Syari'ati terhadap Revolusi Islam
Iran.51
Mengenai pendekatan Fiqih Siyasah dalam peristiwa Saqifah
segera terlihat bahwa Fiqih Siyasah hanya meletakkan
dasar-dasar dan terkesan tidak memuaskan. Fiqih Siyasah
bermain dengan terma yang abstrak (musyawarah, keadilan,
kemashlahatan) dan dapat diartikan oleh semua pihak menurut
"seleranya". Pengujian terhadap nilai-nilai musyawarah,
keadilan dan kemashlahatan, yang telah diletakkan
kerangkanya oleh Fiqih Siyasah, dalam suatu masyarakat
sebaiknya dilakukan lebih jauh dengan pengujian
sosio-historis - yang terakhir ini telah lebih dahulu
dilakukan Syari'ati.
Akhirnya, sejarah Saqifah meski disikapi dengan secara
arif. Namun ini tidak berarti membiarkan lempengan sejarah
sebagai barang rongsokan dan harus dimusiumkan. Pembahasan
masa lalu amat penting dan bermanfaat, asalkan tidak
"membudak" pada salah satu golongan dan tidak semata-mata
melihat dari pendekatan teologi. Pada titik ini kita semua
sepakat bahwa Syari'ati, betapa pun belum sempurna, telah
mencoba untuk tidak "membudak" pada golongan tertentu dan
mencoba keluar dari perdebatan teologi, yang seringkali
tidak lagi jelas ujung pangkal persoalannya.
Catatan Kaki:
* Artikel
dari Buku "Melawan Hegemoni Barat - Ali Syari'ati
dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia", Editor: M.
Deden Ridwan, Penerbit PT Lentera Basritama, Jl.Mesjid
Abidin No.15/25 Jakarta, Juli 1999 M, h.131-172.
1 Ann K..S. Lambton,
State and Government in Medieval Islam, an Introduction
to The Study of Islamic Political Theory: The Jurist
(Oxford: Oxford University Press, 1991), h.xiv
2 Lihat Nurcholish
Madjid, "Agama
dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,"
dalam Budy Munawar-Rachman (editor), Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1994), h.588. Bandingkan dengan Ahmad Syalabi, [1],
al-Hukumah wa ad-Daulah fi al-Islam (Mesir:
an-Nahdhah al-Misriyah, 1958),h.8-9
3 Istilah "teo-politik"
digunakan untuk menjelaskan kecenderungan sebagian pihak
yang mencari justifikasi politik dengan menjadikan teologi
sebagai basis, atau sebaliknya, memilih aliran teologi atas
dasar kepentingan politik. Perlu ditambahkan bahwa istilah
ini tidak mesti bermakna peyoratif, karena ada kalanya
keyakinan teologi melahirkan perilaku politik yang bukan
saja diwarnai konsep teologi, tetapi juga mencerminkan etika
qurani. Misalnya, sikap politik Umar bin Abdul Aziz ketika
tidak mengikuti mainstream politik yang berkembang
saat itu.
4 Penjelasan lebih
lanjut, lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990).
Bandingkan dengan Nazih N. Ayubi, Political Islam:
Religion and Politics in the Arab World (London:
Routledge, 1991), h.1-10
5 Begitu pentingnya
peristiwa itu, sehingga Jalaluddin Rakhmat setuju
digunakannya istilah skisma (istilah yang sesungguhnya khas
kristiani) untuk menunjuk pada pertentangan besar dua kubu
dalam proses kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Lihat
Jalaluddin Rakhmat, [1], "Skisma
dalam Islam: Sebuah Telaah Ulang," dalam Budhy
Munawar-Rachman (editor), op.cit., h.
692-694
Dalam tulisannya yang lain, Jalal beranggapan bahwa
peristiwa Saqifah adalah fitnah al-kubra pertama dalam
Islam. Lihat Jalaluddin Rakhmat, [2], "Ukhuwwah
Islamiyah Perspektif Al-Qur'an dan Sejarah", dalam Haidar
Bagir (editor), Satu Islam Sebuah Dilema (Bandung:
Mizan, 1986), h. 83
6 Dalam salah satu
artikelnya, "Why Read Islamic History?" [telah
diterjemahkan dan dikumpulkan dalam Islam Mazhab Pemikiran
dan Aksi (Bandung: Mizan, 1992),h.34-42] Syari'ati
mengulas pentingnya membaca dan mempelajari sejarah Islam
guna memahami hal-hal kekinian.
