|
39. Lembah Kedua atau Lembah Cinta
Hudhud melanjutkan, "Lembah berikutnya ialah Lembah
Cinta. Untuk memasukinya kita harus menjadi api yang menyala
--begitulah dapat kukatakan. Kita sendiri harus menjadi api.
Wajah pencinta harus menyala, mengilau dan berkobar-kobar
bagai api. Cinta sejati tak mengenal pikiran-pikiran yang
menyusul kemudian; dengan cinta, baik dan buruk pun tak ada
lagi.
Tetapi akan halnya kau, yang tak acuh dan tak peduli,
pembicaraanku ini tak akan menyentuhmu, bahkan tak akan
terkerat oleh gigimu. Siapa yang setia mempertaruhkan uang
tunai, bahkan mempertaruhkan kepala, untuk menjadi satu
dengan sahabatnya. Yang lain-lain puas dengan menjanjikan
apa yang akan mereka lakukan untukmu besok. Bila ia yang
memulai perjalanan ini tak mau melibatkan diri seutuhnya dan
sepenuhnya, ia tak akan bebas dari duka dan kemurungan yang
memberatinya. Sebelum elang mencapai tujuannya, ia gelisah
dan sedih. Jika ikan didamparkan ke pantai oleh ombak, ia
menggelepar-gelepar hendak kembali ke dalam air.
Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran
dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak
bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan
dengan akal pikiran insani. Bila kau memiliki penglihatan
batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan
tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya
dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti
betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan
bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini
hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat
mengorbankan satu."
Seorang Koja yang Mabuk Cinta
Seorang Koja menjual segala yang ada padanya - perabotan,
para hamba dan segalanya, untuk membeli bir dari seorang
penjual bir yang masih muda. Ia sama sekali jadi gila karena
cinta akan penjual bir ini. Ia selalu lapar karena bila ia
diberi roti, dijualnya roti itu untuk membeli bir. Akhirnya
seseorang bertanya padanya, "Bagaimana sebenarnya cinta yang
membawa kau dalam keadaan yang patut disayangkan ini?
Ceritakan padaku rahasianya!" "Cinta memang sedemikian itu,"
jawab orang Koja itu, "sehingga kita mau menjual barang
dagangan dari seratus dunia untuk membeli bir. Selama kita
tak memahami ini, kita tak akan pernah menghayati perasaan
yang sejati tentang cinta."
Cerita tentang Majnun
Orang tua Laila melarang Majnun mendekati kemah mereka.
Tetapi Majnun, yang dimabuk cinta, meminjam kulit domba dari
seorang gembala di gurun, di mana suku Laila memancangkan
kemahnya. Ia membungkukkan diri dan mengenakan kulit domba,
lalu katanya pada gembala itu, "Dengan nama Tuhan, biarlah
aku ikut merangkak di tengah domba-dombamu, kemudian bawalah
kawanan domba itu melintasi kemah Laila, agar mudah-mudahan
aku dapat mencium wewangiannya yang nikmat, dan dengan
menyembunyikan diri dalam selubung kulit ini mudah-mudahan
aku dapat mengusahakan sesuatu." Gembala itu berbuat seperti
yang dikehendaki Majnun, dan ketika mereka melintasi kemah
Laila, Majnun melihat gadis itu, lalu pingsan. Si gembala
kemudian menggotongnya dari kemah itu ke gurun, lalu
menyiram mukanya dengan air untuk menyejukkan cintanya yang
menyala.
Di hari lain, Majnun ada bersama beberapa kawannya di
gurun, dan salah seorang bertanya padanya, "Bagaimana dapat
kau, seorang yang terhormat, pergi ke mana-mana dengan
bertelanjang saja? Biarlah kucari pakaian untukmu jika kau
ingin." Majnun berkata, "Tak ada pakaian yang kupakai akan
layak bagi kekasihku, maka bagiku tiada yang lebih baik dari
tubuhku yang telanjang atau selembar kulit domba. Laila,
bagiku, seperti Ispand penangkal pengaruh jahat. Majnun
tentulah akan senang memakai pakaian-pakaian sutera dan kain
kencana, tetapi ia lebih suka dengan kulit domba ini, karena
dengan memakai ini ia akan dapat melihat sepintas wajah
Laila."
Cinta mestilah merobek-buangkan kehati-hatian. Cinta
mengubah sikapmu. Mencinta adalah mengorbankan kehidupanmu
yang biasa dan meninggalkan kesenangan-kesenanganmu yang
menyolok mata.
