| |
II. BEBERAPA POLA TENTANG PENGARUH ALKITAB TERHADAP TEOLOGIAMasih banyak pembedaan yang dapat digariskan antara berbagai pola pemakaian Alkitab dalam teologia. Bahkan ada begitu banyak pendekatan yang berbeda-beda yang dapat dibayangkan, sehingga agaknya tak mungkin kita menggolongkan semuanya secara lengkap. Jadi di sini akan saya daftarkan saja beberapa cara yang dapat dipakai untuk menentukan proporsi pengaruh Alkitab dalam bidang teologia: 1. Penggolongan cara-cara pemakaian Alkitab dalam argumentasi, menurut "pola-pola logis"Dapat digariskan perbedaan antara beberapa "pola logis" (logical types) berkenaan dengan penggunaan Alkitab dalam argumentasi. Kelsey membedakan antara "keterangan," "konsekwensi," dan "bukti." Misalnya dalam contoh berikut: Saudara Tan Beng Kie lahir di Hongkong, jadi agaknya dia termasuk warga negara Inggris; karena orang yang lahir di Hongkong itu biasanya mendapat kewarga-negaraan Inggris. Dalam contoh ini, "keterangan" ialah bahwa saudara tersebut lahir di Hongkong. "Konsekwensi" ialah argumentasi bahwa biasanya orang yang lahir di Hongkong itu mendapat kewarga-negaraan Inggris. Tetapi jikalau "konsekwensi" itu ditentang, maka dapat diajukan "bukti," berupa undang-undang dan keputusan-keputusan hukum. Yang disebut "konsekwensi" itu harus merupakan rumusan umum. Ya, tentunya rentetan argumentasi itu agak longgar, dan tidak merupakan pembuktian mutlak menurut norma-norma logika. Misalnya, bisa jadi juga bahwa saudara Tan Beng Kie itu akhirnya nampak sebagai warga-negara Singapura atau Indonesia. Akan tetapi ketidak-mutlakan dalam logika argumentasi ini dapat dirasa tepat juga, mengingat bahwa argumentasi tersebut dipakai sebagai ilustrasi argumentasi teologis. Kesimpulan Kelsey ialah bahwa dalam contoh-contoh argumentasi yang dia selidiki itu, nyatanya skriptura hampir selalu dipakai sebagai "keterangan," jarang sebagai "bukti," dan tidak pernah sebagai "konsekwensi." (Kelsey mengajukan contoh-contoh dari karangan-karangan Barth dan Bultmann). Bertolak dari diskusi Kelsey ini, mungkin situasi dapat dianalisa, demikian: penggunaan skriptura secara praktis dalam bidang teologis biasanya termasuk kategori "keterangan." "Konsekwensi" ialah keyakinan umum bahwa skriptura memang berwibawa, atau merupakan norma, atau mempunyai kemungkinan besar untuk nampak relevan, dan sebagainya. Semua rumusan tentang "konsekwensi" ini merupakan keyakinan-keyakinan umum tentang skriptura, sesuai dengan analisa di atas. Sedangkan "bukti" terdapat dalam argumentasi-argumentasi seperti yang dipakai misalnya dalam buku kita ini, yaitu argumentasi-argumentasi yang mendukung sahnya penarikan "konsekwensi,' itu. Namun jelas bahwa "keterangan," "konsekwensi" dan "bukti" adalah saling memasuki. Karena pola pem"bukti"an yang kita gunakan akan mempengaruhi caranya kita memakai skriptura sebagai "keterangan"; dan sebaliknya, cara kita menggunakan skriptura sebagai "keterangan" dan mempengaruhi sah-tidaknya pem"bukti"an yang kita sodorkan. 2. Penggolongan menurut konteks-konteks aktual di mana Alkitab dipakaiPola-pola pemakaian Alkitab dalam teologia dapat diklasifikasikan dengan cara lain, yaitu berdasarkan konteks aktual, di mana Alkitab itu dipakai. Misalnya sbb.: a. Konteks teologiaAda pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teologia-ketat, yaitu dalam bentuk: "Apakah yang merupakan pokok kepercayaan kita?'' Pertanyaan-pertanyaan seperti itu timbul dari iman, yang sedang mencari pengertian akan dirinya sendiri. b. Konteks etikaAda pertanyaan-pertanyaan etis dalam bentuk: "Apakah yang harus dilakukan?." "Pola hidup yang manakah yang tepat?" Dapat dikatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini timbul dari dunia yang kita diami, dan ditujukan kepada iman yang merupakan pedoman hidup kita itu. c. Konteks praktekaAda pertanyaan-pertanyaan praktis dalam bentuk: "Bagaimana cara gereja mengekspresikan/mengungkapkan diri?" Mungkin dapat dipersoalkan apakah pertanyaan-pertanyaan jenis ketiga ini betul-betul merupakan kategori tersendiri. Tetapi yang saya maksudkan di sini ialah terutama corak-corak pembicaraan gereja: corak uraian Alkitab, pengkhotbahan, dialog dengan masyarakat dan dengan pendapat-pendapat masyarakat, yang dilangsungkan oleh gereja. 3. Penggolongan menurut isi bahan AlkitabPola yang lain lagi mengenai hubungan Alkitab dengan teologia: sering diusahakan suatu pembeda-bedaan dalam isi Alkitab itu sendiri. Misalnya: a. Rumusan-rumusan teologis dan non-teologisSering digariskan perbedaan-status antara rumusan-rumusan agamawi atau teologis dalam Alkitab, dan rumusan-rumusan yang termasuk bidang-bidang lain. Sebagai contoh: sering kedengaran bahwa Alkitab tidak menuntut kewibawaan sebagai text-book ilmu pengetahuan. Agaknya yang dimaksudkan ialah bahwa rumusan-rumusan Alkitab tentang kosmologi ilmu bumi, asal-usul bahasa, dan sebagainya, adalah bertaraf rendah, dibandingkan dengan rumusan-rumusan agamawinya. Pembedaan yang demikian itu kelihatannya berguna; tetapi sering dialami juga bahwa penerapannya sukar. Misalnya: apakah dapat dikatakan bahwa rumusan-rumusan Alkitabiah mengenai Allah berstatus lebih tinggi, dibandingkan dengan rumusannya mengenai manusia? Kalau demikian, itu berarti bahwa konsep-konsep Alkitabiah tentang jiwa dan raga manusia juga berstatus rendah. Memang, konsep-konsep yang demikian mendekati bidang ilmu pengetahuan; namun dalam Alkitab konsep-konsep itu dimanfaatkan dalam rumusan-rumusan teologis, sehingga sukar dipisahkan dari teologia Alkitab. b. Rumusan-rumusan yang berdasarkan pengetahuan-langsung, dan yang bukan demikianDapat diusahakan pembeda-bedaan juga antara pokok-pokok yang betul-betul dikenali serta dikuasai pengarang-pengarang Alkitab, dalam kontras dengan pokok-pokok yang tidak dikenali atau dikuasai pengarang-pengarang tersebut. Pembedaan yang demikian itu mirip dengan pembedaan di atas, hanya alasannya yang lain. Dapat dikatakan bahwa manusia pada jaman Alkitabiah itu belum mempunyai pengetahuan tentang asal-mulanya dunia ini, tentang ilmu-bumi wilayah-wilayah terpencil, atau tentang kepelbagaian bahasa dan bangsa, selain yang nampak dalam wilayah sekitar Israel. Tetapi para pengarang Alkitab sungguh-sungguh mengenali dan menguasai hal-hal lain; misalnya tentang persengketaan-persengketaan agamawi yang berlaku pada jamannya itu, tentang implikasi-implikasi gambaran Israel tentang Allah, tentang ketegangan-ketegangan yang timbul antara Yudaisme dengan gereja awal (mula-mula), dan sebagainya. Maka berdasarkan kenyataan itu, isi Alkitab dapat digolong-golongkan menurut taraf pengetahuan yang dimiliki para pengarang Alkitab, atau yang terkandung dalam tradisi yang diwarisi pengarang-pengarang itu. Di mana pengetahuan para pengarang itu paling tinggi, di situlah harga bahan Alkitabiah itu paling tinggi juga, dan sebaliknya. c. Pembedaan maksud-umum dan detail-detail perőkopSering diadakan pembedaan antara maksud-umum perikop-perikop-Alkitab tertentu, dalam kontras dengan detail-detail perikop-perikop tersebut. Menurut penilaian awam, detail-detail itu tidak terlalu berarti; makna-umum perikop, itulah yang patut dinilai tinggi. Misalnya, kitab Kejadian pasal 1 dipandang demikian. Tetapi kesulitan yang terkandung dalam pendekatan ini ialah bahwa sering timbul perselisihan antara rumusan-rumusan yang samar dan umum tentang maksud perikop tertentu, dan hasil penelitian-tafsir yang seksama. Mungkin sekali hasil penelitian itu memperlihatkan bahwa detail-detail perikop itu memang disengaja dan harus dikuasai, kalau betul-betul kita akan menangkap maksud perikop tersebut. d. Pembedaan inti-maknawi perikop dan bentuk-lahiriahnyaPula dapat dibeda-bedakan antara "kerygma" atau pemberitaan eksistensial suatu perikop, dibandingkan dengan keterangan lahiriah yang merupakan salutan kerygma itu. Atau, perbedaan yang pada prinsipnya sama dapat dijelaskan dalam istilah-istilah yang dipakai Bultmann; yaitu perbedaan antara "rumusan kerygmatis" dengan "rumusan teologis." Suatu kalimat seperti "dosamu telah diampuni" atau (kalau kita menggunakan contoh yang dipakai Bultmann sendiri) kalimat yang paling sederhana: "Yesus Tuhan" (II Korintus 4:5) termasuk kategori kerygmatis. Sedangkan meditasi atas rumusan-rumusan kerygmatis itu, atau meditasi atas keampunan, atau atas eksistensi Yesus, termasuk kategori teologis. Rumusan-rumusan teologis menguraikan-pengertian diri yang terangsang oleh rumusan-rumusan kerygmatis. Jadi kedua kategori itu berfungsi masing-masing menurut polanya sendiri. Rumusan-rumusan teologis termasuk rumusan baris kedua, serta bergantung kepada rumusan-rumusan kerygmatis yang termasuk baris pertama itu. Namun menurut Bultmann, kedua kategori itu sulit dipisah-pisahkan; karena dalam rumusan kerygmatis yang paling sederhana pun, pengistilahan teologis sudah mulai nampak. Namun demikian, perbedaan itu tetap merupakan perbedaan yang amat penting. Iman tidak timbul secara spontan dari eksistensi manusia begitu saja, melainkan merupakan "iman kepada kerygma yang meriwayatkan karya Allah dalam diri manusia Yesus dari Nazaret itu." Di pihak lain, pemikiran-pemikiran teologis merupakan "penguraian tentang pengertian diri, yang dibangkitkan oleh kerygma." Walaupun usaha membedakan kedua kategori itu tidak gampang, namun perlu juga diusahakan; karena adalah termasuk kekeliruan yang mematikan kalau status, yang seharusnya diberikan kepada kerygma, dialihkan kepada pemikiran-pemikiran teologis. Pembedaan ini memanglah diuraikan oleh Bultmann dalam istilah-istilah yang sangat teknis, maka seluk-beluk uraian itu tidak usah kita kejar di sini. Namun yang dimaksudkan Bultmann itu sering dirasakan oleh kaum awam; yaitu, banyak orang merasa bahwa ada suatu bahan-inti dalam Alkitab yang dianggap mengena, menantang, dan memikat kepribadian secara langsung dan intim. Maka iman kepercayaan awam sering berlandaskan bahan-inti ini, dan bukan berlandaskan segenap jaringan pengistilahan teologia, yang merumuskan pemikiran gereja tentang imannya. Tinggal sekarang kita mencari hubungan antara pendapat Bultmann itu dengan dalil yang saya rumuskan pada permulaan pasal ini. Saya mengusulkan pada titik-tolak pasal ini, bahwa gerakan modern yang menekankan kewibawaan Alkitab membuat teologia Alkitab menjadi normatif untuk teologia masa kini. Mungkin dirasakan bahwa pendapat Bultmann yang saya uraikan di atas mempunyai penekanan yang lain daripada penekanan neo-orthodox, yaitu membuat kerygma menjadi normatif untuk teologia masa kini sambil memberi peranan sekunder kepada teologia