Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PASAL VI. PERANAN ALKITAB DALAM BIDANG TEOLOGIA

I. TEOLOGIA ALKITAB SEBAGAI TEOLOGIA STANDARD

Kesimpulan dari pasal V ialah bahwa inti persoalan tentang status Alkitab terdapat dalam bidang hubungan antara Alkitab dengan teologia. Pada sejarah perkembangan teologia, sedikit-dikitnya di gereja Protestan, peranan Alkitab ialah sebagai lembaga penentu yang definitif antara berbagai teologia yang saling bersaing. Pada Pasal V kita mengajukan usul bahwa demikianlah juga inti penekanan modern kepada kewibawaan Alkitab, yaitu bahwa pokok perhatian-utama gerakan neo-orthodox itu ialah usaha untuk menjadikan teologia Alkitab sebagai norma untuk teologia masa kini. Fungsi Alkitab sebagai norma untuk teologia, atau fungsi teologia Alkitab sebagai teologia standard, itulah inti rentetan persoalan yang sedang kita selidiki. Maka dalam pasal ini kita akan menganalisa beberapa pokok yang termasuk kompleks persoalan tersebut:

1. Alkitab mengandung unsur teologia

a. Alkitab tidak merupakan text-book dogma

Pendapat tradisional bahwa Alkitab identik dengan teologia, bahwa tiap-tiap kalimat dan Alkitab merupakan rumusan dogmatis, secara langsung atau tidak langsung, tidak dapat dipertahankan lagi. Sebagaimana ditekankan oleh Vawter20 (dalam bukunya, "Biblical Inspiration," hl. 102):

"Secara tradisional, soal keilhaman Alkitab dipikirkan dalam konteks konsep-rangkaian, yaitu bahwa Alkitab merupakan suatu katalog doktrin-doktrin, bahkan hampir-hampir suatu text-book penyataan, sehingga tiap-tiap anak kalimat dianggap rumusan dogma."

Ide bahwa Alkitab merupakan text-book doktrin, dapat disebut sekarang suatu kesalahan dalam usaha mengklasifikasikan bahan Alkitab secara kesusasteraan. Hal itu jelas, ditinjau dari segi pengapresiasian bahan kesusasteraan. Namun dapat dimengerti, karena hal itu merupakan akibat dari cara Alkitab dipakai berabad-abad lamanya.

b. Alkitab bukanlah hanya "bahan agamawi"

Tetapi pengklasifikasian kita adalah salah juga kalau kita beranggapan bahwa Alkitab tidak mengandung teologia sama sekali, atau bahwa berteologia merupakan aktivitas yang asing bagi nats Alkitab asli. Memang ada beberapa orang yang berpendapat bahwa Alkitab merupakan apa yang disebutkan "agama yang hidup," dan bahwa berteologia merupakan suatu aktivitas dari periode post-Alkitabiah, yaitu suatu usaha untuk membangun struktur-struktur-buatan, berdasarkan teks tertulis itu. Kita dapat setuju bahwa dalam Alkitab ada beberapa unsur yang lebih tepat disebut "agama" dari pada "teologia"' tetapi kenyataan itu dibawa ke suatu ekstrim, kalau kita mendesak bahwa tidak ada teologia sama sekali dalam Alkitab. Pada kenyataannya, sebagian besar para ahli Alkitab masa kini lazim berbicara tentang "teologia" penginjil Yohanes, atau "teologia" mazhab Ulangan, dan sebagainya. Maka pengistilahan yang demikian dapat dianggap tepat.

c. Teologia explisit dan implisit dalam Alkitab

Tetapi setelah setuju bahwa ada teologia dalam Alkitab, kita tokh harus membedakan antara rumusan yang terang-terang teologis, dan teologia yang implisit. Rumusan-rumusan teologia yang terang-terangan dalam bentuk doktrin yang terumus dengan teliti, merupakan hanya sebagian kecil dari Alkitab. Bagian-bagian, yang berbentuk cerita atau puisi dan sebagainya, adalah jauh lebih besar. Memang tepat kalau kita berbicara tentang "teologia" yang terkandung dalam cerita tertentu, atau di dalam kesusasteraan puitis: misalnya, teologia Injil Markus, teologia dokumen P, teologia kelompok-Mazmur tertentu. Tetapi biasanya teologia yang demikian tidak terumus secara terang-terangan, melainkan hanya diutarakan secara tidak langsung, yaitu melalui proses penyeleksian bahan serta penekanan-penekanan yang nampak dalam cerita historis atau karangan puisi tersebut. Daripada meneliti teologia yang implisit itu teologia pada periode post-Alkitabiah lebih asyik merumuskan keputusan-keputusan teologis yang bersifat terang-terangan, berupa jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan yang konkrit dan terperinci. Maka dalam berbuat demikian, teologia itu cenderung memilih sebagai dasarnya bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, yaitu bagian-bagian yang mengutarakan keputusan-keputusan teologisnya dengan paling jelas dan terang-terangan. Konsep yang kini dianggap kolot, yaitu bahwa Alkitab dianggap text-book doktrin, merupakan peluasan (secara keliru) unsur-unsur "teologia terang-terangan" yang ada dalam Alkitab; bahkan sampai tiap-tiap pengkalimatan Alkitab itu dianggap sebagai rumusan teologis yang disengaja, (atau sedikit-dikitnya semacam "teologia yang menyamar"). Untuk membuka samaran itu, kita tinggal merubah rumusan-rumusan Alkitab menjadi doktrin yang terang-terangan, melalui suatu proses pengalegorisasian. Akan tetapi kini diakui bahwa proses menggali teologia yang implisit dalam kitab-kitab historis dan puitis, merupakan proses yang memerlukan pengenaan teknik-teknik khusus, sehingga dalam hal ini ahli teologia bergantung kepada ahli ilmu Alkitab.

Jadi pada umumnya kita boleh setuju bahwa Alkitab mengandung unsur teologia, dan bahwa dengan demikian ternyata ada suatu kontinuitas antara proses berteologia yang berlangsung dalam Alkitab sendiri, dengan teologia yang dirumuskan pada periode post-Alkitabiah.

2. Pusat perhatian beralih dari "Alkitab sebagai sumber keterangan" kepada "cara-pemikiran pengarang Alkitab"

Soal ini dapat kita soroti dari segi lain, yaitu dengan kembali sebentar kepada gambar segitiga yang kita sodorkan pada pasal IV. Secara tradisionil, teologia terutama merupakan jenis penyelidikan yang terletak pada sudut A dalam segitiga itu, yaitu yang menekankan unsur keterangan. Yaitu, teologia yang tradisionil berusaha mengerti eksistensi-eksistensi seperti Tuhan dan manusia, dan peristiwa-peristiwa seperti kejadian dan penebusan. Maka sesuai dengan penekanan yang demikian, caranya Alkitab dimanfaatkan ialah sebagai sumber keterangan. Perhatiannya tertaruh kepada eksistensi yang disinggung dan dibicarakan dalam nats. Pada jaman modern, pengertian yang demikian menonjol kembali dalam teologia "Barthian." Sejak periode-awal masa karyanya, yaitu dalam buku tafsirannya mengenai Surat Roma, Barth menekankan bahwa penafsiran adalah bukan pengertian tentang cara-cara pemikiran, ide-ide, serta pengalaman rohani Rasul Paulus, melainkan suatu pemahaman tentang obyek bahasannya, yaitu obyek yang disaksikan oleh Paulus itu. Inilah yang saya sebutkan prinsip penafsiran yang obyek-sentris (berpusat pada obyek). Pada umumnya ahli-ahli teologia (sedikit-dikitnya kaum Barthian dan mereka yang sealiran, yaitu dalam kontras dengan para ahli ilmu Alkitab) masih mengutamakan pendekatan yang menekankan unsur keterangan dalam bahasa Alkitab.

Namun demikian, pada umumnya usaha para ahli teologia makin bergantung kepada/makin menaruh perhatian kepada sudut B dalam segitiga tadi, yaitu usaha untuk mengerti maksud para penulis Alkitab. Kita menyadari sekarang bahwa hanya jarang sekali perikop-perikop Alkitab dapat langsung ditafsirkan sebagai bahan keterangan. Hampir selalu kita harus mendekati nats Alkitab dengan mengajukan pertanyaan seperti: Apakah tujuan penulis dengan berkata demikian? Dalam konteks apakah dia gunakan istilah itu? Apa yang menjadi sasaran seluruh bagian, di mana istilah ini terdapat? Bagaimana pandangan umum yang menjadi pegangan pengarang? dan sebagainya. Sebenarnya justru demikianlah salah satu perbedaan besar, kalau praktek teologia modern dibandingkan dengan yang tradisional. Sekalipun teologia modern didasarkan pada Alkitab, namun teologia tersebut tidak bertolak dari nats-nats Alkitab secara langsung menuju obyek-obyek yang menjadi sasarannya. Sebaliknya teologia modern menggunakan pendekatan yang tidak secara langsung. Maksud dan tujuan para pengarang nats-nats Alkitab itu dipertimbangkan terlebih dahulu, barulah digariskan penafsiran tentang unsur-unsur keterangan dalam nats yang bersangkutan.

Maka faktor inilah yang menjadi sebab-utama mengapa kebiasaan dulu tidak laku lagi, yaitu penggunaan kalimat-kalimat atau ayat-ayat satu persatu sebagai nats-bukti. Selama tiap kalimat itu dianggap rumusan yang memberi keterangan tentang eksistensi obyektif, maka pengutipan ayat-ayat sebagai nats-bukti patut dinilai wajar. Tetapi menurut prosedur modern, tiap kalimat harus dikaitkan dengan kalimat-kalimat lain, dalam usaha mengerti maksud pengarang. Maka dengan demikian kutipan satu-ayat demi satu-ayat tidaklah laku lagi sebagai bukti.

Ditekankannya oleh teologia modern maksud pengarang-pengarang Alkitab (dalam kontras terhadap ditekankannya unsur keterangan dalam Alkitab) telah dipertajam lagi dengan perhatian yang ditujukan kepada kategori-kategori-pemikiran Alkitabiah. Kadang-kadang kita mendapat kesan bahwa kategori-pemikiran-pemikiran ini (atau cara pemikiran Alkitabiah atau cara pemikiran Ibrani) dianggap sebagai aspek Alkitab yang normatif untuk soal-soal teologis masa kini. Kalau betul demikian, itu berarti bahwa penekanan sudah pindah secara radikal dari penggunaan bahasa Alkitab sebagai bahan keterangan, kepada sikap-mental para pengarang Alkitab: yaitu perhatian pindah dari sudut A kepada sudut B dalam segitiga tadi. Soal, apakah ditekankannya begitu kuat kategori-pemikiran-pemikiran, dan sistim-sistim mental para pengarang Alkitab merupakan suatu keuntungan: soal itu menjadi pokok tersendiri.

3. Nisbah antara teologia dan rekonstruksi sejarah

a. Hubungan antara laporan peristiwa-peristiwa Alkitabiah, dan cara-pemikiran pengarang Alkitab

Ditinjau dari segi lain, persoalan yang sama dapat dirumuskan juga sebagai soal kaitan antara teologia dan rekonstruksi sejarah. Eksistensi-eksistensi yang menjadi obyek nats-nats Alkitab, adalah bukan hanya eksistensi-eksistensi teologis seperti Allah, melainkan juga kejadian-kejadian historis seperti: pembangunan kota Samaria, penemuan Kitab Tora di Bait Suci pada masa pemerintahan raja Yosia, atau perjalanan-perjalanan Rasul Paulus.