7 Buku ini telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Afif Muhammad
dengan judul Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan
Sosiologis (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989)
8 Fiqih Siyasah dan
Siyasah Syar'iyah (dengan huruf "s" besar) mengandung makna
yang sama. Siyasah Syar'iyah bagi para fuqaha adalah:
"Wewenang waliy al-amri dalam mengerjakan
sesuatu atas dasar maslahah yang tidak bertentangan
dengan dasar-dasar agama meskipun tidak terdapat dalil
khusus." Lihat Abdul Wahab Khalaf, as-Siyasah
asy-Syar'iyah (Cairo: Salafiyah, 1350 H), h.3. Sebagian
ulama mendefinisikannya dengan:
Ilmu yang di dalamnya dibahas pengaturan
urusan Daulah Islamiyah berupa undang-undang dan
sistem yang sesuai dengan dasar-dasar Islam meskipun
dalam mengaturnya tidak terdapat dalil khusus
(Ibid., h.4)
Siyasah Syar'iyah ("s" besar) terbagi dua: siyasah
syar'iyah ("s" kecil) dan siyasah wad'iyah. Abdurrahman Taj
membedakan keduanya. Siyasah syar'iyah adalah segala hukum,
peraturan atau perundang-undangan untuk mengatur persoalan
umat yang bersumber atau bertumpu pada dasar-dasar agama
Islam guna melindungi mashlahat dan menghindari
madharat. Sedangkan, siyasah wad'iyah adalah segala
peraturan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur persoalan
umat dan bersumber dari atau bertumpu pada 'urf (adat
kebiasaan), pengalaman, pandangan para pakar dan sebagainya,
tanpa ada pertalian dengan wahyu atau sumber hukum
Islam. Lihat Abdurrahman Taj, as-Siyasah
asy-Syar'iyah wa al-Fiqh al-Islami (Mesir: Dar
at-Ta'rif, 1953), h.10-11. Cetak miring dari penulis.
Pertanyaan yang seringkali dibahas dalam fiqih siyasah
adalah apakah suatu keputusan atau peraturan dipandang
islami meski tidak berkenaan dengan masalah agama, bahkan
walaupun keputusan atau peraturan itu secara lahiriyah
bertentangan dengan ajaran agama? Umumnya dalam fiqih
siyasah suatu keputusan atau peraturan itu dipandang islami
jika memenuhi beberapa syarat. Misalnya, keputusan atau
peraturan itu diambil melalui jalan musyawarah dan bertujuan
untuk memenuhi kemashlahatan semua golongan (mashlahat
al-'ammah). Pada titik ini, fiqih siyasah dipandang
absah dipakai sebagai suatu pendekatan untuk menilai
keputusan atau peraturan yang dibuat oleh eksekutif dan atau
legislatif: apakah islami atau tidak.
9 Dalam konteks Islam,
pemisahan atau tepatnya pembedaan posisi pemimpin agama
dengan pemimpin politik tidak berarti bahwa pemimpin politik
tidak concern dengan persoalan agama; atau tidak
berarti bahwa pemimpin agama tidak peduli dengan masalah
politik. Sebaliknya, bahkan mereka harus menjiwai dan
menjalankan ajaran agama. Pembedaan ini hanya untuk
menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Hal ini tentu
berbeda dengan kalangan nasrani: "Berikan kaisar haknya, dan
berikan hak Tuhan pada-Nya". Maka, alinea di atas harus
dipahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan kepala negara
sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala
negara, tetapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali
tidak memiliki otoritas keagamaan, meski tidak sebesar
otoritas yang dimiliki Nabi.
Meski demikian, ada pula ulama yang berpendapat bahwa
tidak ada keharusan mempunyai khalifah, dan Nabi semata-mata
seorang Rasul yang tidak memiliki kekuasaan duniawi, negara
atau pemerintahan. Yang berpendapat semacam itu adalah Ali
Abdul Raziq dari Mesir. Untuk mengetahui lebih jauh
pemikirannya, lihat, antara lain, Ali Abdul Razik,
al-Islam wa Ushul al-Hukm, Kairo, 1925. Bantahan
terhadap pendapat terakhir ini cukup banyak, salah satunya
Dhiya' ad-Din ar-Rais, al-Islam wa al-Khalifah fi
al-'Ashr al-Hadis, (Naqd kitab al-Islam wa Ushul
al-Hukm) (Kairo: Dar at-Turas, 1972). Bandingkan dengan
Ahmad Syalabi, [2] as-Siyasah fi al-Fikr al-Islami
(al-Qahirah: Nahdhah al-Misriyah, 1983), h. 35-38.
10 Peristiwa Saqifah
yang diceritakan ini didasarkan kepada ath-Thabari,
Tarikh al-Umam wa al-Mulk, jilid IV, h.38-41; Munawir
Sjadzali, op.cit, h. 21-23 ; Jalaluddin Rakhmat,
[2], op.cit. h. 84-89
11 Aus dan Khazraz
adalah dua suku di Madinah yang selalu bermusuhan sebelum
kedatangan Nabi Muhammad. Akar permusuhan yang telah
"mendarah daging" itu seringkali menimbulkan letupan kecil
pada masa Nabi, sungguhpun demikian figur Nabi Muhammad
berhasil meredam. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin
mereka tidak akan membuka luka lama sepeninggal Nabi.
11 Lihat al-Mawardi,
al-Ahkam as-Sulthaniyah (Mesir: Musthafa Babi
al-Halabi wa Auladuh, 1996), h.6; Ibn Khaldun,
Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.94. Berbeda
dengan al-Mawardi dari pemikir Muslim Klasik dan
pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks al-Aimmah
min Quraish secara harfiah. Sesuai teori ashabiyahnya,
ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan
suku Quraish yang saat itu di atas suku lain. Quraish
merupakan suku Arab paling terkemuka dengan solidaritas
kuat, dominan, dan berwibawa. Jadi, teks itu harus dibaca:
kepemimpinan itu harus berada pada mereka yang memiliki
ciri-ciri suku Quraish, dan tidak harus selalu orang
Quraish. Persoalannya,, apakah penjelasan Ibn Khaldun itu
sama dengan yang dipikirkan mereka yang hadir di Saqifah,
lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyetir teks
itu.
11 Bai'at sesungguhnya
telah dipergunakan sejak masa Nabi. Nabi sendiri sering
melakukannya, misalnya, bai'at ar-ridwan dan bai'at
al-aqabah. Imam an-Nasa'i mengelompokkan bai'at ke dalam
sepuluh macam. [Lihat An-Nasa'i, Sunan an-Nasa'i bi
Syarhi as-Suyuthi (Beirut: Dar al-jil, 1989), juz VI,
h.683-684]. Inti baiat adalah janji untuk setia dan
patuh kepada Nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran
Islam. Istilah baiat ini rupanya diteruskan sepeninggal
Nabi, namun mengalami pergeseran makna. Pada masa khalifah,
baiat menjadi ikrar politik, yang tanpanya seorang khalifah
tidak akan diakui. Lebih lanjut, lihat al-Mahami Ahmad
Husein Ya'qub, an-Nizam as-Siyasi fi al-Islam (Qoum:
Anshariyah, 1312 H), h. 69-75; Fathi Osman , "Bay'ah
al-Imam: Kesepakatan Pengangkatan Kepala Negara Islam,"
dalam Mumtaz Ahmad (editor), Masalah-Masalah Teori
Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 75-116
14 Analisis terhadap
istilah khalifah berikut pergeseran maknanya secara menarik
diberikan oleh W.Montgomeri Watt, [1], Pergolakan
Politik Islam (Jakarta: P3M, 1988), h. 50-54. Bandingkan
dengan Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta:
Gramedia, 1994), h. 61-71
15 Lihat Nurcholish
Madjid, "Agama
dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,"
dalam Budhy Munawar-Rachman, op.cit.,h.592
16 Umar berpidato," ...
berdirilah kalian dan berbai'atlah kalian (kepada Abu
Bakar). Sungguh saya telah berbai'at kepadanya dan Anshar
pun demikian." Kemudian Usman berdiri, diikuti bani Umayyah,
lalu semua berbai'at. Sa'ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman
bin Auf beserta sukunya berdiri dan berbai'at pula.
