|
PASAL VI. PERANAN ALKITAB DALAM BIDANG TEOLOGIA
I. TEOLOGIA ALKITAB SEBAGAI TEOLOGIA
STANDARD
Kesimpulan dari pasal V ialah bahwa inti persoalan
tentang status Alkitab terdapat dalam bidang hubungan antara
Alkitab dengan teologia. Pada sejarah perkembangan teologia,
sedikit-dikitnya di gereja Protestan, peranan Alkitab ialah
sebagai lembaga penentu yang definitif antara berbagai
teologia yang saling bersaing. Pada Pasal V kita mengajukan
usul bahwa demikianlah juga inti penekanan modern kepada
kewibawaan Alkitab, yaitu bahwa pokok perhatian-utama
gerakan neo-orthodox itu ialah usaha untuk menjadikan
teologia Alkitab sebagai norma untuk teologia masa kini.
Fungsi Alkitab sebagai norma untuk teologia, atau fungsi
teologia Alkitab sebagai teologia standard, itulah inti
rentetan persoalan yang sedang kita selidiki. Maka dalam
pasal ini kita akan menganalisa beberapa pokok yang termasuk
kompleks persoalan tersebut:
1. Alkitab mengandung unsur teologia
a. Alkitab tidak merupakan text-book
dogma
Pendapat tradisional bahwa Alkitab identik dengan
teologia, bahwa tiap-tiap kalimat dan Alkitab merupakan
rumusan dogmatis, secara langsung atau tidak langsung, tidak
dapat dipertahankan lagi. Sebagaimana ditekankan oleh
Vawter20
(dalam bukunya, "Biblical Inspiration," hl. 102):
"Secara tradisional, soal keilhaman Alkitab dipikirkan
dalam konteks konsep-rangkaian, yaitu bahwa Alkitab
merupakan suatu katalog doktrin-doktrin, bahkan
hampir-hampir suatu text-book penyataan, sehingga tiap-tiap
anak kalimat dianggap rumusan dogma."
Ide bahwa Alkitab merupakan text-book doktrin, dapat
disebut sekarang suatu kesalahan dalam usaha
mengklasifikasikan bahan Alkitab secara kesusasteraan. Hal
itu jelas, ditinjau dari segi pengapresiasian bahan
kesusasteraan. Namun dapat dimengerti, karena hal itu
merupakan akibat dari cara Alkitab dipakai berabad-abad
lamanya.
b. Alkitab bukanlah hanya "bahan
agamawi"
Tetapi pengklasifikasian kita adalah salah juga kalau
kita beranggapan bahwa Alkitab tidak mengandung teologia
sama sekali, atau bahwa berteologia merupakan aktivitas yang
asing bagi nats Alkitab asli. Memang ada beberapa orang yang
berpendapat bahwa Alkitab merupakan apa yang disebutkan
"agama yang hidup," dan bahwa berteologia merupakan suatu
aktivitas dari periode post-Alkitabiah, yaitu suatu usaha
untuk membangun struktur-struktur-buatan, berdasarkan teks
tertulis itu. Kita dapat setuju bahwa dalam Alkitab ada
beberapa unsur yang lebih tepat disebut "agama" dari pada
"teologia"' tetapi kenyataan itu dibawa ke suatu ekstrim,
kalau kita mendesak bahwa tidak ada teologia sama sekali
dalam Alkitab. Pada kenyataannya, sebagian besar para ahli
Alkitab masa kini lazim berbicara tentang "teologia"
penginjil Yohanes, atau "teologia" mazhab Ulangan, dan
sebagainya. Maka pengistilahan yang demikian dapat dianggap
tepat.
c. Teologia explisit dan implisit dalam
Alkitab
Tetapi setelah setuju bahwa ada teologia dalam Alkitab,
kita tokh harus membedakan antara rumusan yang terang-terang
teologis, dan teologia yang implisit. Rumusan-rumusan
teologia yang terang-terangan dalam bentuk doktrin yang
terumus dengan teliti, merupakan hanya sebagian kecil dari
Alkitab. Bagian-bagian, yang berbentuk cerita atau puisi dan
sebagainya, adalah jauh lebih besar. Memang tepat kalau kita
berbicara tentang "teologia" yang terkandung dalam cerita
tertentu, atau di dalam kesusasteraan puitis: misalnya,
teologia Injil Markus, teologia dokumen P, teologia
kelompok-Mazmur tertentu. Tetapi biasanya teologia yang
demikian tidak terumus secara terang-terangan, melainkan
hanya diutarakan secara tidak langsung, yaitu melalui proses
penyeleksian bahan serta penekanan-penekanan yang nampak
dalam cerita historis atau karangan puisi tersebut. Daripada
meneliti teologia yang implisit itu teologia pada periode
post-Alkitabiah lebih asyik merumuskan keputusan-keputusan
teologis yang bersifat terang-terangan, berupa
jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan yang konkrit
dan terperinci. Maka dalam berbuat demikian, teologia itu
cenderung memilih sebagai dasarnya bagian-bagian tertentu
dalam Alkitab, yaitu bagian-bagian yang mengutarakan
keputusan-keputusan teologisnya dengan paling jelas dan
terang-terangan. Konsep yang kini dianggap kolot, yaitu
bahwa Alkitab dianggap text-book doktrin, merupakan peluasan
(secara keliru) unsur-unsur "teologia terang-terangan" yang
ada dalam Alkitab; bahkan sampai tiap-tiap pengkalimatan
Alkitab itu dianggap sebagai rumusan teologis yang
disengaja, (atau sedikit-dikitnya semacam "teologia yang
menyamar"). Untuk membuka samaran itu, kita tinggal merubah
rumusan-rumusan Alkitab menjadi doktrin yang
terang-terangan, melalui suatu proses pengalegorisasian.
Akan tetapi kini diakui bahwa proses menggali teologia yang
implisit dalam kitab-kitab historis dan puitis, merupakan
proses yang memerlukan pengenaan teknik-teknik khusus,
sehingga dalam hal ini ahli teologia bergantung kepada ahli
ilmu Alkitab.
Jadi pada umumnya kita boleh setuju bahwa Alkitab
mengandung unsur teologia, dan bahwa dengan demikian
ternyata ada suatu kontinuitas antara proses berteologia
yang berlangsung dalam Alkitab sendiri, dengan teologia yang
dirumuskan pada periode post-Alkitabiah.
2. Pusat perhatian beralih dari "Alkitab
sebagai sumber keterangan" kepada "cara-pemikiran pengarang
Alkitab"
Soal ini dapat kita soroti dari segi lain, yaitu dengan
kembali sebentar kepada gambar segitiga yang kita sodorkan
pada pasal IV. Secara tradisionil, teologia terutama
merupakan jenis penyelidikan yang terletak pada sudut A
dalam segitiga itu, yaitu yang menekankan unsur keterangan.
Yaitu, teologia yang tradisionil berusaha mengerti
eksistensi-eksistensi seperti Tuhan dan manusia, dan
peristiwa-peristiwa seperti kejadian dan penebusan. Maka
sesuai dengan penekanan yang demikian, caranya Alkitab
dimanfaatkan ialah sebagai sumber keterangan. Perhatiannya
tertaruh kepada eksistensi yang disinggung dan dibicarakan
dalam nats. Pada jaman modern, pengertian yang demikian
menonjol kembali dalam teologia "Barthian." Sejak
periode-awal masa karyanya, yaitu dalam buku tafsirannya
mengenai Surat Roma, Barth menekankan bahwa penafsiran
adalah bukan pengertian tentang cara-cara pemikiran,
ide-ide, serta pengalaman rohani Rasul Paulus, melainkan
suatu pemahaman tentang obyek bahasannya, yaitu obyek yang
disaksikan oleh Paulus itu. Inilah yang saya sebutkan
prinsip penafsiran yang obyek-sentris (berpusat pada obyek).
Pada umumnya ahli-ahli teologia (sedikit-dikitnya kaum
Barthian dan mereka yang sealiran, yaitu dalam kontras
dengan para ahli ilmu Alkitab) masih mengutamakan pendekatan
yang menekankan unsur keterangan dalam bahasa Alkitab.
Namun demikian, pada umumnya usaha para ahli teologia
makin bergantung kepada/makin menaruh perhatian kepada sudut
B dalam segitiga tadi, yaitu usaha untuk mengerti maksud
para penulis Alkitab. Kita menyadari sekarang bahwa hanya
jarang sekali perikop-perikop Alkitab dapat langsung
ditafsirkan sebagai bahan keterangan. Hampir selalu kita
harus mendekati nats Alkitab dengan mengajukan pertanyaan
seperti: Apakah tujuan penulis dengan berkata demikian?
Dalam konteks apakah dia gunakan istilah itu? Apa yang
menjadi sasaran seluruh bagian, di mana istilah ini
terdapat? Bagaimana pandangan umum yang menjadi pegangan
pengarang? dan sebagainya. Sebenarnya justru demikianlah
salah satu perbedaan besar, kalau praktek teologia modern
dibandingkan dengan yang tradisional. Sekalipun teologia
modern didasarkan pada Alkitab, namun teologia tersebut
tidak bertolak dari nats-nats Alkitab secara langsung menuju
obyek-obyek yang menjadi sasarannya. Sebaliknya teologia
modern menggunakan pendekatan yang tidak secara langsung.
Maksud dan tujuan para pengarang nats-nats Alkitab itu
dipertimbangkan terlebih dahulu, barulah digariskan
penafsiran tentang unsur-unsur keterangan dalam nats yang
bersangkutan.
Maka faktor inilah yang menjadi sebab-utama mengapa
kebiasaan dulu tidak laku lagi, yaitu penggunaan
kalimat-kalimat atau ayat-ayat satu persatu sebagai
nats-bukti. Selama tiap kalimat itu dianggap rumusan yang
memberi keterangan tentang eksistensi obyektif, maka
pengutipan ayat-ayat sebagai nats-bukti patut dinilai wajar.
Tetapi menurut prosedur modern, tiap kalimat harus dikaitkan
dengan kalimat-kalimat lain, dalam usaha mengerti maksud
pengarang. Maka dengan demikian kutipan satu-ayat demi
satu-ayat tidaklah laku lagi sebagai bukti.
Ditekankannya oleh teologia modern maksud
pengarang-pengarang Alkitab (dalam kontras terhadap
ditekankannya unsur keterangan dalam Alkitab) telah
dipertajam lagi dengan perhatian yang ditujukan kepada
kategori-kategori-pemikiran Alkitabiah. Kadang-kadang kita
mendapat kesan bahwa kategori-pemikiran-pemikiran ini (atau
cara pemikiran Alkitabiah atau cara pemikiran Ibrani)
dianggap sebagai aspek Alkitab yang normatif untuk soal-soal
teologis masa kini. Kalau betul demikian, itu berarti bahwa
penekanan sudah pindah secara radikal dari penggunaan bahasa
Alkitab sebagai bahan keterangan, kepada sikap-mental para
pengarang Alkitab: yaitu perhatian pindah dari sudut A
kepada sudut B dalam segitiga tadi. Soal, apakah
ditekankannya begitu kuat kategori-pemikiran-pemikiran, dan
sistim-sistim mental para pengarang Alkitab merupakan suatu
keuntungan: soal itu menjadi pokok tersendiri.
3. Nisbah antara teologia dan
rekonstruksi sejarah
a. Hubungan antara laporan
peristiwa-peristiwa Alkitabiah, dan cara-pemikiran pengarang
Alkitab
Ditinjau dari segi lain, persoalan yang sama dapat
dirumuskan juga sebagai soal kaitan antara teologia dan
rekonstruksi sejarah. Eksistensi-eksistensi yang menjadi
obyek nats-nats Alkitab, adalah bukan hanya
eksistensi-eksistensi teologis seperti Allah, melainkan juga
kejadian-kejadian historis seperti: pembangunan kota
Samaria, penemuan Kitab Tora di Bait Suci pada masa
pemerintahan raja Yosia, atau perjalanan-perjalanan Rasul
Paulus.
Namun ada hubungan yang nyata antara peristiwa-peristiwa
yang dilaporkan dalam nats-nats Alkitab, dan maksud-maksud
serta motivasi-motivasi yang menggerakkan para pengarang
Alkitab. Karena ada pertautan juga antara peristiwa yang
dilaporkan, dan teologia yang hendak diutarakan oleh
pengarang. Misalnya ada pertautan antara riwayat-riwayat
historis tentang masa pemerintahan Yosia, dan maksud
teologis yang agaknya menjiwai kitab Ulangan. Atau contoh
lain: ada pertautan antara laporan-laporan historis tentang
kegiatan rasul Paulus, dan maksud teologis pengarang
surat-surat tertentu yang diterbitkan atas nama Paulus itu.
Ada bahan bersama antara peristiwa dengan teologia itu; akan
tetapi selama pandangan-pandangan yang tradisional tentang
unsur sejarah dalam Alkitab diterima tanpa analisa atau
penilaian kritis, pastilah akan ada juga unsur pertentangan
atau kontradiksi antara peristiwa dengan teologia itu.
Proses mengkait-kaitkan kedua macam bahan-bukti ini satu
sama lain, kemudian mengkait-kaitkan kedua-duanya dengan
sumber-sumber lain lagi, adalah menyangkut suatu
rekonstruksi historis.
Rekonstruksi itu diperlukan, karena laporan obyektif
tentang kejadian-kejadian historis itu tidak dapat diperoleh
langsung dari uraian Alkitab secara harfiah; harus
diusahakan suatu laporan historis yang lain, yang agak
berbeda dengan keterangan-keterangan harfiah dalam Alkitab,
walaupun rekonstruksi itu memanfaatkan riwayat-riwayat
Alkitab sebagai bahan-bukti. Konkritnya, rentetan peristiwa
historis yang betul-betul obyektif adalah berbeda dalam
beberapa seluk-beluknya, dibandingkan dengan laporan harfiah
yang diperoleh dari Alkitab. Dan pada pihak lain, (yaitu
berkenaan dengan sudut B dari segitiga kita) oknum-oknum
yang mengarang kitab-kitab dalam Alkitab beserta ide-ide,
motivasi, maksud, dan teologia mereka masing-masing,
kadang-kadang berbeda juga dibandingkan dengan
keterangan-keterangan harfiah yang diperoleh dari Alkitab,
--atau dari pandangan-pandangan tradisi, (misalnya bahwa
pengarang kitab-kitab tertentu ialah nabi itu atau rasul
ini). Dulu, keterangan harfiah dari Alkitab dan dari
sumber-sumber tradisi itu dianggap sebagai standard yang
berwibawa. Jadi, nampaklah kontras antara pengertian lama
dan pendekatan baru.
b. Motivasi baru dalam usaha
merekonstruksikan peristiwa-peristiwa Alkitabiah
Dalam mengutarakan persoalan ini, saya hanya
merumuskankembali, dengan perkataan saya sendiri, proses
kritik-historis yang sudah kita kenal. Saya merumuskannya
kembali untuk menggaris-bawahi hubungan antara munculnya
kritik-historis terhadap Alkitab di satu pihak, dan di pihak
lain proses di bidang teologia sendiri yang memindahkan
perhatian dari unsur keterangan dalam Alkitab, kepada maksud
dan proses-pemikiran-pemikiran para pengarang Alkitab.
Menurut pendapat saya, soalnya bukanlah bahwa teologia sudah
terkena pengaruh kritik-historis, atau sudah menerima
pandangan kritik historis itu secara begitu saja.
Yang ingin saya tekankan ialah bahwa fokus perhatian
telah pindah, baik dalam pendekatan terhadap sejarah yang
terkandung dalam Alkitab, maupun terhadap teologia yang
terkandung dalam Alkitab. Kenyataan tentang berpindahnya
fokus dalam kedua bidang ini, membawa implikasi bahwa
pendekatan kritik-historis itu tidak boleh dianggap hanya
suatu langkah persiapan atau langkah sekunder dalam proses
berteologia. Sebaliknya, pendekatan kritik-historis itu
berhubungan erat dengan pendekatan kepada proses berteologia
itu sendiri.
4. Apakah teologia wajib dibangun atas
dasar Alkitabiah?
Selama ini sudah kita bicarakan beberapa hubungan yang
nampak antara teologia dengan Alkitab. Yang belum kita
pikirkan ialah soal: sampai berapa jauh suatu teologia harus
bertolak dari dasar Alkitabiah? Mungkinkah terumus suatu
teologia Kristen yang tidak langsung bersifat Alkitabiah?
Mungkinkah diterima suatu flexibilitas, sehingga ada
teologia-teologia yang agak langsung mendasarkan diri pada
Alkitab, sedangkan ada teologia-teologia lain yang hanya
secara tidak langsung mendasarkan diri pada Alkitab?
a. Pendirian mazhab neo-orthodox
Persoalan ini merupakan suatu persoalan pokok dalam
seluruh pembicaraan kita ini. Ditekankannya secara baru
kewibawaan Alkitab, terutama dalam gerakan neo-orthodox,
pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mencegah
pengaruh teologia alamiah (natural teology) dan teologia
falsafi dalam proses berteologia. Barth misalnya menolak
teologia alamiah sama sekali; dan sekiranya ada tempat
sedikit untuk apa yang dapat disebut "teologia falsafi"
(saya tidak tahu apakah Barth pernah menggunakan istilah itu
dalam bahasa Jerman) maka pastilah peranannya ialah untuk
membantu menjelaskan pokok-pokok yang sudah ditentukan
menurut norma-norma teologia Alkitabiah. Pastilah teologia
falsafi itu tidak akan diberi kesamaan status dengan
teologia dogmatis yang mendasarkan diri pada Alkitab, dan
pastilah ia tidak berhak menyumbangkan
pengertian-pengertiannya sendiri yang dapat bersaing dengan
pokok-pokok yang timbul dari teologia dogmatis. Teologia
Alkitabiah yang menyusul kemudian di belakang Barth sendiri,
agak lebih lunak dibandingkan dengan ketajaman
rumusan-rumusan Barth, namun tetap memperlihatkan suatu
keberatan terhadap pengaruh filsafat dalam bidang teologia.
Dan keutamaan pemikiran Alkitabiah itu sering ditonjolkan
justru dengan jalan menggariskan perbandingan antara
pendekatan teologia Alkitabiah (yang dianggap tegas dan
jelas) dan pendekatan "filsafat" yang dicap abstrak dan
"kurang real." Barangkali dalam perbandingan semacam itu,
nampaklah suatu sikap kesembronoan terhadap filsafat dari
pihak ahli-ahli Alkitab.
b. "Kewibawaan" dan kebebasan pemikiran
falsafi
Akan tetapi sebagaimana kita catat di atas, teologia
falsafi sudah berhasil mengatasi tantangan-tantangan itu,
bahkan sudah bertambah penting dan berpengaruh. Saya kira,
mungkin tidak ada ahli teologia masa kini yang ingin
memadamkan suara teologia falsafi; dan saya cukup yakin
bahwa kalau memang ada, dia pasti tidak dapat berhasil,
sekiranya dia mengusahakan pemadaman itu dengan jalan
menampilkan Alkitab sebagai norma mutlak dalam bidang
teologia. Saya sendiri memihak kepada pendekatan Alkitabiah
dan mungkin saya agak kurang terbuka terhadap suara
filsafat. Namun bagi saya tidaklah masuk akal, kalau pada
masa kini status Alkitab di gereja hendak dipertentangkan
dengan peranan filsafat dalam teologia.
Memang kebanyakan ahli setuju bahwa teologia falsafi
mempunyai peranan yang sah; tetapi persoalan belum
terpecahkan dengan pengakuan demikian. Persoalan pokok
mungkin dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah teologia
dan doktrin Kristen (dan pengkhotbahan Kristen juga)
sungguh-sungguh berdasarkan sesuatu yang kita terima dari
luar diri kita, sesuatu yang diberikan kepada kita; ataukah
berdasarkan sesuatu yang, bila dianalisa, tokh nampak
sebagai buah ide-ide kita sendiri, biarpun dirumuskan secara
teliti sekali, dengan bantuan filsafat? Pertanyaan yang
demikian tak dapat dielakkan, dan masih merupakan inti
segala pemikiran tentang kewibawaan. Karena filsafat, kalau
hendak ditanggapi dengan sungguh-sungguh, harus diberi
kebebasan penuh.
5. Berbagai kemungkinan tentang bentuk
atau kerangkaian teologis
Ada kemungkinan bahwa persengketaan antara teologia
dogmatis dan teologia falsafi sebenarnya tidak begitu tajam
seperti yang nampak dalam rumusan kita di atas. Mungkin
perbedaan itu terletak hanya dalam bentuk teologia tertentu.
Ada teologia-teologia yang sangat menonjolkan unsur tafsir;
termasuk ke dalam uraian-uraian teologis itu banyak tafsiran
yang panjang-lebar, serta banyak pertimbangan-pertimbangan
yang mendetail berkenaan dengan nats-nats Alkitab yang ada
sangkut-pautnya dalam pokok teologia yang sedang dibahas.
Teologia Barth merupakan contoh-nyata dari teologia yang
demikian. Jenis teologia yang lain mungkin tidak menggunakan
tafsiran Alkitab secara mendetail, melainkan lebih
memperhatikan tugas merumuskan suatu kerangkaian (struktur)
iman secara umum. Teologia Tillich merupakan kontras dengan
teologia Barth dalam hal ini. Apakah perbedaan ini
mencerminkan suatu prinsip yang penting?
Saya cenderung untuk membiarkan soal ini sebagai
pertanyaan terbuka. Menurut perasaan saya, boleh jadi kita
memberikan status yang tinggi-tinggi kepada Alkitab, namun
kita tidak menyusun teologia-sistematis kita dalam bentuk
seperti yang biasa disebut "Alkitabiah," atau kita tidak
memasukkan banyak sekali bahan tafsir yang mendetail ke
dalam teologia kita. Sebaliknya, boleh jadi juga bahwa suatu
bentuk teologia yang lebih umum dan yang tidak begitu
menonjolkan unsur tafsir, tokh memberi kebebasan yang lebih
nyata kepada Alkitab, karena menyediakan suatu kerangkaian
umum yang dapat diisi oleh ahli Alkitab dengan menguraikan
bahan Alkitabiah itu sendiri. Sudah jelas bahwa bukanlah
maksud saya di sini untuk menilai teologia Barth dan
Tillich, melainkan hanya untuk membicarakan bentuk teologia
masing-masing sebagai contoh-contoh dari prinsip umum?
6. Teologia sebagai perumusan iman
Kristen dalam bahasa dan kategori-kategori pemikiran modern
Dapat dipertahankan pendapat bahwa suatu teologia adalah
bukan penjelasan atau uraian tentang nats Alkitab begitu
saja; bahkan suatu teologia tidak dapat menjunjung Alkitab
kalau dia hanya menguraikan natsnya. Dengan perkataan lain,
suatu teologia adalah merupakan suatu rumusan kontemporer
tentang isi iman gereja. Kalau demikian teologia bukan hanya
boleh, melainkan malah harus, menggunakan kategori-kategori
non-Alkitabiah, yaitu kategori-kategori yang berasal dari
cara-pemikiran kita. Tentunya teologia tersebut akan
mengandung uraian tentang unsur-unsur Alkitabiah yang
dianggapnya mutlak perlu, namun struktur dan bentuk teologia
itu tidak perlu terambil langsung dari Alkitab. Tentunya
pertanyaan-pertanyaan mengenai bentuk teologia ini (apakah
sungguh Alkitabiah, atau hanya Alkitabiah secara tidak
langsung) menimbulkan berbagai persoalan baru. Maka saya
bermaksud menyelidiki beberapa dari antaranya di sini.
7. Pengenaan norma (Alkitab) dalam
proses berteologia
Jikalau Alkitab dianggap norma, maka timbul pertanyaan:
pada titik manakah dalam proses berteologia itu norma
tersebut dikenakan? Misalnya, suatu norma dapat digunakan
secara agak pasif, atau negatif. Kalau demikian, teologia
tersebut diberi kebebasan untuk berkembang menurut polanya
sendiri dan di bawah berbagai pengaruh, namun pada tahap
terakhir dikenai norma, yaitu skriptura. Sering kedengaran
istilah bahwa Alkitab merupakan "mahkamah (atau tempat naik
banding) yang tertinggi," yaitu norma yang dapat dikenakan
kepada akhir proses berteologia itu. Pendapat yang demikian
mengakui kenyataan bahwa teologia-teologia berkembang dengan
berbagai cara, dan mungkin memanfaatkan berbagai kategori
dan bentuk, baik yang bersifat Alkitabiah maupun yang
bersifat non-Alkitabiah. Tetapi biar bagaimanapun cara
perkembangannya, ada batu uji yang akhirnya harus dikenakan
kepadanya. Penilaian semacam itu mungkin bersifat agak
negatif; yaitu teologia yang diperiksa itu dianggap tidak
cukup: setelah dipertimbangkan unsur yang begini-begini
dalam Alkitab, teologia tersebut dinilai bercacat. Pengenaan
norma yang demikian tidak memberi pengarahan yang positif
tentang cara memasukkan unsur-unsur skriptura kedalam
kerangkaian teologia. Fungsinya adalah seperti proses
pengadilan yang menjatuhkan vonis, kalau kita sudah
dinyatakan salah, tetapi tidak pernah memberi bimbingan
kepada kita sebelumnya, tentang cara berbuat baik.
Kemungkinan lain: pengenaan norma skriptura itu dapat
berfungsi secara lebih positif serta aktif; yaitu norma itu
memainkan peranan sepanjang proses berteologia, dengan
menguji tiap-tiap unsur, sewaktu unsur tersebut sedang
dipikirkan. Norma tersebut ikut memberi petunjuk tentang
urutan unsur-unsur yang harus dibahas, dan tentang
kategori-kategori yang dapat digunakan, beserta kaitan
antara kategori dengan kategori.
Biasanya bilamana dikatakan bahwa skriptura merupakan
norma untuk doktrin, yang dimaksud ialah semacam norma
pasif, seperti yang kita uraikan di atas. Tetapi ada
beberapa ahli yang pasti menuntut pengenaan norma itu secara
aktif seperti kemungkinan kedua yang kita gariskan di atas.
8. Hubungan hermeneutis antara skriptura
dan teologia
Sejak permulaan uraian buku ini, kita melihat bahwa
pandangan modern tentang status Alkitab agaknya bergantung
kepada jenis proses hermeneutik yang kita gunakan. Karena
memang ada hubungan hermeneutis antara skriptura dengan
teologia, sebagaimana juga antara skriptura dengan khotbah.
Maka teologia merupakan sebagian dari proses penafsiran yang
menjembatani antara skriptura dengan khotbah. Memang
tentunya semua hubungan-hubungan ini sangat kompleks, maka
ada baiknya kalau kita berkonsentrasi sebentar pada hubungan
antara skriptura dengan teologia, sambil memegang asumsi
bahwa apa yang dikatakan tentang hubungan itu akan berlaku
juga (tentunya dengan beberapa variasi) untuk
hubungan-hubungan yang lain-lain. Inti persoalannya adalah
begini: Jikalau benar pengaruh Alkitab begitu tergantung
kepada metoda penafsiran yang dipakai, siapakah yang berhak
mengambil keputusan tentang metoda-metoda yang akan dipakai
itu? Sebagaimana kita usulkan di atas; jikalau metoda-metoda
penafsiran begitu menentukan, apakah ini tidak berarti bahwa
akhirnya ada dua sumber kewibawaan, yang satu ialah Alkitab,
sedangkan yang kedua adalah metoda penafsiran; atau bahkan
justru metoda penafsiran itulah yang merupakan sumber
kewibawaan yang tertinggi! Semuanya bergantung kepada pola
penafsiran yang dipilih! Di bawah ini ada dicatat tiga pola
yang mungkin dimanfaatkan:
a. Metoda penafsiran ditentukan oleh
Alkitab sendiri
Pertama, ada suatu pola yang sangat positif, yang
menentukan bahwa Alkitab sendirilah yang menunjuk
metoda-metoda penafsiran yang akan dikenakan kepada Alkitab.
Itu berarti bahwa ada metoda-metoda "Alkitabiah" yang dapat
diikuti dalam menafsirkan Alkitab. Agaknya inilah yang
dimaksudkan orang, bilamana dibicarakan tentang soal
"menafsirkan Alkitab menurut norma-normanya sendiri." Pola
yang demikian dapat dibenarkan, baik dari atas maupun dari
bawah. Dari atas, dalam arti bahwa Alkitab merupakan suatu
sumber kewibawaan yang diberikan dari atas, yaitu dari
Allah. Maka oleh karena itu Alkitablah yang menguasai segala
usaha manusia untuk menafsirkan Alkitab. Dan bahwa prinsip
itu dibenarkan dari bawah, berarti bahwa Alkitab sebagai
karangan kesusasteraan harus dinilai menurut norma-normanya
sendiri. Itulah suatu prinsip yang laku untuk tiap-tiap
karangan kesusasteraan. Kedua argumentasi itu digunakan
bersama-sama, namun dasarnya berbeda.
b. Alkitab sebagai "mahkamah tertinggi"
Kedua, ada pola yang lebih negatif; yaitu, ditegakkannya
prinsip bahwa proses penafsiran itu berjalan dengan penuh
kebebasan, namun nats Alkitab itu sendiri menjadi batu-uji
terakhir. Dengan demikian si penafsir bebas memilih pola
kerjanya, tetapi nats Alkitab tetap merupakan kenyataan yang
obyektif (yaitu sebagai bahan yang sedang ditafsirkan), dan
dengan demikian Alkitablah yang menjadi mahkamah (atau
tempat banding) tertinggi untuk segala penafsiran Alkitab
yang diajukan.
c. Interaksi bolak-balik antara Alkitab
dan metoda penafsiran
Tiga, ada suatu pola yang menuntut suatu
kesaling-tergantungan yang erat antara Alkitab dengan cara
penafsirannya. Menurut pola ini, status kewibawaan Alkitab
dan pola-pola penafsiran Alkitab adalah saling berinteraksi,
sehingga tak mungkin menentukan status Alkitab tanpa
mempertimbangkan berbagai kemungkinan mengenai metoda
penafsirannya, dan sebaliknya. Menurut pola pertama dan
ketiga itu, suatu teologia tentang status Alkitab seharusnya
meliputi suatu uraian tentang metoda penafsiran yang menjadi
pegangan teologia tersebut.
9. "Kekhasan" pola-pola pemikiran
Alkitabiah
Dalam rangka diskusi modern, status Alkitab sering
dikaitkan dengan konsep "kekhasan" Alkitab. Ide-idenya,
penggambarannya tentang Allah dan tentang dunia,
pembayangannya tentang realita, semuanya berbeda jauh dari
pada bahan yang disajikan oleh agama-agama lain, dan oleh
dokumen-dokumen tertulis yang melandasi agama lain itu.
Argumentasi ini tentunya bertolak dari sudut B dalam
segitiga kita, karena
bergantung kepada pendapat-pendapat tertentu tentang cara
pemikiran orang-orang Alkitab dan gambar dunia yang mereka
miliki. Pendekatan ini tentunya mendesak bahwa cara-berpikir
orang-orang Alkitabiah itu adalah begitu khas, sehingga
hanya dapat dimengerti kalau kita menyadari bahwa
orang-orang tersebut telah kena pengaruh karya-karya dan
peristiwa-peristiwa yang transenden. Namun, bahan-bukti yang
diajukan untuk mendukung pendapat itu masih terletak pada
taraf manusiawi, mental, dan empiris. Ditinjau sepintas
lalu, argumentasi ini nampaknya cukup kuat. Memang Alkitab
kelihatan lain sekali (bahkan pada taraf kesusasteraan
sekalipun) dibandingkan dengan kitab-kitab lain. Namun
agaknya adalah kurang bijaksana, kalau kita terlalu
menyandarkan diri kepada argumentasi ini, karena sebab-sebab
yang berikut:
a. "Kekhasan" itu relatif
Paling-paling dapat diakui bahwa kekhasan Alkitab itu
bersifat relatif. Karena tak dapat disangkal bahwa ada
unsur-unsur penting dalam Alkitab yang tidak berbeda dengan
unsur-unsur dalam kebudayaan-kebudayaan sekitar. Bahkan
dalam Perjanjian Baru pun kita harus menerima kemungkinan
bahwa agama Kristen sejak semula merupakan agama
sinkretistis. Dan sekalipun kita tidak begitu menyukai usul
demikian, namun benar-tidaknya bergantung kepada riset dalam
bidang sejarah. Maka oleh karena itu, agaknya adalah
berbahaya sekali kalau soal status Alkitab dikaitkan erat
dengan suatu pendapat yang mungkin akan digeser berdasarkan
penilaian-penilaian mutakhir dalam bidang riset sejarah. Dan
mengenai Perjanjian Lama, pendapat-pendapat yang menonjolkan
kekhasan lembaga-lembaga keagamaan Israel dan konsep-konsep
pemikiran Israel mungkin dikalahkan dengan penemuan-penemuan
baru dalam bidang arkeologi pada masa mendatang.
b. "Kekhasan" dan perbandingan agama
Soal khas-tidaknya bahan Alkitab itu merupakan bidang
spesialisasi di luar penguasaan ilmu ahli teologia.
Seseorang tidak dapat memastikan bahwa unsur tertentu adalah
betul-betul khas, kecuali kalau dia sudah membaca segala
dokumen dan sumber-sumber yang dapat menjadi bahan
perbandingan. Nampaklah juga dalam hal ini suatu
kecenderungan untuk mengukuhkan status Alkitab dengan
bersandar pada suatu a priori; karena ternyata bahwva
pertimbangan-pertimbangan yang dipakai untuk mendukung
kedudukan Alkitab, sebenarnya termasuk bahan untuk bidang
perbandingan agama. Memang kemungkinannya besar bahwa ilmu
perbandingan agama akan mengaku kekhasan Alkitab dari
segi-segi tertentu, tetapi juga akan mengakui kekhasan
agama-agama lain dari segi-segi lain-lain lagi. Maka kalau
tiap-tiap agama mempunyai kekhasan tertentu, itu berarti
bahwa kekhasan Alkitab tersebut tidak memberikan status yang
unik kepada Alkitab.
c. "Kekhasan" dan Kanon
Segala kesimpulan tentang kekhasan Alkitab menjadi samar
kembali, kalau kita memperhatikan bahan-bahan yang dikatakan
"sekunder," yaitu yang masuk ke dalam kanon Alkitab, tetapi
yang hampir tidak masuk, dan sebaliknya yang hampir masuk
kanon, tetapi yang akhirnya ditolak.
10. Keseluruhan Alkitab dan
bagian-bagiannya
Harus juga disinggung di sini tentang hubungan antara
Alkitab sebagai-keseluruhan dan bagian-bagian Alkitab. Dalam
uraian buku ini kita mengikuti kebiasaan umum, yaitu kita
berbicara tentang status atau kewibawaan "Alkitab" (sebagai
keseluruhan). Tetapi sebenarnya dalam proses penafsiran,
kita hanya dapat menangani Alkitab itu sebagian demi
sebagian. Demikian halnya mengenai beberapa, bahkan mengenai
kebanyakan metoda penafsiran. Dapat kita catat beberapa
penilaian yang berbeda-beda tentang hubungan Alkitab dengan
bagian-bagiannya:
a. Kewibawaan itu terletak dalam
keseluruhan Alkitab
Ada yang beranggapan bahwa Alkitab mempunyai kewibawaan
hanya bilamana diambil sebagai keseluruhan. Implisit dalam
pendapat ini ada dua hal:
i. Kalau memang demikian, kita perlu sekali
mencapai suatu penilaian Alkitab yang menyeluruh; dan sekali
tercapai, penilaian yang demikian pastilah berharga sekali.
ii. Ada beberapa unsur dalam Alkitab, yang kalau diambil
secara tersendiri, tidak mempunyai kewibawaan (atau cuma
sedikit), bahkan nilainya pun hampir tidak ada. Sedangkan
kalau ditinjau sebagai bagian dari seluruh Alkitab,
bagian-bagian tersebut berwibawa dan berharga. Pendapat yang
demikian lazim terdapat di bidang teologia Alkitabiah.
b. Kekhasan tiap-tiap bagian Alkitab
Ada pendapat kedua, yang beranggapan bahwa keistimewaan
bagian-bagian Alkitab tertentu justru menjadi samar kalau
kita terlalu mementingkan pandangan yang menyeluruh itu.
Maka menurut pendapat kedua ini, tugas ahli tafsir (dan
terutama, tugas pendeta) adalah untuk menyoroti dan
menguraikan ciri-ciri-khas perikop-perikop tertentu. Apakah
sebaiknya si pengkhotbah dalam menafsirkan perikop Alkitab
tertentu, mengimbangi tafsirnya itu dengan menambah catatan
bahwa bagian-bagian lain dalam Alkitab memberi pandangan
yang lain; maka dengan demikian dia menempatkan tafsirannya
yang khas itu dalam konteks yang lebih umum? Ataukah
sebaiknya dia membiarkan tafsiran yang konkrit-khas itu
berlangsung, serta membiarkan soal keseimbangan itu sampai
lain kali, waktu dia membicarakan perikop yang lain?
c. "Kesatuan Alkitab" bukan landasan,
melainkan sasaran
Dapat dipertahankan pendapat bahwa kesatuan Alkitab tidak
terletak pada suatu prinsip kewibawaan atau pada prinsip
penafsiran, melainkan merupakan sesuatu yang harus
dicari-cari. Dengan perkataan lain, kesatuan Alkitab
bukanlah merupakan titik-tolak dalam proses berteologia,
melainkan tujuan proses penyelidikan, penafsiran, dan
berteologia itu. Jikalau memang Alkitab dalam arti tertentu
berasal dari Allah yang satu (esa), entah karena diilhamkan
oleh Dia atau diberikan oleh Allah sebagai sumber
kewibawaan, maka konsekwensinya ialah bahwa pada akhir
proses berteologia itu, dinamika Alkitab itu akan
menghasilkan sesuatu yang bersifat kesatuan, dan bukan
sesuatu yang penuh kontradiksi-kontradiksi intern. Maka
dengan demikian akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang
berikut: Apakah kesatuan Alkitab itu memang dapat diuraikan
serta dirumuskan secara teologis, ataukah merupakan sesuatu
yang harus tetap diharap-harapkan serta dipercayai? Apakah
kesatuan yang diharap-harapkan itu merupakan kesatuan yang
bulat, ataukah barangkali suatu kesatuan yang flexibel,
suatu kepelbagaian pendapat yang tokh saling mengakui
sebagai keluarga teologia-teologia (sebagaimana
cabang-cabang gereja saling mengakui sebagai satu keluarga
iman)?
11. Pemakaian Alkitab secara "agamawi"
dan relevansinya untuk teologia
Dalam pasal ini kita telah memusatkan perhatian kepada
soal pemakaian Alkitab dalam teologia. Tetapi harus
dipertimbangkan juga kemungkinan bahwa fungsi Alkitab yang
terpenting ialah bukan peranannya daham proses pemikiran
teologis, melainkan pengaruhnya secara langsung atas hidup
orang Kristen.
a. Penjelasan David Kelsey
Dalam sebuah artikel yang penting, David
Kelsey21
membedakan dua cara pemakaian skriptura. Menurut cara
pertama, skriptura itu "mengena secara langsung kepada hidup
keagamaan si pemakai skriptura." Sedangkan cara kedua adalah
lebih bersifat teologis; karena menurut cara kedua ini,
skriptura itu "mengena secara langsung kepada argumentasi
teologis." Kita sudah banyak mengambil waktu untuk
membicarakan cara kedua itu. Marilah kita sekarang
memikirkan cara-pertama secara lebih mendetail. Kelsey
menulis, sebagai berikut:
"Salah satu ciri orang beriman itu ialah bahwa dalam
skriptura dia mendapat suatu petunjuk yang menerangi
pengertiannya tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya.
Teologia merupakan suatu analisa terhadap pengertian
mengenai diri sendiri dan dunia itu. Sedangkan skriptura
mengena secara langsung kepada orang beriman itu, serta ikut
membentuk pengertian mengenai dirinya. Pengertian mengenai
diri sendiri itu dalam konteks iman kemudian secara langsung
mempengaruhi teologia. Pengertian mengenai diri sendiri
itulah yang merupakan pokok yang harus dianalisa dan
diuraikan oleh teologia. Jadi dengan jalan menentukan
pengertian orang Kristen akan dirinya, Alkitab berpengaruh
atas teologia, tetapi hanya secara tidak langsung."
