Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

II. CIRI-CIRI KERADIKALAN BARU

1. Ditekankannya situasi modern

Sudah kita catat sepintas lalu bahwa salah satu unsur penting dalam gerakan radikal yang baru ini, ialah ditekankannya situasi masa kini. Beban keputusan ada terletak di sini dan kini, bukan dalam hasil pemikiran dari dua ribu tahun yang lalu. Diakui memang bahwa apa yang dihasilkan oleh proses-proses pemikiran jaman kuna itu, dapat berpengaruh dalam pengambilan keputusan kita masa kini; tetapi pada akhirnya tokh kita sendirilah yang menentukan. Dalam proses pengambilan keputusan, kita tentu mempertimbangkan pendapat-pendapat yang tercantum dalam Alkitab, tetapi di samping itu kita juga mempertimbangkan faktor-faktor yang lain-lain lagi. Tidak ada situasi masa kini di mana Alkitab bisa mengganti kita sebagai pengambil keputusan-keputusan. Pernah saya tulis dalam karangan di majaIah Interpretation9 pada tahun 1971, demikian:

Titik-pusat persoalan tentang kewibawaan ini sudah bergeser. Pertanyaan yang paling urgen sekarang bukanlah, 'Apa yang pernah dikatakan pada jaman dulu?' tetapi, 'Apa yang harus kita katakan pada masa kini?' Pusat masalah krisis kewibawaan itu terletak pada masa kini. Rasa ragu-ragu itu timbul justru karena teologia modern mau berkonsentrasi pada apa yang dekat kepada keputusan yang harus diambil pada masa kini, bukan pada apa yang relatif jauh dari pokok keputusan yang harus diambil itu.

- Peranan Alkitab bagi orang Kristen modern

a. Alkitab sebagai perangsang keputusan existensial

Memang konsentrasi (pemusatan) pada situasi modern adalah sesuai dengan penekanan yang umum pada masa kini, yaitu bahwa soal relevansi sangat dipentingkan, terutama di kalangan mahasiswa. Tetapi bagaimana cara gereja berkomunikasi dengan dunia modern itu? Apakah orang Kristen dalam kemodernannya itu menjadi terasing dari tradisi masa lampau, sehingga dia harus sendirian menghadapi dunia modern ini? Ada dua jawaban yang dapat diajukan terhadap pertanyaan itu. Jawaban pertama agak berbau teologia Bultmann, yaitu agak bersifat eksistensialis dan protestan. Menurut jawaban itu memang orang Kristen sungguh-sungguh sendirian berhadapan dengan dunia modern, sehingga dia sungguh-sungguh dibebani tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusannya itu, dia harus dibekali dengan segala macam keterangan dan pengetahuan. Tetapi pokoknya ialah bahwa tidak ada lembaga kewibawaan di luar dirinya yang dapat menggantikan dia dalam proses mengambil keputusan itu. Bahkan segala usaha untuk bersandar kepada suatu sumber kewibawaan ekstern, hanyalah menggagalkan keputusannya, serta mencapnya "tidak otentik." Peranan Alkitab atau Injil dalam proses pengambilan keputusan modern, adalah bukan untuk menunjuk sistim keputusan yang harus diambil, melainkan untuk mendesak bahwa orang Kristen modern memanglah mempunyai kewajiban moril untuk mengambil keputusan. Demikianlah jawaban pertama yang diberikan terhadap pertanyaan di atas.

b. Alkitab berperan dalam konteks gereja

Jawaban kedua adalah lebih menekankan persekutuan-iman dan perspektif historis, yaitu bahwa konteks hidup Kristen di dunia modern ialah Gereja. Gerejalah yang diharuskan berbicara berhadapan dengan situasi modern. Gerejalah yang menyediakan kontinuitas pengalaman Kristen, - yaitu kontinuitas sinkronis yang meliputi keseluruhan dunia modern, dan kontinuitas diakronis yang mengkaitkan dunia modern dengan masa lampau. Pengalaman historis itu muiai pada jaman Alkitabiah, dan dapat dijadikan sumber bahan dalam pengambilan keputusan-keputusan kontemporer. Tetapi tidak ada alasan untuk memutlakkan taraf-taraf-pertama pengalaman-historis yang kontinu itu, yaitu tidak ada alasan, mengapa taraf Alkitabiah harus dianggap sebagai taraf primer, atau sebagai norma dalam pengambilan keputusan. Atau, kalau kita memang mau memanfaatkan bahan dari taraf permulaan itu, tidak ada alasan mengapa bahan-bahan harus melulu diambil dari dokumen-dokumen tertulis yang dihasilkan jaman mula-mula itu, yaitu Alkitab. Ada kemungkinan yang cukup kuat bahwa tahap-tahap berikutnya dalam sejarah pengalaman gereja adalath sama-sama relevan (atau bahkan lebih relevan dibandingkan dengan bahan Alkitab) terhadap situasi modern. Dan biar bagaimana pun, gereja dalam mengambil keputusan tentang masalah-masalah masa kini, pastilah harus mempertimbangkan bukan hanya bahan Alkitab, dan bukan hanya totalitas pengalaman gereja sendiri pada masa lampau. Adalah ternyata bahwa dia harus mempertimbangkan juga segala macam pengetahuan relevan yang dihasilkan ilmu pengetahuan modern, yaitu sumber-sumber pengetahuan yang tidak langsung bersangkut-paut dengan tradisi Alkitabiah dan gerejani.

Sekalipun dapat diterima bahwa ada dua jawaban terhadap pertanyaan tadi, namun yang akan ditekankan dalam buku ini ialah jawaban yang kedua. Alasan untuk penekanan itu, ialah bahwa jawaban kedua inilah yang berpengaruh dalam pengalaman saya sendiri. Bagi saya jawaban itulah yang lebih menarik dan lebih berperan dalam merangsang diskusi oikumenis tentang persoalan status Alkitab. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa dengan demikian saya membuang begitu saja jawaban yang pertama.

2. Penolakan terhadap konsep struktur kewibawaan extern

Suatu kecenderungan yang lain yang akan mendampingi pendapat-pendapat radikal ini, ialah suatu keseganan terhadap usaha mendefinisikan atau menentukan urutan-prioritas antara lembaga-lembaga kewibawaan. Pada tiap-tiap saat tertentu ada banyak faktor dan kuasa yang ikut mempengaruhi keputusan gereja. Maka usaha untuk mengurutkan fakta-fakta tersebut menjadi semacam hierarkhi lembaga-lembaga kewibawaan, adalah salah, malah mustahil tercapai. Dengan perkataan lain, kecenderungan yang kita catat ini adalah kecenderungan untuk melawan pensistematisasian teologis yang berusaha menentukan hierarkhi kewibawaan itu. Misalnya, boleh jadi bahwa dalam situasi tertentu, petunjuk-petunjuk Alkitab pernah memberi jaminan kepada gereja dalam pengambilan keputusan. Tetapi kasus yang satu itu tidak dapat dimutlakkan menjadi prinsip umum, seolah-olah pada tiap-tiap kesempatan, Alkitab akan selalu memainkan peranan yang dominan demikian. Itu berarti bahwa bilamana gereja mengambil keputusan, maka patokan yang dipegangnya dalam pengambilan keputusan itu adalah tak lain dan tak bukan daripada konsensus pendapat gereja sendiri. Tidak pernah (dan tidak mungkin akan) ada patokan lain selain dari itu, lepas dari teori-teori tentang patokan apa yang seharusnya dipakai. Karena dalam prakteknya gereja tidak pernah, dan tidak dapat, mengambil keputusan-keputusannya berdasarkan suatu norma yang ekstern dan obyektif.

3. Relativisme-antar-kebudayaan

Unsur ketiga dalam keradikalan ini, ialah apa yang dapat disebut relativisme kebudayaan. Persoalan ini penting, dan karena selama ini belum dibahas secara panjang-lebar dalam karangan-karangan tentang status Alkitab, maka saya kira perlu kita membahasnya di sini secara agak mendalam.

- Kekunaan dan keasingan Alkitab

a. Jarak antara kebudayaan Alkitab dan kebudayaan kita

Alkitab, seperti karangan-karangan kesusasteraan yang lain-lain, berakar dan bergantung pada lingkungan kebudayaan (atau bahkan kemajemukan lingkaran kebudayaan), di mana Alkitab itu sendiri dikarang. Kebudayaan modern yang-menjadi konteks hidup kita berlainan dengan kebudayaan "Alkitabiah" itu, sehingga tak mungkinlah Alkitab mempunyai arti yang sama bagi kita seperti artinya yang semula, yaitu dalam konteks kebudayaan asli yang menghasilkannya. Makna tiap-tiap karangan atau naskah dari jaman dan kebudayaan kuna itu pastilah terikat kepada konteks waktu dan kebudayaan tersebut, sedangkan maknanya menjadi lain (kalau memang masih bermakna) jika dikaitkan dengan jaman dan kebudayaan kita.

b. Jarak antara pengarang Alkitab dan peristiwa yang dilaporkannya

Kemudian langkah berikut dalam argumentasi itu ialah begini: sebagaimana ada "gap" antara pengertian kita dengan pengertian yang terkandung dalam nats Alkitab, maka terdapat juga "gap" antara nats Alkitab sendiri dan peristiwa-peristiwa yang diceritakan di dalam nats itu. Kepada peristiwa-peristiwa yang (barangkali) merupakan landasan riwayat-riwayat dalam Alkitab itu sudah dikenakan interpretasi tertentu oleh pengarang-pengarang Alkitab itu. Hal itu terjadi, oleh karena para pengarang Alkitab sendiri menganut asumsi-asumsi kebudayaan tertentu, yang membawa mereka kepada penafsiran yang bermakna dalam konteks kebudayaan itu. Akan tetapi kebudayaan kita adalah berlainan. Itu berarti bahwa penafsiran-penafsiran yang kita kenakan kepada peristiwa-peristiwa asli itu, pastilah berlainan pula.

Norma-norma kejujuran menuntut supaya kita bertanya kepada diri kita sendiri: sekiranya kita, orang abad ke-20 ini, telah hadir pada waktu peristiwa-peristiwa itu terjadi, betulkah kita akan menarik kesimpulan-kesimpulan bahwa cara terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut menuntut suatu penjelasan yang berbau "supernatural" (supra-alamiah)? Dan kalau kita memang tetap akan memberi jawaban "ya," pastilah cara kita menguraikannya akan berbeda dengan cara yang dipakai oleh pengarang-pengarang Alkitab.

Tentunya dapat diajukan keberatan di sini, bahwa pendekatan modern yang demikian memutlakkan kebudayaan modern, serta menilai kebudayaan-kebudayaan lain lebih rendah dibanding kebudayaan modern. Tetapi belum tentu demikian. Pokoknya ialah bahwa kebudayaan kita berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan kuna, sehingga penafsiran yang kita berikan kepada peristiwa-peristiwa masa lampau pastilah berbeda juga dengan penafsiran yang dikenakan oleh pengarang-pengarang Alkitab. Jadi bukanlah soal, apakah tafsiran kita itu lebih baik, melainkan bahwa tafsiran kita pastilah berbeda, dibandingkan dengan tafsiran mereka.

Para pengarang Alkitab sendiri dipengaruhi oleh asumsi-asumsi umum yang implisit dalam kebudayaan mereka. Sebagai contoh: perasaan mereka bahwa kematian merupakan musuh; atau konsep tentang khaos yang senantiasa mengancam untuk menggenapi dunia kembali; atau pengertian tentang manusia sebagai satu kesatuan jiwaraga. Dalam rangka kebudayaan itu adalah lazim kalau manusia tertimpa rasa takut, karena dosanya dan karena ancaman kematian, sehingga dia merindukan hidup yang kekal. Manusis modern pada umumnya tidak berpikir secara demikian. Karena pada umumnya manusia modern tidak takut akan kematian, atau sedikit-dikitnya rasa takut itu tidak mengganggu atau mengendalikan motifasi hidupnya sehari-hari, selama dia berada dalam keadaan sehat dan aman. Kita tidak terlalu memikirkan soal hidup sesudah kematian, dan tidak begitu merindukan kekekalan. Kita memang mempunyai pendapat-pendapat tentang hubungan jiwa-raga manusia, tetapi pendapat-pendapat kita itu tidak langsung timbul dari iman kepercayaan kita; dan mungkin kita tidak merasa terharu tentang soal dosa kita. Semua ini menjadi contoh-contoh bahwa pra anggapan-anggapan kita berbeda dengan pra-anggapan para pengarang Alkitab, sehingga cara kita memandang dan menanggapi peristiwa-penstiwa itu juga pastilah berbeda dengan cara mereka.

