| |
III. PEMAKAIAN ALKITAB SECARA LITURGIS DAN MEDITATIFDalam rangka diskusi tentang Alkitab sebagai bahan kesusasteraan, perlu kita mencatat juga bahwa ada perbedaan antara pengapresiasian terhadap Alkitab sebagai bahan kesusasteraan, dan penggunaannya secara liturgis atau meditatif. 1. Titik-titik persamaan dengan pendekatan "apresiasi kesusasteraan"Dalam pasal ini memang kita agak menggabungkan pendekatan liturgis dan meditatif itu, oleh karena kedua-duanya memperlihatkan unsur-unsur kesamaan. Khususnya, mitos yang melandasi tradisi kesusasteraan tertentu, dapat dibandingkan dengan mitos dasar agamawi yang dapat melandasi perayaan liturgis. Baik mengenai penggunaan Alkitab secara kesusasteraan atau mithis, maupun secara liturgis, pendekatan modern itu merupakan kelanjutan dari proses-proses yang menghasilkan bahan-bahan Alkitabiah itu mula-mula. Misalnya ada beberapa bagian Alkitab yang mula-mula berkembang sebagai bahan kesusasteraan rakyat atau kesusasteraan kraton. Sebagai contoh-contoh dapat disebut cerita-cerita dari sumber Y dan E dalam Panca Jilid (Pentateuch), riwayat penggantian tahta Daud, Kidung Agung, dan bagian-bagian terkuna dalam kitab Amsal. (Dapat dicatat sambil lalu bahwa justru bahan-bahan ini termasuk bahan kesusasteraan yang paling indah sepanjang seluruh Alkitab). Sedangkan bagian-bagian lain dari Alkitab berasal mula-mula dalam konteks liturgi. Mazmur-mazmur merupakan contoh yang paling jelas dalam kategori ini. Dan patut diingat juga bahwa akhirnya kitab-kitab Alkitab itu dipersatukan justru dalam konteks liturgi; karena kitab-kitab itu dijadikan nats-nats yang dibacakan secara teratur dalam konteks ibadat, baik di synagoge maupun di gereja. Kalau kita mengenakan istilah "skriptura suci" kepada bahan Alkitab itu, maka dengan menggunakan istilah itu, kita mengaku bahwa asal-mulanya nats-nats tersebut adalah dalam konteks liturgi. Jadi dapat dikatakan bahwa sifat Alkitab sebagai bahan kesusasteraan dan sebagai bahan liturgis mempunyai unsur-unsur kesamaan; baik ditinjau dari segi asal-mulanya Alkitab, maupun dari segi caranya Alkitab itu berfungsi. 2. Titik-titik perbedaan dengan pendekatan "apresiasi kesusasteraan"Namun ada perbedaan-perbedaan penting juga antara pemakaian Alkitab sebagai bahan kesusasteraan dan pemakaiannya secara liturgis. Apresiasi kesusasteraan mungkin bersifat insidental, sedangkan pemakaian Alkitab dalam rangka ibadat adalah bersifat terus-menerus. Pembacaan Alkitab secara kesusasteraan biasanya berarti bahwa kita mulai dari permulaan kitab yang bersangkutan, dan membaca terus sampai selesai. Tetapi dalam rangka liturgi, kita memilih bagian-bagian tertentu untuk dibaca, (mungkin sekitar sepuluh ayat) atau rentetan ayat yang satu tema dari sana-sini di seluruh Alkitab, sedemikian rupa, hingga ayat yang satu diikat kepada ayat yang lain melalui suatu proses harmonisasi. Walaupun ada aspek-aspek-tertentu penggunaan Alkitab secara liturgis itu yang cocok dengan penggunaannya sebagai bahan kesusasteraan (yaitu dalam rangka pengapresiasian simboliknya), namun bukan itulah yang diutamakan dalam pemakaian Alkitab secara liturgis. Alkitab dalam rangka ibadat dipakai juga sebagai sumber keterangan, yaitu untuk menarik perhatian jemaat kepada suatu penyataan ilahi yang eksistensi-obyektifnya sungguh-sungguh diyakini. Pula pembacaan Alkitab dalam rangka ibadat atau meditasi pribadi, mengandung suatu unsur etis yang kuat. Tujuannya ialah untuk membangun, untuk mempertajam kesadaran-etis si pembaca, untuk memperhadapkannya kepada apa yang benar, mengantarnya ke dalam persekutuan dengan Allah dan ke dalam perenungan maksud dan kehendak Allah rnengenai kita manusia. 3. Nisbah antara liturgi, faktualitas, den teologiaDengan perkataan lain, saya memang membicarakan pembahasan Alkitab secara liturgis dan meditatif, dalam hubungan dengan pemakaian Alkitab sebagai bahan kesusasteraan. Tetapi sebenarnya, adalah berat-sebelah kalau kita berhenti di situ saja. Kita harus melanjutkannya dengan memperhatikan kaitan antara pemakaian Alkitab secara liturgis dan meditatif, dengan pemakaiannya sebagai sumber keterangan dan sebagai sumber teologia. Hubungan itu akan kita bahas dalam pasal-pasal berikut. Jikalau memang dapat dibeda-bedakan berbagai proses pendekatan intelektual terhadap Alkitab, maka bolehlah dikatakan bahwa pemakaian Alkitab secara liturgis dan secara meditatif agaknya menyangkut semua proses-proses tersebut. Itulah sebabnya dalam buku kita ini tidak ada pasal yang membahas peranan Alkitab dalam liturgi dan dalam meditasi secara tersendiri. Patut dicatat juga bahwa pembahasan tentang perkembangan liturgi adalah merupakan suatu bidang penyelidikan tersendiri, yang tak dapat kita masuki di sini. Mungkin sekali peranan Alkitab dalam liturgika akan ditinjau kembali juga pada masa depan. Sebagai kesimpulan, patut saya catat bahwa saya tidak bermaksud mengidentikkan pemakaian Alkitab sebagai bahan kesusasteraan dengan pemakaiannya secara liturgis. Maksud saya di sini ialah hanya untuk menunjukkan bahwa ada beberapa aspek kesamaan dalam kedua pemakaian itu dan bahwa aspek-aspek kesamaan itu merupakan suatu jembatan yang penting antara pengertian Alkitab sebagai bahan kesusasteraan (yang kadang-kadang bisa merupakan pendekatan yang bersifat sekuler) dan pemakaian Alkitab secara tradisional (yaitu sebagai bahan kepercayaan Kristen). | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |