|
33. Burung Ketujuh Belas Bertanya pada
Hudhud
Seekor burung lain bertanya pada Hudhud, "Selama
hayat dikandung badan, cinta akan Yang Abadi bagiku amat
mulia dan dapat kuterima, dan aku tak pernah berhenti
mengingat dia. Aku telah bergaul dengan segala makhluk yang
hidup; dan jauh dari perasaan terikat pada mereka, aku pun
tak terikat dengan siapa saja. Kedunguan cinta menguasai
seluruh pikiranku, maka bagiku, cinta pun cukuplah. Tetapi
cinta demikian tidaklah menguntungkan bagi siapa pun, dan
kini saatnya telah tiba ketika aku harus menarik garis batas
pada hidupku agar aku dapat mengambil piala cinta dari
kekasihku; maka mata hatiku akan menjadi bercahaya karena
keindahannya, dan tanganku akan menyentuh lehernya sebagai
tanda permesraan."
Hudhud menjawab, "Bukanlah dengan penyombongan yang
penuh lagak demikian maka kita dapat menjadi tamu terhormat
bagi Simurgh di Pegunungan Kaukasus. Janganlah begitu
menyombongkan cinta yang menurut keyakinanmu kaurasakan
terhadapnya, sebab cinta itu tak dikaruniakan pada setiap
makhluk untuk memilikinya. Perlu kiranya angin kemujuran
menyingkapkan tabir rahasia itu, dan kemudian Simurgh akan
menarik kau ke dekatnya dan kau pun akan duduk bersamanya
dalam sanastrinya. Bila kau ingin sampai ke tempat suci itu,
lebih dulu kau harus berusaha memiliki pengetahuan
keruhanian; jika tidak, cintamu pada Simurgh akan berubah
menjadi siksaan. Demi kebahagiaanmu yang sejati, maka perlu
hendaknya Simurgh pun mencintai kau pula."
Mimpi Seorang Pengikut Bayazid
Ketika Bayazid meninggalkan istana dunia ini, seorang
pengikutnya melihatnya malam itu juga dalam mimpi dan
menanyakan pada syaikh yang utama itu bagaimana ia dapat
terbebas dari Munkar dan Nakir.1
Sufi itu pun berkata padanya, "Ketika kedua malaikat
ini menanyakan padaku tentang Al-Khalik, kukatakan pada
mereka, 'Pertanyaan itu tak dapat dijawab dengan tepat,
sebab jika kukatakan, "dia Tuhanku, begitu saja",
ini hanya akan menyatakan keinginan dari pihakku semata;
lebih baik bila kalian kembali kepada Tuhan dan mohon
bertanya pada-Nya, bagaimana pendapat-Nya tentang diriku.
Bila ia menamakan aku hamba-Nya, maka kalian akan tahu bahwa
demikianlah adanya. Bila tidak, maka Ia telah meninggalkan
aku pada perjanjian yang mengikatku. Karena tak mudah
mencapai persatuan, dengan Tuhan, adakah pantas bagiku untuk
memanggil Dia Junjunganku? Jika Ia tak berkenan dengan
pengabdianku, bagaimana dapat aku mengaku bertuan padaNya?
Memang benar bahwa aku telah menundukkan kepalaku tetapi
perlu pula kiranya bahwa Dia menamakan aku
hamba-Nya'."
Mahmud di Bilik-Panas Hammam
Suatu malam Mahmud, dalam keadaan sedih, pergi ke hamman
dengan menyamar. Seorang pelayan muda menyambutnya dan
menyediakan segala yang perlu untuk dapat berkeringat dengan
bertangas pada perbaraan yang panas. Kemudian disuguhkannya
pada Sultan sekedar roti kering, dan Sultan pun
menyantapnya. Lalu kata Sultan dalam hati, "Kalau tadi
pelayan ini keberatan menerimaku, tentulah akan kusuruh
penggal kepalanya." Akhirnya Sultan mengatakan pada
orang muda itu akan kembali ke istananya. Kata orang muda
itu, "Tuanku telah menyantap makanan hamba Tuanku telah
mengetahui tempat tidur hamba, dan Tuanku telah menjadi tamu
hamba. Hamba akan selalu suka menerima Tuanku. Meskipun
dalam kenyataannya kita berasal dari zat yang sama, namun
dalam hal-hal lahiriah, bagaimana dapat Tuanku
diperbandingkan dengan seorang yang berkedudukan rendah
seperti hamba ini?" Sultan amat berkenan dengan jawaban
ini, sehingga tujuh kali lagi ia pergi sebagai tamu pelayan
itu. Pada kesempatan terakhir dikatakannya pada pelayan itu
agar mengajukan satu pennohonan. "Bila hamba, sebagai
pengemis ini, harus mengajukan suatu permohonan," kata
pelayan itu, "Sultan tentu tak akan
mengabulkannya." "Mintalah apa yang kau
inginkan," kata Sultan, "meskipun itu berupa
permintaan untuk meninggalkan hammam dan menjadi raja."
"Hanya satu saja permohonan hamba," kata si
pelayan, "yaitu, bahwa hendaknya Sultan akan terus
menjadi tamu hamba. Menjadi pelayan-mandi yang duduk di
dekat Tuanku dalam bilik-panas lebih baik daripada menjadi
raja di sebuah taman tak bersama Tuanku. Karena kemujuran
telah datang pada hamba lantaran bilik-panas ini, maka tak
tahu berterimakasihlah hamba ini bila hamba tinggalkan bilik
ini. Kehadiran Tuanku telah menerangi tempat ini; apakah
yang lebih baik dapat hamba minta selain diri Tuanku
sendiri?"
Bila kau mencintai Tuhan, berusahalah pula untuk
dicintai-Nya. Tetapi sementara ada yang mencari cinta ini,
yang senantiasa usang dan senantiasa baru, maka ada pula
yang menginginkan dua keping obol2
perak dari khazanah dunia; ia mencari setitik air ketika ia
mestinya dapat memiliki lautan.
Dua Orang Pengangkut Air
Seorang pengangkut air, ketika bertemu dengan seorang
pengangkut air yang lain, meminta sedikit air padanya. Yang
dimintai itu berkata, "O kau yang tak tahu akan
keruhanian, mengapa tidak kau minum kepunyaanmu
sendiri?" Yang meminta berkata, "Beri aku sedikit
airmu, kau yang memiliki pengetahuan ruhani, sebab aku muak
akan kepunyaanku sendiri."
Adam kenyang dengan apa-apa yang tak asing lagi baginya,
dan itulah sebabnya ia pun makan makanan
terlarang,3 ialah
sesuatu yang baru baginya. Dijualnya apa-apa yang lama itu
untuk sekedar mendapatkan makanan itu. Ia pun menjadi si
mata satu. Cinta datang dan mengetuk pintu baginya. Ketika
ia sama sekali lebur dalam cahaya kilat cinta, apa yang lama
dan yang baru pun lenyap dan tiada apa pun lagi yang
tinggal! Tetapi tidaklah layak bagi siapa saja untuk muak
terhadap diri sendiri dan menolak sama sekali hidupnya yang
lama.
Catatan kaki:
1 Kedua malaikat yang
menanyai si mati dalam kubur.
2 Dalam konteks ini: mata
uang (dalam arti umum), atau lebih luas, dengan atribut:
perak di sini dapat diartikan kekayaan. - H.A. Sedang arti
sebenarnya: mata uang kecil yang dipergunakan dahulu kala di
Timur Dekat dan Eropa.
3 Dalam teks terjemahan
Inggris dari C.S. Nott ini sebenarnya disebutkan
"wheat" ("gandum"). Kemudian dalam
Glossarium yang dibuatnya mengenai Adam disebutkan bahwa
"gandum" ialah makanan terlarang bagi Adam di
sorga. (The Conferenfce of the Birds, halaman 141). Tetapi
tentang ini saya tak menemukan rujukannya dalam Al-Quran.
Saya hanya menemukan di situ bahwa Tuhan melarang Adam
mendekati "pohon ini" ("... wa la taqraba
hazihi s-saja- rata ..." seperti disebutkan dalam Surah
11: 35. Atau setan membujuk Adam dengan mengatakan bahwa ia
akan menunjukkan padanya "pohon khuldi"
("pohon keabadian"-- "tree of
immortality" menurut Pickthall) seperti disebutkan
dalam Surah XX: 120. Tetapi dalam tulisan Attar di atas,
yang penting bagi kita bukanlah macam makanan yang terlarang
itu (arti harfiahnya), melainkan arti maknawinya. - H.A.
(sebelum,
sesudah)
|