|
31. Pertanyaan Burung Kelima Belas
Seekor burung lain berkata pada Hudhud, "Bila raja
yang kita bicarakan itu adil dan setia, Tuhan pun telah
memberi kita pula kejujuran dan ketulusan; dan aku tak
pernah kurang dalam hal keadilan terhadap siapa saja. Bila
sifat-sifat ini terdapat pada suatu makhluk, bagaimana
martabatnya dalam pengetahuan keruhanian?"
Hudhud menjawab, "Keadilan ialah raja keselamatan.
Ia yang adil selamat dari segala macam kesalahan dan
kesia-siaan. Lebih baik adil daripada melewatkan seluruh
hidupmu dengan berlutut dan bersembah sujud dalam
peribadatan lahiriah. Juga kemurahan hati tidak sebanding
dalam kedua dunia itu dengan keadilan yang dilakukan secara
diam-diam. Tetapi dia yang berpura-pura adil di muka umum
sulitlah untuk tak menjadi si munafik. Adapun pengikut Jalan
ruhani tiadalah menuntut keadilan dari siapa pun juga,
karena mereka menerimanya berlimpah-limpah dari
Tuhan."
Cerita Kecil tentang Imam Hambal
Ahmad Hambal ialah Imam di jamannya, dan jasanya melebihi
segala pujian. Suatu kali ketika ia ingin istirahat dari
telaah dan pekerjaannya, ia pergi ke luar untuk bicara
dengan seorang laki-laki yang amat miskin. Seseorang yang
melihat hal itu mencelanya dengan mengatakan, "Tak
seorang pun yang lebih pandai dari Tuan, dan Tuan pun tak
membutuhkan pendapat orang lain , namun Tuan menghabiskan
waktu Tuan dengan si malang yang miskin, yang berjalan
bertelanjang kaki dan bertelanjang kepala."
"Memang benar," kata Imam itu, "bahwa aku
telah melaksanakan apa yang ada dalam hadis dan sunnah, dan
bahwa aku mempunyai lebih banyak pengetahuan dari orang ini;
tetapi dalam hal keinsafan, ia lebih dekat pada Tuhan
ketimbang aku."
Kau yang tak jujur karena tak tahu, setidak-tidaknya
memberikan peringatan sejenak pada ketulusan mereka yang
sedang menempuh jalan ruhani.
Raja India
Suatu kali Sultan Mahmud memenjarakan seorang raja tua,
yang --setelah menghayati kasih Tuhan-- menjadi seorang
Muslim dan meninggalkan kedua dunia. Duduk sendiri dalam
kemahnya ia menjadi begitu tenggelam dalam keadaan ini
melelehkan airmata kesedihan dan mendesahkan keluh kerinduan
--siang berganti malam dan malam berganti siang, semakin
hebat juga tangis dan keluhnya. Akhirnya Mahmud mendengarnya
dan memanggilnya, "Jangan menangis dan meratap,"
katanya, "Tuan seorang raja dan aku akan memberi Tuan
seratus kerajaan pengganti kerajaan Tuan yang telah
hilang." "O Syah Alam," jawab si Hindu,
"aku tak meratapi kerajaanku yang hilang atau
kemuliaanku. Aku menangis, karena pada hari kebangkitan,
Tuhan, pemilik seri keagungan, akan berkata padaku, 'O
orang yang tak setia, kautaburkan padaku biji penghinaan.
Sebelum Mahmud menyerangmu, kau tak pernah memikirkan daku.
Baru ketika kau terpaksa membawa tentaramu melawan dia dan
kehilangan segalanya, kau ingat padaku. Adilkah ini pada
pendapatmu?, O Raja yang masih muda, adalah karena aku
merasa malu maka aku menangis dalam usiaku yang setua
ini."
Dengarkan kata-kata tentang keadilan dan keimanan;
dengarkan ajaran dalam Diwan Kitab-kitab Suci. Bila kau
punya keimanan, tempuhlah perjalanan yang kuanjurkan padamu.
Tetapi akankah ia yang tak ada dalam daftar kesetiaan
terdapat dalam bab kelapangan hati!
Tentara Muslim dan Tentara
Salib
Seorang Muslim dan seorang Nasrani tengah
berperang-tanding, dan saatnya tiba bagi si Muslim untuk
melakukan sembahyang yang ditentukan, maka dimintanya
pertangguhan waktu dari si Nasrani. Perajurit Salib itu
setuju, maka si Muslim pun pergi menyisi dan bersembahyang.
Ketika ia kembali, mereka pun lalu memulai perjuangan itu
kembali dengan tenaga baru. Sebentar kemudian si tentara
Salib minta dilakukan gencatan senjata untuk melakukan
sembahyangnya pula. Setelah ini diterima, ia pun
mengundurkan diri, dan setelah memilih tempat yang sesuai,
ia pun berlutut di debu di muka patung pujaannya. Ketika si
Muslim melihat musuhnya berlutut dengan kepala tunduk, ia
pun berkata dalam hati, "Inilah kesempatan bagiku untuk
mendapat kemenangan," sambil merencanakan hendak
memukulnya dengan mengkhianati perjanjian. Tetapi sebuah
suara batin berkata, "O orang tak beriman yang hendak
mengkhianati kesanggupanmu, beginikah caranya kau memegang
janjimu? Si kafir tak menghunus pedang melawanmu ketika
kauminta gencatan senjata. Tiadakah ingat akan sabda Quran,
'Peganglah janjimu dengan setia,. Karena seorang kafir
telah bermurah hati padamu, janganlah mangkir terhadapnya.
Ia telah berbuat baik, dan kau hendak berbuat jahat.
Berbuatlah padanya sebagaimana ia telah berbuat padamu.
Adakah kau, sebagai Muslim, tak patut dipercaya?"
Mendengar ini, si Muslim tertegun. Sesal melandanya dan ia
bermandi airmata dari kepala hingga kaki. Ketika si tentara
Salib melihat ini, ia pun menanyakan sebabnya. "Bisikan
luhur," kata si Muslim, "menegurku karena tak
setia padamu. Kaulihat aku dalam keadaan begini karena aku
telah dikalahkan oleh kemurahan hatimu." Mendengar ini,
si Nasrani menyambutnya dengan sorak gembira, dan katanya,
"Karena Tuhan dapat memperlihatkan kemurahannya padaku,
musuhnya yang berdosa ini, dan menegur sahabatnya karena tak
beriman, bagaimana dapat aku untuk tinggal tak beriman?
Terangkan padaku asas-asas Islam agar aku dapat menerima
agama yang benar dan dengan meninggalkan kemusyrikan
melakukan upacara-upacara syariat. Oh, betapa aku menyesali
kebutaan yang selama ini telah menghalangi aku dari
pengakuan akan Junjungan yang demikian pemurah
itu."
O kau yang lalai mencari tujuan keinginanmu, dan amat
kurang dalam keimanan yang layak bagimu! Kukira saatnya akan
tiba ketika di hadapanmu langit akan mengingatkan segala
perbuatanmu satu demi satu.
Yusuf dan Saudara-Saudaranya
Di masa paceklik, kesepuluh saudara Yusuf pergi jauh ke
Mesir. Dengan wajah berselubung cadar, Yusuf menerima
mereka, dan mereka membeberkan kembali kesusahan mereka
serta minta pertolongan menghadapi bahaya paceklik yang
menakutkan.
Di muka Yusuf ada sebuah piala. Diketuknya piala itu
dengan tangannya, dan benda itu memperdengarkan suara yang
penuh kesedihan. Saudara-saudaranya itu pun terkejut; mereka
tak dapat menahan bicara; maka kata mereka padanya, "O
Aziz!1 Adakah
Tuanku, atau adakah seseorang tahu akan arti suara
itu?" "Aku tahu betul," kata Yusuf,
"tetapi kalian tak akan tahan mendengar penuturannya;
sebab piala itu mengatakan bahwa kalian mempunyai seorang
saudara laki-laki yang istimewa karena kebagusan rupanya,
dan namanya Yusuf."
Kemudian Yusuf mengetuk piala itu untuk yang kedua kali,
lalu katanya, "Piala itu mengatakan padaku bahwa kalian
melemparkan saudara kalian itu ke dalam sumur dan bahwa
kalian membunuh serigala yang tak berdosa dan melumuri baju
Yusuf dengan darah binatang itu."
Yusuf mengetuk piala itu buat yang ketiga kali, dan
sekali lagi piala itu memperdengarkan suara yang penuh
kesedihan. Yusuf menambahkan, "Piala itu mengatakan
bahwa saudara-saudara Yusuf membuat ayah mereka tercebur ke
lubuk kesedihan dan bahwa mereka telah menjual Yusuf. Nah,
apakah yang telah diperbuat oleh orang-orang tak beriman ini
terhadap saudara mereka? Setidak-tidaknya, takutlah
hendaknya pada Tuhan, wahai kalian yang berdiri di
hadapanku."
Ini membuat mereka berada dalam keadaan sedemikian rupa
sehingga mereka berkeringat karena takut --mereka yang
datang hendak meminta roti itu. Waktu menjual Yusuf,
sebenarnya mereka telah menjual diri mereka sendiri; ketika
mereka memasukkan dia ke dalam sumur, sebenarnya mereka
sendiri terlontar ke dalam sumur penderitaan.
Barangsiapa membaca kisah ini tanpa mendapat manfaat, dia
itu buta. Janganlah mendengarkan dengan masa bodoh, sebab
ini tak lain dari kisahmu sendiri. Kau terus juga melakukan
banyak dosa dan kesalahan, karena kau tak diterangi dengan
cahaya kesadaran. Jika seseorang mengetuk piala hidupmu,
maka tersingkaplah padamu sendiri perbuatan-perbuatan
dosamu. Bila piala hidupmu diketuk dan kau terjaga dari
tidur; bila kesalahan-kesalahan dan dosa-dosamu
diperlihatkan satu demi satu, aku sangsi apakah kau akan
tetap berpegang pada ketenangan atau pikiranmu. Kau seperti
seekor semut yang lumpuh dalam sebuah cambung. Betapa sering
kau memalingkan kepalamu dari piala langit? Kembangkan
sayapmu dan terbanglah membubung, kau, yang mempunyai
pengetahuan tentang kebenaran. Jika tidak, kau akan
senantiasa malu bila kau mendengar suara piala itu.
Catatan kaki:
1 Yang
berkuasa.--H.A.
(sebelum,
sesudah)
|