Namun ada hubungan yang nyata antara peristiwa-peristiwa yang dilaporkan dalam nats-nats Alkitab, dan maksud-maksud serta motivasi-motivasi yang menggerakkan para pengarang Alkitab. Karena ada pertautan juga antara peristiwa yang dilaporkan, dan teologia yang hendak diutarakan oleh pengarang. Misalnya ada pertautan antara riwayat-riwayat historis tentang masa pemerintahan Yosia, dan maksud teologis yang agaknya menjiwai kitab Ulangan. Atau contoh lain: ada pertautan antara laporan-laporan historis tentang kegiatan rasul Paulus, dan maksud teologis pengarang surat-surat tertentu yang diterbitkan atas nama Paulus itu. Ada bahan bersama antara peristiwa dengan teologia itu; akan tetapi selama pandangan-pandangan yang tradisional tentang unsur sejarah dalam Alkitab diterima tanpa analisa atau penilaian kritis, pastilah akan ada juga unsur pertentangan atau kontradiksi antara peristiwa dengan teologia itu. Proses mengkait-kaitkan kedua macam bahan-bukti ini satu sama lain, kemudian mengkait-kaitkan kedua-duanya dengan sumber-sumber lain lagi, adalah menyangkut suatu rekonstruksi historis.

Rekonstruksi itu diperlukan, karena laporan obyektif tentang kejadian-kejadian historis itu tidak dapat diperoleh langsung dari uraian Alkitab secara harfiah; harus diusahakan suatu laporan historis yang lain, yang agak berbeda dengan keterangan-keterangan harfiah dalam Alkitab, walaupun rekonstruksi itu memanfaatkan riwayat-riwayat Alkitab sebagai bahan-bukti. Konkritnya, rentetan peristiwa historis yang betul-betul obyektif adalah berbeda dalam beberapa seluk-beluknya, dibandingkan dengan laporan harfiah yang diperoleh dari Alkitab. Dan pada pihak lain, (yaitu berkenaan dengan sudut B dari segitiga kita) oknum-oknum yang mengarang kitab-kitab dalam Alkitab beserta ide-ide, motivasi, maksud, dan teologia mereka masing-masing, kadang-kadang berbeda juga dibandingkan dengan keterangan-keterangan harfiah yang diperoleh dari Alkitab, --atau dari pandangan-pandangan tradisi, (misalnya bahwa pengarang kitab-kitab tertentu ialah nabi itu atau rasul ini). Dulu, keterangan harfiah dari Alkitab dan dari sumber-sumber tradisi itu dianggap sebagai standard yang berwibawa. Jadi, nampaklah kontras antara pengertian lama dan pendekatan baru.

b. Motivasi baru dalam usaha merekonstruksikan peristiwa-peristiwa Alkitabiah

Dalam mengutarakan persoalan ini, saya hanya merumuskankembali, dengan perkataan saya sendiri, proses kritik-historis yang sudah kita kenal. Saya merumuskannya kembali untuk menggaris-bawahi hubungan antara munculnya kritik-historis terhadap Alkitab di satu pihak, dan di pihak lain proses di bidang teologia sendiri yang memindahkan perhatian dari unsur keterangan dalam Alkitab, kepada maksud dan proses-pemikiran-pemikiran para pengarang Alkitab. Menurut pendapat saya, soalnya bukanlah bahwa teologia sudah terkena pengaruh kritik-historis, atau sudah menerima pandangan kritik historis itu secara begitu saja.

Yang ingin saya tekankan ialah bahwa fokus perhatian telah pindah, baik dalam pendekatan terhadap sejarah yang terkandung dalam Alkitab, maupun terhadap teologia yang terkandung dalam Alkitab. Kenyataan tentang berpindahnya fokus dalam kedua bidang ini, membawa implikasi bahwa pendekatan kritik-historis itu tidak boleh dianggap hanya suatu langkah persiapan atau langkah sekunder dalam proses berteologia. Sebaliknya, pendekatan kritik-historis itu berhubungan erat dengan pendekatan kepada proses berteologia itu sendiri.

4. Apakah teologia wajib dibangun atas dasar Alkitabiah?

Selama ini sudah kita bicarakan beberapa hubungan yang nampak antara teologia dengan Alkitab. Yang belum kita pikirkan ialah soal: sampai berapa jauh suatu teologia harus bertolak dari dasar Alkitabiah? Mungkinkah terumus suatu teologia Kristen yang tidak langsung bersifat Alkitabiah? Mungkinkah diterima suatu flexibilitas, sehingga ada teologia-teologia yang agak langsung mendasarkan diri pada Alkitab, sedangkan ada teologia-teologia lain yang hanya secara tidak langsung mendasarkan diri pada Alkitab?