Alkitab. Tetapi barangkali perbedaan yang nampak sepintas lalu itu tidak merupakan perbedaan yang sungguh-sungguh; karena jelas bahwa maksud Bultmann ialah untuk mengarang sebuah "teologia" Perjanjian Baru. Dan agaknya dia berpendapat bahwa tugas demikian dapat tercapai. Jadi rupanya dia bermaksud sbb.: pemikiran-pemikiran teologis dalam Perjanjian Baru itu memang dapat diuraikan dan ditangkap, tetapi hanya dengan pra-syarat bahwa pemikiran teologis itu bersifat sekunder dibandingkan dengan kerygma. Jadi, asalkan peranan-primer kerygma dan tempat sekunder rumusan-teologis itu dimengerti betul, suatu teologia Perjanjian Baru (dan mungkin dapat ditambah, teologia Alkitab, - walaupun itu memang di luar sasaran Bultmann) dapat (bahkan seharusnya) menjadi normatif untuk teologia masa kini. Maka ditinjau dari segi itu, pembedaan antara kerygma dan pemikiran teologis tidak merupakan kekecualian terhadap corak pendapat yang kita uraikan dalam pasal ini. e. Pembedaan "ipsissima verba" Allah atau Yesus dan FirmanNya yang dilaporkanDapat dibedakan juga antara bahan yang nampaknya berasal agak langsung dari Allah (atau dari Yesus), dibandingkan dengan bahan yang menceritakan Allah dan Yesus, atau yang disampaikan atas nama Allah dan Yesus oleh pemimpin-pemimpin Israel atau gereja. Misalnya, ada banyak yang berpendapat bahwa perkataan-perkataan Tuhan Yesus mempunyai kewibawaan yang lebih langsung, dibandingkan dengan perkataan-perkataan Rasul Paulus. Ya, dapat dijawab bahwa sebenarnya tidak ada perkataan Yesus yang langsung, hanya perkataan Yesus yang dilaporkan Markus, Matius, dan penginjil-penginjil lain. Tetapi itu soal lain, di sini kita tidak membicarakan otentisitas perkataan-perkataan yang oleh kitab-kitab Injil dianggap "ipsissima verba" Yesus. Soalnya begini: berdasarkan asumsi bahwa Yesus memang mengajar dan bahwa kita mengetahui isi pengajaranNya itu, tidakkah benar bahwa pengajaran itu akan mendapat status primer, sedangkan pengajaran Paulus diberi status sekunder? Soal ini perlu dipanjang-lebarkan sedikit, karena biasanya ada beberapa soal yang dicampur-baurkan sekitar pokok ini. Dapat kita menganalisanya sebagai berikut: i. Ipsissima verba Yesus dalam penyorotan kritik-historis Pertama-tama, ada soal historisitas. Ada berapa banyak bahan yang betul-betul merupakan "ipsissima verba" Yesus. Tentang soal ini, pendapat para ahli berbeda-beda. Pada prinsipnya, soalnya berkisar pada pertanyaan: apakah kitab-kitab Injil memberi keterangan yang cukup untuk memecahkan persoalan otentik-tidaknya perkataan-perkataan itu? ii. Patutkah ipsissima verba Yesus mendapat prioritas? Dapat disetujui pula bahwa menurut dugaan umum, sekiranya "ipsissima verba" Yesus itu dapat ditemukan kembali, kata-kataNya itu pastilah mempunyai status yang lebih tinggi, dibandingkan dengan bahan lain yang terhisab kepada perkataan-perkataan Yesus, atau dikatakan mengenai Yesus oleh pengarang-pengarang lain seperti Rasul Paulus. Ipsissima verba diberi status utama, justru karena merupakan kata-kata Yesus yang otentik. Dengan mengaku demikian, kita sudah meninggalkan soal historisitas-obyektif, dan sudah memegang suatu pendapat teologis; yaitu, bahwa ipsissima verba Yesus itu patut mendapat prioritas utama. Dapat ditambah bahwa pendapat teologis itu dapat dipertahankan, sekalipun kita tetap tidak pasti tentang perkataan-perkataan yang manakah yang termasuk ipsissima verba itu. Akan tetapi ada pendapat teologis yang langsung bertentangan dengan yang tadi. Pendapat tersebut mendesak bahwa iman tak dapat dan tak boleh didasarkan pada historisitas kata-kata Yesus yang otentik itu. Hal itu tidak disebabkan, karena kita tak mungkin lagi memastikan, apakah kata-kata itu otentik atau tidak, melainkan berdasarkan pertimbangan bahwa iman yang mempunyai dasar yang demikian, adalah bukan iman yang sungguh-sungguh. Menurut pandangan ini, iman tidak boleh didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan seperti soal historis-tidaknya kata-kata yang dipercayai itu. Pemakaian dasar yang demikian itu mengandung bahaya, bahkan kesalahan teologis. Mendukung iman dengan pertimbangan-pertimbangan mengenai otentisitas-historis bahan-bahan Alkitab, menurut beberapa ahli teologia, adalah bertentangan dengan prinsip "pembenaran karena iman." Tetapi argumentasi yang demikian sukar diterima. Prinsip "pembenaran karena iman," sebagaimana diuraikan Rasul Paulus, menyangkut soal ketaklukan kepada Taurat Musa. Yang ditentangnya ialah usaha untuk mendukung iman dengan perbuatan amal berdasarkan petunjuk-petunjuk Tora. Usaha untuk mendukung iman dengan keyakinan tentang otentisitas perkataan-perkataan dan peristiwa-peristiwa, seperti yang tertera dalam kitab Injil, merupakan soal lain lagi. Agaknya para ahli yang mempertahankan prinsip "iman melulu" itu berpendapat bahwa iman tak boleh mendapat dukungan apapun, dan bahwa dukungan berupa "otentisitas-historis bahan-bahan Injil" pada prinsipnya tidak berbeda dengan dukungan berupa "perbuatan amal menurut Tora." Akan tetapi lepas dari penilaian kita tentang kuat-lemahnya argumentasi itu, sudah jelas bahwa pendapat teologis yang demikian itu menolak prinsip bahwa ipsissima verba Yesus patut diberi prioritas. Prinsipnya ialah bahwa sekalipun kita memiliki pengetahuan tentang ipsissima verba Yesus, namun pengetahuan itu hanya bersifat keterangan historis yang menarik. Dengan perkataan lain, pengetahuan itu tidak memainkan peranan mutlak, baik untuk iman maupun untuk teologia. Saya sendiri mengambil posisi antara kedua pola ekstrim itu. Menurut pendapat saya, tidak perlu kita mencari ipsissima verba Yesus, seolah-olah dengan demikian kita sudah memperoleh suatu dasar iman yang lebih kuat dari pada yang dapat diperoleh dari bahan-bahan tertulis atau bahan-bahan lisan yang lain-lain. Bahkan boleh jadi kita sampai kepada kesimpulan bahwa tidak ada satu ipsissimum verbum pun yang dapat dipastikan. Tetapi sekiranya ada yang dapat dipastikan juga, fakta itu tidak otomatis berarti bahwa kata-kata otentik itu harus dijadikan landasan iman yang mutlak. Bahkan boleh jadi bahwa hal-hal yang dikatakan mengenai Yesus oleh pihak lain adalah sama pentingnya dengan (atau bahkan lebih penting lagi dan pada) bahan pengajaran Yesus sendiri. Terutama demikian jikalau kita berpegang pada pandangan bahwa Tuhan Yesus sendiri masih berdiri dalam kerangkaian (struktur) Israel, bukan dalam kerangkaian gereja dan bahwa kesaksian-dasar tentang Yesus yang telah bangkit itu berasal dari gereja sesudah kebangkitan, dan bukan dari pengajaran Yesus sendiri. Memang semuanya ini patut diakui; namun di pihak lain, rasanya agak keterlaluan kalau prinsip otonomi dan kemurnian iman begitu ditonjolkan sampai apa yang dapat kita ketahui tentang perkataan-perkataan dan pengajaran Yesus dianggap tidak bermakna, dan tidak perlu diberi tempat yang khusus. Timbullah kesan bahwa rasa kecurigaan tentang historisitas perkataan-perkataan Yesus, sebagaimana dilaporkan dalam kitab-kitab Injil, tidak merupakan skeptisisme yang sungguh-sungguh