Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

III. LANGKAH-LANGKAH PERTAMA DALAM MENDISKUSIKAN KERADIKALAN BARU

Dalam uraian yang terbatas ini, kita hanya sanggup meninjau persoalan-persoalan berkenaan dengan Alkitab dari satu titik-pandangan saja. Nanti akan kita uraikan segi pandangan itu secara lebih mendalam, tetapi mungkin ada baiknya kalau saya memberikan suatu penilaian-sementara di sini. Menurut pendapat saya, argumen-argumen yang saya uraikan di atas ini tidaklah meyakinkan, sehingga sebagian besar tak dapat saya terima. Namun harus diakui bahwa argumen-argumen yang demikian membuka babak baru dalam diskusi, yang agaknya merangsang ke arah positif. Dan harus diakui juga bahwa ada unsur-unsur tertentu dalam uraian di atas, yang dapat dibenarkan. Akhirnya walaupun argumentasi-arpmentasi itu tidaklah meyakinkan, namun saya belum mempunyai argumentasi-argumentasi yang dapat mengalahkan pendapat-pendapat tersebut.

Agaknya kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan posisi yang radikal itu ialah sebagai berikut:

1. Ditekankannya situasi modern

a. Unsur-unsur kekuatan

Pendapat bahwa gereja diwajibkan mengutarakan apa yang dipercayainya pada masa kini, yaitu tidak hanya mengulangi apa yang dipercayai oleh pengarang-pengarang Alkitab sekian ribu tahun yang lalu, merupakan pendapat yang benar. Manusia modern menuntut, supaya kita mengutarakan apa yang kita percayai, yaitu supaya kita berani mempertanggung-jawabkan kepercayaan kita sebagai milik kita sendiri. Kalau kita tidak berbuat demikian, kita akan dicap "kurang jujur." Dari segi lain, yaitu dari segi praktis, kemungkinannya besar bahwa gereja akan lebih berhasil dalam komunikasinya dengan masyarakat dunia modern, kalau gereja sungguh-sungguh berusaha untuk menjelaskan isi kepercayaannya sendiri dengan bahasa modern sehari-hari. Dengan perkataan lain, sebaiknyalah kita mencegah kecenderungan untuk menguraikan di hadapan umum secara panjang-lebar tentang isi kitab Kejadian atau tentang teologia Rasul Paulus. Karena sudah menjadi kenyataan bahwa biar bagaimanapun pengakuan warga jemaat tentang kewibawaan Alkitab, namun masyarakat yang tidak percaya kepada Allah dan KristusNya, tidak akan mengakui kewibawaan Alkitab itu. Hanya kaum konservatif saja, yang masih berusaha mendekati orang yang bukan-Kristen, dengan mendesakkan kewibawaan Alkitab. Umumnya sekarang kita cenderung untuk memilih pendekatan yang sebaliknya; daripada bertolak dari dasar Alkitab yang berwibawa dan dari situ mengantar orang kepada kepercayaan pribadi, lebih baiklah gereja merasa pada masa kini bahwa kedudukan Alkitab adalah begitu kabur dan peka, sehingga kewibawaan Alkitab itu baru dapat dimengerti, setelah orang mencapai kepercayaan pribadi akan Yesus Kristus. Maka dengan demikian, tuntutan supaya gereja berkomunikasi dengan jalan secara langsung menguraikan apa yang dia sendiri yakini, adalah wajar, dan hal itu sudah diterima oleh banyak orang pada masa kini, termasuk cukup banyak orang yang masih berpegang pada pendapat konservatif tentang kewibawaan Alkitab.

Tetapi dengan demikian kita belum begitu maju dalam menghadapi persoalan kita. Malah kita mendapat persoalan yang satu di balik persoalan yang lain; karena pertanyaan yang muncul sekarang bukanlah: "bagaimana caranya gereja menyatakan keyakinannya kepada dunia modern?," melainkan "bagaimana caranya gereja sendiri menentukan pendapatnya mula-mula?" Dalam menghadapi pertanyaan itu, segala persoalan kita menjadi muncul kembali. Karena dapat dikatakan bahwa biar bagaimanapun caranya gereja menyatakan keyakinannya di hadapan dunia modern, namun gereja sendiri harus menerima bimbingan Alkitab sebagai sumber-pokok dalam menunaikan tugasnya sendiri. Maka tugas itu meliputi berbagai-hagai aspek: mendidik anggauta-anggautanya sendiri, mempertebal pengetahuan mereka, membangun pengertian dan semangat mereka, menilai serta memilih antara sekian banyak rumusan yang dikemukakan sebagai inti-sari iman Kristen, dan menghadapi tantangan-tantangan yang muncul dari keadaan sekitar.

