|
PASAL VII. DASAR UNTUK MEMBANGUN
I. FAKTOR-FAKTOR SITUASI MASA KINI
BERKENAAN DENGAN MASALAH STATUS ALKITAB
1. Hambatan-hambatan terhadap pemakaian:
Alkitab secara lebih luas di gereja masa kini
Dapatkah kita memberi suatu penjelasan yang memuaskan
tentang status Alkitab dalam iman kepercayaan Kristen,
berdasarkan bahan-bahan yang diuraikan pada pasal-pasal
sebelum ini? Berdasarkan prinsip-prinsip apakah dapat kita
membangun suatu pandangan tentang hal ini? Dan apa
faedahnya, kalau hal itu sudah jadi?
Mungkin langkah pertama yang harus kita ambil ialah
menguraikan sedikit tentang suasana yang meliputi usaha kita
ini. Maka di sini kita menghadapi semacam paradoks. Di satu
pihak, soal yang kita bicarakan di sini, yaitu status
Alkitab di gereja dan dalam iman Kristen, merupakan soal
yang amat penting sekali; karena pandangan terhadap pokok
ini mempengaruhi tiap-tiap aspek kehidupan gereja, dan
pemberitaan Injil terhadap dunia. Saya sendiri sangat
mengharapkan bahwa gereja dalam tiap-tiap aspek kehidupannya
akan menggunakan Alkitab secara lebih luas dan lebih bebas.
Karena saya berkeyakinan bahwa banyak kesulitan yang menimpa
agama Kristen pada masa kini adalah merupakan beban yang
diciptakan gereja sendiri, dan bahwa beban itu akan menjadi
lebih ringan kalau berita Alkitab dinilai lebih tinggi. Saya
tidak menaruh harapan apapun kepada khayalan (penglihatan)
tentang agama Kristen yang makin lama makin membebaskan diri
dari pengaruh Alkitab, serta maju dengan penuh keberanian
sambil bersukaria karena kemodernan yang telah dia capai.
Justru sebaliknya; kalau ada sumber-sumber kebebasan yang
dapat membebaskan gereja-gereja modern serta pemberitaannya,
maka sebagian besar dari sumber-sumber tersebut terletak
dalam Alkitab sendiri. Keragu-raguan yang menimpa gereja
masa kini, berkenaan dengan status Alkitab (baik pada pihak
radikal maupun pada pihak konservatif), memanglah
menghalang-halangi hasrat kita untuk menggunakan
sumber-sumber pembebasan itu. Beberapa pokok keragu-raguan
itu menyangkut kesalah-pahaman-kesalah-pahaman intelektual
dan informatoris, yang sebagian dapat dijernihkan dengan
analisa-analisa seperti yang kita usahakan dalam buku ini.
Kesulitan-kesulitan lain adalah lebih bersifat
konflik-konflik eksistensial yang tak akan hilang hanya
dengan cara penjelasan-penjelasan intelektual, karena
menyangkut pergumulan yang lebih mendalam, yakni pergumulan
manusia-beragama dengan Allahnya. Semuanya ini amat penting
sekali. Soal status Alkitab bukanlah suatu persoalan yang
teoretis melulu, yang barangkali dapat membantu kita
memecahkan persoalan-persoalan yang sungguh aktual;
melainkan justru termasuk kepada persoalan yang berkenaan
dengan eksistensi Kristen di dunia.
2. "Neurosis kewibawaan" sudah mereda
Semuanya ini termasuk kepada satu pihak; tetapi di lain
pihak, saya tidak merasa gelisah atau sedih, berhadapan
dengan kenyataan bahwa status Alkitab sedang dipersoalkan.
Pun saya tidak merasa terdorong membela status Alkitab
berhadapan dengan kaum skeptis atau kaum penyoal. Memang
saya dapat menduga bahwa penggunaan Alkitab di gereja-gereja
akan tetap dipersoalkan secara radikal pada masa mendatang,
dan kemungkinan ini saya terima dengan hati yang tenang.
Karena pusat kewibawaan dalam agama Kristen telah berpindah,
atau bahkan konsep kewibawaan itu telah ditinggalkan sama
sekali. Menurut pandangan kita masa kini, teologia lama itu
seolah-olah menderita semacam "neurosis kewibawaan."
Pendekatan tradisional ialah bahwa Gereja dalam segala
pemikirannya selalu bertolak dari suatu "pusat kewibawaan"
yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, dan yang selanjutnya
menjadi ukuran dalam segala persoalan yang kabur. Tidak
dapat dikerjakan apa-apa, kecuali kalau soal "kewibawaan"
itu sudah jelas terlebih dulu.
3. Norma-teologis bukanlah titik-tolak
proses, melainkan buah proses berteologia
Pada masa kini kita berani memakai norma-norma yang belum
terumus dengan jelas. Kita berani membiarkan konsep
"kewibawaan" itu muncul dengan jelas pada akhir proses
berteologia; tidak dituntut supaya konsep itu dirumuskan
dengan tegas sebelum proses berteologia dimulai. Atau di
pihak lain, mungkin dapat disetujui bahwa ada berbagai jenis
norma, yang berfungsi pada taraf dan tahap yang
berbeda-beda. Pendapat saya sendiri ialah bahwa tidak ada
norma yang harus ditetapkan sebagai titik-tolak proses
berteologia. Malah tiap-tiap teologia harus menyediakan,
sebagai bagian integral dari teologia itu sendiri, suatu
uraian tentang norma-norma yang akan dipakainya, termasuk
uraian tentang hubungan teologia tersebut dengan Alkitab.
Akan tetapi barulah pada akhir proses, sewaktu buah-matang
teologia tersebut sudah nampak, dapatlah teologia itu
dinilai; penilaian itu justru berdasarkan buah-buah-matang
itu, dan bukan berdasarkan hubungannya dengan norma-norma
definitif yang sudah mendahului proses berteologia itu.
Bukannya saya mau mengusulkan suatu teologia yang kacau,
yang tidak menggunakan norma-norma sama sekali. Memang harus
ada norma-norma; dan pada waktunya yang tepat, norma-norma
itu harus diuraikan dan dikemukakan. Tetapi pada masa kini
kita bersedia mendengarkan teologia yang bersangkutan, serta
menilai sumbangan pemikirannya, sebelum kita mendengar
uraian tentang sumber kewibawaan yang dipakainya.
4. Teologia-modern bersifat majemuk
Dengan perkataan lain, buku ini berasumsi bahwa ada
kemajemukan teologia yang laku di gereja modern. Prinsip
teologis yang lama, kalau saya tidak salah tangkap, tidak
berpikir secara demikian. Caranya teologia lama ialah
menetapkan terlebih dulu norma atau sumber kewibawaan yang
akan menghasilkan teologia yang "benar." Misalnya, seorang
Calvinis tradisional, yang menekankan Alkitab sebagai
titik-awal program teologianya, pasti tidak akan
membayangkan bahwa pada akhir proses teologia itu akan
terbukti bahwa Sri Paus adalah kepala gereja yang sah.
Karena ada garis-pengait yang ketat antara sumber kewibawaan
yang satu-satunya itu, dan teologia yang benar satu-satunya
itu, maka justru oleh karena pengkaitan yang ketat itu,
timbullah persengketaan yang hangat antara teologia-teologia
yang sebenarnya berhubungan erat satu sama lain, dan yang
bersama-sama mengakui satu prinsip kewibawaan. Saya di sini
ingin memperjuangkan suatu situasi teologia yang terbuka;
sehingga mudah-mudahan dapatlah saya sodorkan sesuatu yang
akan berguna untuk berbagai macam teologia. Jadi menurut
saya, sebaiknya pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah suatu
teologia tertentu berbentuk Alkitabiah atau tidak? Apakah
teologia yang tepat boleh mengandung unsur teologia alamiah
atau tidak? Apakah unsur filosofisnya banyak atau sedikit?
--sebaiknyalah semua pertanyaan ini dibiarkan terbuka.
5. Konteks-oikumenis teologia modern
Pemikiran teologis masa kini berlatar-belakangkan
pemikiran oikumenis, tetapi konsekwensi-konsekwensi
kerangkaian (struktur) oikumenis ini belum disadari
betul-betul. Mereka yang dengan begitu bersemangat
memperjuangkan pemersatuan gereja-gereja yang terpisah,
tidak selalu begitu bersemangat dalam memperjuangkan
pemersatuan pemikiran teologis.
|