|
24. Dalih Burung Kedelapan
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Hatiku menyala
karena gembira, sebab aku tinggal di sebuah tempat yang
menawan. Aku punya istana emas teramat indah hingga siapa
saja mengaguminya, dan di sana aku hidup dalam kepuasan.
Bagaimana mungkin aku diharapkan untuk meninggalkannya? Di
istana ini aku seperti raja burung-burung, maka mengapa pula
aku bersusah payah di lembah-lembah yang kausebutkan itu?
Mestikah aku meninggalkan istanaku dan kedudukanku sebagai
raja? Tiada makhluk yang berpikiran sehat akan meninggalkan
taman Iram untuk menempuh perjalanan yang begitu berat dan
sulit!"
Hudhud menjawab, "O kau yang tanpa cita-cita dan
semangat! Adakah kau anjing? Atau inginkah kau menjadi
pelayan dalam hammam? Dunia bawah ini hanyalah sebuah bilik
panas dan istanamu sebagian daripadanya. Meski istanamu
sebuah sorga sekalipun, namun pada suatu hari maut akan
mengubahnya menjadi penjara penderitaan. Hanya jikalau maut
berhenti menggunakan kekuasaannya atas segala makhluk akan
baiklah bagimu untuk tinggal puas di istana emasmu."
Seloroh Seorang Arif tentang Sebuah
Istana
Seorang raja mendirikan sebuah istana yang menghabiskan
biaya seratus ribu dinar. Di sebelah luar, istana itu
dihiasi dengan menara-menara dan kubah-kubah yang
bersepuhkan emas, sedang perabotan dan permadani-permadani
membuat ruang dalamnya seperti sorga. Ketika istana itu
selesai didirikan, raja mengundang orang-orang dari setiap
negeri untuk mengunjunginya. Mereka datang dan memberikan
hadiah-hadiah, dan dipersilakannya mereka semua duduk
bersamanya. Kemudian raja itu pun bertanya pada mereka,
"Katakan bagaimana pendapat Tuan sekalian tentang istanaku.
Adakah sesuatu yang terlupa, yang merusakkan keindahannya?"
Semuanya menyatakan bahwa belum pernah ada istana semacam
itu di dunia dan tak mungkin ada kembarannya lagi. Semua
menyatakan demikian, Kecuali satu, seorang arif, yang
bangkit berdiri dan berkata, "Ada satu celah kecil yang
menurut pendapat hamba merupakan cacat, Tuanku. Andaikan tak
ada cacat ini, sorga itu sendiri pun akan memberikan
hadiah-hadiah pada Tuanku dari dunia gaib."
"Aku tak melihat cacat ini," kata raja murka. "Kau orang
bodoh, dan kau hanya ingin membuat dirimu tampak penting."
"Tidak, Raja yang sombong," jawab orang arif itu. "Celah
yang kusebutkan itu ialah celah yang akan dilalui Izrail,
malakulmaut, bila ia datang nanti. Semoga Tuhan berkenan,
Tuanku dapat menutup celah itu, sebab jika tidak, apakah
gunanya istana, mahkota dan singgasana Tuanku yang megah
itu? Bila maut datang, semua itu akan menjadi bagai
segenggam debu. Tak satu pun yang tetap bertahan lama, dan
celah itulah yang akan merusakkan tempat semayam Tuanku.
Tiada kepandaian dapat membuat tetap apa yang tak tetap. Ah,
jangan letakkan harapan kebahagiaan Tuanku pada istana!
Jangan biarkan kuda kebanggaan Tuanku melata bagai siput.
Jika tak seorang pun berani mengatakan terus terang pada
raja dan memperingatkannya tentang kesalahan-kesalahan ini,
maka ini akan merupakan malapetaka yang besar."
Laba-Laba
Pernahkah kau memperhatikan laba-laba dan mengamati
betapa mengagumkan ia menggunakan waktunya? Dengan kecepatan
dan kewaspadaan ia menganyam jaring-sarangnya yang
menakjubkan itu, sebuah rumah yang dihiasinya untuk
keperluannya. Bila lalat jatuh tertungging ke dalam jaring
itu, laba-laba itu buru-buru menyergapnya mengisap darah
makhluk kecil itu dan membiarkan bangkai itu mengering untuk
digunakannya sebagai makanannya. Kemudian datang penghuni
rumah dengan membawa sapu, dan dalam sekejap saja,
jaring-sarang, lalat dan laba-laba itu pun lenyap
ketiga-tiganya!
Jaring laba-laba itu melambangkan dunia; lalat itu, rizki
yang telah diberikan Tuhan di sana bagi makhlukNya. Andaikan
seluruh dunia sekalipun jatuh ke tanganmu, kau dapat
kehilangan semua itu dalam sekejap saja. Kau hanya bayi di
jalan pengertian; namun kau berdiri sia-sia di luar tabir.
Jangan tuntut tempat dan kedudukan jika kau tidak bodoh. Dan
ketahuilah, hai pandir yang tak peduli, bahwa dunia ini
diserahkan pada lembu jantan. Ia yang memandang genderang
dan bendera sebagai tanda keagungan tak akan pernah menjadi
darwis; benda-benda itu hanyalah siul angin lebih kecil
nilainya daripada mata uang terkecil. Tahanlah kuda
kebodohanmu yang melata bagai siput itu, dan janganlah
terpedaya karena memiliki kekuasaan. Bila macan tutul itu
sudah terkuliti, maka hidupmu pun akan terenggut hilang.
Bukalah mata cita-cita yang sejati dan temukan Jalan
Kerohanian itu; langkahkan kakimu di Jalan Tuhan dan carilah
istanaNya yang luhur. Sekali kau melihatnya, maka kau tak
akan terikat lagi pada gemerlap dunia ini.
Darwis yang Menjauhi Manusia
Seorang laki-laki, lelah dan kehilangan semangat, letih
karena berjalan di gurun, akhirnya tiba di suatu tempat di
mana seorang darwis yang hidup seorang diri berdiam, lalu
berkata padanya, "O Darwis, bagaimana keadaanmu?" Darwis itu
menjawab, "Tidakkah kau malu menyampaikan pertanyaan
demikian bila di sini aku tinggal di suatu tempat yang
begitu sempit dan terkurung?" Orang itu berkata, "Itu tidak
betul, bagaimana kau akan terkurung, tinggal di gurun yang
luas ini?" Darwis itu berkata lagi, "Jika dunia tidak
sedemikian sempit, kau tak akan pernah menyinggahi aku!"
(sebelum,
sesudah)
|