Sebagai contoh-contoh tentang pendekatan ini, Kelsey
menunjuk kepada
Bultmann22
dan John
Hick.23
Menurut Kelsey, kedua ahli teologia tersebut menghasilkan
teologia yang sangat berlainan dalam bentuk dan dalam
kesannya, namun cara kedua-duanya mengkaitkan skriptura
dengan teologia adalah mirip secara formal.
b. Pembahasan penjelasan Kelsey
Apakah pengertian Kelsey tentang Bultmann atau tentang
John Hick itu tepat atau tidak, tidaklah menjadi soal di
sini. Biar bagaimanapun, pembedaan antara kedua cara
pendekatan itu adalah tetap menarik. Bagaimanakah kita
menilai pembedaan yang demikian?
Pertanyaan ini agaknya mempunyai dua bagian.
Pertama, ada timbul soal tentang pemakaian skriptura
secara agamawi, dibandingkan dengan pemakaiannya secara
teologis. Apakah sungguh ada cara pemakaian skriptura yang
patut disebut "agamawi" dan kalau ada, apakahn patut dinilai
positif?
Dan soal kedua: timbul pertanyaan, apakah tepat kalau
ahli-ahli teologia mendasarkan pengertian mereka tentang
skriptura pada fungsi-agamawi skriptura ini, dan bukan pada
suatu fungsi yang lebih khas teologis?
i. Pengaruh-agamawi skriptura
Soal pertama itu pastilah harus dijawab: Ya. Memang ada
pengaruh skriptura yang bersifat agamawi, yaitu yang secara
langsung mengena kepada orang beriman, serta memberikan
kepadanya suatu pola pengertian akan dirinya dan akan dunia
sekitarnya. Hal ini sudah implisit dalam pembacaan Alkitab
sebagai bahan kesusasteraan, dan termasuk juga soal
pemakaian Alkitab dalam liturgi. Teologia berusaha untuk
merumuskan pertanyaan-pertanyaan secara teliti, serta
mencari jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Maka mengingat tugasnya demikian, tak dapat diharapkan bahwa
teologia, melalui proses-prosesnya yang khas itu, akan dapat
menyalurkan segala pengaruh Alkitab kepada manusia beriman,
dalam segala kepelbagaian ide-idenya. Pemikiran teologis
cenderung untuk memusatkan perhatian kepada beberapa
pokok-kunci yang urgen buat situasi masa kini. Teologia
tidak pernah menaruh perhatian yang merata kepada seluruh
isi Alkitab. Maka oleh karena itu, kemungkinannya besar
bahwa sebagian besar pengaruh Alkitab mengena kepada manusia
bukan secara langsung melalui pemikiran teologis, melainkan
melalui suatu apresiasi agamawi yang bersifat lebih umum.
ii. Pandangan-pandangan agamawi perlu
disoroti secara kritis
Apa yang kurang jelas barangkali ialah pertanyaan: apakah
penggunaan Alkitab secara agamawi itu patut dinilai seratus
persen sebagai baik dan positif? Bila pengertian kita
tentang diri kita dan tentang dunia sekitar dibentuk oleh
Alkitab, itu berarti bahwa dengan demikian kita mendapat
suatu konteks yang di dalamnya kita mengambil
keputusan-keputusan pokok tentang iman dan kehidupan. Akan
tetapi hal bahwa kita memiliki suatu kerangkaian struktur
yang demikian tidaklah menjamin bahwa dengan demikian
keputusan-keputusan kita pastilah tepat. Ditinjau dari
perspektif iman Kristen, ada kesamaran atau ambivalensi
dalam pengaruh Alkitab atas manusia secara agamawi, (agamawi
dalam arti sempit). Memang tak perlu kesamaran itu
ditiadakan sama sekali; namun di tiap-tiap generasi ada
kekusutan-kekusutan dan persoalan-persoalan yang tak dapat
diserahkan begitu saja untuk dipecahkan oleh skriptura yang
dipakai secara agamawi (tanpa penyorotan kritis). Maka tugas
teologia ialah untuk menentukan pokok-pokok kekusutan yang
demikian, untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut pokok-pokok kekusutan itu, serta untuk
menyelidiki persoalannya secara disiplin-teratur. Terdapat
banyak contoh tentang pandangan-dunia yang bersifat agamawi,
yang memang berdasarkan Alkitab (atau dianggap demikian),
namun telah nampak (menurut penilaian orang-orang Kristen
lain) sebagai pandangan yang salah atau bercacat. Maka oleh
karena itu kita perlu menyoroti pandangan-pandangan agamawi
tentang diri manusia dan tentang dunia, untuk mencek apakah
pandangan tersebut sungguh-sungguh tumbuh dari Alkitab, atau
dari sumber kebudayaan yang lain. Kita perlu mencek juga
apakah penggunaan Alkitab yang melandasi pandangan tersebut,
sungguh sesuai dengan Alkitab sendiri, dan dengan iman
Kristen.
c. Contoh-kesimpulan
Sebagai contoh-kesimpulan: -- Ada teologia tertentu yang
menganalisa pengertian agamawi tentang manusia dan dunia:
perkembangan teologia itu dipengaruhi serta dirangsang oleh
Alkitab; namun teologia itu tidak langsung mengikut-sertakan
Alkitab dalam proses-berteologianya itu. -- Berdasarkan
faktor terakhir itu, teologia tersebut harus dinilai kurang.
Dengan berkata begitu tidaklah berarti bahwa kita kurang
menghargai apa yang mungkin dicapai dengan perantaraan
teologia demikian. Karena kita sudah mengakui di atas bahwa
penerimaan Alkitab secara agamawi (dalam kontras dengan
penerimaannya secara teologis) memang memainkan peranan yang
penting. Tetapi suatu teologia, yang berdasarkan penerimaan
Alkitab secara agamawi itu, sedikit-dikitnya harus
dilengkapi dengan pendekatan yang lain lagi: yaitu
pengertian agamawi mengenai diri dan dunia harus diuji
dengan jalan membandingkan pengertian itu dengan Alkitab
(yang diakui sebagai sumber pengertian).
|