c. Jarak antara penode dengan periode dalam sejarah penyusunan Alkitab

Perbedaan-perbedaan yang demikian itu tidaklah hanya terdapat antara jaman Alkitab dengan jaman kita, melainkan justru antara periode dengan periode di dalam jaman Alkitabiah itu sendiri. Karena proses penyusunan Alkitab memakan waktu yang berabad-abad lamanya, sehingga meliputi kepelbagaian kebudayaan. Beberapa pokok, yang kita sebut sebagai contoh di atas itu, sudah ditanggapi secara berlain-lainan dalam bagian-bagian Alkitab yang berbeda-beda. Hubungan jiwa-raga manusia dijelaskan dengan cara lain pada periode awal Perjanjian Lama, dibandingkan dengan cara Perjanjian Baru. Atau contoh lain, sepanjang hampir seluruh Perjanjian Lama kematian pada masa tua di tengah-tengah sanak saudara dan keluarga, dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tepat, bahkan memuaskan. Kematian tidak diagggap sebagai musuh, dan rasa ngeri berhadapan dengan maut tidak ada sama sekali. Pertanyaan "apakah kematian itu merupakan titik-penghabisan eksistensi manusia, ataukah masihkah terbentang masa depan sesudah kematian?" dijawab dengan cara yang berlain-lainan oleh kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda di dalam rangka Alkitab itu sendiri; sehingga hanya satu bagian saja dari Alkitab yang menjawab dengan jalan membahas tentang kebangkitan dan hidup yang kekal. Kebangkitan Yesus dari antara orang mati, sekiranya terjadi pada abad yang ke-8 sebelum Masehi, pastilah telah mempunyai makna yang lain, dibandingkan dengan maknanya dalam Perjanjian Baru, atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Jadi pada prinsipnya dapat dirumuskan bahiwa tiap penafsiran peristiwa, dan dengan demikian tiap teologia, diwarnai oleh kebudayaan yang menghasilkannya. Jadi kalau kita menganut relativismeantar-kebudayaan menurut rumusannya yang ekstrim, maka agaknya kita sama sekali tidak akan menganggap Alkitab berwibawa atas kita. Itu berarti bahwa usaha dan pergumulan untuk menerapkan pemikiran Alkitabiah kepada situasi masyarakat kita adalah sia-sia. Alkitab tidak merupakan norma; bahkan kita barulah dapat mengerti Alkitab dengan sebenarnya kalau kita sadar bahwa dia tidak bisa menjadi norma kita secara eksklusif.

4. Penolakan terhadap ide kekonstanan tabiat manusia

Menurut mazhab "relativisme kebudayaan," konsep kewibawaan Alkitab adalah berkaitan secara logis dengan konsep yang lain, yaitu anggapan bahwa tabiat manusia pada prinsipnya tidak berubah dari jaman ke jaman dan dari kebudayaan ke kebudayaan. Tetapi, katanya, anggapan yang demikian itu tidaklah benar. Tidak ada tabiat manusia yang bersifat universal; hanya ada manusia, sebagaimana dia berada dalam kepelbagaian kebudayaannya. Maka karena Alkitab merupakan hasil kebudayaan tertentu, -- atau lebih tepat, merupakan suatu kumpulan karangan-karangan yang dihasilkan oleh berbagai kebudayaan selama jangka waktu yang panjang sekali, -- itu berarti bahwa Alkitab tidak memiliki kewibawaan yang mutlak atas kebudayaan-kebudayaan lain.

