| |
V. PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PENGAPRESIASIAN KESUSASTERAAN UMUMDemikianlah salah satu diskusi modern yang menyangkut hubungan antara apresiasi kesusasteraan dan nilai teologis Alkitab. Sekarang kita beralih kepada diskusi lain lagi, yang mempunyai beberapa titik-hubungan dengan diskusi yang baru kita uraikan itu maupun dengan konsep relativisme yang kita bahas dalam pasal III di atas. Dr. Nineham termasuk ahli yang secara khusus menekankan pelajaran yang dapat diambil oleh ahli-ahli teologia dan ahli-ahli tafsir Alkitab dari bidang pengapresiasian kesusasteraan pada umumnya. Biarlah saya mengutip pendapat Nineham16 dalam hal ini. 1. Pendapat D.E. Nineham"Para pengritik di bidang kesusasteraan pada masa kini sependapat bahwa usaha untuk menunjukkan satu makna yang definitif dalam karangan yang mereka selidiki itu tidaklah tepat. Misalnya Helen Gardner memuji suatu karangan baru mengenai drama 'Measure for Measure' justru karena karangan baru itu tidak berusaha untuk menguraikan arti 'Measure for Measure' yang definitif. Pengarang buku itu agaknya merasa puas kalau bukunya membantu orang lain mengerti drama tersebut dengan lebih baik dari pada sebelumnya. Patut diperhatikan bahwa karangan kesusasteraan yang dibicarakan oleh Helen Gardner adalah drama-kesatuan yang dikarang oleh satu orang. Alkitab juga mengandung banyak karya dramatis, termasuk puisi, perumpamaan, dan apa yang dapat disebut 'karangan-karangan simbolis' yang sangat beraneka-ragam. Alkitab dikarang dalam proses yang berlangsung lebih dari seribu tahun, dan merupakan hasil-karya berbagai pengarang yang berbeda-beda kepribadiannya, kepercayaannya, dan latar belakang kebudayaannya. Maka jikalau kita mau mempertahankan bahwa ada sesuatu yang dapat dikemukakan sebagai 'arti Alkitab yang satu dan yang definitif,' kita hanya dapat berkata demikian berdasarkan iman. Kalau Alkitab yang begitu luas itu memang mengandung satu makna yang menyeluruh, maka pastilah hal itu terjadi karena karya Allah yang membimbing proses penyusunan Alkitab. Itu berarti pula bahwa kita pastilah memerlukan bimbingan Roh Kudus kalau kita mau menemukan arti dan makna yang satu itu." 2. Beberapa tanggapan terhadap pendapat D.E. NinehamKutipan ini, biarpun panjang, tidak mencakup semua detail (seluk-beluk) kesejajaran yang digariskan Nineham antara pengapresiasian kesusasteraan pada umumnya dan pengapresiasian Alkitab. Pun pengetrapan ide "apresiasi kesusasteraan" kepada konsep kewibawaan Alkitab tidak diuraikan secara mendetail. Patutlah kita mencatat beberapa implikasi dari penekanan Nineham itu. a. "Tafsiran yang paling tepat atas karangan kesusasteraan ialah karangan kesusasteraan itu sendiri"Suatu prinsip penting dalam menafsirkan karangan kesusasteraan ialah: asalkan karangan tersebut merupakan suatu karangan kesusasteraan dan bukan melulu suatu sumber keterangan, maka dapat dikatakan bahwa karangan tersebut "mewujudkan atau menguraikan maknanya sendiri." Karena karangan yang bersifat kesusasteraan tidak mengandung suatu makna yang dapat dilepaskan dari bentuk karangan itu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang lain. Cara makna itu diuraikan dalam karangan tersebut, sebenarnya identik dengan "message" atau "makna" karangan itu sendiri. Itu berarti bahwa tafsir atas karangan tersebut mempunyai tujuan terbatas, yaitu menjelaskan struktur dan seluk-beluk karangan itu supaya si pembaca membaca karangan itu kembali secara lebih mendalam. Si penafsir tidaklah bercita-cita untuk menyodorkan inti-sari makna karangan itu dalam rumusan yang lain. Misalnya, hasil segala penyelidikan ilmiah terhadap Injil Markus sepatutnyalah begitu menerangi pikiran si pembaca, sehingga dia terangsang untuk mengejar tujuannya yang sebenarnya, yaitu makna Injil Markus, dengan jalan membaca kembali Injil Markus itu. Menurut hemat saya, pendapat ini memang benar. Jadi persoalan yang timbul dalam menggunakan Alkitab dalam rangka kebaktian adalah begini: Kitab-kitab atau bagian-bagian Alkitab yang manakah yang patut dihitung sebagai bahan kesusasteraan, dan bagian-bagian yang manakah yang berfungsi sebagai keterangan. b. "Tiap-tiap karangan kesusasteraan mengandung kemajemukan makna"Tidak begitu jelas kepada saya apa yang menjadi sasaran Nineham dengan keberatan-keberatan yang dia ajukan terhadap konsep "makna yang satu" ("sang makna") itu. Istilah "makna yang satu" itu tidak terdapat dalam karangan-karangan ahli-ahli Alkitab atau ahli-ahli teologia. Jadi pengertian saya tentang maksud Nineham dalam alinea yang terkutip itu ialah: kalau kita tak mungkin untuk menyebut begitu saja "makna yang definitif" dari