historis, melainkan suatu skeptisisme yang justru berdasarkan hasrat teologis yang ingin menolak prinsip historisitas sebagai landasan iman. iii. Nisbah antara ipsissima verba dan pribadi Yesus iiia. Ipsissima verba mempunyai kewibawaan yang khas Inti-soal di sini agak lain daripada apa yang biasanya disebut soal "Yesus yang historis" itu, yaitu usaha untuk menghasilkan suatu gambaran Yesus yang bercorak imanen-historis, dalam kontras dengan gambaran Yesus menurut iman dan teologia. Yang dipersoalkan di sini bukanlah itu, melainkan yang berikut: Yesus sebagai obyek iman memanglah identik dengan Yesus sebagai penduduk Palestina pada abad pertama Masehi. Sebagai manusia, pastilah Dia mengucapkan beberapa perkataan. Tetapi apakah perkataan-perkataan itu dapat dikenal oleh kita masa kini, itu adalah lain soal. Yang penting ialah yang berikut: perkataan-perkataan yang memang diucapkanNya itu betul-betul mencerminkan suatu pengertian yang serius dan yang mendalam tentang keadaan manusia. Sudah barang tentu orang Kristen mempercayai (bahkan harus mempercayai) hal demikian. Karena sekiranya kata-kata yang diucapkan Yesus itu dangkal dan kosong, bagaimanakah sampai Dia dapat diakui sebagai Tuhan? Jadi ditinjau dari segi itu, jelaslah bahwa status perkataan-perkataan Yesus adalah lain dari pada status perkataan-perkataan Markus dan Paulus, yang merupakan penafsir-penafsir perkataan Yesus itu. Rasanya adalah jauh lebih berat, kalau dikatakan bahwa Yesus "salah" dalam ucapanNya, dari pada kalau dikatakan bahwa Markus atau Paulus "salah" dalam ucapannya. iiib. Hubungan pengajaran dan pribadi atau karya Yesus Pandangan ini tidaklah bertentangan dengan pendapat yang sering ditemui, yaitu bahwa yang hakiki tentang Yesus ialah bukan pengajaranNya, melainkan pribadiNya, atau peristiwa-peristiwa yang merupakan ciri dan inti pelayananNya. Mungkin benar demikian; tetapi prinsip-prinsip tentang keutamaan pribadi dan karya Yesus itu tidaklah usah diekstrimkann sehingga timbul suatu kesan bahwa keselamatan terwujud karena pengalaman jasmani yang dialami Yesus, lepas dari apa yang Dia katakan atau pikirkan. Suatu Yesus, yang tidak menyumbangkan apa-apa melalui pemikiran dan perkataanNya, adalah kosong, dan asing buat kemanusiaan kita, sama seperti penggambaran Yesus, yang menekankan perananNya sebagai guru kerohanian, tetapi yang mengabaikan eksistensi jasmaniNya sama sekali. iiic. Keunikan Yesus terletak dalam hubungan antara pengajaranNya dalam pengalaman-hidupNya Ada persoalan lain lagi, yaitu: Apakah pengajaran Yesus betul-betul orisinal? Banyak orang Kristen ternyata terkejut sekali mendengar argumentasi yang berusaha membuktikan, (misalnya dari naskah-naskah Laut Mati dan sumber-sumber lain), adanya paralel-paralel kuno dengan pengajaran Yesus. Sebenarnya tak usah kita merasa terkejut. Bahkan rasa terkejut itu menandakan suatu kelemahan dalam pengertian kita tentang Yesus, dan tentang hubungan Yesus dengan keadaan sekitarNya. Adalah termasuk kesalahan besar kalau kita beranggapan bahwa keunikan Yesus sebagai pribadi harus diparalelkan dengan keunikan atau orisinalitas dalam pengajaranNya. Justru adanya paralel-paralel dengan pengajaran Yesus, baik dalam keorthodoxan Yahudi maupun dalam bidat-bidat Yudaisme, tidaklah itu bertentangan dengan pengajaran Kristen tradisional sekalipun. Adanya paralel-paralel itu sudah disadari sejak dahulu kala. Pengajaran Yesus memanglah mula-mula berlangsung dalam kerangkaian struktur pemikiran Israel pada jaman Tuhan Yesus itu. Yang