|
PASAL IV. ALKITAB SEBAGAI BAHAN KESUSASTERAAN
I. ALKITAB SEBAGAI MITOS-DASAR AGAMA KRISTEN
Ada baiknya kalau dalam pasal empat ini kita membicarakan
status Alkitab sebagai suatu karangan kesusasteraan. Ada dua
alasan mengapa kita membahas pokok ini.
i. Pertama, ialah bahwa kebanyakan orang
setuju bahwa Alkitab memang merupakan karangan kesusasteraan
yang menarik, walaupun dengan catatan barangkali bahwa
statusnya sebagai bahan kesusasteraan merupakan
taraf-fungsinya yang paling rendah. Anggapan yang lazim
ialah bahwa persoalan-persoalan yang mendesak tentang
Alkitab sebagai dokumen-dasar dalam kepercayaan Kristen,
barulah timbul kalau kita sudah meninggalkan soal status
Alkitab sebagai kesusasteraan dan naik ke taraf yang lebih
tinggi.
ii. Dan alasan kedua mengapa kita mengajukan pokok itu
sekarang ialah bahwa ada hubungan antara pandangan tentang
Alkitab sebagai kesusasteraan dan pandangan radikal yang
kita bahas dalam pasal tiga.
Berbagai agama, dan berbagai masyarakat berbudaya telah
membangunkan diri, serta memperoleh dinamikanya, dari suatu
ceritera-dasar atau bahan-kesusasteraan yang merupakan
mitos-landasan agama dan masyarakat tersebut. Dalam agama
Kristen dan agama Yahudi, mitos-landasan itu ialah Alkitab.
Maksudnya, Alkitab merupakan ceritera-dasar atau
dokumen-dasar yang dibicarakan atau disinggung pada hampir
tiap-tiap pertemuan masyarakat Kristen atau Yahudi. Kitab
itu juga berpengaruh sekali dalam membentuk cara-berpikir
anggota-anggota masyarakat tersebut, serta menyediakan bagi
mereka gambar-gambar, pola-pola, dan kategori-kategori, yang
membantu mereka mengklasifikasikan pengalaman-pengalaman
mereka.
1. Definisi "mitos" sebagai kategori
kesusasteraan
Saya kira tak usah kita berpanjang-lebar mengenai hal
ini. Sudah jelas bahwa Alkitab sebagai karangan
kesusasteraan telah menjadi sumber inspirasi dan perangsang
imajinasi masyarakat Kristen. Alkitab telah merupakan salah
satu mitos-dasar, atau bahkan merupakan mitos yang paling
penting, yang melandasi perkembangan kesusasteraan kita.
Mudah-mudahan telah menjadi jelas bahwa saya tidak
menggunakan "mitos" di sini dalam arti sempit, yaitu "cerita
yang tidak faktual" atau " dongeng yang dibuat-buat",
melainkan yang saya maksudkan di sini ialah mitos sebagai
suatu kategori kesusasteraan. Barangkali dapat dibedakan
antara dua jenis karangan. Jenis pertama berfungsi dalam
memberi keterangan; itu berarti bahwa harganya dinilai
menurut ukuran: apakah laporan-laporannya tentang
perkara-perkara di dunia luar memang benar dan teliti?
Sedangkan jenis karangan kesusasteraan yang kedua mempunyai
makna dan nilai yang lain; yaitu bahwa maknanya terletak
dalam stuktur dan bentuk cerita itu, atau dalam gambar dan
simbol yang digunakan di dalamnya. Maksudnya ialah bahwa
jenis kedua ini dinilai sebagai bahan kesusasteraan menurut
ukuran estetis, bukan sebagai sumber keterangan. Dengan
perkataan lain, makna mitos yang bersifat kesusasteraan
tidak terletak dalam hal bahwa oknum dan perkara yang
disinggung dalam cerita itu sungguh-sungguh bereksistensi di
dunia luar. Apalagi nilainya tidak bergantung kepada
ketelitiannya dalam memberi keterangan Kebanyakan bahan
kesusasteraan memanglah merupakan cerita-cerita buatan,
tetapi kenyataan yang demikian tidak ada sangkut-paut dengan
harga atau nilai bahan kesusasteraan tersebut.