Sedangkan bani Hasyim berbai'at dengan tekanan (paksaan).
Demikian diceritakan al-Mahamy Ahmad Husin Ya'qub,
op.cit., h.155-156
17 Seperti diriwayatkan
dalam Nahj al-Balaghah Syarh Muhammad Abduh (Bandung:
Mizan, 1990), terj. Muhammad al-Baqir, h.63-64. Maksud Imam
Ali, bila Quraish pohon Rasul, maka Ali adalah buahnya. Ini
bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraish, bani Hasyim
dan bani Umayyah adalah dua klan terhormat. Dan, Ali jelas
merupakan pemuda bani Hasyim yang terhormat, mengingat
Hamzah telah wafat dan Abbas pun baru masuk Islam, selain
itu Abu Sufyan dari bani Umayyah baru masuk Islam pula. Jadi
dari silsilah itu, seharusnya, jika al-Aimmah min
Quraish dipahami secara lahiriyah maka hanya Imam Ali
yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tetapi ada juga yang
menolak argumen ini. M.A. Shabhan melihat Ali yang masih
sekitar tiga puluh tahun tidak mungkin diterima umat. Maka,
jika logika di atas diteruskan sebenarnya Abu Sufyan yang
harus menjadi khalifah. Untuk menghindari ini, maka
diambillah Abu Bakar sebagai jalan tengah, orang Quraish
tetapi bukan bani Hasyim dan bani Umayyah. Lihat M.A.
Shabhan, Sejarah Islam Penafsiran Baru (Jakarta:
Rajawali Press, 1993), h.24-25
Persoalannya, apakah "rasionalisasi" yang dikemukakan
Shabhan memang hinggap di kepala mereka yang hadir di
Saqifah? Penulis cenderung meragukannya, karena dalam
situasi mendadak, emosional, dan genting sukar sekali
membayangkan peserta Saqifah berpikir seperti Shabhan
18 Ali Syari'ati
[1], Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan
Sosiologis (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), terj. Afif
Muhammad, h.53
19 Ibid,
h.63
20 Ibid,
h.64
21 Ali Syari'ati,
[2] Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung:
Mizan, 1992), h. 65
22 Ali Syari'ati
[1], op.cit., h. 114
23 Ibid, h.
129
24 Ibid,
h.141-143
25 Ibid,
h.145
26 Ibid, h.
156-158
27 Ada dua makna
imamah: imamah dalam arti jabatan dan imamah dalam arti
sifat / atribut. Pemisahan imamah dan khilafah (dalam arti
jabatan) akan bermuara pada pemisahan negara dengan agama.
Pemisahan khilafah dan imamah (sifat / atribut) tidak
bermuara ke sana. Dan yang terakhir ini yang disetujui
Syari'ati.
28 Ali Syari'ati,
[1], op.cit., h.161
29 Kebanyakan orang
lupa bahwa Imam Hasan pernah menjadi Khalifah sepeninggal
Imam Ali. Memang, penyebutan khalifah setelah Imam Ali
acapkali langsung loncat pada Mu'awiyah. Lihat Abu al-A'la
al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan,
1990), h. 189 ; W.Montgomery Watt, [2], Kejayaan
Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), terj. Hartono
Hadikusumo, h. 12
30 Kesimpulan Syari'ati
ini ditentang oleh banyak ulama Iran, termasuk ayahnya
sendiri, Muhammad Taqi Syari'ati. Lihat Ali Syari'ati,
[1], op.cit., h.165. Haidar Bagir ketika
memberi pengantar pada buku tersebut menulis, "Ia
(Syari'ati, pen.) berupaya untuk menghilangkan kesan bahwa
ketiga sahabat utama Nabi itu telah "merampas" hak Ali."