merupakan keunikan Tuhan Yesus ialah kaitan antara pengajaranNya dan peristiwa-peristiwa yang berlangsung atas diriNya. iv. Pembedaan antara "Firman Tuhan" dan "sabda Paulus" dalam surat-surat kiriman Pada pokok (ii) di atas, kita telah mempertimbangkan kemungkinan bahwa perkataan-perkataan Yesus agaknya adalah lebih berwibawa, dibandingkan dengan perkataan-perkataan Paulus. Dan patut ditambah di sini bahwa Paulus sendiri menggariskan pembedaan yang demikian. Misalnya, waktu melarang o.ang kristen bercerai, dia berkata: "Aku --tidak, bukan aku, tetapi Tuhan-- perintahkan, supaya..." Dan waktu membahas persoalan-persoalan lain mengenai hubungan-hubungan suami-isteri, dia berkata: "Aku, bukan Tuhan, katakan" ... (I Korintus 7:10-12). Dan mengenai soal yang lain lagi, Paulus berkata bahwa dia tidak mendapat perintah dari Tuhan, tetapi dia memberikan pendapatnya sebagai orang yang dapat dipercayai (I Korintus 7 :25) . Namun patut dicatat bahwa pembedaan di sini adalah bukan antara pengajaran Yesus dan pengajaran Paulus masing-masing sebagai keseluruhan, melainkan antara satu unsur dengan unsur lain dalam rangka pengajaran Paulus itu sendiri. Hanya kadang-kadang saja Paulus menggariskan pembedaan yang demikian; sehingga timbul kesan bahwa menurut Paulus sendiri, pengajarannya pada umumnya (kecuali kalau ditambahi catatan seperti yang tadi) mempunyai status yang sama seperti status pengajaran Tuhan. Timbul juga pertanyaan tentang soal: dari manakah Paulus mendapat pengetahuannya tentang apa yang disebutnya "perintah-perintah" atau "perkataan-perkataan Tuhan"? Kita tidak boleh berasumsi begitu saja bahwa perkataan-perkataan yang dilaporkan Paulus itu merupakan ipsissima verba Yesus-historis, atau bahwa dia mengambilnya dari pengajaran Yesus dalam bentuk tertulis, seperti yang kini kita peroleh dalam kitab Injil. Ada kemungkinan-kemungkinan lain lagi: misalnya, barangkali Paulus menerima penyataan-penyataan langsung, atau memperoleh perkataan-perkataan ini dari nabi-nabi Kristen yang berkarya di gereja awal (mula-mula). Jadi dapat diringkaskan sbb.: Memang ada ayat-ayat tertentu dalam surat-surat Paulus yang membedakan antara perintah-perintah Tuhan dan perintah-perintah Paulus. Meskipun demikian, pembedaan yang dimaksudkan dalam ayat-ayat tersebut, agak berbeda dengan pembedaan yang dimaksudkan dalam diskusi-diskusi modern, tentang pengajaran Yesus, dibandingkan dengan pengajaran Paulus. v. Kesimpulan: Keutamaan ipsissima verba tidak perlu dimutlakkan Sebagai kesimpulan tentang pokok ini: banyak berpendapat bahwa ipsissima verba Yesus patut diberi status primer, sedangkan perkataan-perkataan para pengarang Perjanjian Baru patut diberi status sekunder. Tetapi pembedaan demikian belum tentu berarti bahwa perkataan-perkataan Yesus-itu lebih penting dari pada yang lain-lain. Maksud uraian saya di atas adalah hanya untuk memperlihatkan beberapa cara untuk mengerti atau membenarkan pembedaan yang demikian. Tetapi sekaligus harus diakui bahwa ada faktor-faktor tertentu yang dapat melunakkan atau meniadakan pembedaan demikian. Faktor yang terpenting dalam hal ini ialah sebagai berikut: perkataan-perkataan para pengarang Perjanjian Baru mencerminkan keadaan sesudah kebangkitan Yesus; maka hanya dari titik-pandangan itulah makna Yesus bagi orang Kristen dapat ditangkap secara penuh. Mungkin faktor ini dapat dinilai begitu penting, sehingga soal tentang status primer dan sekunder itu, tidak bermakna lagi. | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |