|
7. Ayam Hutan
Ayam hutan lalu mendekat, cantik tetapi sombong.
Tersipu-sipu ia bangkit dari harta mutiaranya dalam pakaian
fajar itu. Dengan mata berlingkar aku mati atau menemukan
batu-batu mulia itu darah dan paruh merah ia terbang sambil
sedikit menelengkan kepala, memakai ikat pinggang dan
pedangnya.
Ia berkata, "Aku suka mengelana di antara reruntuhan
karena aku menyukai batu-batu mulia. Benda-benda itu telah
menyalakan api di hatiku dan ini membuat aku merasa puas.
Bila aku dibakar keinginan untuk mendapatkannya,
kerikil-kerikil yang telah kutelan pun menjadilah seakan
diwarnai darah. Tetapi sering kudapati diriku di antara
batu-batu dan api, tak berbuat apa-apa dan bingung. O
kawan-kawanku, lihat bagaimana aku hidup! Mungkinkah
membangunkan makhluk yang tidur di atas batu-batu dan
menelan kerikil?
Hatiku luka karena seratus duka, sebab cintaku akan
batu-batu mulia telah menambatku ke gunung. Cinta akan
benda-benda lain bersifat fana, sedang kerajaan batu-batu
permata itu kekal; batu-batu permata itu sari dari gunung
yang abadi. Dengan ikat pinggang dan pedangku aku senantiasa
mencari intan, namun aku masih harus menemukan zat yang
lebih unggul sifataya dari batu-batu mulia --bahkan mutiara
pun tak seindah itu. Juga, jalan menuju Simurgh sulit, dan
kakiku terikat pada batu-batu seakan kaki itu lekat di tanah
liat. Bagaimana mungkin aku berharap akan pergi dengan
berani ke hadapan Simurgh yang besar, dengan tangan di
kepala, kaki di lumpur? Biarlah Keluhuranku sudah jelas, dan
ia yang tak ikut serta dalam tujuanku ini tak perlu
diperhatikan."
Hudhud berkata, "O kau yang mengandung warna segala batu,
kau sedikit timpang dan memberikan alasan-alasan yang
timpang pula. Darah hatimu menodai cakar dan paruhmu dan
usahamu mencari itu merendahkan martabat dirimu. Apakah
permata itu kalau bukan hanya batu-batu berwarna? Namun
kesukaan akan permata telah membuat hatimu mengeras beku.
Tanpa warna-warna itu permata hanya kerikil-kerikil kecil
biasa; ia yang memiliki saripati tak akan meninggalkannya
demi gemerlap kulit luar semata. Carilah permata sejati yang
bermutu murni dan jangan merasa puas lagi dengan sebutir
batu."
Cincin Sulaiman
Tak ada batu yang pernah setenar batu pada cincin
Sulaiman, namun ini sebutir batu yang amat bersahaja, tak
lebih dari seperdelapan dinar beratnya. Tetapi ketika
Sulaiman membuat cap dari batu itu, seluruh dunia ada di
bawah perintahnya. Kekuasaannya dikukuhkan dan hukamnya
meluas hingga ke ufuk jauh. Meskipun angin membawa
sabda-kehendaknya ke segala penjuru, Sulaiman hanya
mempunyai sebuah batu seberat seperdelapan dinar saja.
"Karena kerajaan dan kekuasaanku tergantung pada batu ini,
maka mulai sekarang tak seorang pun akan mempunyai kekuasaan
sebesar ini.
Meskipun Sulaiman menjadi raja agung karena cap batu ini,
namun benda inilah pula yang memperlambat kemajuannya di
jalan ruhani; maka ia pun sampai ke Sorga Adin lima ratus
tahun lebih kemudian dari nabi-nabi lain. Jika sebuah batu
dapat menimbulkan keadaan demikian pada Sulaiman, apa pula
yang mungkin ditimbulkannya pada makhluk semacam kau ini,
Ayam Hutan yang malang? Jauhkan hatimu dari permata biasa
itu. Carilah permata asli dan jangan berhenti mencari
Jauhari Sejati.
(sebelum, sesudah)
|