a. Pendirian mazhab neo-orthodox

Persoalan ini merupakan suatu persoalan pokok dalam seluruh pembicaraan kita ini. Ditekankannya secara baru kewibawaan Alkitab, terutama dalam gerakan neo-orthodox, pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mencegah pengaruh teologia alamiah (natural teology) dan teologia falsafi dalam proses berteologia. Barth misalnya menolak teologia alamiah sama sekali; dan sekiranya ada tempat sedikit untuk apa yang dapat disebut "teologia falsafi" (saya tidak tahu apakah Barth pernah menggunakan istilah itu dalam bahasa Jerman) maka pastilah peranannya ialah untuk membantu menjelaskan pokok-pokok yang sudah ditentukan menurut norma-norma teologia Alkitabiah. Pastilah teologia falsafi itu tidak akan diberi kesamaan status dengan teologia dogmatis yang mendasarkan diri pada Alkitab, dan pastilah ia tidak berhak menyumbangkan pengertian-pengertiannya sendiri yang dapat bersaing dengan pokok-pokok yang timbul dari teologia dogmatis. Teologia Alkitabiah yang menyusul kemudian di belakang Barth sendiri, agak lebih lunak dibandingkan dengan ketajaman rumusan-rumusan Barth, namun tetap memperlihatkan suatu keberatan terhadap pengaruh filsafat dalam bidang teologia. Dan keutamaan pemikiran Alkitabiah itu sering ditonjolkan justru dengan jalan menggariskan perbandingan antara pendekatan teologia Alkitabiah (yang dianggap tegas dan jelas) dan pendekatan "filsafat" yang dicap abstrak dan "kurang real." Barangkali dalam perbandingan semacam itu, nampaklah suatu sikap kesembronoan terhadap filsafat dari pihak ahli-ahli Alkitab.

b. "Kewibawaan" dan kebebasan pemikiran falsafi

Akan tetapi sebagaimana kita catat di atas, teologia falsafi sudah berhasil mengatasi tantangan-tantangan itu, bahkan sudah bertambah penting dan berpengaruh. Saya kira, mungkin tidak ada ahli teologia masa kini yang ingin memadamkan suara teologia falsafi; dan saya cukup yakin bahwa kalau memang ada, dia pasti tidak dapat berhasil, sekiranya dia mengusahakan pemadaman itu dengan jalan menampilkan Alkitab sebagai norma mutlak dalam bidang teologia. Saya sendiri memihak kepada pendekatan Alkitabiah dan mungkin saya agak kurang terbuka terhadap suara filsafat. Namun bagi saya tidaklah masuk akal, kalau pada masa kini status Alkitab di gereja hendak dipertentangkan dengan peranan filsafat dalam teologia.

Memang kebanyakan ahli setuju bahwa teologia falsafi mempunyai peranan yang sah; tetapi persoalan belum terpecahkan dengan pengakuan demikian. Persoalan pokok mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah teologia dan doktrin Kristen (dan pengkhotbahan Kristen juga) sungguh-sungguh berdasarkan sesuatu yang kita terima dari luar diri kita, sesuatu yang diberikan kepada kita; ataukah berdasarkan sesuatu yang, bila dianalisa, tokh nampak sebagai buah ide-ide kita sendiri, biarpun dirumuskan secara teliti sekali, dengan bantuan filsafat? Pertanyaan yang demikian tak dapat dielakkan, dan masih merupakan inti segala pemikiran tentang kewibawaan. Karena filsafat, kalau hendak ditanggapi dengan sungguh-sungguh, harus diberi kebebasan penuh.

5. Berbagai kemungkinan tentang bentuk atau kerangkaian teologis

Ada kemungkinan bahwa persengketaan antara teologia dogmatis dan teologia falsafi sebenarnya tidak begitu tajam seperti yang nampak dalam rumusan kita di atas. Mungkin perbedaan itu terletak hanya dalam bentuk teologia tertentu. Ada teologia-teologia yang sangat menonjolkan unsur tafsir; termasuk ke dalam uraian-uraian teologis itu banyak tafsiran yang panjang-lebar, serta banyak pertimbangan-pertimbangan yang mendetail berkenaan dengan nats-nats Alkitab yang ada sangkut-pautnya dalam pokok teologia yang sedang dibahas. Teologia Barth merupakan contoh-nyata dari teologia yang demikian. Jenis teologia yang lain mungkin tidak menggunakan tafsiran Alkitab secara mendetail, melainkan lebih memperhatikan tugas merumuskan suatu kerangkaian (struktur) iman secara umum. Teologia Tillich merupakan kontras dengan teologia Barth dalam hal ini. Apakah perbedaan ini mencerminkan suatu prinsip yang penting?

Saya cenderung untuk membiarkan soal ini sebagai pertanyaan terbuka. Menurut perasaan saya, boleh jadi kita memberikan status yang tinggi-tinggi kepada Alkitab, namun kita tidak menyusun teologia-sistematis kita dalam bentuk seperti yang biasa disebut "Alkitabiah," atau kita tidak memasukkan banyak sekali bahan tafsir yang mendetail ke dalam teologia kita. Sebaliknya, boleh jadi juga bahwa suatu bentuk teologia yang lebih umum dan yang tidak begitu menonjolkan unsur tafsir, tokh memberi kebebasan yang lebih nyata kepada Alkitab, karena menyediakan suatu kerangkaian umum yang dapat diisi oleh ahli Alkitab dengan menguraikan bahan Alkitabiah itu sendiri. Sudah jelas bahwa bukanlah maksud saya di sini untuk menilai teologia Barth dan Tillich, melainkan hanya untuk membicarakan bentuk teologia masing-masing sebagai contoh-contoh dari prinsip umum?

6. Teologia sebagai perumusan iman Kristen dalam bahasa dan kategori-kategori pemikiran modern

Dapat dipertahankan pendapat bahwa suatu teologia adalah bukan penjelasan atau uraian tentang nats Alkitab begitu saja; bahkan suatu teologia tidak dapat menjunjung Alkitab kalau dia hanya menguraikan natsnya. Dengan perkataan lain, suatu teologia adalah merupakan suatu rumusan kontemporer tentang isi iman gereja. Kalau demikian teologia bukan hanya boleh, melainkan malah harus, menggunakan kategori-kategori non-Alkitabiah, yaitu kategori-kategori yang berasal dari cara-pemikiran kita. Tentunya teologia tersebut akan mengandung uraian tentang unsur-unsur Alkitabiah yang dianggapnya mutlak perlu, namun struktur dan bentuk teologia itu tidak perlu terambil langsung dari Alkitab. Tentunya pertanyaan-pertanyaan mengenai bentuk teologia ini (apakah sungguh Alkitabiah, atau hanya Alkitabiah secara tidak langsung) menimbulkan berbagai persoalan baru. Maka saya bermaksud menyelidiki beberapa dari antaranya di sini.

7. Pengenaan norma (Alkitab) dalam proses berteologia

Jikalau Alkitab dianggap norma, maka timbul pertanyaan: pada titik manakah dalam proses berteologia itu norma tersebut dikenakan? Misalnya, suatu norma dapat digunakan secara agak pasif, atau negatif. Kalau demikian, teologia tersebut diberi kebebasan untuk berkembang menurut polanya sendiri dan di bawah berbagai pengaruh, namun pada tahap terakhir dikenai norma, yaitu skriptura. Sering kedengaran istilah bahwa Alkitab merupakan "mahkamah (atau tempat naik banding) yang tertinggi," yaitu norma yang dapat dikenakan kepada akhir proses berteologia itu. Pendapat yang demikian mengakui kenyataan bahwa teologia-teologia berkembang dengan berbagai cara, dan mungkin memanfaatkan berbagai kategori dan bentuk, baik yang bersifat Alkitabiah maupun yang bersifat non-Alkitabiah. Tetapi biar bagaimanapun cara perkembangannya, ada batu uji yang akhirnya harus dikenakan kepadanya. Penilaian semacam itu mungkin bersifat agak negatif; yaitu teologia yang diperiksa itu dianggap tidak cukup: setelah dipertimbangkan unsur yang begini-begini dalam Alkitab, teologia tersebut dinilai bercacat. Pengenaan norma yang demikian tidak memberi pengarahan yang positif tentang cara memasukkan unsur-unsur skriptura kedalam kerangkaian teologia. Fungsinya adalah seperti proses pengadilan yang menjatuhkan vonis, kalau kita sudah dinyatakan salah, tetapi tidak pernah memberi bimbingan kepada kita sebelumnya, tentang cara berbuat baik.

Kemungkinan lain: pengenaan norma skriptura itu dapat berfungsi secara lebih positif serta aktif; yaitu norma itu memainkan peranan sepanjang proses berteologia, dengan menguji tiap-tiap unsur, sewaktu unsur tersebut sedang dipikirkan. Norma tersebut ikut memberi petunjuk tentang urutan unsur-unsur yang harus dibahas, dan tentang kategori-kategori yang dapat digunakan, beserta kaitan antara kategori dengan kategori.

Biasanya bilamana dikatakan bahwa skriptura merupakan norma untuk doktrin, yang dimaksud ialah semacam norma pasif, seperti yang kita uraikan di atas. Tetapi ada beberapa ahli yang pasti menuntut pengenaan norma itu secara aktif seperti kemungkinan kedua yang kita gariskan di atas.

8. Hubungan hermeneutis antara skriptura dan teologia

Sejak permulaan uraian buku ini, kita melihat bahwa pandangan modern tentang status Alkitab agaknya bergantung kepada jenis proses hermeneutik yang kita gunakan. Karena memang ada hubungan hermeneutis antara skriptura dengan teologia, sebagaimana juga antara skriptura dengan khotbah. Maka teologia merupakan sebagian dari proses penafsiran yang menjembatani antara skriptura dengan khotbah. Memang tentunya semua hubungan-hubungan ini sangat kompleks, maka ada baiknya kalau kita berkonsentrasi sebentar pada hubungan antara skriptura dengan teologia, sambil memegang asumsi bahwa apa yang dikatakan tentang hubungan itu akan berlaku juga (tentunya dengan beberapa variasi) untuk hubungan-hubungan yang lain-lain. Inti persoalannya adalah begini: Jikalau benar pengaruh Alkitab begitu tergantung kepada metoda penafsiran yang dipakai, siapakah yang berhak mengambil keputusan tentang metoda-metoda yang akan dipakai itu? Sebagaimana kita usulkan di atas; jikalau metoda-metoda penafsiran begitu menentukan, apakah ini tidak berarti bahwa akhirnya ada dua sumber kewibawaan, yang satu ialah Alkitab, sedangkan yang kedua adalah metoda penafsiran; atau bahkan justru metoda penafsiran itulah yang merupakan sumber kewibawaan yang tertinggi! Semuanya bergantung kepada pola penafsiran yang dipilih! Di bawah ini ada dicatat tiga pola yang mungkin dimanfaatkan:

a. Metoda penafsiran ditentukan oleh Alkitab sendiri

Pertama, ada suatu pola yang sangat positif, yang menentukan bahwa Alkitab sendirilah yang menunjuk metoda-metoda penafsiran yang akan dikenakan kepada Alkitab. Itu berarti bahwa ada metoda-metoda "Alkitabiah" yang dapat diikuti dalam menafsirkan Alkitab. Agaknya inilah yang dimaksudkan orang, bilamana dibicarakan tentang soal "menafsirkan Alkitab menurut norma-normanya sendiri." Pola yang demikian dapat dibenarkan, baik dari atas maupun dari bawah. Dari atas, dalam arti bahwa Alkitab merupakan suatu sumber kewibawaan yang diberikan dari atas, yaitu dari Allah. Maka oleh karena itu Alkitablah yang menguasai segala usaha manusia untuk menafsirkan Alkitab. Dan bahwa prinsip itu dibenarkan dari bawah, berarti bahwa Alkitab sebagai karangan kesusasteraan harus dinilai menurut norma-normanya sendiri. Itulah suatu prinsip yang laku untuk tiap-tiap karangan kesusasteraan. Kedua argumentasi itu digunakan bersama-sama, namun dasarnya berbeda.

b. Alkitab sebagai "mahkamah tertinggi"

Kedua, ada pola yang lebih negatif; yaitu, ditegakkannya prinsip bahwa proses penafsiran itu berjalan dengan penuh kebebasan, namun nats Alkitab itu sendiri menjadi batu-uji terakhir. Dengan demikian si penafsir bebas memilih pola kerjanya, tetapi nats Alkitab tetap merupakan kenyataan yang obyektif (yaitu sebagai bahan yang sedang ditafsirkan), dan dengan demikian Alkitablah yang menjadi mahkamah (atau tempat banding) tertinggi untuk segala penafsiran Alkitab yang diajukan.

c. Interaksi bolak-balik antara Alkitab dan metoda penafsiran

Tiga, ada suatu pola yang menuntut suatu kesaling-tergantungan yang erat antara Alkitab dengan cara penafsirannya. Menurut pola ini, status kewibawaan Alkitab dan pola-pola penafsiran Alkitab adalah saling berinteraksi, sehingga tak mungkin menentukan status Alkitab tanpa mempertimbangkan berbagai kemungkinan mengenai metoda penafsirannya, dan sebaliknya. Menurut pola pertama dan ketiga itu, suatu teologia tentang status Alkitab seharusnya meliputi suatu uraian tentang metoda penafsiran yang menjadi pegangan teologia tersebut.

9. "Kekhasan" pola-pola pemikiran Alkitabiah

Dalam rangka diskusi modern, status Alkitab sering dikaitkan dengan konsep "kekhasan" Alkitab. Ide-idenya, penggambarannya tentang Allah dan tentang dunia, pembayangannya tentang realita, semuanya berbeda jauh dari pada bahan yang disajikan oleh agama-agama lain, dan oleh dokumen-dokumen tertulis yang melandasi agama lain itu. Argumentasi ini tentunya bertolak dari sudut B dalam segitiga kita, karena bergantung kepada pendapat-pendapat tertentu tentang cara pemikiran orang-orang Alkitab dan gambar dunia yang mereka miliki. Pendekatan ini tentunya mendesak bahwa cara-berpikir orang-orang Alkitabiah itu adalah begitu khas, sehingga hanya dapat dimengerti kalau kita menyadari bahwa orang-orang tersebut telah kena pengaruh karya-karya dan peristiwa-peristiwa yang transenden. Namun, bahan-bukti yang diajukan untuk mendukung pendapat itu masih terletak pada taraf manusiawi, mental, dan empiris. Ditinjau sepintas lalu, argumentasi ini nampaknya cukup kuat. Memang Alkitab kelihatan lain sekali (bahkan pada taraf kesusasteraan sekalipun) dibandingkan dengan kitab-kitab lain. Namun agaknya adalah kurang bijaksana, kalau kita terlalu menyandarkan diri kepada argumentasi ini, karena sebab-sebab yang berikut:

a. "Kekhasan" itu relatif

Paling-paling dapat diakui bahwa kekhasan Alkitab itu bersifat relatif. Karena tak dapat disangkal bahwa ada unsur-unsur penting dalam Alkitab yang tidak berbeda dengan unsur-unsur dalam kebudayaan-kebudayaan sekitar. Bahkan dalam Perjanjian Baru pun kita harus menerima kemungkinan bahwa agama Kristen sejak semula merupakan agama sinkretistis. Dan sekalipun kita tidak begitu menyukai usul demikian, namun benar-tidaknya bergantung kepada riset dalam bidang sejarah. Maka oleh karena itu, agaknya adalah berbahaya sekali kalau soal status Alkitab dikaitkan erat dengan suatu pendapat yang mungkin akan digeser berdasarkan penilaian-penilaian mutakhir dalam bidang riset sejarah. Dan mengenai Perjanjian Lama, pendapat-pendapat yang menonjolkan kekhasan lembaga-lembaga keagamaan Israel dan konsep-konsep pemikiran Israel mungkin dikalahkan dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang arkeologi pada masa mendatang.

b. "Kekhasan" dan perbandingan agama

Soal khas-tidaknya bahan Alkitab itu merupakan bidang spesialisasi di luar penguasaan ilmu ahli teologia. Seseorang tidak dapat memastikan bahwa unsur tertentu adalah betul-betul khas, kecuali kalau dia sudah membaca segala dokumen dan sumber-sumber yang dapat menjadi bahan perbandingan. Nampaklah juga dalam hal ini suatu kecenderungan untuk mengukuhkan status Alkitab dengan bersandar pada suatu a priori; karena ternyata bahwva pertimbangan-pertimbangan yang dipakai untuk mendukung kedudukan Alkitab, sebenarnya termasuk bahan untuk bidang perbandingan agama. Memang kemungkinannya besar bahwa ilmu perbandingan agama akan mengaku kekhasan Alkitab dari segi-segi tertentu, tetapi juga akan mengakui kekhasan agama-agama lain dari segi-segi lain-lain lagi. Maka kalau tiap-tiap agama mempunyai kekhasan tertentu, itu berarti bahwa kekhasan Alkitab tersebut tidak memberikan status yang unik kepada Alkitab.

c. "Kekhasan" dan Kanon

Segala kesimpulan tentang kekhasan Alkitab menjadi samar kembali, kalau kita memperhatikan bahan-bahan yang dikatakan "sekunder," yaitu yang masuk ke dalam kanon Alkitab, tetapi yang hampir tidak masuk, dan sebaliknya yang hampir masuk kanon, tetapi yang akhirnya ditolak.

10. Keseluruhan Alkitab dan bagian-bagiannya

Harus juga disinggung di sini tentang hubungan antara Alkitab sebagai-keseluruhan dan bagian-bagian Alkitab. Dalam uraian buku ini kita mengikuti kebiasaan umum, yaitu kita berbicara tentang status atau kewibawaan "Alkitab" (sebagai keseluruhan). Tetapi sebenarnya dalam proses penafsiran, kita hanya dapat menangani Alkitab itu sebagian demi sebagian. Demikian halnya mengenai beberapa, bahkan mengenai kebanyakan metoda penafsiran. Dapat kita catat beberapa penilaian yang berbeda-beda tentang hubungan Alkitab dengan bagian-bagiannya:

a. Kewibawaan itu terletak dalam keseluruhan Alkitab

Ada yang beranggapan bahwa Alkitab mempunyai kewibawaan hanya bilamana diambil sebagai keseluruhan. Implisit dalam pendapat ini ada dua hal:

i. Kalau memang demikian, kita perlu sekali mencapai suatu penilaian Alkitab yang menyeluruh; dan sekali tercapai, penilaian yang demikian pastilah berharga sekali.

ii. Ada beberapa unsur dalam Alkitab, yang kalau diambil secara tersendiri, tidak mempunyai kewibawaan (atau cuma sedikit), bahkan nilainya pun hampir tidak ada. Sedangkan kalau ditinjau sebagai bagian dari seluruh Alkitab, bagian-bagian tersebut berwibawa dan berharga. Pendapat yang demikian lazim terdapat di bidang teologia Alkitabiah.

b. Kekhasan tiap-tiap bagian Alkitab

Ada pendapat kedua, yang beranggapan bahwa keistimewaan bagian-bagian Alkitab tertentu justru menjadi samar kalau kita terlalu mementingkan pandangan yang menyeluruh itu. Maka menurut pendapat kedua ini, tugas ahli tafsir (dan terutama, tugas pendeta) adalah untuk menyoroti dan menguraikan ciri-ciri-khas perikop-perikop tertentu. Apakah sebaiknya si pengkhotbah dalam menafsirkan perikop Alkitab tertentu, mengimbangi tafsirnya itu dengan menambah catatan bahwa bagian-bagian lain dalam Alkitab memberi pandangan yang lain; maka dengan demikian dia menempatkan tafsirannya yang khas itu dalam konteks yang lebih umum? Ataukah sebaiknya dia membiarkan tafsiran yang konkrit-khas itu berlangsung, serta membiarkan soal keseimbangan itu sampai lain kali, waktu dia membicarakan perikop yang lain?

c. "Kesatuan Alkitab" bukan landasan, melainkan sasaran

Dapat dipertahankan pendapat bahwa kesatuan Alkitab tidak terletak pada suatu prinsip kewibawaan atau pada prinsip penafsiran, melainkan merupakan sesuatu yang harus dicari-cari. Dengan perkataan lain, kesatuan Alkitab bukanlah merupakan titik-tolak dalam proses berteologia, melainkan tujuan proses penyelidikan, penafsiran, dan berteologia itu. Jikalau memang Alkitab dalam arti tertentu berasal dari Allah yang satu (esa), entah karena diilhamkan oleh Dia atau diberikan oleh Allah sebagai sumber kewibawaan, maka konsekwensinya ialah bahwa pada akhir proses berteologia itu, dinamika Alkitab itu akan menghasilkan sesuatu yang bersifat kesatuan, dan bukan sesuatu yang penuh kontradiksi-kontradiksi intern. Maka dengan demikian akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang berikut: Apakah kesatuan Alkitab itu memang dapat diuraikan serta dirumuskan secara teologis, ataukah merupakan sesuatu yang harus tetap diharap-harapkan serta dipercayai? Apakah kesatuan yang diharap-harapkan itu merupakan kesatuan yang bulat, ataukah barangkali suatu kesatuan yang flexibel, suatu kepelbagaian pendapat yang tokh saling mengakui sebagai keluarga teologia-teologia (sebagaimana cabang-cabang gereja saling mengakui sebagai satu keluarga iman)?

11. Pemakaian Alkitab secara "agamawi" dan relevansinya untuk teologia

Dalam pasal ini kita telah memusatkan perhatian kepada soal pemakaian Alkitab dalam teologia. Tetapi harus dipertimbangkan juga kemungkinan bahwa fungsi Alkitab yang terpenting ialah bukan peranannya daham proses pemikiran teologis, melainkan pengaruhnya secara langsung atas hidup orang Kristen.

a. Penjelasan David Kelsey

Dalam sebuah artikel yang penting, David Kelsey21 membedakan dua cara pemakaian skriptura. Menurut cara pertama, skriptura itu "mengena secara langsung kepada hidup keagamaan si pemakai skriptura." Sedangkan cara kedua adalah lebih bersifat teologis; karena menurut cara kedua ini, skriptura itu "mengena secara langsung kepada argumentasi teologis." Kita sudah banyak mengambil waktu untuk membicarakan cara kedua itu. Marilah kita sekarang memikirkan cara-pertama secara lebih mendetail. Kelsey menulis, sebagai berikut:

"Salah satu ciri orang beriman itu ialah bahwa dalam skriptura dia mendapat suatu petunjuk yang menerangi pengertiannya tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Teologia merupakan suatu analisa terhadap pengertian mengenai diri sendiri dan dunia itu. Sedangkan skriptura mengena secara langsung kepada orang beriman itu, serta ikut membentuk pengertian mengenai dirinya. Pengertian mengenai diri sendiri itu dalam konteks iman kemudian secara langsung mempengaruhi teologia. Pengertian mengenai diri sendiri itulah yang merupakan pokok yang harus dianalisa dan diuraikan oleh teologia. Jadi dengan jalan menentukan pengertian orang Kristen akan dirinya, Alkitab berpengaruh atas teologia, tetapi hanya secara tidak langsung."