sesuatu drama (meskipun drama tersebut merupakan suatu kesatuan yang digubah oleh satu pengarang juga), apalagi untuk menyebut "makna yang satu" dari sesuatu karangan seperti Alkitab, yang begitu beranekaragam karena tersusun dari berbagai lapis dan sumber. Atau kalau "makna yang satu" itu memang dapat disebut, maka kemungkinan itu hanya ada berdasarkan iman. (Buat saya adalah kurang jelas apakah dalam hal ini Nineham menilai peranan iman itu positif atau negatif). Dan jelaslah bahwa karena "makna yang satu" itu ditangkap dengan iman, dengan sendirinya ia tidak merupakan hasil penyelidikan yang teliti dan ilmiah. Tetapi lebih jauh dari itu, argumentasi Nineham agaknya mencampur-campurkan beberapa unsur yang sebenarnya berlainan:
c. Keberatan terhadap penentuan "makna definitif" karangan kesusasteraanRupa-rupanya argumentasi Nineham juga membawa ke arah yang lain lagi. Alkitab, katanya, mengandung berbagai-bagai macam makna; tetapi antara sekian banyak, tidak ada yang dapat disebut "makna yang satu-satunya". Bermacam-macam makna itu dapat dirasakan, tetapi yang dirasakan itu tidak boleh dimutlakkan sebagai makna yang satu-satunya. Ada beberapa penyair, yang (menurut Helen Gardner) kalau ditanya tentang makna puisi mereka, selalu menjawab bahwwa "maknanya ialah kesan yang diperoleh si pembaca sendiri". Jikalau saya mengerti maksud Nineham, dia memperjuangkan suatu "kemajemukan-makna" serta melawan usaha untuk menentukan "makna yang satu-satunya dari Alkitab". Tetapi jawaban saya, begini: patut diragukan apakah para pengritik di bidang kesusasteraan memanglah bersikap begitu toleran terhadap kemajemukan-makna yang ditemukan pengritik-pengritik lain dalam karangan-karangan kesusasteraan. Karena ternyata ada juga banyak "penemuan makna" yang ditolak oleh pengritik-pengritik dalam bidang kesusasteraan. d. Jalan tengah: Kemajemukan makna dalam batas-batas tertentuMungkin dapat kita ambil jalan-tengah dalam soal ini. Pengritik dalam bidang kesusasteraan merasa sanggup untuk menggariskan batas-batas lapangan-makna, dengan mengatakan bahwa maknanya bukan ini dan bukan itu. Jadi dengan menolak kemungkinan-kemungkinan tertentu, dia berhasil membuat pagar di sekitar makna nats itu secara positif, tetapi dalam lapangan yang dipagari itu terdapat banyak flexibilitas. Setelah menolak usul-usul yang "salah" tentang makna, dia tidak melanjutkan dengan usaha untuk mendefinisikan makna yang "benar". Nah, dapat dikatakan bahwa prosedur semacam itulah yang berlangsung dalam penafsiran Alkitab. Berdasarkan bahan bukti dari bidang linguistik atau kritik-historis, tafsir ini atau tafsir itu atau tafsir yang lain lagi ditolak, sehingga dengan demikian lapangan makna dipagari. Namun dalam pagar itu masih ada beberapa kemungkinan tafsir yang masih laku. Rumusan yang demikian itu berarti bahwa si penafsir harus flexibel dalam menerima boberapa kemungkinan, sambil mempertahankan haknya untuk menolak usul-usul-tafsir lainnya. e. Hubungan "makna untuk masa lampau" dan "makna untuk masa kini"Dalam artikel yang sama Nineham mengajukan keberatan-keberatan lain terhadap usaha penentuan makna. Dia berkata bahwa sekiranya kita sudah tahu makna Alkitab pada masa lampau dalam konteksnya yang asli, maka belum tentu dengan demikian kita sudah tahu maknanya untuk masa kini. Banyak rumusan dalam naskah-naskah kuna itu tidak mempunyai makna masa kini dalam arti kata "makna" yang lazim. Pendapat Nineham ini membawa kita kembali kepada semacam relativisme-kebudayaan: yaitu bahwa karangan yang berasal dari kebudayaan kuna itu memang bermakna dalam konteks kebudayaan kuna tersebut; tetapi dalam kebudayaan kita karangan tersebut mungkin mempunyai makna yang lain, atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Beberapa aspek dari pandangan itu sudah kita diskusikan di atas. Di sini saya hanya mau menambah satu catatan saja, yaitu bahwa pandangan tersebut bertentangan dengan prinsip yang dianut Nineham sendiri, yakni prinsip bahwa seharusnya kita mengikuti pola yang terdapat dalam bidang apresiasi kesusasteraan. Karena dalam bidang kesusasteraan, apresiasi terhadap karangan-karangan dari jaman kuna dan dari bermacam-macam kebudayaankebudayaan telah menjadi kebiasaan; sehingga tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa karangan modern, yaitu hasil kesusasteraan dari masa kini dan dari kebudayaan kita sendiri adalah lebih bermakna dari pada karangan-karangan kesusasteraan-kesusasteraan kuna. Kadang-kadang justru sebaliknya. Jadi konsep relativisme-kebudayaan sebenarnya bertentangan dengan pendekatan melalui apresiasi kesusasteraan. | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |