|
25. Dalih Burung Kesembilan
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "O burung
termulia, aku hamba si jelita yang telah menguasai diriku
dan membuat aku kehilangan pikiran. Bayangan wajahnya yang
manis ialah pencuri di Jalan yang agung itu; dia telah
membakar panenan hidupku, dan bila aku terpisah daripadanya,
tak sejenak pun aku merasa tenteram. Karena hatiku menyala
dengan gairah nafsu, aku pun tak tahu bagaimana aku dapat
menempuh perjalanan ini. Aku harus melintasi lembah demi
lembah dan menempuh seratus percobaan. Dapatkah aku
diharapkan akan meninggalkan si jelita ini untuk pergi
menempuh panas yang menghanguskan dan dingin yang pedih? Aku
terlalu lemah untuk pergi tanpa dia; dan aku hanya debu di
jalannya. Begitulah keadaanku. Apa dayaku?"
Hudhud menjawab, "Kau terikat pada apa yang tampak di
mata saja, dan akibatnya, menderita dari kepala hingga kaki.
Cinta berahi ialah suatu permainan. Cinta yang ditimbulkan
oleh kecantikan yang sepintas dengan sendirinya cepat
berlalu pula. Kau senantiasa membandingkan tubuh dari darah
dan nafsu dengan keindahan bulan.
Apakah yang lebih buruk dari tubuh yang terjadi dari
daging dan tulang-tulang? Keindahan sejati tersembunyi. Maka
carilah itu, di dunia yang tak tampak di mata. Jika cadar
yang menyembunyikan kerahasiaan ini dari pandangan matamu
luruh, maka tak ada lagi yang tinggal di dunia ini. Segala
bentuk yang kelihatan akan menjadi tak berarti."
Cerita Kecil tentang Syabli
Seorang laki-laki datang mendapatkan Syabli pada suatu
hari sambil menangis. Sufi itu bertanya padanya, mengapa
menangis. "O Syaikh," katanya, "aku mempunyai sahabat yang
keindahannya membuat jiwaku sehijau ranting-ranting di musim
semi. Kemarin, ia meninggal, dan aku pun mau mati pula
rasanya karena duka." Syabli berkata, "Kenapa kau bersedih?
Sekian lama kau telah memilikinya sebagai sahabat. Kini
pergilah dan cari sahabat lain, sahabat yang tak akan mati,
maka tak akan ada lagi sebab yang membuat kau bersedih.
Keterikatan akan sesuatu yang fana hanya akan mendatangkan
duka."
Saudagar Kaya
Seorang saudagar yang kaya akan barang-barang dan uang
mempunyai sahaya perempuan yang manis bagaikan gula. Namun
demikian, ia memutuskan pada suatu hari untuk menjualnya.
Tetapi sebentar saja ia pun mulai merasa kehilangan dia.
Dalam kerinduannya, ia pun pergi ke pemiliknya yang baru dan
memintanya agar melepaskan sahaya itu, lalu ia menawarkan
seribu keping emas untuk menebusnya. Tetapi pemiliknya yang
baru itu tak mau berpisah dari si sahaya. Maka saudagar itu
pun keluar, dan dalam kebingungan katanya, "Ini salahku
sendiri, karena telah menjahit bibir dan mataku; dalam
kerakusanku aku telah menjual kekasihku seharga sekeping
emas. Saat itu hari buruk bagiku ketika aku mendandaninya
dengan pakaiannya yang terbagus dan membawanya ke pasar
untuk kujual dengan keuntungan yang banyak."
Setiap nafasmu, yang menakar hidupmu, ialah sebutir
mutiara, dan setiap zarrah dirimu ialah penunjuk jalan
kepada Tuhan. Berkah sahabat ini meliputi dirimu dari kepala
hingga kaki. Jika kau benar-benar mengindahkan dia,
bagaimana dapat kau menunjang perpisahan?
Cerita Kecil tentang Hallaj
Ketika mereka hendak menusuknya dengan tombak, Hallaj
hanya mengucapkan kata-kata ini, "Aku Tuhan." Mereka potong
tangan dan kakinya, hingga ia pun menjadi pucat karena
kehilangan darah. Kemudian pergelangan tangannya yang sudah
buntung itu ia usapkan ke wajahnya sambil berkata, "Tak
perlu aku kelihatan pucat hari ini, karena jika demikian,
mereka akan mengira bahwa aku takut. Akan kubuat mukaku
merah sehingga apabila si orang terkutuk yang telah
melaksanakan hukuman itu berpaling ke tiang gantungan, ia
akan melihat bahwa aku seorang pemberani.'
Ia yang makan dan minum dalam bulan Juli bersama naga
berkepala tujuh itu akan bernasib amat buruk dalam permainan
demikian, tetapi tiang gantungan akan merupakan sesuatu yang
amat tak berarti bagi dia.
(sebelum,
sesudah)
|