2. Unsur faktualitas dan unsur
kesusasteraan dalam Alkitab
Kalau begitu, apakah Alkitab pun tidak boleh ditinjau
dari segi itu? Apakah kita tidak boleh memandang Alkitab
sebagai suatu karangan kesusasteraan yang nilainya tinggi
sekali, sehingga Alkitab itu mempengaruhi dan menentukan
pola-pola hidup kita melalui cerita-cerita dan simbol-simbol
yang terkandung di dalamnya? Itu semua lepas dari soal,
apakah hal-hal yang diceriterakan dalam Alkitab itu
sungguh-sungguh terjadi persis sesuai dengan ceriteranya,
--lepas juga dari soal, apakah perkara-perkara yang disebut
dalam Alkitab itu bereksistensi secara obyektip.
-Contoh-contoh:
a. Kitab Ayub
Dari dulu ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang
selalu menuntut penafsiran yang demikian. Kitab Ayub
misalnya nampak sekali sebagai karangan kesusasteraan. Kesan
yang diciptakan dalam kitab Ayub, dan tepatnya jawaban yang
dia berikan kepada persoalan-persoalan kita manusia, tidak
bergantung kepada soal benar-tidaknya keterangan yang dia
berikan mengenai oknum dan perkara yang seolah-olah ada pada
jaman kuna itu. Sebenarnya tidaklah mempengaruhi kitab Ayub,
apakah Ayub, atau Elifas, atau bahkan Setan pun,
sungguh-sungguh bereksistensi. Pendek kata, kitab Ayub
merupakan contoh yang gemilang tentang satu bagian Alkitab
yang harus dinilai sebagai karangan kesusasteraan.
b. Perumpamaan-perumpamaan
Tetapi bukan hanya kitab Ayub yang termasuk kategori yang
demikian. Ada banyak perumpamaan dalam kitab-kitab Injil;
makanya dinilai dari segi keterangan faktual yang terkandung
di dalamnya, suatu perumpamaan harus diakui sebagai
cerita-buatan. Tokoh 'Orang Samaria yang murah hati,' atau
'Anak yang hilang,' tidak pernah bereksistensi. Tetapi hal
itu tidak mempengaruhi makna perumpamaan itu bagi kita. Inti
pemberitaan perumpamaan itu tidak terletak begitu saja dalam
ceritanya, melainkan dalam faktor-faktor lain.
c. Kitab nabi Yunus
Memang lazimnya cerita-cerita yang demikian itu langsung
disebut "perumpamaan" dalam Perjanjian Baru, sehingga
sifatnya sebagai bahan non-informatoris langsung kentara.
Tetapi pada jaman modern ini, para ahli sudah mulai
memasukkan cerita-cerita Alkitab yang lain-lain ke dalam
kategori yang sama, walaupun cerita-cerita tersebut tidak
disebut perumpamaan dalam Alkitab. Misalnya, sudah agak
biasa menganggap kitab Yunus sebagai perumpamaan. Ikan besar
yang menelan Yunus, dianggap sebagai sarana cerita, yang
tidak mempunyai eksistensi yang obyektip.
d. Riwayat penciptaan
Memang dengan demikian persoalannya belum menjadi hangat
karena kitab Yunus tidak dianggap merupaLan bagian pokok
Alkitab, dan mungkin juga demikian tentang kitab Ayub.