5. Perbandingan relativisme-antar-kebudayaan dengan teologia Bultmann

Mungkin membantu pengertian kita di sini, kalau kita menghubungkan konsep relativisme-antar-kebudayaan ini dengan hasil diskusi tentang hermeneutik yang berkisar sekitar teologia Bultmann. Terdapat titik-titik-persamaan yang jelas antara kedua-duanya: misalnya kesadaran tentang perbedaan historis antara jaman Alkitabiah dengan jaman kita, dan perhatian terhadap kemungkinan menafsirkan atau merelevankan bahan-bahan dari tradisi kuna itu untuk manusia modern. Bultmann juga dianggap agak radikal, sampai ada yang berpendapat bahwa dialah yang sebagian besar menimbulkan keragu-raguan modern tentang status Alkitab. Tetapi di pihak lain, ditekankannya oleh Bultmann tafsiran yang tepat, bahkan seluruh usaha Bultmann untuk mengadakan demitologisasi terhadap Alkitab, agaknya adalah berlandaskan suatu keyakinan teguh bahwa Alkitab adalah sumber yang sah dan mutlak untuk berita gereja. Maka keyakinan itu berarti bahwa gereja modern perlu dan sanggup menafsirkan Alkitab, asalkan mendapat prosedur yang tepat. Berita Alkitab tersembunyi bagi manusia modern, karena diselubungi dengan bahasa dan cara berpikir yang mitologis. Tetapi gereja sangat memerlukan suatu metode penafsiran yang akan membuka tirai mitologi dan yang menjelaskan berita otentik Alkitab. Maka berita otentik yang dibebaskan dari kurungan mitologi itu akan sungguh-sungguh merupakan inti-kepercayaan Kristen yang penuh kewibawaan, sehingga berita itu menentukan untuk iman dan untuk pemberitaan gereja masa kini. Ditinjau dari segi itu, maka dalam soal kewibawaan Alkitab, agaknya Bultmann tergolong kepada Protestantisme tradisional. Sedangkan penganut relativisme-antar-kebudayaan adalah lebih radikal lagi. Karena menurut rnereka, biar betapa tepatnya dan baiknya teknik tafsir yang kita pakai, namun penggunaannya tak mungkin memecahkan pexeoalan-persoalan modern yang kita hadapi. Karena Alkitab, biar tafsirannya tepat sekali, hanya merupakan satu faktor saja di antara berbagai kemungkinan yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Jadi cara mereka meragu-ragukan status Alkitab adalah jauh lebih radikal dari pada apa yang timbul dalam diskusi tentang hermeneutika. Karena nampak sekarang bahwa diskusi tentang hermeneutika itu berlandaskan suatu pengakuan akan kewibawaan Alkitab; sehingga pertanyaan pokok yang diajukan ialah, "bagaimana cara yang tepat untuk menafsirkan Alkitab masa kini?"

6. Kepekaan terhadap keganjilan-keganjilan yang implisit dalam konsep kewibawaan Alkitab

Akhirnya perlu dicatat bahwa mazhab radikal yang kita bicarakan ini sangat peka terhadap apa yang dianggapnya "ketidak-masukakalan" yang terkandung dalam konsep-konsep kewibawaan Alkitab.

Bagi mereka, konsep bahwa Alkitab dapat berlaku sebagai norma yang terpenting yang menentukan isi kepercayaan dan etika Kristen masa kini, sama sekali tidak masuk akal. Misalnya, usaha untuk menyelidiki surat-surat Rasul Paulus secara seksama, dengan maksud untuk menentukan, apakah wanita diperbolehkan menghadiri kebaktian dengan tidak bertutup kepala, dianggap adalah suatu keanehan. Tentunya contoh yang begitu remeh mudah digeser, dengan alasan bahwa perkara yang demikian tidak menjadi soal lagi di gereja modern. Tetapi prinsip yang sama adalah berlaku juga dalam persoalan-persoalan yang lebih berat; misalnya, menurut mazhab radikal, usaha untuk mencari-cari ayat-ayat dalam surat-surat Tesalonika yang dapat menJawab pertanyaan "apakah Allah masih mempunyai maksud tersendiri dengan umat Yahudi?" merupakan kasus yang sejajar dengan yang tadi. Apakah tidak lebih baik, katanya, kalau kita mengaku terus terang bahwa pendapat yang dikemukakan Rasul Paulus tentang orang Yahudi dalam surat-surat Tesalonika itu tidaklah lain dari hanya mencerminkan rasa jengkel dan frustrasi yang sedang dialami Paulus pada waktu itu; sehingga seandainya kita mungkin mendekati Paulus beberapa waktu kemudian, dia sendiri akan mengaku bahwa kata-kata itu keluar dari hatinya yang panas, sehingga tidak betul-betul mencerminkan pendapatnya yang sebenarnya, malah tidak sesuai dengan maksud Kristus. Pendapat, yang paling konservatif yang masih dapat kita ambil, ialah bahwa paling-paling kata-kata Paulus itu tepat menurut keadaan jamannya sendiri. Tetapi lebih baik kita mengaku bahwa kata-katanya itu tidak sesuai sama sekali, kalau dikaitkan dengan situasi jaman modern (lihat I Tesalonika 2 :14-16; II Tesalonika 1:5-10; dan II Tesalonika 2 :9-12) .