Seorang Pengemis Mencintai Ayaz
Seorang darwis yang miskin suatu kali jatuh cinta pada
Ayaz, dan kabar itu pun segera tersiar. Bila Ayaz berkuda di
jalan yang bertaburkan wangian kesturi, darwis itu biasa
menunggu dan kemudian lari mendapatkannya, lalu menatap
padanya bagai pemain polo memancangkan matanya ke arah bola.
Akhirnya orang-orang pun melaporkan pada Mahmud tentang
pengemis yang mencintai Ayaz ini. Suatu hari, ketika Ayaz
berkuda bersama sultan, maka sultan berhenti dan memandang
darwis itu dan terlihat olehnya bahwa jiwa Ayaz bagai
sebutir gandum dan wajah darwis itu bagai bulatan tepung
adonan yang melingkungi butir gandum itu.
Tampak padanya bahwa punggung pengemis itu bungkuk bagai
tongkat pemukul bola polo, dan kepalanya berputar-putar
sepenuhnya bagai bola dalam permainan polo. Mahmud berkata,
"Pengemis malang, inginkah kau minum dari satu gelas bersama
Sultan?" "Meskipun Tuan sebut hamba ini pengemis," jawab
darwis itu, "namun hamba tak kalah dengan Tuanku dalam
permainan cinta. Cinta dan kemiskinan sejalan. Tuan orang
yang berdaulat, dan hati Tuan bercahaya; tetapi untuk cinta,
hati yang menyala seperti hamba ini perlu. Cinta Tuan
kelewat biasa. Hamba menderita kesedihan karena perpisahan.
Tuan bersama sang kekasih; tetapi dalam bercinta kita harus
mengenal bagaimana menderita kesedihan karena
perpisahan."
Sultan pun berkata, "O kau yang telah menarik diri dari
kehidupan yang biasa, cinta bagimu bagai permainan polo?"
"Begitulah," jawab pengemis itu, "karena bola selalu
bergerak, seperti hamba, dan hamba pun seperti bola itu.
Bola dan hamba punya kepala yang berpusing, meskipun kami
tak bertangan maupun berkaki. Kami dapat bersama-sama
membicarakan penderitaan yang ditimbulkan oleh tongkat
pemukul pada kami; tetapi bola itu lebih beruntung daripada
hamba, karena kuda menyentuhnya dengan kakinya setiap kali.
Bola itu menerima pukulan tongkat pemukul pada badannya,
tetapi hamba merasakan pukulan-pukulan itu dalam hati
hamba."
"Darwis yang miskin," kata Sultan, "kau membanggakan
kemiskinanmu, tetapi mana bukti yang dapat
kauperlihatkan?"
"Hamba korbankan segalanya demi cinta," jawab darwis itu,
"itulah tanda kemiskinan ruhani hamba. Dan bila Tuan, o
Mahmud, pernah menghayati cinta yang sebenarnya,
korbankanlah hidup Tuan untuk itu; bila tidak, Tuan tak
berhak bicara tentang cinta."
Setelah berkata demikian, ia pun mati, dan dunia menjadi
gelap bagi Mahmud.
Seorang Arab di Persia
Suatu kali seorang Arab pergi ke Persia dan heran melihat
adat kebiasaan negeri itu. Pada suatu hari kebetulan ia
melalui permukiman sekelompok kaum
Qalandar1 dan
melihat beberapa laki-laki yang tak bicara sepatah kata pun.
Mereka tak punya istri dan tak punya sekeping obol pun,
tetapi mereka berhati suci dan bersih. Masing-masing
memegang sebuah botol berisi anggur pekat yang dituangkannya
dengan hati-hati sebelum duduk. Orang Arab itu merasa senang
dengan mereka; ia pun berhenti dan pada saat itu hati dan
pikirannya tertuju ke jalan itu.
Melihat ini kaum Qalandar itu berkata, "Masuklah, o orang
yang tak berarti!" Maka begitulah, mau tak mau ia pun masuk.
Ia diberi sepiala anggur dan segera ia pun tak sadarkan
diri. Ia jadi mabuk dan kekuatannya hilang. Emas dan perak
serta barang-barangnya yang berharga diambil oleh salah
seorang dari kaum Qalandar, dan kepadanya diberikan anggur
lebih banyak lagi, dan akhirnya ia pun dilemparkan ke luar
rumah. Kemudian orang Arab itu pun pulang ke negerinya
sendiri, bermata sebelah dan miskin, keadaannya berubah dan
bibirnya kering. Setiba di tempat kelahirannya,
kawan-kawannya bertanya padanya, "Ada apa? Kau pengapakan
uang dan barang-barangmu yang berharga itu? Apakah dicuri
orang ketika kau tidur? Adakah kau telah berbuat buruk di
Persia? Ceritakan pada kami! Mungkin kami dapat
menolongmu!"
"Aku ngeloyor ke sana-sini di jalan," katanya, "dan
tiba-tiba saja aku bertemu dengan kaum Qalandar. Tak ada
yang kuketahui lagi kecuali bahwa aku telah kehilangan semua
milikku dan kini aku tak punya apa-apa lagi." Mereka minta
padanya agar memberikan gambaran tentang kaum Qalandar itu.
Jawabnya hanya, "Orang-orang itu cuma mengatakan padaku,
'Masuklah'."
Orang Arab itu seterusnya tetap dalam keadaan heran dan
tercengang, seperti anak kecil, dan melongo karena kata
"Masuklah".
Maka kau pun hendaknya melangkah maju. Bila kau tak mau,
maka ikuti angan-anganmu. Tetapi bila kau lebih menyukai
kerahasiaan cinta dari jiwamu, maka kau akan mengorbankan
segalanya. Kau akan kehilangan apa yang kau pandang
berharga, tetapi kau akan segera mendengar kata-kata
khidmat, "Masuklah".
Si Pencinta yang Kehilangan
Kekasihnya
Seorang laki-laki yang bercita-cita luhur jatuh cinta
dengan seorang wanita muda jelita. Tetapi sementara itu
wanita pujaan hatinya menjadi kurus dan sepucat ranting yang
berwama kuning kunyit. Hari yang cerah lenyap dari hatinya;
dan maut, yang menunggu dari jauh, datang mendekat. Ketika
laki-laki yang mencintainya mengetahui ini, ia pun mengambil
parang dan berkata, "Aku akan pergi membunuh kekasihku di
tempat ia terbaring agar si jelita yang bagai lukisan yang
mengagumkan ini tidak mati karena kodrat." Orang-orang pun
mengatakan padanya, "Apa kau gila! Kenapa pula kau mau
membunuh wanita itu di saat ia sudah mendekati ajalnya?" Si
pencinta itu berkata, "Jika dia mati karena tanganku, maka
orang-orang pun akan membunuhku, sebab aku dilarang membunuh
diriku sendiri. Kemudian di hari kiamat kelak, kami akan
bersama lagi sebagaimana kami sekarang ini. Jika aku
dibunuh, karena gairah hasratku padanya, maka kami akan
menjadi satu, seperti nyala terang pada sebatang lilin yang
dinyalakan."
Para pencinta yang telah mempertaruhkan hidupnya demi
cinta mereka telah memasuki jalan itu. Dalam kehidupan Ruh,
mereka menyatu dengan tambatan kasih mereka.
Ibrahim dan Malakul Maut
Ketika tiba saatnya sahabat Tuhan itu hendak wafat, ia
enggan menyerahkan nyawanya pada Izrail. "Tunggu," katanya
pada Izrail. "Adakah Malikulalam telah memintanya?" Tetapi
Allah Ta'ala bersabda pada Ibrahim, "Jika kau benar-benar
sahabatku, tidakkah kau ingin datang padaku? Ia yang
menyesal memberikan hidupnya pada sahabatnya menghendaki
hidupnya dirobek dengan pedang." Kemudian, salah seorang
yang hadir di sana berkata, "O Ibrahim, Cahaya Dunia,
mengapa Tuan tak menyerahkan hidup Tuan dengan suka hati
pada Izrail? Para pencinta di Jalan Ruhani mempertaruhkan
hidupnya demi cinta mereka; Tuan menganggap hidup Tuan
berharga." Kata Ibrahim, "Bagaimana dapat aku melepaskan
hidupku bila Izrail telah menghalangnya? Aku tak
mengindahkan permintaannya, karena aku hanya ingat pada
Tuhan. Ketika Nimrod melepaskan aku ke dalam api dan Jibril
datang padaku, tak kuindahkan dia karena aku hanya ingat
pada Tuhan. Karena aku memalingkan kepalaku dari Jibril
dapatkah aku diharapkan akan menyerahkan nyawaku pada
Izrail? Kalau kudengar Tuhan bersabda, 'Berikan hidupmu
padaku!' maka hidupku pun tak lebih berharga dari sebutir
gandum. Bagaimana mungkin aku memberikan hidupku pada
seseorang kalau ia tidak memintanya. Itu saja yang mesti
kukatakan."
Catatan kaki:
1 Kelompok kaum Darwis di
Persia dan Arabia yang bertujuan mengembara senantiasa.
Didirikan oleh Qalandar Yusuf al Andalusi dari Spanyol.
(sebelum,
sesudah)
|