|
10. Bangau
Bangau datang amat tergesa-gesa dan segera mulai bicara
tentang dirinya sendiri, "Rumahku yang jelita di dekat laut
di antara danau-danau pantai, di mana tiada siapa juga
mendengar nyanyianku. Aku amat tak suka menyerang sehingga
tak ada yang merasa susah karena aku. Sedih dan murung aku
berdiri merenung di tepi laut asin, hatiku penuh kerinduan
akan air, karena kalau tak ada air, apa yang akan terjadi
padaku! Tetapi karena aku tidak tergolong mereka yang
bermukim di laut, aku seperti mati saja, bibirku kering, di
pantainya. Meskipun air bergolak dan ombak memecah di
kakiku, aku tak dapat menelan setitik pun; namun jika lautan
kehilangan airnya biar sedikit saja pun, hatiku akan
terbakar oleh keresahan. Bagi makhluk seperti aku ini,
gairahku terhadap laut cukuplah sudah. Aku tak kuat untuk
pergi mencari Simurgh, maka harap dimaafkan. Mana mungkin
makhluk seperti aku ini, yang hanya mencari setitik air,
dapat mencapai persatuan dengan Simurgh?"
Berkata Hudhud, "O yang tak mengenal laut, tidakkah kau
tahu bahwa laut penuh dengan buaya dan makhluk-makhluk lain
yang berbahaya? Kadang airnya pahit, kadang asin; kadang
laut itu tenang, kadang bergelora; senantiasa berubah, tak
pernah tetap; kadang laut itu pasang, kadang surut. Banyak
makhluk besar telah tertelan binasa di tubirnya yang dalam.
Penyelam di dasarnya menahan napas agar ia tak terlempar ke
atas bagai jerami. Laut ialah unsur yang sama sekali tanpa
kesetiaan. Jangan percaya padanya atau ia akan menghabisi
hidupmu dengan merendammu. Laut itu gelisah karena cintanya
akan sahabatnya. Kadang ia menggulungkan gelombang-gelombang
besar, kadang ia berderau. Karena ia tak mungkin mendapatkan
apa yang diinginkannya, bagaimana kau akan menemukan di sana
tempat istirahat bagi hatimu? Lautan ialah anak sungai yang
pasang di jalan menuju ke tempat sahabatnya; kalau demikian,
mengapa pula kau akan tinggal puas di sini, dan tak berusaha
melihat wajah Simurgh?"
Orang Alim dan Lautan
Seorang alim yang biasa merenungkan makna segala sesuatu,
pergi ke Lautan dan menanyakan mengapa Lautan memakai
pakaian biru, karena warna ini ialah warna duka, dan mengapa
ia mendidih tanpa api?
Lautan menjawab pada manusia perenung itu, "Aku risau
karena terpisah dari sahabatku. Karena kekuranganku, aku tak
layak baginya; maka kukenakan pakaian biru ini sebagai tanda
sesal yang kurasa. Dalam kesedihanku, pantai-pantai bibirku
kering, dan disebabkan api cintaku, aku berada dalam gebalau
ini. Kalau dapat kuperoleh setitik saja air surgawi dari Al
Kausar,1 maka
akan dapat kukuasai gerbang kehidupan kekal. Tanpa setitik
ini aku akan mati karena gairah damba bersama ribuan yang
lain, yang binasa dalam perjalanan."
Catatan kaki:
1 Telaga di sorga. Arti
semantiknya: Keadaan berlimpah-limpah.
(sebelum,
sesudah)
|