Contoh-contoh tentang hal ini dapat diperbanyak. Bahkan di dalamnya tersangkut bukan hanya soal-soal yang ringan, melainkan hal-hal yang oleh pengarang-pengarang Alkitab dianggap penting secara teologis. Sebaiknyalah kita akui, menurut mazhab radikal, bahwa dalam pokok-pokok penting itupun mungkin ada unsur distorsi, keberat-sebelahan, ketidak-lengkapan, atau bahkan kesalahan. Karena sudah termasuk hasil penyelidikan modern terhadap Alkitab, bahwa tidak jarang terjadi bahwa seorang pengarang Alkitab bukan didorong begitu saja oleh semangat akan kebenaran atau ketelitian, melainkan juga oleh keinginan untuk menentang atau menyerang pengarang Alkitab yang lain (karena ingin mengimbangi salah satu penekanan atau kecenderungan yang dianggapnya berbahaya). Justru usaha untuk membedakan karangan yang satu dari karangan yang lain dengan jalan memperhatikan titik-titik pertentangannya, menjadi salah satu metode penting dalam penyelidikan Alkitab secara modern.

Jadi pada pokoknya, menurut mazhab radikal, sekali kita menetapkan prinsip bahwa Alkitab mempunyai suatu peranan mutlak sebagai norma atau sumber kewibawaan, maka terciptalah suatu beban berat yang harus dipikul oleh para penafsir; yaitu mereka diwajibkan membuktikan bahwa pada akhirnya Alkitab adalah "benar." Usaha untuk mencapai pembuktian yang demikian itu memaksa para penafsir melakukan semacam permainan sulap atau kasuistik, demi kecocokan ayat dengan ayat dan pengarang dengan pengarang. Pada hal usaha yang demikian adalah tidak perlu, asalkan kita berani berkata, misalnya, bahwa karangan-karangan Rasul Paulus justru mengandung pendapat-pendapat Rasul Paulus sendiri. Pada masa lakunya gerakan neo-orthodox, dimana ditekankannya kewibawaan Alkitab, dipeganglah prinsip bahwa justru konsep kewibawaan Alkitablah yang menjadi kunci untuk penafsiran yang sah. Sebenarnya adalah justru sebaliknya: kalau kita berani meninggalkan harapan yang sia-sia itu, yaitu bahwa segala ucapan Alkitab pastilah sah dan normatif, maka barulah dapat kita hadapi Alkitab menurut wujudnya yang sebenarnya, sebagai karangan yang berasal dari kebudayaan yang berlainan sama sekali dengan kebudayaan dan keadaan kita, sehingga diajukan pertanyaan serta diberi jawaban yang berbeda dengan apa yang kita butuhkan pada masa kini.

7. Kepekaan terhadap unsur kebetulan dalam proses pembentukan kanon

Para penganut mazhab radikal ini juga menaruh perhatian kepada unsur kebetulan dalam proses pembentukan Alkitab. Proses pengakuan kitab-kitab tertentu sebagai kitab-kitab kanonik, tidak berlangsung berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teologis yang dapat kita terima pada masa kini, melainkan berdasarkan: faktor-faktor geografis, persaingan-persaingan yang timbul antara aliran-aliran di gereja-gereja kuna, dan sebagian juga berdasarkan kebetulan-kebetulan historis, serta fantasi-fantasi dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengkaitkan kitab-kitab tertentu dengan nama para Rasul. Demikianlah unsur-unsur kebetulan, yang memainkan peranan dalam proses pembentukan kanon itu. Tetapi lebih mendalam lagi, dapat dikatakan bahwa adanya kanon itu sendiri merupakan semacam kebetulan. Ada yang berani mengajukan pendapat bahwa proses penulisan tradisi-tradisi kuna yang dahulunya lisan itu merupakan suatu kekeliruan. Bandingkan perkataan R.H. Lightfoot10 tentang penulisan kitab Injil: "Penulisan kitab Injil timbul dari suatu kekurangberanian dari pihak gereja mula-mula." Atau lebih radikal lagi, C.F. Evans11 berpendapat bahwa: "Pembentukan skriptura dapat dianggap sebagai bukti-nyata tentang adanya dosa-warisan di gereja mula-mula."

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team