|
26. Dalih Burung Kesepuluh
Burung ini berkata pada Hudhud, "Aku takut akan
maut. Kini lembah ini luas, dan aku tak punya apa-apa sama
sekali untuk perjalanan ini. Aku amat diliputi ketakutan
akan maut sehingga aku akan mati di tempat perhentian
pertama. Andaikan aku seorang amir yang penuh kuasa
sekalipun, pada saat datangnya ajal, akan tak kurang juga
ketakutanku. Ia yang dengan pedangnya mencoba menangkis
maut, akan mendapatkan pedangnya itu patah bagai sebatang
kalam; sebab sayang, kepercayaan akan kekuatan tangan dan
pedang hanya akan membawa kekecewaan dan
kesedihan."
Hudhud menjawab, "O kau yang lembek dan lemah
kemauan, inginkah kau tinggal hanya sebingkai tulang dan
sumsum semata? Tidakkah kau tahu bahwa hidup ini, baik
panjang atau singkat, tercipta dari sekelumit nafas?
Tidakkah kau mengetahui bahwa barangsiapa dilahirkan harus
mati pula? Bahwa ia akan masuk tanah dan bahwa angin akan
mencerai-beraikan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya?
Kau diberikan pada maut sebagai santapannya; dan kau
dimasukkan ke dunia untuk disingkirkan dari sana pula!
Langit bagai pinggan terbalik, yang setiap senja tercelup
dalam darah matahari terbenam. Dapat dikatakan bahwa
matahari itu, bersenjatakan pedang bengkok, tengah memenggal
kepala demi kepala di pinggan ini. Apakah kau baik atau
buruk, kau hanyalah setitik air dicampur dengan tanah.
Meskipun sepanjang hidupmu kau mungkin ada dalam kedudukan
yang penuh kekuasaan, pada akhirnya kau akan mengalami
bencana kematian juga."
Feniks
Feniks1 seekor
burung yang mengagumkan dan indah, hidup di India. Ia tak
punya jodoh dan hidup sendirian. Paruhnya, yang amat panjang
dan keras, dilubangi bagai seruling dengan hampir seratus
lubang. Setiap lubang itu mengeluarkan suara dan dalam
setiap suara itu ada kerahasiaan tersendiri. Kadang ia
memperdengarkan musik lewat lubang-lubang itu, dan bila
burung-burung dan ikan-ikan mendengar lagunya yang sayu
merdu itu, mereka pun terbangkit, dan hewan-hewan paling
ganas pun terharu; kemudian mereka semua terdiam. Seorang
filsuf suatu kali menengok burung ini dan belajar dari dia
tentang ilmu musik. Feniks itu hidup sekitar seribu tahun
dan ia tahu pasti akan hari kematiannya. Bila saatnya tiba,
ia kumpulkan di seputarnya sejumlah daun-daun palma, dan
kebingungan di antara daun-daun itu, ia pun melengkingkan
jeritan-jeritan yang sayu. Dari lubang-lubang dalam paruhnya
dipancarkannya beragam lagu, dan musik ini terangkat dari
dasar hatinya. Ratapan-ratapannya menyatakan dukacita
kematian, dan ia pun menggigil bagai sehelai daun. Mendengar
terompetnya burung-burung dan hewan-hewan mendekat untuk
memberikan bantuan pada peristiwa besar ini. Kini mereka pun
menjadi bingung, dan banyak yang mati karena kehilangan
tenaga. Sementara feniks itu masih bernafas,
dikepak-kepakkannya sayapnya dan dikerutkannya bulu-bulunya,
dan dengan demikian ia memancarkan api. Api itu menjalar ke
daun-daun palma, dan segera daun-daun dan burung itu pun
menjadi bara yang hidup dan kemudian menjadi abu. Tetapi
ketika bunga-api penghabisan telah padam, seekor feniks
kecil yang baru timbul dari abu itu.
Pernahkah terjadi pada siapa pun peristiwa dilahirkan
kembali sesudah mati itu? Andaikan kau hidup sama lamanya
dengan feniks itu sekalipun, namun kau akan mati juga bila
kadar hidupmu sudah ditentukan. Hidup feniks yang seribu
tahun itu penuh dengan ratapan dan ia tinggal sendirian
tanpa kawan dan anak, dan tak berhubungan dengan siapa juga.
Ketika saat akhir itu tiba, ia membuang abunya sama sekali,
sehingga dapatlah kauketahui bahwa tiada siapa pun dapat
menghindari kematian, meski ia mempergunakan muslihat apa
pun. Maka ambil pelajaran dari keajaiban feniks itu. Maut
ialah tiran, namun kita harus selalu ingat akan maut itu.
Dan meskipun banyak yang mesti kita derita, namun tak ada
yang dapat dibandingkan dengan keadaan hendak mati itu.
Nasihat Tai Waktu Hendak Meninggal
Ketika Tai terbaring hampir meninggal, seseorang bertanya
padanya, "O Tai, kau telah mengetahui hakikat segala
sesuatu, bagaimana keadaanmu sekarang?" Katanya,
"Aku tak dapat mengatakan apa-apa tentang keadaanku.
Seperti angin aku telah mengembara ke mana-mana selama
hidupku, dan kini saat akhir itu akan segera tiba, dan aku
akan dikuburkan, maka, selamat malam."
Tiada obat pencegah maut selain menatapnya senantiasa
dengan berani. Kita semua dilahirkan untuk mati; hidup tak
akan tinggal bersama kita; kita harus tunduk. Bahkan dia
yang menguasai dunia di bawah cap cincinnya, kini hanya
merupakan barang tambang dalam tanah.2
Isa dan Kendi Berisi Air
Isa minum air dari sebuah sungai jernih yang rasanya
lebih nyaman dari embun pada bunga mawar. Salah seorang
pengikutnya mengisi kendi dengan air sungai itu, dan mereka
pun pergi meneruskan perjalanan. Karena haus, Isa minum
seteguk air dari kendi itu, tetapi air itu terasa pahit, dan
ia tertegun heran, lalu berdoa, "O Tuhan, air sungai
dan air dalam kendi ini sama. Tetapi mengapakah yang satu
lebih manis dari madu dan yang lain begitu pahit?" Lalu
kendi itu pun bicara, dan katanya pada Isa, "Aku sudah
amat tua, dan bentukku sudah diubah-ubah seribu kali di
bawah bentangan kubah yang sembilan ini -- kadang
sebagai jambangan, kadang sebagai kendi dan kadang sebagai
bejana. Bentuk apa pun yang ada padaku, selalu kumiliki
dalam diriku kepahitan maut. Aku dibuat sedemikian rupa
sehingga air yang kusimpan akan selalu ikut mengandung
kepahitan itu."
O makhluk yang masa bodoh! Berusahalah memahami arti
kendi itu. Berusahalah menemukan rahasia itu sebelum kau
mati. Jika selagi kau hidup, kau tak dapat menemukan dirimu
sendiri, mengenal dirimu sendiri, bagaimana kau akan dapat
memahami rahasia hidupmu bila kau mati? Kau ikut serta dalam
kehidupan makhluk, namun kau hanya makhluk semu.
Socrates Kepada Murid-Muridnya
Ketika Socrates hampir meninggal, salah seorang muridnya
berkata padanya, "Guru, setelah Guru kami mandikan dan
kami selubungi kain kafan, di manakah Guru ingin kami
kuburkan?" Socrates menjawab? "Jika kautemukan
diriku, muridku tercinta, kuburkan aku di mana kau suka, dan
selamat malam! Mengingat bahwa dalam hidupku selama ini aku
tak menemukan diriku sendiri, bagaimana kau akan menemukan
diriku waktu aku mati? Aku telah hidup dengan laku
sedemikian rupa sehingga pada saat ini aku hanya tahu bahwa
sejemput pengetahuan tentang diriku sendiri tidaklah
jelas."
Catatan kaki:
1 Juga ditulis: Phoenix;
burung dalam dongeng, yang membakar dirinya sendiri dalam
unggun-api dari kayu yang semerbak harum baunya dan
dinyalakan oleh panas matahari; tetapi dari abunya timbul
kembali feniks muda. - H.A.
2 Maksudnya, Nabi
Sulaiman.
(sebelum,
sesudah)
|