Bagir juga memberi catatan bahwa pendapat ini boleh jadi
merupakan perkembangan belakangan sikap Syari'ati, jika
dilihat pandangannya yang cukup keras sebelumnya, mengenai
masalah yang sama. Ibid., h.15-16
31 Ibid,
h.167-192
32 Ibid, h.
193-194
33 Ibid, h.
202-203
34 Ibid, h.
204-205
35 Hamid Enayat,
Modern Islamic Political Thought: The Response of The
Shi'i and Sunni Muslims to The Twentieth Century
(London: The Mac Millan Press, 1982), h.6
36 Ibn Khaldun,
op.cit.,h.191
37 Al-Mawardi,
op.cit.,h.5
38 Tentang makna
kepemimpinan dalam disiplin sosiologi, lihat Soerjono
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta:
Rajawali Pers, 1993), h. 312-324
39 Masalah kekuasaan
dan wewenang dalam Islam, lihat Mohammed Arkoun, Nalar
Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru (Jakarta: INIS, 1994), h. 209-238
40 Ali Syari'ati,
[1], op.cit.,h.19
41 Ulama Syi'ah yang
lain, Allamah Mulla Husain Thabathaba'i berpendapat bahwa
Imam Mahdi gaib pada 260 H (bukan 250 H), dan diyakini oleh
kaum Syi'ah bahwa pada tahun itu imam berada dalam kegaiban
kecil, karena ia masih memiliki wakil khusus sampai empat
orang. Setelah orang keempat wafat (70 tahun setelah
kegaiban kecil) maka dimulailah masa gaib besar sampai akhir
zaman nanti. Pada waktu yang telah ditentukan itulah nanti,
menurut kepercayaan Syi'ah, Imam Mahdi akan muncul dari
kegaibannya selama ini. Lebih jelasnya, lihat
M.H.Thabatha'i, Shi'ite Islam (Jakarta: Grafiti Pers,
1989), terj. Djohan Effendi, h.241-246
42 >Lihat Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992) h. 114
43 Tentang sosialisasi
politik pada masyarakat primitif, lihat Michael Rush dan
Philip Alfhoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta:
Rajawali Pers, 1993), h. 102-103
44 Mengenai sebab-sebab
kemunduran dan kejatuhan dinasti Abbasiyah, lihat Ira M.
Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), h. 126-136; W.Montgomery
Watt, [2], h.165-166
45 Lihat Hamka,
Sejarah Umat Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Antara,
1980), h.254
46 Tentang kemajuan
pada masa itu, lihat Philip K. Hitti, History of The
Arabs, edisi kesepuluh, h. 297-316
47 Ali Syari'ati,
[3], Membangun Masa Depan Islam (Bandung:
Mizan, 1989), h.31
48 Dalam hal ini, kita
harus berhati-hati dalam menterjemahkan kata syura.
Boleh jadi syura itu bukan musyawarah seperti yang
dikenal dalam budaya Indonesia; juga bukan bermakna
demokrasi seperti yang dikenal dalam dunia Barat. Bisa saja
syura itu bermakna konsultasi. Tentu saja studi lebih
lanjut diperlukan, tetapi untuk sekedar pengantar bisa
dilihat arti, penggunaan, dan pergeseran makna syura dalam
Bernard Lewis, op.cit. h.194-202
49 Fiqih siyasah tidak
mengatur secara tegas mengenai jumlah "wakil umat" atau yang
dikenal dengan ahl al-hall wa al-aqd. Ini disesuaikan dengan
kondisi dan preseden yang ada.
50 Lihat asas-asas
tersebut dalam Abdul Wahab Khallaf, op.cit., h.19 dan Abdur
Rahman Taj, op.cit., h.31
51 Lihat Ervand
Abraham, Iran: Between two revolutions (New Jersey:
Princeton University Press, 1983), h.464-467; Shaghrough
Akhavi, Religion and Politics in Contemporery Iran:
Clergy-State Relation in The Pahlevi Period (Albany:
State University of New York Press, 1980), h.143-178: Riaz
Hasan, Islam dan Konservatisme sampai Fundamentalisme
(Jakarta: CV Rajawali, 1985), h. 91-95
|