|
32. Pertanyaan Burung Keenam Belas
Seekor burung lain bertanya pada Hudhud, "O kau yang
menjadi pemimpin kami, adakah keberanian diperlukan dalam
mendekati keagungan Simurgh? Agaknya bagiku jelas bahwa
barang siapa yang mempunyai keberanian terbebas dari banyak
ketakutan. Karena kau termasuk yang demikian, maka taburkan
mutiara-mutiara kearifan dan ajarkan pada kami rahasia
itu."
"Siapa pun yang terpandang layak," jawab Hudhud, "ialah
Mahram1 bagi
kerahasiaan ilahiat, dan adalah baik untuk menjadi berani
bila kita mengenal kerahasiaan Tuhan. Tetapi bagaimana
mungkin bagi yang memiliki kerahasiaan itu memberitahukannya
pada yang lain? Dapatkah pengendara unta di gurun menjadi
kepercayaan raja? Namun bagi siapa yang digerakkan oleh
cinta murni diperlukan juga sedikit keberanian. Siapa yang
menempuh jalan mengenal diri sendiri akan tahu kapan hanus
berani, dan tak membiarkan dirinya mati karena tiada
usaha.
Darwis sejati akan berani dan yakin karena harapan sejati
yang dihayatinya. Ia yang tanpa takut lantaran cinta akan
melihat Al-Malik di mana-mana. Karena itu keberaniannya baik
dan terpuji, sebab ia penggila cinta yang
berkobar-kobar."
Penggila Tuhan dan Hamba-Hamba
Amid
Khorassan ada dalam kemakmuran karena pemerintahan yang
bijaksana dan Pangeran Amid. Ia dilayani oleh seratus hamba
dari Turki dengan wajah-wajah yang bercahaya bagai bulan
purnama, dan tubuh pohon saru yang lampai, kaki bagai perak,
dan nafasnya wangi kesturi. Mereka memakai anting-anting
mutiara yang pantulan sinarnya menerangi malam dan
membuatnya bagai siang; sorban mereka dari sutera paling
halus, dan selingkar lehernya kerah kencana; dada
berselubung kain perak, dan ikat pinggang diperkaya dengan
batu-batu berharga. Mereka semua naik kuda putih.
Barangsiapa melihat salah seorang dari mereka, akan segera
terpikat hatinya. Kebetulan seorang Sufi, berpakaian
compang-camping dan bertelanjang kaki, melihat kumpulan
orang-orang muda itu di jauhan, lalu bertanya, "Apakah ini
barisan malaikat berkuda?" Kata orang padanya, "Orang-orang
muda ini ialah pelayan-pelayan Amid, pangeran di kota ini."
Ketika si penggila Tuhan itu mendengar ini, uap kedunguan
pun naik ke kepalanya, dan serunya, "Ya Tuhan, pemilik tenda
agung, ajarlah Amid memelihara hamba-hambanya."
Bila kau seperti si majnun ini; kau pun akan memiliki
keberaniannya pula; angkatlah dirimu tinggi-tinggi bagai
sebatang pohon yang lampai; tetapi bila kau tak berdaun,
jangan coba-coba memberanikan diri dan jangan
berolok-olok.
Kenekatan para penggila Tuhan itu sesuatu yang baik.
Mereka tak dapat mengatakan apakah jalan itu baik atau
buruk, mereka hanya tahu bagaimana berbuat.
Seorang Gila yang Suci
Hudhud melanjutkan, "Seorang penggila Tuhan pergi dengan
telanjang dan dalam keadaan lapar menyusuri jalan di musim
dingin. Tanpa rumah maupun tempat berlindung ia basah kuyup
karena hujan dan salju cair. Akhirnya ia sampai ke sebuah
reruntuhan istana, dan memutuskan untuk berlindung di sana,
tetapi ketika ia masuk ke ambang pintu, sebuah genting jatuh
menimpa kepalanya dan meretakkan batok kepalanya, sehingga
darah pun mengalir. Ia menengadahkan wajahnya ke langit dan
berkata, "Tidakkah lebih baik memukul genderang kerajaan
ketimbang menjatuhkan sebuah genting di atas kepalaku?"
Doa Orang Gila
Ada paceklik di Mesir, begitu mencemaskan sehingga di
mana-mana orang-orang hampir mati ketika mereka mengemis
roti. Kebetulan seorang gila lewat dan melihat betapa
banyaknya yang binasa karena kelaparan, maka sembahnya pada
Tuhan, "O Tuan yang memiliki segala yang baik di dunia dan
dalam agama, karena Tuan tak dapat memberi makan semua
orang, maka ciptakanlah lebih sedikit kiranya."
Jika yang memberanikan diri di istana hendak mengatakan
sesuatu yang tak pantas, dengan rendah hati ia harus mohon
ampun.
Orang Gila yang Lain
Seorang Sufi, penggila Tuhan, diganggu anak-anak yang
melemparinya dengan batu. Akhirnya ia pun berlindung di
pojok sebuah gedung. Tetapi pada saat itu mulai turun hujan
es, dan butir-butir es jatuh dari tingkat atap yang terbuka,
menimpa kepala si gila itu. Disangkanya butir-butir es itu
kerikil-kerikil dan ia pun lalu menjulurkan lidahnya serta
memaki anak-anak itu, yang dibayangkannya sedang melemparkan
kerikil-kerikil, karena rumah itu gelap. Akhirnya
diketahuinya bahwa kerikil-kerikil itu hanya batu-batu es
kiranya, dan ia pun menyesal dan berdoa, "O Tuhan, adalah
karena rumah ini gelap maka aku telah berdosa dengan
lidahku."
Bila kau memahami dasar-dasar perbuatan mereka yang ada
dalam kegelapan, kau pun tentu akan memaafkan mereka.
Catatan kaki:
1 Keluarga dekat, yang
tak boleh dikawini; karena itu dapat berarti: seorang yang
amat akrab.
(sebelum,
sesudah)
|