Pertanyaan ini akan kita tunda sebentar; masih banyak faktor yang harus kita pertimbangkan sebelum kita menjelaskan caranya gereja menentukan keyakinannya sendiri. Di sini kita hanya menggarisbawahi prinsip, bahwa dalam berkomunikasi dengan dunia modern gereja harus menyatakan apa yang diyakininya pada masa kini.

b. Unsur-unsur keberat-sebelahan

Prinsip itu merupakan prinsip yang sah; tetapi pengaruhnya terhadap soal kedudukan Alkitab tidaklah sebenarnya begitu besar. Karena dengan ditetapkannya prinsip itu, soal tentang kewibawaan Alkitab sudah beralih ke konteks baru, yaitu soal tentang caranya gereja modern menentukan keyakinannya sendiri. Mengenai komunikasi gereja dengan dunia sekitar, prinsip ini hanya menimbulkan sangsi terhadap pendekatan "Alkitabiah-murni," yaitu penginjilan yang langsung mengulangi bahasa Alkitab dengan tidak menggunakan unsur pertimbangan, pengimbangan, penafsiran, atau penterjemahan ke dalam gaya-bahasa modern. Memang keberatan kaum radikal terhadap pendekatan yang demikian dapat dibenarkan. Tetapi ada unsur keterlaluannya juga. Karena pendekatan yang begitu ketat-Alkitabiah jarang ditemukan, sekalipun ada di antara orang Kristen yang tokh memandang Alkitab sebagai sumber kewibawaan dan sebagai norma. Tetapi diskusi ini memang menimbulkan tanda-tanya: sampai berapa jauh Alkitab dapat disimpan sebagai suatu norma "esoteris" yang berlaku "di belakang layar," yaitu dalam pembentukan pendapat gereja sendiri, namun oleh gereja seolah-olah tidak dipakai secara terbuka sebagai alat komunikasi ke luar. Soal ini akan kita bahas nanti.

2. Pertimbangan-pertimbangan tentang relativisme antar-kebudayaan

Sekarang marilah kita lanjutkan survai umum dengan menanggapi beberapa soal yang timbul dari konsep relativisme-kebudayaan.

a. Kecenderungan untuk mengisolasikan manusia modern

Relativisme-kebudayaan, sedikit-dikitnya dalam bentuk seperti yang saya uraikan di atas, agaknya mengurung manusia dalam kebudayaannya sendiri, sehingga dia tidak mempunyai jembatan lagi yang dapat mengantar dia kepada komunikasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Memang tidak usah kita anggap remeh kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi kalau kita mau mengadakan komunikasi antar kebudayaan. Namun demikian, patutlah digarisbawahi bahwa kebudayaan-kebudayaan, --atau sedikit-dikitnya kebudayaan-kebudayaan seperti yang tercermin dalam Alkitab dan yang kita miliki pada masa kini,-- tidak merupakan monolit-monolit yang homogen, melainkan semacam percampuradukan. Di dalam tiap-tiap kebudayaan ada unsur-unsur-ketegangan intern dan ada juga hubungan-hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain, walaupun kebudayaan-kebudayaan yang lain itu; berbeda dari segi bahasa, wilayah, dan jaman. Titik-titik-ketegangan dan titik-titik-hubungan itu membuka berbagai kemungkinan untuk tiap-tiap kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan tidak merupakan kotak-kotak yang saling tertutup. Dalam batas-batas tertentu, bisa terjadi pergaulan dan percampuran antara kebudayaan dengan kebudayaan. Bahkan dalam kebudayaan-kebudayaan yang kita persoalkan di sini, percampuran seperti itu adalah normal, dan memang menyehatkan.

b. Pendefinisian masa-berlakunya kebudayaan secara terlampau sempit

Berdasarkan Pokok a di atas, kita berkesimpulan bahwa kaum radikal mendefinisikan kebudayaan secara terlalu ketat dan sempit. Bila kebudayaan tertentu mengandung suatu ingatan akan masa lampaunya, maka masa lampau yang diingat itu agaknya merupakan bagian integral dari kebudayaan tersebut. Dan pengaruh dari masa lampau itu bertambah besar, setelah diabadikan dalam bentuk tertulis, serta dihargai sebagai warisan kesusasteraan atau keagamaan. Kekristenan modern atau Yudaisme modern sebenarnya merupakan sub-kebudayaan yang memelihara ingatan-ingatan akan suatu masa lampau tertentu, sebagai bagian integral dari kebudayaan modern. Masa lampau itu harus senantiasa dikuasai dan dimiliki-kembali turun-temurun oleh angkatan muda, dan oleh mereka yang masuk Kristen dari luar. Ingatan-ingatan dari masa lampau itu bahkan harus diasimilasikan kembali berulang-ulang oleh anggota-anggota umat. Pengasimilasian lapis-lapis-kebudayaan dari masa lampau itu memanglah menjadi suatu unsur yang biasa dalam kebudayaan agamawi modern, sedikit-dikitnya dalam tradisi Kristen. Proses penurun-alihan kebudayaan ini memanglah hanya berjalan satu arah: kita orang modern berusaha mengerti masa lampau kebudayaan kita, tetapi arah itu tak mungkin dibalik. Tokoh-tokoh Alkitab pada masa lampau itu tak mungkin menangkap pemikiran-pemikiran dan perkembangan-perkembangan modern yang kita miliki. Dan oleh karena jaman Alkitabiah merupakan masa lampau dari kebudayaan kita sendiri, maka itu berarti bahwa komunikasi antara jaman Alkitab dengan jaman modern bukanlah hanya mungkin, melainkan wajar juga. Jadi soalnya adalah lain dibanding dengan situasi dimana dua kelompok, yang tidak pernah mempunyai hubungan sebelumnya, berusaha berkomunikasi keluar batas-batas kebudayaannya masing-masing.

c. Kecenderungan untuk mem-pasifkan iman atau teologia Kristen berhadapan dengan kebudayaan modern

Relativisme-kebudayaan dalam bentuk seperti yang kita uraikan di atas, agaknya timbul dari (atau mengarah kepada) suatu pola iman dan teologia Kristen yang bersikap pasif terhadap kejadian-kejadian dan perkembangan-perkembangan di bidang kebudayaan modern. Karena jikalau memang tidak ada komunikasi antar-kebudayaan, tak mungkinlah kita mencapai pengertian baru kecuali yang berkembang dari pola-pola yang sudah ada dalam kebudayaan modern yang kita miliki sendiri. Kepasifan yang demikian tidak sesuai dengan iman Kristen, bahkan tidak sesuai dengan apa yang kita ketahui dari ilmu sosiologi. Biarpun agama Kristen benar-benar dianggap sebagai sebagian dari kebudayaan modern itu, namun masih dapat diharapkan bahwa agama Kristen akan menyumbang kepada kebudayaan modern itu, dan tidak hanya secara pasif menerima ragam (kesan, gambaran yang diperoleh dari) kebudayaan modern itu. Adalah menarik sebenarnya bahwa para penganut konsep relativisme-kebudayaan itu biasanya termasuk orang yang radikal dan dinamis, yang menuntut perubahan-perubahan dalam kebudayaan modern. Kenyataan itu melemahkan argumentasi mereka sendiri!

3. Ide tentang kekonstanan tabiat manusia

Bagaimana tentang pertanyaan: apakah tabiat manusia tetap konstan dari abad ke abad? Penulis karangan ini tidak sanggup memecahkan persoalan yang begitu kusut, Paling-paling dapat diajukan beberapa buah pikiran.

a. Pandangan tradisional Kristen mendukung konsep kekonstanan tabiat manusia

Tak dapat diragukan bahwa menurut pengertian umum Kristen, tabiat manusia tidak berubah. Memang terlalu tegas kalau dikatakan bahwa pendapat ini termasuk doktrin atau rumusan teologia Kristen; tetapi ide itu sering kedengaran dari mimbar, dan dari pemakai-pemakai Alkitab pada umumnya.

b. Perobahan tabiat dan perobahan situasi

Barangkali dapat kita setujui rumusan berikut: lepas dari soal berobah-tidaknya tabiat manusia, yang sudah jelas ialah bahwa situasi yang dihadapi manusia memanglah berubah; sehingga problema-problema dan kesulitan-kesulitan, yang dihadapi pada jaman tertentu, tidaklah sama dengan problema dan kesulitan yang dihadapi pada jaman lain. Bila pengikut kebaktian modern diberitahu dari mimbar bahwa pada pokoknya situasinya (situasi yang dia hadapi) adalah sama dengan situasi yang dihadapi nabi Musa atau Nikodemus atau Kornelius, sudah sepatutnya dia tertawa terbahak-bahak.

c. "Analogi situasi" sebagai prinsip penafsiran atau penerapan bahan Alkitab

Sepanjang saya tahu, problema ini tidak pernah dianalisa secara mendalam. Agaknya pendekatan yang lazim dipakai, ialah prinsip analogi (penggarisan secara paralel antara situasi kuna dengan situasi modern). Alasan yang menguatkan pemakaian sistim analogi ini, ialah bahwa walaupun memang terdapat perubahan-perubahan dalam situasi manusia dari jaman ke jaman, namun masih nampak analogi yang cukup antara situasi jaman Alkitabiah dengan situasi jaman modern. Maka hal itu memungkinkan penerapan hasil pemikiran jaman Alkitabiah pada situasi-situasi jaman modern. Tetapi dengan demikian timbullah pertanyaan: apakah yang dimaksudkan dengan "analogi yang cukup?" Berapa persenkah selisih antara situasi kuna dengan situasi kita ini dapat diizinkan? Menurut pendapat saya, contoh yang paling jelas dalam hal ini ialah penggambaran kaum Farisi dan kaum Saduki dalam kitab-kitab Injil, atau gambaran rasul Paulus tentang kaum Kristen yang men-Yahudikan Injil (dalam uraian Paulus tentang "pembenaran karena iman"). Saya tidak mempersoalkan di sini, sampai berapa jauh penggambaran tersebut memang mendekati kenyataan historis-obyektip tentang kaum Farisi, kaum Saduki, kaum Kristen-Yahudi, dan sebagainya. Memang pertanyaan itu menarik, tetapi bukan itulah yang kita persoalkan di sini. Yang saya persoalkan di sini ialah yang berikut: berapa dekatkah paralel/persejajaran antara situasi oknum-oknum tersebut (dengan ide-idenya yang digambarkan dalam Perjanjian Baru) dengan oknum-oknum (dan ide-ide) pada abad ke-20 ini, yang kita cap sebagai "Farisais," "Yudais" dan sebagainya? Dapatkah dikatakan misalnya, bahwa proporsi kemiripan atau perbedaan itu adalah 40 persen mirip atau 60 persen berbeda? Kesejajaran dalam contoh kita ini sebenarnya lebih nampak dari pada dalam contoh-contoh lain yang mungkin dapat kita ambil; dan memang pokok yang dijadikan contoh ini memainkan peranan penting dalam teologia Protestan. Misalnya, para tokoh Reformasi menyadari bahwa ada analogi yang kuat antara Yudaisme (atau Kekristenan yang men-Yahudikan Injil) di satu pihak, dan gereja Katholik Roma pada abad-abad pertengahan di pihak lain. Maka kesadaran akan kesejajaran itu merupakan suatu akar Protestantisme yang kuat sekali, sehingga analogi itu masih mempengaruhi cara berpikir tiap-tiap pendeta injil yang menganjurkan jemaatnya supaya jangan percaya kepada "amal perbuatan mereka sendiri," melainkan bersandar kepada "iman yang membenarkan." Tentunya terdapat perbedaan-perbedaan juga; misalnya, anggota-anggota jemaat merasa tidak perlu lagi disunat, atau tidak berusaha mematuhi seluk-beluk hukum Taurat Musa. Tetapi gereja modern mengesampingkan perbedaan-perbedaan itu sebagai hal-hal yang kurang berarti. Akan tetapi pada fihak lain, orang yang betul-betul berpegang pada konsep relativisme-kebudayaan, akan menarik kesimpulan bahwa perbedaan-perbedaan antara situasi abad pertama itu dengan situasi abad kedua puluh ini adalah begitu besar, sehingga tidak tinggal satu titik kemiripan pun yang bermakna.

4. Beberapa pertimbangan-tambahan tentang keradikalan baru

Kita kembali kepada pertanyaan tadi: betulkah ada suatu realita tetap yang dapat kita sebut "tabiat manusia?" Atau, haruskah ditarik kesimpulan bahwa selisih antara kebudayaan dengan kebudayaan adalah begitu besar, sehingga tidak ada unsur-unsur yang tinggal tetap dari jaman ke jaman? Kita seharusnya berterima kasih kepada mazhab relativisme-kebudayaan, karena mereka sudah mengajukan pertanyaan ini dalam rumusan yang begitu tajam. Saya sendiri merasa belum sanggup menanggapi pertanyaan ini secara tepat. Sebelum kita mengusahakan jawabannya, baiklah kita memperhatikan beberapa pertimbangan dulu.

a. Aspek falsafi keradikalan baru

Sudah jelas bahwa pertanyaan tentang relativisme-kebudayaan ini mengandung aspek falsafi. Maka di sini kita menghadapi suatu paradox yang terkandung dalam sikap radikal terhadap status Alkitab pada masa kini: pada satu pihak, sikap radikal tersebut (terutama di kalangan yang berbahasa Inggris) mempunyai kaitan dengan filsafat-filsafat yang termasuk mazhab empiris, sedangkan di pihak lain, konsep relativisme-kebudayaan dalam arti yang kita uraikan di atas, agaknya berasal dari filsafat idealisme dan bukan filsafat empiris. Karena konsep relativisme-kebudayaan itu tidak menekankan kenyataan-kenyataan obyektif yang berada di dunia lahiriah di sekitar mereka, atau metode-metode pembuktian, atau dunia umum yang sudah ada sebelum manusia menyadarinya. Yang ditekankan oleh para penganut relativisme-kebudayaan itu ialah kesadaran manusiawi (human consciousness); termasuk bentuk-bentuk kesadaran itu yang diwarnai kebudayaan-kebudayaan tertentu, dan yang kemudian menentukan cara kita manusia menangkap dan menanggapi dunia sekitar kita. Mengingat hubungannya dengan idealisme itu, ternyatalah bahwa faham relativisme-kebudayaan itu tidak cocok dengan filsafat empiris. Dan sepanjang saya tahu, konsep relativisme-kebudayaan itu belum tentu mendapat tanggapan yang positip di antara para filsuf Barat (terutama di kalangan yang berbahasa Inggris) pada masa kini.

b. Perbandingan relativisme-antar-kebudayaan dengan keneo-orthodoxan

Adalah menarik juga kalau kita mengadakan perbandingan antara konsep relativisme-kebudayaan ini dengan teologia Alkitabiah yang laku di kalangan neo-orthodox. Suatu ciri-khas gerakan neo-orthodox ialah kecenderungannya untuk memutlakkan kebudayaan Ibrani yang merupakan latar belakang Alkitab. Kebudayaan Ibrani itu dipisahkan secara tajam (bahkan secara keterlaluan) dari kebudayaan-kebudayaan di sekitarnya; sedangkan di pihak lain, "cara berpikir" Ibrani secara keseluruhan dibebankan kepada kesadaran Kristen modern sebagai suatu beban-warisan kebudayaan yang harus dipikul, karena mengandung kewibawaan yang mutlak. Penekanan yang demikian timbul dari keinginan untuk menegakkan kewibawaan Alkitab dan sentralitas Perjanjian Lama. Relativisme-kebudayaan masa kini melawan pengarahan itu dengan kurang ditekankannya Alkitab, dan dengan menggeser Perjanjian Lama. Namun demikian, nampaklah juga unsur persamaan antara mazhab relativisme-kebudayaan dengan faham neo-orthodox; yaitu pendapat bahwa tiap-tiap kebudayaan sungguh-sungguh terpisah dari kebudayaan lain, sehingga soal komunikasi antara kebudayaan dengan kebudayaan sangatlah sulit. Relativisme-kebudayaan dalam bidang teologia nampaknya bertentangan sekali dengan keneo-orthodoxan yang mendahuluinya. Tetapi meskipun demikian, agaknya dia sudah mengambil-alih sesuatu dari pendapat neo-orthodox, yaitu konsep terpisahnya kebudayaan dari kebudayaan. Jadi meskipun mazhab relativisme-kebudayaan melawan keneo-orthodoxan, akhirnya dia nampak antara ahli waris keneo-orthodoxan juga. Kenyataan itu (kalau benar), agaknya melemahkan posisi mazhab relativisme-kebudayaan.