Sebagai contoh-contoh tentang pendekatan ini, Kelsey menunjuk kepada Bultmann22 dan John Hick.23 Menurut Kelsey, kedua ahli teologia tersebut menghasilkan teologia yang sangat berlainan dalam bentuk dan dalam kesannya, namun cara kedua-duanya mengkaitkan skriptura dengan teologia adalah mirip secara formal.

b. Pembahasan penjelasan Kelsey

Apakah pengertian Kelsey tentang Bultmann atau tentang John Hick itu tepat atau tidak, tidaklah menjadi soal di sini. Biar bagaimanapun, pembedaan antara kedua cara pendekatan itu adalah tetap menarik. Bagaimanakah kita menilai pembedaan yang demikian?

Pertanyaan ini agaknya mempunyai dua bagian.

Pertama, ada timbul soal tentang pemakaian skriptura secara agamawi, dibandingkan dengan pemakaiannya secara teologis. Apakah sungguh ada cara pemakaian skriptura yang patut disebut "agamawi" dan kalau ada, apakahn patut dinilai positif?

Dan soal kedua: timbul pertanyaan, apakah tepat kalau ahli-ahli teologia mendasarkan pengertian mereka tentang skriptura pada fungsi-agamawi skriptura ini, dan bukan pada suatu fungsi yang lebih khas teologis?

i. Pengaruh-agamawi skriptura

Soal pertama itu pastilah harus dijawab: Ya. Memang ada pengaruh skriptura yang bersifat agamawi, yaitu yang secara langsung mengena kepada orang beriman, serta memberikan kepadanya suatu pola pengertian akan dirinya dan akan dunia sekitarnya. Hal ini sudah implisit dalam pembacaan Alkitab sebagai bahan kesusasteraan, dan termasuk juga soal pemakaian Alkitab dalam liturgi. Teologia berusaha untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan secara teliti, serta mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Maka mengingat tugasnya demikian, tak dapat diharapkan bahwa teologia, melalui proses-prosesnya yang khas itu, akan dapat menyalurkan segala pengaruh Alkitab kepada manusia beriman, dalam segala kepelbagaian ide-idenya. Pemikiran teologis cenderung untuk memusatkan perhatian kepada beberapa pokok-kunci yang urgen buat situasi masa kini. Teologia tidak pernah menaruh perhatian yang merata kepada seluruh isi Alkitab. Maka oleh karena itu, kemungkinannya besar bahwa sebagian besar pengaruh Alkitab mengena kepada manusia bukan secara langsung melalui pemikiran teologis, melainkan melalui suatu apresiasi agamawi yang bersifat lebih umum.

ii. Pandangan-pandangan agamawi perlu disoroti secara kritis

Apa yang kurang jelas barangkali ialah pertanyaan: apakah penggunaan Alkitab secara agamawi itu patut dinilai seratus persen sebagai baik dan positif? Bila pengertian kita tentang diri kita dan tentang dunia sekitar dibentuk oleh Alkitab, itu berarti bahwa dengan demikian kita mendapat suatu konteks yang di dalamnya kita mengambil keputusan-keputusan pokok tentang iman dan kehidupan. Akan tetapi hal bahwa kita memiliki suatu kerangkaian struktur yang demikian tidaklah menjamin bahwa dengan demikian keputusan-keputusan kita pastilah tepat. Ditinjau dari perspektif iman Kristen, ada kesamaran atau ambivalensi dalam pengaruh Alkitab atas manusia secara agamawi, (agamawi dalam arti sempit). Memang tak perlu kesamaran itu ditiadakan sama sekali; namun di tiap-tiap generasi ada kekusutan-kekusutan dan persoalan-persoalan yang tak dapat diserahkan begitu saja untuk dipecahkan oleh skriptura yang dipakai secara agamawi (tanpa penyorotan kritis). Maka tugas teologia ialah untuk menentukan pokok-pokok kekusutan yang demikian, untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pokok-pokok kekusutan itu, serta untuk menyelidiki persoalannya secara disiplin-teratur. Terdapat banyak contoh tentang pandangan-dunia yang bersifat agamawi, yang memang berdasarkan Alkitab (atau dianggap demikian), namun telah nampak (menurut penilaian orang-orang Kristen lain) sebagai pandangan yang salah atau bercacat. Maka oleh karena itu kita perlu menyoroti pandangan-pandangan agamawi tentang diri manusia dan tentang dunia, untuk mencek apakah pandangan tersebut sungguh-sungguh tumbuh dari Alkitab, atau dari sumber kebudayaan yang lain. Kita perlu mencek juga apakah penggunaan Alkitab yang melandasi pandangan tersebut, sungguh sesuai dengan Alkitab sendiri, dan dengan iman Kristen.

c. Contoh-kesimpulan

Sebagai contoh-kesimpulan: -- Ada teologia tertentu yang menganalisa pengertian agamawi tentang manusia dan dunia: perkembangan teologia itu dipengaruhi serta dirangsang oleh Alkitab; namun teologia itu tidak langsung mengikut-sertakan Alkitab dalam proses-berteologianya itu. -- Berdasarkan faktor terakhir itu, teologia tersebut harus dinilai kurang. Dengan berkata begitu tidaklah berarti bahwa kita kurang menghargai apa yang mungkin dicapai dengan perantaraan teologia demikian. Karena kita sudah mengakui di atas bahwa penerimaan Alkitab secara agamawi (dalam kontras dengan penerimaannya secara teologis) memang memainkan peranan yang penting. Tetapi suatu teologia, yang berdasarkan penerimaan Alkitab secara agamawi itu, sedikit-dikitnya harus dilengkapi dengan pendekatan yang lain lagi: yaitu pengertian agamawi mengenai diri dan dunia harus diuji dengan jalan membandingkan pengertian itu dengan Alkitab (yang diakui sebagai sumber pengertian).

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team