Tetapi prinsip-prinsip ini dapat dikenakan juga kepada bahan
yang dianggap sungguh-sungguh penting; Sebagai contoh,
susunan riwayat penciptaan yang menggambarkan bahwa proses
penciptaan dunia berlangsung selama enam atau tujuh hari,
dapat dianggap sebagai "perumpamaan." Bapak-bapak kita pada
generasi yang lampau beranggapan bahwa berlangsungnya proses
enam atau tujuh hari itu betul-betul merupakan kenyataan
yang terjadi demikian di dunia obyektif. Kejadian dunia
dalam enam atau tujuh hari itu dianggap fakta. Orang Kristen
masa kini tidak menerima pengertian yang demikian. Menurut
penjelasan para ahli, cerita penciptaan itu menyatakan
sesuatu tentang Tuhan, menyatakan sesuatu tentang tabiat
manusia, (barangkali secara tidak langsung) menceriterakan
sesuatu tentang hubungan antara dunia dengan Allah. Tetapi
cerita itu tidak menyatakan caranya dunia ini terjadi. Itu
berarti bahwa cerita penciptaan itu dianggap semacam cerita
buatan yang bertujuan menyatakan sesuatu yang lain dari pada
makna lahiriahnya.
e. Riwayat kelahiran dan kebangkitan
Tuhan Yesus
Tetapi jikalau riwayat penciptaan dapat ditafsirkan
demikian, apakah pendekatan yang sama itu tidak dapat
digunakan juga terhadap riwayat kelahiran Tuhan Yesus, atau
terhadap riwayat kebangkitanNya, atau riwayat keluaran orang
Israel dari Mesir? Bukankah halnya demikian, bahwa semua
cerita ini berfungsi dan mempengaruhi kita dengan cara yang
sama seperti caranya bahan kesusasteraan pada umumnya?
Apakah cerita-cerita itu tidak mempengaruhi kita, lepas sama
sekali dari soal, apakah perkara-perkara yang diriwayatkan
di dalamnya itu sungguh-sungguh terjadi di dunia obyektip
atau tidak? Apakah effek cerita-cerita itu atas kita tidak
mirip kepada kesan yang kita peroleh dari mitos-mitos,
pola-pola, khayalan-khayalan dan simbol-simbol, yang kita
temui dalam karangan-karangan kesusasteraan yang lain-lain?
Pendekatan demikian itu nyatanya menghadapkan kita kepada
beberapa persoalan pokok tentang caranya Alkitab berfungsi
dalam rangka iman Kristen.
3. Ditekankannya unsur kesusasteraan
tidak timbul dari ketidak-percayaan
Jikalau kita mengaku bahwa pengaruh cerita-cerita dan
syair-syair Alkitab mirip kepada pengaruh mitos-mitos dan
simbolik yang terkandung dalam karangan-karangan
kesusasteraan umum, lepas dari keterangan atau bahan-bahan
informatoris yang terkandung di dalamnya, maka hal itu tidak
berarti bahwa dengan demikian kita sudah terjerumus ke dalam
skeptisisme atau ketidak-percayaan. Bukanlah maksud saya
untuk mengatakan bahwa karena orang tidak bisa percaya lagi
kepada cerita-cerita Alkitab secara harfiah itu, maka
daripada menganggapnya kedustaan atau kebodohan belaka,
terpaksalah mereka menafsirkannya sebagai
perumpamaan-perumpamaan saja. Bukan! Kekurang-percayaan akan
arti harfiah itu hanya merupakan faktor kecil dalam proses
penafsiran-ulang yang sedang berlangsung. Sekalipun riwayat
penciptaan itu makin lama makin dianggap sebagai semacam
perumpamaan, sedangkan artinya secara harfiah makin kurang
meyakinkan, maka perkembangan itu bukanlah disebabkan karena
orang terkena ketidak-percayaan lebih dulu, lalu dari situ
barulah mulai menafsirkan Alkitab sebagai koleksi
perumpamaan. Bukan, tetapi justru karena ternyata bahwa
kebanyakan orang menganggap penafsirannya sebagai
perumpamaan itu lebih mendalam, dibandingkan dengan
pendekatan harfiah, serta lebih berhasil mengarahkan iman
kepada obyeknya yang sebenarnya (yaitu dalam hal pengertian
tentang Allah dan manusia). Makanya dianggap suatu
keuntungan bahwa isi-pokok Alkitab dipisahkan dari
unsur-unsur kosmogoni yang kuna dan kusut.
Dengan demikian dapat terjadi, baik berkenaan dengan
Kitab Kejadian maupun dengan Alkitab secara keseluruhan,
bahwa unsur perumpamaan atau unsur kesusasteraan dirasakan
sebagai unsur utama. Makanya dalam hal ini terjadi juga
bahwa kesan dari unsur kesusasteraan itu dirasakan, sebelum
timbul soal "historisitas," (= yaitu soal, apakah hal-hal
yang diceritakan itu sungguh-sungguh terjadi). Bukan hanya
demikian. Lepas dari kenyataan bahwa kesan kesusasteraan
dirasakan lebih dahulu, pengaruh cerita-cerita Alkitab itu
agaknya tidak bergantung kepada sikap yang diambil terhadap
soal historisitas itu. Misalnya, kalau orang berkata bahwa
riwayat tentang kelahiran Tuhan Yesus itu merupakan semacam
"mitos," belum tentu ini berarti bahwa dia tidak percaya
kepada kemungkinan bahwa Yesus lahir dari seorang perawan.
Bukan demikian; melainkan maksudnya ialah bahwa cerita itu
langsung berpengaruh kepada dia sebelum pertanyaan tentang
historisitas kejadian-kejadian itu terjawab. Kalau soal
historisitas itu sudah terjawab, tokh jawabannya tidak
menambahkan sesuatu kepada kesan cerita itu.
Jadi pada umumnya, kalau kita berbicara mengenai Alkitab
sebagai semacam mitos-dasar yang melandasi kepercayaan
Kristen, ini tidak berarti sama sekali bahwa kita menganut
semacam skeptisisme atau ketidak-percayaan.
4. "Mitos-mitos kesusasteraan":
Terjadinya dunia, Kelahiran Tuhan Yesus, Kebangkitan Tuhan
Yesus
Satu faktor yang berpengaruh dalam hal ini ialah bahwa
agama Kristen pada masa kini memperlihatkan suatu
keanekaragaman atau fleksibilitas dalam pokok-pokok
kepercayaan seperti mengenai terjadinya dunia, kelahiran dan
kebangkitan Yesus. Dalam arti bagaimanakah dunia diciptakan
Allah? Dalam arti bagaimanakah Allah membangkitkan Yesus
dari antara orang mati? Di luar golongan-golongan umat
Kristen tertentu (seperti golongan fundamentalis),
jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini
nampaknya samar atau beraneka-ragam. Berkenaan dengan
pokok-pokok seperti ini, perikop-perikop Alkitab yang
bersangkutan itu memberi kesan kepada kaum awam-gereja bahwa
yang dibaca adalah seperti mitos kesusasteraan, dan bukan
rumusan pengajaran tentang pokok-pokok kepercayaan yang
harus diterima. Tetapi walaupun kebanyakan orang Kristen
modern nampaknya mempunyai iman yang agak samar-samar
tentang hal-hal semacam ini, namun jelas juga bahwa banyak
dari antara mereka berkeberatan betul kalau mereka
dihadapkan kepada skeptisisme atau ketidakpercayaan yang
sungguh-sungguh. Reaksi "berkeberatan" itu memberi kesan
bahwa perikop-perikop tersebut telah diterima seperti
"mitos-mitos kesusasteraan"; sedangkan skeptisisme
menghilangkan daya-tarik mitos-mitos itu, dan menyeret orang
kembali ke dalam pengertian dogmatis tentang perikop-perikop
tersebut, serta memaksa mereka memutuskan, apakah pengertian
dogmatis itu akan dibenarkan atau ditinggalkan.
5. Pemakaian bahan Alkitab secara
liturgis dan secara meditatif
Faktor lain lagi yang membawa ke arah yang sama ialah
kebiasaan gerejani yang memakai Alkitab secara liturgis,
atau secara meditatif. Pembacaan Alkitab sering berlangsung
dalam konteks liturgis, dan liturgi itu sendiri mengandung
banyak bahan yang terambil dari Alkitab. Memang hubungan
antara Alkitab dan liturgi mengalami variasi dari gereja ke
gereja. Ada gereja yang memakai banyak bahan Alkitab dalam
rangka liturgi, tetapi ditekankannya penafsiran Alkitab
dalam khotbah adalah relatif sedikit. Sedangkan di gereja
lain uraian Alkitabiah itu menonjol, tetapi pemakaian
Alkitab dalam liturgi digantikan oleh ditekankannya
pembacaan Alkitab secara meditatif di rumah anggota
masing-masing. Pembacaan yang bersifat meditatif itu agak
mirip kepada pembacaan secara liturgis, dalam hal bahwa
kedua-dua pendekatan itu memperlakukan nats Alkitab bukan
sebagai keterangan, melainkan sebagai "mitos-suci." Baik
pembacaan secara liturgis maupun secara meditatif agaknya
bertolak dari keyakinan bahwa bahan Alkitab senantiasa dapat
diterapkan kembali dalam situasi-situasi baru. Alkitab
digunakan sebagai suatu perbendaharaan simbol-simbol yang
dapat dikeluarkan dan dipakai berulang kali, semacam puisi
ilahi, yang membantu gereja segala abad untuk mengerti serta
mengekspresikan eksistensinya sendiri. Tetapi cara pemakaian
Alkitab yang demikian itu bisa mengabaikan soal: sampai
berapa jauh nilai cerita-cerita Alkitab itu bergantung
kepada keterangan yang terkandung di dalamnya, atau kepada
obyektivitas fakta-fakta lahiriah yang disebut-sebut di
dalamnya? Misalnya, riwayat keluaran (exodus) Israel dari
Mesir dipakai dalam gereja tertentu sebagai bahan dalam
liturgi pembaptisan anak-anak. Makin jemaat mendengar
riwayat keluaran dalam konteks pembaptisan anak-anak itu
makin kurang perhatiannya terhadap segi-segi-historis
riwayat tersebut. Betulkah bangsa Israel keluar dari
perhambaan di Mesir? Dan kalau memang betul, bagaimana cara
pembebasan mereka itu terjadi? Pemakaian cerita secara
liturgis tidak merangsang pertanyaan-pertanyaan yang
demikian.
6. Typologi dan alegorisasi
Pemakaian Alkitab secara liturgis-meditatif adalah cocok
dengan ide bahwa Alkitab berfungsi di antara umat Kristen
sebagai mitos dasar yang bercorak kesusasteraan. Atau kalau
kita ingin menggunakan istilah teologis yang lebih
tradisional, dapat dikatakan bahwa pendekatan yang demikian
banyak mengandung unsur typologi dan alegorisasi. Artinya,
Alkitab menyediakan suatu rentetan type-type atau
kategori-kategori yang bersifat kesusasteraan yang
menggambarkan inti pengalaman Kristen dan yang menunjukkan
ciri-ciri khasnya. Memang para ahli dari dulu sering
ragu-ragu tentang pemakaian Alkitab secara typologis, dan
lebih-lebih lagi secara alegoris. Tetapi keberatan-keberatan
yang demikian tidak sampai kena kepada pemakaian Alkitab
secara liturgis atau meditatif. Bahkan pemakaian typologi
dan alegori dalam homeletika sering juga diperbolehkan. Kita
tidak akan mengusut pokok ini lebih lanjut; cukuplah kita
mencatat bahwa pemakaian Alkitab secara liturgis dan
meditatif mengandung implikasi bahwa bahasa Alkitab itu
dapat diterapkan kepada berbagai situasi dan kondisi manusia
pada sembarangan waktu. Maka pemakaian yang demikian
mengarah kepada pandangan bahwa Alkitab merupakan semacam
perbendaharaan mitos dan simbol yang dapat dimanfaatkan oleh
umat Kristen.
7. Pendekatan "apresiasi kesusasteraan"
sebagai milik-bersama gereja dan masyarakat
Kecenderungan membaca Alkitab sebagai bahan kesusasteraan
merupakan suatu titik-hubungan antara gereja dan masyarakat
secara keseluruhan. Bilamana orang yang belum beriman
membaca Alkitab, biasanya mereka membacanya sebagai karangan
kesusasteraan. Mungkin mereka membacanya dengan merasa tidak
perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
teologis berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dan
oknum-oknum yang diceritakan di dalam Alkitab. Bahwa ada
orang-orang yang membaca Alkitab dengan cara demikian,
sepatutnyalah kita nilai secara positif.
Pada masa lampau ada kecenderungan untuk berkesimpulan
bahwa pemakaian Alkitab secara teologis sebenarnya berbeda
sekali dengan pemakaiannya secara kesusasteraan, atau bahwa
pembacaan Alkitab sebagai bahan kesusasteraan berlangsung
pada taraf yang lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan
teologis terhadap Alkitab. Tetapi sebagaimana kita lihat di
atas, tidak usah demikian, karena dalam tubuh gereja sendiri
Alkitab sering berfungsi dengan cara-cara yang mirip
apresiasi kesusasteraan itu. Maka pendekatan yang demikian
dapat menjadi titik-hubungan antara gereja dengan masyarakat
yang belum beriman. Kadang-kadang kedengaran ucapan bahwa
Alkitab sepatutnya diselidiki dan ditafsirkan "di dalam
gereja." Tetapi menurut hemat saya, penekanan yang demikian
itu adalah salah. Alkitab merupakan bahan penyelidikan untuk
dunia sebagai keseluruhan, dan bukan hanya untuk gereja.
Alkitab merupakan bahan yang patut dipelajari di
sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Dia
menyediakan bahan bukan hanya untuk pendeta dan ahli
teologia, melainkan juga untuk ahli sejarah dan sastrawan.
Gereja malah menjadi untung kalau pengetahuan dan apresiasi
Alkitab ditingkatkan dalam masyarakat dan kebudayaan kita.
Sekalipun pendekatan yang demikian masih bersifat
non-teologis, bahkan skeptis, hal itu tidak menjadi soal.
Bahkan saya berani berkata bahwa gereja untung kalau
agnostisisme yang ada di masyarakat mencapai
nilai-intelektual yang setinggi mungkin.
Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa bukan hanya di
dalam gereja, melainkan dalam masyarakat juga, ada sedikit
keseganan dalam menilai Alkitab sebagai kesusasteraan
melulu. Sehingga banyak orang malah segan membaca Alkitab,
justru karena mereka menganggapnya "benar," yaitu sebagai
sumber keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang
sungguh-sungguh terjadi. Karena tradisi Kristen sejak dulu
biasanya menghargai Alkitab bukan sebagai bahan
kesusasteraan, melainkan terutama sebagai sumber keterangan
yang sah. Maka penekanan yang demikian sangat mempengaruhi
sikap masyarakat dan kebudayaan terhadap Alkitab; sehingga
orang yang tidak dapat menerima Alkitab sebagai sumber
keterangan yang benar, memutuskan untuk tidak membacanya
sama sekali. Oleh karena itu boleh jadi bahwa walaupun
Alkitab merupakan karangan kesusasteraan yang bernilai
tinggi, dan sangat berperan dalam kebudayaan pada umumnya,
namun ada mahasiswa-mahasiswa fakultas sastra yang sama
sekali buta-huruf tentang isi Alkitab. Kekurangan mereka itu
patut disesalkan, sehingga patut kita perjuangkan supaya
Alkitab dihargai sebagai bahan kesusasteraan.
8. Pendekatan teologis dan pendekatan
"apresiasi kesusasteraan" saling melengkapi
Biar bagaimana pun, dapat disimpulkan dari uraian-uraian
di atas, bahwa tidaklah mungkin untuk memisahkan secara
mutlak antara pemakaian Alkitab secara teologis dan
pengapresiasiannya secara kesusasteraan. Beberapa ciri, yang
telah nampak bila Alkitab dibaca sebagai karangan
kesusasteraan, nampak juga dalam beberapa cara pemakaian
Alkitab oleh orang Kristen. Mungkin soalnya akan menjadi
lebih jelas, kalau kita menyelidiki metode-metode pendekatan
kepada Alkitab yang ada.
|