c. Perbandingan lanjutan antara relativisme-antar-kebudayaan dan teologia Bultmann

Di pihak lain lagi, patutlah kita ringkaskan-kembali apa yang disinggung di atas ini dalam rangka perbandingan antara mazhab relativisme-kebudayaan dan teologia Bultmann. Bultmann juga menggariskan kontras yang tajam antara kebudayaan dan kebudayaan. Menurut dia, kebudayaan manusia jaman Alkitab bersifat mitologis, sedangkan kebudayaan manusia modern adalah lebih bersifat ilmiah; maka perbedaan demikian itu menghambat komunikasi antara kebudayaan Alkitab dan kebudayaan kita. Ada jurang yang harus dijembatani. Tetapi menurut faham Bultmann, jembatan yang dapat menjembatani jurang itu memang ada, yaitu metode "penafsiran eksistensial." Proses demitologisasi (pengawa-mitaan), yang memanfaatkan tafsiran eksistensial itu, walaupun sulit dipahami, toh ditawarkan oleh Bultmann sebagai suatu metode yang agak sederhana dan harmonis, yang dapat menterjemahkan ide-ide dari kebudayaan Alkitabiah kepada kebudayaan modern, sehingga menghasilkan komunikasi. Tetapi menurut mazhab yang lebih radikal ini, yaitu mazhab relativisme-kebudayaan, agaknya tidak ada metode untuk menjembatani jurang itu, atau sedikit-dikitnya tidak ada metode yang satu-satunya, yang jelas dan konstan. Sebagaimana kita lihat di atas, menurut Bultmann, Perjanjian Baru. masih merupakan sumber yang menyalurkan penyataan, asalkan diuraikan menurut metode-metode tafsir yang sah. Tetapi mazhab relativisme-kebudayaan tidak mengaku lagi bahwa Perjanjian Baru merupakan penyalur penyataan. Dan sebagai catatan penutup: ditinjau dari segi sejarah perkembangan ide-idenya, ternyata pemikiran Bultmann berakar bukan hanya pada eksistensialisme, melainkan juga pada teologia Lutheran, dan pada pembedaan antara ilmu-pengetahuan-ilmu-pengetahuan alamiah (yang bersifat obyektif) dan ilmu-pengetahuan-ilmu-pengetahuan manusiawi (yang bersifat eksistensialis). Relativisme-kebudayaan agaknya mempunyai hubungan yang agak erat dengan ilmu-ilmu modern, seperti sosiologi dan anthropologi, serta metode-metode mutakhir yang laku pada bidang-bidang itu.

d. Prinsip bahwa konsensus pemikiran gereja sendiri menjadi standard untuk gereja

Akhirnya patut dicatat bahwa sikap yang meragu-ragukan status Alkitab secara radikal itu agaknya adalah berdampingan dengan suatu sikap kepercayaan kepada gereja sebagai landasan, yang menjamin kontinuitas kehidupan teologia, dan yang dapat mengambil keputusan-keputusan teologis, bila dibutuhkan. Gereja tidak berfungsi menurut suatu norma ekstern, karena agama Kristen merupakan suatu iman yang kontinu, yang senantiasa mewujudkan dirinya sendiri. Dan pada masa mendatang pun, dia akan senantiasa mewujudkan diri dalam bentuk yang sesuai dengan keadaan-keadaan yang dihadapinya. Oleh karena itu, agama Kristen tidak membutuhkan suatu rangkaian atau rencana yang sudah ditentukan atau sudah diatur sejak dulu kala, lengkap dengan suatu "sumber kewibawaan" resmi yang merupakan normanya dalam tiap-tiap keragu-raguan dan kesulitan. Sikap menolak segala macam sumber kewibawaan, yang sudah ditentukan sejak dulukala, merupakan suatu aspek yang paling menyolok dari keradikalan modern ini.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team